Situs Trowulan merupakan jejak Kerajaan Majapahit dari abad 14

Situs Trowulan dikenal sebagai pertanda dan peninggalan dari kejayaan Kerajaan Majapahit. Kerajaan terbesar dari masa lalu, yang membuat jejak wilayah Nusantara hampir seperti Indonesia saat ini.

Situs Trowulan

Situs ini merupakan kawasan kepurbakalaan dari sejarah Indonesia periode klasik. Lokasinya  berada di Kecamatan Trowulan, Kabupten Mojokerto, Jawa Timur. Jika diperluas dari peninggalan-peninggalan yang ada, sebagian lagi lokasinya masuk Kabupaten Jombang di provinsi yang sama.

Berbagai temuan yang ditemukan di kawasan sini menunjukkan ciri-ciri pemukiman atau peradaban yang cukup maju. Sesungguhnya kaitan situs ini dengan Kerajaan Majapahit masih dugaan berdasarkan prasasti, simbol, dan catatan yang ditemukan di sekitar wilayah tersebut.

Luas situs perkotaan masa klasik Indonesia itu sebesar 11 x 9 kilometer itu sebagian terdapatdi Kecamatan Trowulan dan Sooko, sebagian juga ada di Kecamatan Mojoagung dan Mojowarna, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ada ratusan ribu peninggalan Majapahit terserak di kaki jajaran tiga gunung, yakni Gunung Penanggungan, Gunung Anjasmara, dan Gunung Welirang.

Situs Trowulan bisa membawa kita merasakan keberadaan Kerajaan Majapahit dari abad 14.
Salah satu relief dan patung peninggalan Majapahit di Museum Trowulan. Foto: ist. TL.

Jika mengunjungi Situs Trowulan, kita bisa mencoba merasakan keberadaan Majapahit melalui bangunan batu bata yang terserak, yang terkadang tak utuh. Berdasarkan cerita Empu Prapanca dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Di dekatnya terdapat pos tempat para punggawa berjaga. Gerbang utama menuju keraton atau kompleks istana terletak di sisi utara tembok. 

Dari segi usia peninggalan bisa dilihat dari candi-candi di wilayah itu, Candi Brahu, misalnya. Dari hasil analisis jejak karbon yang dilakukan badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), candi ini berasal dari masa 1410-1646.

Selain itu, dilihat dari gaya bangunan dan profil hiasan pada atap yang diduga berbentuk stupa, candi ini terlihat seperti candi umat Buddha, berbeda dengan candi lain di sekitarnya. Candi tersebut juga berumur lebih tua.

Berdasarkan Prasasti Alsantan yang ditemukan tak jauh dari situsnya, Candi Brahu ini berasal dari kata “waharu
atau warahu” yang difungsikan untuk menyimpan abu jenazah. Candi dengan tinggi 25,7 meter dan lebar 20,7 meter ini terdiri atas kaki, tubuh, dan atap.

Bagian tubuh Candi Brahu sebagian merupakan susunan batu bata baru yang dipasang pada masa pemerintahan Belanda. Bajang Ratu merupakan sebutan bagi candi yang diduga berasal dari abad ke-13 hingga ke-14 itu.

Candi Bajang Ratu memiliki pintu gerbang tipe paduraksa, yaitu gapura beratap. Berbeda dengan candi-candi lain di kawasan Mojokerto yang mempunyai banyak detail. Relief yang dipahat di bagian mahkota candi membuat bangunan terlihat ramping dan feminin.

Relief tersebut bercerita tentang Sri Tanjung dan Sayap Garuda yang mempunyai arti lambang pelepasan Jayanegara kembali ke dunia Wisnu. Candi ini berdiri di atas tanah setinggi 16,5 meter di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.

Pada atap candi ini terdapat hiasan berupa kepala Kala yang diapit singa, relief matahari, naga berkaki, kepala garuda, dan relief bermata satu. Relief tersebut berfungsi sebagai pelindung atau penolak mara bahaya.

Candi lain yang bisa dilihat di situs Trowulan ini adalah Candi Tikus. Ini bukan sekadar candi yang berdiri di atas tanah. Kompleks bangunan ini justru berupa cekungan di bawah tanah di Desa Temon, Kecamatan Trowulan.

Bentuk kompleks candi yang demikian karena dulunya memang berupa tempat pemandian. Menikmati pemandangan di permukaan air yang memantulkan refleksi bangunan setinggi 5,2 meter berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 22,5 x 22 meter itu pasti menyenangkan.

Keberadaan air tersebut masih bisa
 kita saksikan hingga sekarang. Membayangkan pada masa itu, tentu airnya tidak berwarna hijau. Pada dinding bagian bawah serta batur candi terdapat jaladwara (pancuran) yang menurut catatan sejarah berjumlah 49 buah. Saat ini tinggal 19 buah. Sisanya tersimpan di Museum Trowulan.

Bentuk pancuran ada dua macam, yaitu bunga lotus dan makara. Semua pancuran ini dulu mendapatkan pasokan air dari saluran yang ada di bagian selatan candi, tepatnya di belakang candi induk. Sedangkan saluran pembuangan terletak di lantai dasar.

Di atas tubuh candi terdapat menara semu, masing-masing berjumlah 5 buah. Di atas tubuh candi terdapat4 buah menara di setiap sudutnya. Puncak menara ini sudah hilang, sehingga tidak diketahui jelas bentuk aslinya. Namun, menara-menara ini melambangkan Gunung Mahameru sebagai pusat makrokosmos.

Situs Trowulan dinamakan demikian karena berada di Kecamatan Trowulan, Jawa Timur.
Kawasan Kabupaten Mojokerto di Jawa Timur sebagai tempat situs Trowulan. Foto: Dok. unsplash

Menapak sisa-sisa Majapahit di situs Trowulan tak lengkap bila tidak mengunjungi Gapura Wringin Lawang di Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan. Kata Jatipasar digunakan oleh Gubernur jendral Inggris Raffles untuk menamai gapura ini. Ini tercantum dalam buku karyanya, History of Java (1815).

Adapun nama Gapura Wringin Lawang diambil dari catatan Knebel pada 1907. Gapura setinggi 15,5 meter dengan panjang 13 meter dan lebar 11,5 meter ini diyakini merupakan pintu masuk Kerajaan Majapahit. Sisa kerajaannya sendiri belum ditemukan karena diduga terbuat dari bahan yang mudah terbakar sehingga tak bersisa. Wringin Lawang merupakan gapura yang tersusun dari batu bata, kecuali anak tangganya yang terbuat dari batu.

Jika punya waktu, kunjungi situs Trowulan untuk mengenal kebesaran Majapahit pada masa lampau.

agendaIndonesia/TL

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi