Batik Semarang belum seterkenal batik Solo, Yogya, atau Pekalongan. Namun, batik yang diproduksi di sebuah kampung di ibukota Jawa Tengah ini pernah sangat berjaya. Mereka tak hanya menjual batik khas, di kampung batik ini orang juga bisa belajar membatik dan mengenal sejarah.

Batik Semarang

Tangannya bergerak lincah. Memandu ujung canting menyusuri pola yang sudah terbentuk di atas bentangan kain putih. Dengan kepala sedikit tertunduk, matanya menyoroti setiap lekukan pola. Sesekali kicauan merdu burung memecah keheningan di antara mereka. Entah sudah berapa jam mereka menggoreskan canting untuk membentuk motif batik yang cantik.

Meski begitu, Kholifatin Niswah, Shelly Nur Septyana, Dwi Bella Putriyani, dan Nonik Aswiyani bukanlah perajin batik. Mereka sebenarnya adalah siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Jepara, Jawa Tengah, yang sedang melakukan praktek kerja lapangan (PKL) di Kampung Batik Semarang. Sudah satu bulan mereka menghabiskan waktu untuk belajar membatik dari dua bulan yang direncanakan.

Bukan tanpa alasan mereka memilih Kampung Batik Semarang sebagai tempat PKL. ”Batik Semarang memiliki motif yang khas dibanding batik dari daerah lain,” kata Kholifatin.

Menurut Tri Mudjiono, Ketua Paguyuban Sentral Batik Semarang, Jawa Tengah, yang ditemui hari itu, motif batik Semarang menonjolkan unsur flora dan fauna sebagai motif utama. ”Misalnya saja buah asem arang dan burung blekok,” ujarnya.

Burung blekok, kata dia, dijadikan motif karena burung blekok putih banyak di kawasan Srondol, Semarang, di masa lalu. Kini hampir susah kita menemui burung berparuh panjang itu. Begitu pula asem arang, yang banyak tumbuh di Semarang. Konon, nama Semarang diambil dari nama pohon asem yang tumbuhnya saling berjauhan tersebut.

Belakangan, motif batik Semarangan kian berkembang. Ikon Kota Semarang, seperti Gedung Lawang Sewu, Tugu Muda, dan Sam Poo Kong, menjadi ciri khas lain batik Semarangan. Sedangkan untuk pewarnaannya, batik Semarang dikenal memiliki warna-warna terang, seperti biru, merah, dan cokelat.

“Teknik batik juga tak berbeda dari batik-batik daerah lain. Batik Semarang mengenal teknik tulis, cap, dan cetak,” ujar Tri saat ditemui di rumahnya yang sekaligus dijadikan ruang pamer. Ketua RW II, Kelurahan Rejamulyo, Semarang Timur, Kota Semarang, itu juga masih ingat betul bahwa batik Semarang mulai menggeliat sekitar 2004, saat Pemerintah Kota Semarang memiliki keinginan mengembalikan nama besar batik Semarangan yang dulu pernah mencapai masa keemasan.

Kampung Batik Semarang pernah mengalami kejayaan pada 1919-1925. Sentra batik di Kota Semarang saat itu sangatlah berkembang. Hal ini karena terjadi krisis yang menyebabkan sulitnya mendapatkan bahan sandang. Akibatnya, masyarakat memenuhi kebutuhan sandangnya sendiri dengan membuat pakaian sendiri.

Namun sayang, sentra batik Semarang ikut luluh-lantak saat Pertempuran Lima Hari di Semarang. Walau telah dihancurkan pasukan tentara Jepang, kejayaan Batik Semarang masih bertahan hingga 1970. Adalah Tan Kong Tien, seorang putra tuan tanah Tan Siauw Liem, yang juga menantu Sri Sultan Hamengku Buwono III, yang mempertahankannya. Setelah menikah dengan RA Dinartiningsih, Tan Kong Tien mewarisi keahlian membatik dari istrinya yang kemudian ia kembangkan. Perusahaannya bernama “Batikkerij Tan Kong Tin” mendapatkan hak monopoli batik untuk wilayah Jawa Tengah. Perusahaannya ini diteruskan oleh putrinya, R. Ng. Sri Murdijanti, hingga 1970.

Sejak saat itu, Kampung Batik Semarang seolah mengalami ”mati suri”. Usaha untuk membangkitkan kembali Kampung Batik Semarang pernah juga dirintis pada awal 1980 tapi gagal bertahan, sampai akhirnya jenis batik ini kembali tenggelam. Batik Semarang baru dihidupkan kembali pada 2004 oleh Pemerintah Kota Semarang. ”Untuk mengembalikan masa kejayaan itu, pemda melakukan serangkaian pelatihan dengan peserta warga yang memiliki kemauan besar untuk belajar membatik,” ujar Tri mengenang.

Hingga saat ini, menurut Tri, sudah ada empat perajin batik di Kampung Batik Semarang. Masing-masing tempat usaha umumnya memiliki lebih dari 10 karyawan, meski ada pula yang hanya memiliki 5 karyawan. Jumlah toko batik saat ini, kata dia, semakin bertambah menjadi 12 unit.

Harga batik Semarang relatif tak jauh berbeda dengan batik lainnya. Harganya Rp 50-250 ribu untuk jenis cap atau cetak. Tergantung tingkat kesulitan dalam pembuatan dan jenis kain yang digunakan. Khusus batik tulis, harganya dimulai dari Rp 250 ribu, bahkan ada yang mencapai Rp 2 jutaan.

Meski belakangan batik Semarang mulai menggeliat, Tri mengakui masih memiliki kendala besar, terutama pada masalah biaya untuk menjahit. ”Ongkos jahit di daerah lain lebih murah ketimbang di Semarang,” ucapnya. Hal itu diiyakan Oktavia Ningrum, pemilik toko Batik Temawon, yang baru buka sekitar satu setengah tahun lalu. ”Ongkos jahit di Semarang relatif lebih mahal,” katanya. Selain itu, kata dia, perajin batik Semarang jarang melakukan pewarnaan sendiri karena permasalahan limbah. ”Maklum, sentra batik Semarang berada di lingkungan rumah warga,” ujar perempuan asal Bogor, Jawa Barat, itu.

Oktavia dan Tri optimistis bahwa batik Semarang akan mendapat tempat di hati para penggemarnya. Mereka sepakat berharap sentra batik Semarang bisa menjadi salah satu tujuan wisata Semarang, seperti kampung batik di kota lainnya.

agendaIndonesia/Andry T./Nita D. untuk TL

Yuk bagikan...

Rekomendasi