kebersamaan 4 keluarga dalam 1 rumah Bolon menjadi simbol harmoni keluarga masyarakat Batak Toba.

Kebersamaan 4 keluarga bisa tinggal dalam satu rumah Bolon, rumah adat masyarakat Batak Toba. Satu rumah adat penuh simbol keselamatan ini bisa dihuni empat keluarga.

Kebersamaan 4 Keluarga

Dengan kapal feri dari Pelabuhan Ajibata, Prapat, mobil yang saya tumpangi terangkut hingga Pulau Samosir, Sumatera Utara. Dalam waktu sejam, saya tiba di Pelabuhan Tomok, Kabupaten Samosir, yang cukup ramai. Beberapa meter meninggalkan pelabuhan, seketika suasana terasa begitu lengang, apalagi di siang yang terik. Namun justru di tengah keheningan saya bisa lebih tenang mencermati satu demi satu rumah khas Batak Toba

Tak lama kemudian, pepohonan di sisi kiri terasa menyegarkan. Tebing dengan hamparan sawah di depannya membuat siang sedikit lebih adem. Akhirnya saya tiba di Desa Ambarita. Sebuah obyek wisata yang menyuguhkan sejarah dan tradisi daerah ini seperti mengundang saya untuk mampir. Tidak lain dari Hutaatau Kampung Siallagan, kompleks rumah adat Raja Siallagan, yang menarik perhatian saya.

Rumah adat yang disebut juga rumah bolon dari kayu itu berderet rapi dalam benteng batu. Setelah membayar tiket masuk, saya mulai menyimak penjelas sang pemandu, Guido Sitinjak. Berbentuk panggung, rumah ini memiliki atap pelana yang bubungannya melengkung. Ujung atap bagian belakang posisinya lebih tinggi dibanding dengan yang di depan. Hal itu sebagai simbol harapan agar anak meraih segala sesuatu yang lebih baik daripada orang tua. Konstruksi bangunannya tanpa paku, dengan atap dari serat nira.

kebersamaan 4 keluarga dalam satu rumah adat Bolon pada masyarakat Batak Toba memperlihatkan keselarasan dalam kehidupan mereka.
Rumah adat Bolon dalam tradisi dan budaya masyarakat Batak Toba. Foto: Dok. Shuuterstock

Seperti umumnya kampung suku Batak Toba pada masa lalu, satu rumah berdampingan dengan rumah lainnya di kompleks Raja Siallagan. Setiap rumah memiliki kolong yang dijadikan tempat menaruh ternak. Tinggi lantai tergantung pada jenis atau ukuran hewan yang dipelihara. Untuk memasuki rumah, tentunya dibuat sebuah tangga, yang selalu berjumlah ganjil. Pintu dibikin pendek, sehingga setiap orang yang masuk rumah harus menundukkan kepala. “Sekaligus sebagai simbol untuk menghormati dewa,” ujar Guido.

Uniknya, pintu masuk bagi perempuan tidak ada di depan, melainkan di samping. Namun bukan berarti perempuan diposisikan lebih rendah. Justru suku Batak Toba memiliki filosofi: lelaki harus menghargai ibu dan istrinya. Hal tersebut terlihat dari lambang yang dimunculkan sebagai dekorasi dalam rumah, yakni berupa empat payudara dan seekor cicak. Payudara tersebut bermakna kesuburan dan kekayaan serta menjadi simbol bahwa orang Batak Toba selalu berbakti kepada inang alias ibu. Sedangkan cicak menggambarkan betapa mudahnya orang Batak beradaptasi dan tinggal di berbagai daerah, meski akan kembali ke ibu dan kampung halamannya. Empat payudara juga berarti pria Batak harus menghargai ibu dan istrinya. Selain itu, empat payudara tersebut melambangkan adanya empat keluarga dalam satu rumah bolon.

Rumah bolon biasanya dihuni beberapa keluarga. Ada sebuah ruangan yang memang digunakan bersama-sama, tapi ada pula kamar yang hanya boleh ditempati pemimpin di rumah tersebut, seperti sudut kanan bagian belakang rumah. Di bagian belakang terdapat dapur dan setiap keluarga memiliki dapur sendiri. Sedangkan lumbung pagi atau sopo dibangun terpisah dari rumah.

Sang pemandu menegaskan, seperti yang terlihat pada kebanyakan rumah adat di sini, warna yang digunakan hanyalah merah, putih, dan hitam. Putih, menurut Guido, menjadi lambang dunia atas atau Yang Maha Kuasa. Ada juga yang menyebutnya sebagai simbol kesucian atau kejujuran. Merah menggambarkan dunia tengah atau kehidupan saat ini. Ada pula yang memaknainya sebagai simbol pengetahuan atau kecerdasan. Lantas, hitam menunjukkan dunia bawah atau fana, selain melambangkan kewibawaan atau kepemimpinan.

Zaman dulu, warna merah bahkan diambil dari darah. Dekorasi muncul di berbagai sisi, dari atap rumah hingga tangga, yang diberi nama tangga rege-rege. Semua ornamen menyimbolkan keselamatan bagi para penghuninya. “Rumah juga menunjukkan kemampuan pemiliknya,” kata Guido.

Keunikan kampung yang satu ini adalah kehadiran Hau Habonaran atau pohon kebenaran. Di bawah pohon yang rindang itu terdapat satu set meja-kursi terbuat dari batu. Inilah yang disebut batu persidangan, sebagai tempat pengadilan zaman dulu. Raja, dukun, dan tetua adat atau penasihat akan mengambil keputusan di meja tersebut untuk sebuah perkara.

Guido menjelaskan, kesalahan yang tidak bisa diampuni, seperti membunuh, memperkosa, menjadi mata-mata musuh, akan dijatuhi hukuman penggal. Eksekusi hukuman dilakukan tidak jauh dari batu persidangan. Pada masa itu, darah si terhukum diminum, demikian pula dengan jantung dan hatinya. Kedua organ tersebut dicincang dan diramu untuk menambah kekuatan raja dan dukun. Model persidangan dan hukuman macam ini terakhir dilakukan pada tahun 1816, setelah datang seorang misionaris, Nomensen. Kompleks rumah Batak Toba itu dilengkapi pula dengan pemakaman keluarga Raja Siallagan.

Saya lantas bergeser ke Simanindo, tepatnya menuju Museum Huta Bolon. Turis pun bisa memetik pelajaran sejarah dan tradisi suku Batak Toba di sini. Semula, sebelum disulap menjadi museum, tempat ini adalah rumah peninggalan Raja Sidauruk. Di dalamnya bisa ditemukan berbagai perlengkapan yang ada dalam sebuah rumah tradisional, termasuk peralatan memasak dan bertani. Di samping itu, dipajang beragam jenis ulos yang biasa digunakan dalam berbagai upacara. Di kompleks rumah adat yang terdapat di sebelah museum, berjejer lumbung padi yang menjadi tempat para penonton menyaksikan sederet tarian tradisional. Pentas tari itu digelar setiap hari pada pukul 11.00.

Bila ingin mengenal kehidupan yang lebih riil, Anda bisa mencermati beberapa rumah Batak Toba yang masih dihuni penduduk setempat. Kabupaten Samosir masih memiliki banyak rumah adat dalam kondisi terawat. Sepanjang jalan dari Tomok menuju Pangururan—ibu kota kabupaten—rumah adat berdiri tegak di antara rumah-rumah modern. Terkadang, terlihat perempuan menenun di depan rumah. Atau bila ingin melihat penenun tradisional lebih banyak lagi, Anda bisa mampir ke Desa Penampangan, Kecamatan Pangururan. Denyut keseharian para perempuan di kampung tradisional tersebut benar-benar menawan.

Rita N./Toni H./TL/shutterstock/agendaIndonesia

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi