Tenun Rangrang, 3 Warna-warni Nusa Penida

Tenun Rangrang adalah kerajinan khas Nusa Penida, Bali. Foto: milik Wak Laba

Tenun Rangrang adalah jenis tenunan tradisional Bali yang semakin dilirik kaum perempuan di Indonesia. Ini merupakan kreasi penduduk Nusa Penida, jenis tenunan ini menunjukkan keragaman karya perajin Pulau Dewata. Disebut rangrang, ternyata karena jenisnya yang berlubang-lubang atau jarang-jarang.

Tenun Rangrang

Saat ke Bali dan mampir ke Dian’s Rumah Songket dan Endek di Kabupaten Klungklung, ternyata bisa ditemukan tenun rangrang di antara kain songket, cepuk, dan endek. Khusus tenun rangrang, biasanya sang pemiliki langsung memesan ke perajin dari Banjar Karang, Nusa Penida.

Tenun Rangrang adalah produk kerajinan dari masyarakat Nusa Penida, Bali,
Salah satu spot di Nusa Penida. Foto: shutterstock

Tidak sekedar memesan, ia bahkan mengirim benang-benang katun ke sana agar hasil tenun berkualitas baik. Termasuk juga benang dari bahan alam. Menurut sejumlah butik di Klungkung, sudah tujuh tahun ini tenun rangrang semakin digemari orang.

Sebelumnya, konon cukup susah mempromosikan tenun rangrang ini. Namun promosi yang terus menerus membuat pamor tenun jenis ini terus terkerek, harganya pun ikut melonjak. Untuk kualitas terbaik, dengan benang dari bahan alam, selembar kain tenun rangrang berukuran 90 x 200 sentimeter bisa mencapai Rp 1,5-2 juta.

Harga tenunan bervariasi atau bergantung pada ukuran kain. Paling rendah Rp 600 ribu. Bila sudah menjadi pakaian, dipatok mulai Rp 700 ribu. Kain rangrang, yang menggunakan benang sintetis, dijual pada kisaran Rp 400 ribu.

Padahal saat belum naik daun, hasil tenunan  ini dijual mulai Rp 200 ribu. Kini tenun rangrang pun dibuat beragam produk, tak hanya blazer, kemeja, blus, tapi juga dompet, sarung bantal, tas, dan lain-lain.

Keindahan dan harga tinggi tenun rangrang itu pun membikin penasaran. Esok harinya, dari pantai Sanur, agendaIndonesia melaju dengan perahu bermotor menuju Nusa Penida, yang termasuk Kabupaten Klungkung. Sekitar 40 menit perjalanan sudah menginjak pasir putih Dermaga Toyapakeh.

Rupanya, kampung perajin tidak berada dekat pantai. pengunjung harus naik sepeda motor turun-naik bukit sekitar satu jam dari dermaga. Jalanan pun tidak selalu mulus. Mengarah ke sisi timur pulau ini dan menyusuri pantai menaiki beberapa bukit berkapur, akhirnya kendaraan beroda dua berhenti di Banjar Ampel, Desa Pejukutan, yang berada di sebuah bukit.

Banjar Karang, yang banyak disebut juga sebagai kampung perajin rangrang, berada setelah kampung ini. Jauh dari pantai, tak mengherankan jika tak ada seorang pun yang berprofesi sebagai nelayan ataupun petani rumput laut seperti umumnya warga Nusa Penida.

Tua-muda, laki-laki ataupun perempuan beraksi dengan benang plus alat tenun. Di belakang rumah dibuat bangunan terbuka. Diisi beberapa perangkat tenun, sehari-hari mereka bisa ditemukan di sana. Biasanya menenun berkelompok 3-4 orang. Kebanyakan satu keluarga besar atau tetangga. Saya pun bertemu dengan Nyoman Terima—perempuan berusia 60-an tahun yang terhitung sebagai penenun tertua di antara 200 penenun di kampung ini.

Dalam dua tahun terakhir, para remaja pun tergoda menyentuh alat tenun. Putu Wahyudi, 21 tahun, salah seorang di antaranya. Bila kebanyakan anak laki-laki di kota besar bermain dengan gadget atau di depan komputer bermain game, ia anteng menyalin benang. Bahkan umumnya anak perempuan di kampung ini sejak kelas 3 SD sudah mulai menenun.

“Perempuan yang kerja di kota pun kembali dan menenun juga,” ujar Nyoman Widastra, 51 tahun. Ia pun sebelumnya menjajal segala jenis pekerjaan, termasuk menjadi kuli bangunan. Setelah 35 tahun beralih, ia menjadi penenun. “Enak teduh (tidak kepanasan) dan bisa kerja semalaman pula,” ujarnya.

Nyoman bisa melakukannya hingga tengah malam, bahkan sampai pukul 03.00. Pekerjaan menenunnya dimulai dari mengurai benang hingga memintalnya. Setelah itu, ia baru bisa menenun. Rata-rata untuk kain yang paling pendek, yakni 60 sentimeter  x 2 meter, diperlukan waktu sekitar dua hari. “Biasanya untuk selendang.”

Mayoritas perajin menyerahkan hasil kerja mereka kepada pengepul yang sebagian besar menerapkan sistem bayar belakang saat  kain sudah terjual. Bisa juga warga menjual langsung kepada turis mancanegara yang kerap datang. “Kadang mereka beli 2-3 buah gitu,” kata Nyoman.

Mayoritas perajin menggunakan alat tenun terbaru, model lama atau alat tenun cacag tidak lagi digunakan. Bahkan penenun tua pun sudah beralih. Posisi di punggung bawah harus ikut menahan alat tenun dan posisinya yang harus duduk di bawah, membuat mereka lebih cepat lelah. Dibanding alat tenun baru, penenun bisa duduk di bangku dengan posisi lebih nyaman.

Tenun Rangrang membuat banyak anak muda kembali ke desanya di Nusa Penida.
Tenun Rangrang. Foto: shutterstock

Di Dusun Ampel, Banjar Pejukutan, umumnya penenun menggunakan benang sintetis dengan pilihan warna terang atau lembut. “Biasanya pakai tiga warna. Motifnya, kebanyakan bianglala, wajik, dan alam,” kata Nyoman Widastra.

Tidak seluruh kain penuh dengan corak. Yang lazim pada tenunan yang dibuat dengan teknik ikat tunggal ini lantaran ada latar warna. Kemudian di tengahnya berupa corak tertentu. Menurut pengakuan penenun, motif yang dipilih kerap bergantung pada permintaan pengepul.

Tidak hanya paduan warna-warni yang menyuguhkan keindahan, tetapi sesungguhnya kain rangrang juga memuat filosofi mengenai hidup dan kepercayaan masyarakat Bali terhadap alam, karmapala, dan tridarma dalam agama Hindu.

Dalam masyarakat Bali, sebenarnya dikenakan untuk upacara adat. Namun, seperti pengakuan sejumlah perajin, mereka justru tak lagi memiliki kain rangrang. “Kita bikin buat dijual,” ucap Nyoman seraya menyebutkan dirinya yang sehari-hari menenun tak memilikinya.

Harga yang tinggi menjadi salah satu alasan bagi warga setempat mengapa tak lagi mengenakan kain rangrang. Membuat rangrang hanya untuk mendapat penghasilan, bukan untuk dipakai sendiri.

Rangrang dibikin pun hanya untuk memenuhi permintaan pasar. Warna dan corak sering bergantung pada permintaan. Tidak lagi muncul model lama dengan hiasan pinggiran seperti kupu-kupu, bunga julit, daun bakung, atau katak.

Warga pun tak lagi menggunakan warna alam seperti akar mengkudu dan kayu secang untuk warna merah, bunga delima yang dikeringkan untuk warna kuning, dan daun mangga untuk warna hijau. Kecuali tentu jika ada pesanan.

agendaIndonesia/TL/Rita N./C. Adristy

*****

Kampung Gitar Baki, Berdenting Sejak 1975

Kampung gitar Baki di Sukoharjo atau Solo menjadi kampung dengan keunikan tersendiri. Foto shutterstock

Kampung gitar Baki sering menjadi referensi pemusik gitar atau gitaris jika ingin memperbaiki atau mengubah instrument gitar mereka. Sebab, seringkali toko-toko atau gerai gitar resmi tak menyediakan layanan untuk custom.

Kampung Gitar Baki

Adalah sebuah kampung yang unik. Lokasinya sekitar 12 kilometer di selatan Kota Solo. Kampung itu berada di Desa Mancasan, Kecamatan Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Keunikan kampung itu adalah ratusan kepala keluarganya berprofesi sebagai pengrajin gitar.

Oleh karena itu, tak heran apabila daerah itu mendapat sebutan sebagai kampung gitar Baki. Kadang orang juga menyebut kampung gitar Mancasan.

Kampung gitar Baki memiliki 90 persen warga yang bekerja sebagai perajin gitar.
Sentra kerajinan Gitar di Desa Mancasan, Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Kampung gitar Baki Sukoharjo sudah berdiri sejak 1975. Di sana, banyak warganya yang memproduksi gitar di rumah mereka masing-masing. Berbagai macam jenis gitar mereka hasilkan. Mulai dari gitar akustik model tanduk, gitar klasik, ukulele, rebab dan berbagai jenis alat musik petik lainnya.

Di Kawasan Mancasan, kerajinan gitar sudah menjadi tulang punggung ekonomi masyarakatnya. Konon, kemampuan merakit gitar para penduduk Mancasan sudah diwariskan secara turun temurun.

Kampung gitar Baki Mancasan adalah sebuah desa dengan ratusan kepala keluarga yang berprofesi sebagai pengrajin gitar. Saat memasuki Kampung Gitar Baki Sukoharjo, wisatawan atau pengunjung sudah langsung dapat melihat bagaimana kepiawaian tangan para pengrajin menciptakan berbagai jenis alat musik petik.

Hampir 90 persen warga yang tinggal di Kampung Gitar Baki Sukoharjo bermata pencaharian dan menggantungkan hidupnya dengan membuat gitar. Konon, bertahannya Kampung Gitar Baki Sukoharjo menjadi desa wisata dan sentra gitar berawal dari pemberdayaan masyarakat yang selalu mengedepankan kearifan lokal.

Kemampuan membuat berbagai macam alat musik petik, dan terutama gitar, sudah dimiliki warga secara turun-temurun. Meski begitu, membuat gitar bukan perkara mudah, karena setiap pengrajin membutuhkan keahlian khusus dan ketelatenan agar menghasilkan alat musik yang mulus dan nyaman dimainkan.

Pembuatan alat musik gitar memerlukan proses panjang. Dimulai dari pemilihan bahan alat music yang akan dibuat. Jenis kayunya, ukurannya, juga modelnya. Setelah itu tentu membuat model dan mulai memotong bahan-bahan.

Kampung gitar Baki sudah memproduksi gitar yang diekspor ke sejumlah negara,
Sejumlah produk gitar karya perajin kampung Baki. Foto: dok. shutterstock

Setelah bentuk dasar jadi, pengerjaannya bermula dari penghalusan dengan ampelas, pendempulan, mengampelas kembali. Setelah itu memasuki tahap pengecatan, pelapisan, hingga dikeringkan. Umumnya cara pengeringan cat masih tradisonal, yakni dengan cara dijemur.

Jadi badan gitar yang sudah jadi dicat, lalu dilapisi dengan melamin, dan kemudian dijemur di tempat terbuka. Atau semi terbuka dengan mengangin-anginkan. Jumlah produksi gitar yang dihasilkan seorang pengrajin tergantung tingkat keahliannya, juga tergantung musim.
Faktor utama untuk pengeringan itu matahari. Kalau musim kemarau bisa 10 lusin dalam sepekan, tapi kalau cuaca mendung paling delapan lusin.

Seperti disebut di muka, Kampung Gitar Baki Sukoharjo ini juga menawarkan pembuatan gitar custom. Model gitar khusus yang tidak ada di pasaran. Pemesan bisa menentukan desain dan bahan yang ingin digunakan. Kayu yang ditawarkan biasanya jenis mahoni, jati Belanda, waru, maupun kayu sengon.

Bahkan para pengrajin gitar di kampung ini juga ada yang melayani reparasi gitar pribadi atau sekedar konsultasi masalah gitar. Ini kemungkinan karena masing-masing pengrajin gitar di Mancasan biasanya punya keahlian khusus. Selain ada pengrajin body gitar, di sana terdapat juga pengrajin stang atau neck, dan juga ada tukang stem gitar.

Seiring berjalannya waktu, industri gitar terus berkembang dan meluas hingga ke seluruh wilayah desa. Bermula dari Desa Mancasan, saat ini industri kreatif pembuatan gitar telah meluas sampai ke Desa Ngrombo di Kecamatan Baki dan Desa Pondok di Kecamatan Grogol.

Bukan hanya pengrajinnya yang bertambah, pelanggan yang mengincar gitar lokal buatan Kampung Gitar Baki juga semakin meluas. Tidak hanya dibeli oleh pecinta dan pemain alat musik petik dari Indonesia, gitar asli pengrajin lokal berhasil menarik perhatian pasar internasional.

Hasil karya kerajinan gitar kampung gitar Baki bisa dinikmati di penjuru nusantara seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Magelang, Salatiga, dan Papua. Tak hanya itu, pesanan gitar juga datang dari penjuru dunia lain. Beberapa negara yang pernah menjadi negara tujuan ekspor gitar akustik hingga ukulele buatan dari Kampung Gitar Baki Sukoharjo di antaranya: Singapura, Filipina, Malaysia, Jerman, Italia, dan sejumlah negara di Eropa lainnya.

Sayangnya perajin gitar di kampung ini belum memiliki merek khusus untuk gitar yang mereka hasilkan. Mereka biasanya menggunakan merek kosong sesuai permintaan pelanggan.

Tertarik punya koleksi gitar yang cuma satu-satunya di dunia? Ayo agendakan liburanmu ke Mancasan, Sukoharjo.

agendaIndonesia

*****

Perempuan Sasak Dan Syarat 3 Kain Tenun

Perempuan Sasak menginang di Teras Rumahnya

Perempuan Sasak punya keistimewaan sekaligus keterampilan wajib sebelum menikah. Mereka harus menenun tiga kain. Karena menenun melatih kesabaran dan ketelatenan.   

Perempuan Sasak dan 3 Kainnya

Pagi itu hanya ada Ina Dangker, atau ibunya Dangker, yang asyik dengan alat tenun gedogan di Desa Adat Ende di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Perempuan lain berkumpul di dapur, memasak bersama-sama. Karena hari itu kaum pria tengah bergotong-royong membuat bangunan, jadilah kaum hawa bertugas memasak. Siang tiba, mereka pun begibung atau makan bersama.

“Saya kebetulan memang kurang bisa,” begitu pengakuan perempuan yang pelan-pelan mengatur benang-benang warna-warni itu tentang kepiawaiannya bermain dengan berige. Namun Ina Dangker mengaku masih terus semangat menenun, atau menyesek dalam bahasa Sasak. Maklum, setiap perempuan suku Sasak memang wajib mahir menenun sebelum menikah. Paling tidak, sebelum menikah, mereka harus membuat tiga kain tenun sebagai syarat, yakni kain untuk dirinya, suami, dan mertua perempuannya.

Walhasil, tak ada perempuan Sasak yang tak bisa menyesek. Para penenun pun bisa ditemukan di sejumlah desa. Tak jauh dari Desa Adat Ende, ada Desa Adat Sade. Desa adat yang satu ini terkenal dengan kain tenun lebar pendek yang digandrungi para turis. Selendang khas Sade pun menjadi ciri khas sebagai oleh-oleh. Setelah menyusuri gang-gang kecil yang memisahkan rumah tradisional satu dengan yang lain di kampung ini, wisatawan pun melenggang pulang dengan selendang di leher.

Tak jauh dari Bandar Udara Internasional Lombok, ada lagi desa penenun yang namanya sudah dikenal. Desa Sukarara, dicapai hanya dalam 20 menit dari bandara yang berada di Kecamatan Praya, Lombok Tengah, tersebut. Siang itu perjalanan saya lanjutkan ke sana, dan kendaraan berhenti di sebuah halaman yang dipenuhi bus dan kendaraan lain. Pengunjung bertebaran di berbagai sudut. Patuha Cooperative, nama yang terpampang dalam papan nama di bagian depan. Dua orang perempuan suku Sasak yang terpaku dengan alat tenun tradisional, gedogan, berada di bagian depan gerai tenun khas Lombok tersebut.

Di tengah hiruk pikuk pengunjung, Amin, pemilik gerai tenun sasak itu masih menyempatkan diri menyambut saya dan kawan-kawan. Senyumnya  mengembang, bahkan langsung sepakat ketika saya dan kawan ingin mengintip para penenun yang ada di rumah-rumah. “Mari,” ucap pria berusia 45 tahu itu, sembari menunjukkan setapak yang sudah tertutup rapi oleh rangkaian paving block.

Sore itu jadilah saya berkeliling Dusun Belong Lauk, Desa Sukarara, Jonggat, Lombok Tengah. Kampung nan  teduh dan bersih. Menemui para perempuan di bale-bale memintal benang dan menatanya dengan alat tenun tradisional. Amin pun bertutur, di kampungnya sempat digelar aksi 1.000 penenun untuk memecahkan rekor MURI. Yang datang, ia sebut, hingga 2.000 orang. Saking banyaknya, jalan-jalan kecil itu pun dipenuhi para penenun. Saya bisa membayangkan keramaian yang terjadi.

Kembali ke gerai tenun sasak, saya mendekati Ibu Par, tampaknya tertua di antara tiga penenun di sana. Berusia 70 tahun, Par masih lincah mengatur benang membentuk sebuah motif. Nenek yang satu itu sudah asyik dengan perlengkapan menenun, seperti jajak, berire, batang jajak, dan pengiring sejak remaja, seperti umumnya perempuan Sasak.

Di depan bangunan sisi kanan, ada pula penenun muda. Dewi, 35 tahun, yang mengaku belajar menenun sejak usia 10 tahun. Pilihan yang tak bisa ditolak baginya karena harus bisa menenun dulu baru nikah. “Kalau tidak, ya, ditunda nikahnya,” ujarnya. Ia pun bertutur, menenun bagi kaum perempuan Sasak sebenarnya melatih kesabaran dan menjadikannya lebih telaten.

Memang ada juga kaum pria yang menenun. Meski ada juga yang berpendapat pria dilarang menenun. “Bala buat kaum laki-laki karena terlalu lama duduk kan bisa impoten,” kata Dewi sembari tersenyum. Maklum, aktivitas menenun bisa membuat seseorang duduk hingga tujuh jam tanpa banyak bergerak. Karena itu, ibu satu anak itu menyebut kaum Adam kebanyakan pergi ke sawah. “Kalaupun mereka menenun, biasanya kaum perempuan yang membuat motif, jadi yang pria hanya tinggal menenun. Karena membuat motif saja sampai dua hari,” ia menjelaskan.

Amin mengungkapkan, ada dua alat tenun yang biasa digunakan, yaitu alat tenun tradisional gedogan dan alat tenun bukan mesin (ATBM).  “Biasanya laki-laki yang pakai ATBM,” katanya. Dengan ATBM, posisi penenun duduk lebih nyaman karena duduk di bangku saat menjalin helai demi helai benang tenun. Berbeda dengan gedogan, di mana penenun duduk di bawah dan seperti terkungkung dengan bilah kayu di belakang dan di depannya.

“Menenun bukan pekerjaan sehari (selesai),” ucap Dewi. Perlu proses panjang. Awalnya menyusun motif yang biasanya perlu waktu dua hari. Semakin sulit motif bisa dilihat dari jumlah bambu yang digunakan. Semakin banyak, berarti tingkat kesulitannya semakin tinggi.

Paling tidak satu helai kain berukuran 2 meter x 60 sentimeter ia rampungkan dalam dua minggu hingga satu bulan, tergantung tingkat kesulitan. “Karena tidak tahu berapa lama (pembuatannya) dan sulit itu maka ada motif subahnale,” kata Amin.

Subahnale berasal dari rangkaian kata “subhanallah”, yang artinya Maha Suci Allah. Salah satu corak lawas berupa susunan geometris segi enam, biasanya di dalamnya diberi corak bunga.

Biasanya dijadikan corak untuk kain tenun songket berbenang emas. Kain ini dikenakan saat mengikuti acara-acara khusus, termasuk saat menjadi pengantin.

Amin menyebut, corak tenun Sasak terus berkembang, baik yang menggunakan benang katun maupun yang bercampur benang emas alias songket. “Motif lama masih banyak, cuma dengan modifikasi,” ujarnya. Beberapa motif lama, seperti subahnale, ragi genap, lepang, dan keker (burung), masih bermunculan.

Selain itu, menurut Amin, kain tenun Sasak banyak memunculkan corak tanaman dan bunga. Ia pun menunjukkan corak itu pada selembar kain songket, jenis motif suluran, dan kembang. Namun, ia menyatakan, sekarang yang tengah digandrungi adalah motif rangrang atau berarti jarang-jarang. Motif ini dulu ditaruh di pinggir, sekarang dimodifikasi dengan ditempatkan di tengah. Corak geometris segitiga dan belah ketupat dengan banyak warna dalam satu kain.

Soal harga, memang kain tenun Sasak tergolong tinggi, apalagi bila dibuat dengan gedogan. “Harga tenunan gedogan dua kali lipat tenunan ATBM,” ucap Amin. Yang paling tinggi, tentunya yang menggunakan benang emas. Untuk selembar kain songket dengan benang emas dijual mulai Rp 3,5 juta. Bila lengkap dengan selendang, bahkan ada yang mencapai Rp 7,5 juta. Harga yang sepadan untuk kesulitan yang tinggi dan proses yang panjang. l

EMPAT PERANGKAT TENUN

Jajak, dua bilah kayu panjang sebagai kaki-kaki alat tenun.

Berire, kayu panjang pipih dengan ujung lancip pembentuk motif tenun. Ujungnya yang lancip akan memudahkan penenun memasukkan setiap helai benang. 

Batang jajak, penahan serta penyambung alat tenun, yang melekat dengan punggung penenun. 

Pengiring, alat penggulung benang bahan.

MOTIF DAN TRADISI

Masa Hindu, corak pada kain tenun Sasak banyak memunculkan pucung rebung yang berbentuk deretan segitiga. Motif ini melambangkan Dewi Sri. Selain itu, ada motif berupa hewan.

Masa Islam, motif lebih banyak memunculkan tanaman, seperti suluran, pepohonan, dan kembang-kembang. Motif hewan yang muncul di masa Hindu diganti dengan kaligrafi Arab di masa ini.

Jenis benang yang digunakan, selain benang katun, benang emas atau perak, yang sudah tentu harganya menjadi lebih tinggi.

Erat dengan tradisi. Seperti kebanyakan masyarakat Nusantara, kain Sasak pun identik dengan tradisi. Seperti untuk baru lahir dibuatkan kain tenun umbag yang bercorak garis-garis dengan rumbai yang ujungnya diikatkan kepeng berlubang. Benda tersebut menjadi lambang kasih sayang. Kain-kain tertentu juga digunakan pada upacara peraq api atau puput pusar, berkuris—mencukur rambut bayi, besunat (khitanan), dan sorong serah aji krama—penyerahan kain tenun dari keluarga mempelai pria kepada mempelai wanita.

R. Nariswari/Frann/Dok. TL/unsplash