Menikmati Pangandaran Dalam 1 hari

Pantai Timur Pangandaran juga berada di lintasan jalur mudik selatan

Menikmati Pangandaran dalam 1 hari rasanya memang sulit saat ini, sebab jaraknya yang lumayan jauh dari Jakarta. Namun, ketika infrastruktur jalan tol lintas selatan sudah selesai, mungkin kesulitan itu memudar. Larut dalam legenda gua, kuliner laut, serta keindahan pantai, plus mentari terbenam.

Menikmati Pangandaran Dalam 1 Hari

Menempuh perjalanan sekitar 400 kilometer dari Jakarta ke Pangandaran, Jawa Barat, sangat melelahkan. Namun rasa lelah langsung sirna setibanya di Pantai Pangandaran. Betapa tidak, obyek wisata alam andalan di kabupaten itu beragam dan lokasinya berdekatan. Pilihannya pun tak melulu pantai. Ada cagar alam, gua, dan tentu sajian kuliner khas pesisir. Bahkan pelancong dapat menikmati keindahan mentari terbit dan tenggelam di tempat yang sama. Tinggal mencari posisi yang paling tepat untuk menjemput dan mengantar sang surya kembali ke peraduan.

Menjemput Mentari

Pantai Timur Pangandaran menjadi tujuan pertama yang harus saya kunjungi pagi ini untuk menyaksikan terbitnya sang mentari. Sempat terpikir untuk naik sepeda atau sepeda listrik yang banyak disewakan. Berhubung jaraknya relatif tidak terlalu jauh, saya pun memutuskan berjalan kaki saja. Hitung-hitung berolahraga.

Benar saja tebakan saya. Sekitar 10 menit, saya sudah tiba di pinggir pantai. Sang surya sudah mulai bersinar menampakkan keperkasaannya. Kemilau jingganya mulai menyapu laut dan perahu-perahu yang bersandar. Pantai Timur memang sudah dari dulu menjadi tempat bersandarnya perahu-perahu nelayan Pangandaran. Yang menarik perhatian saya, ketika melihat para nelayan saling bekerja sama menarik jala dari laut ke daratan. Ikan laut beraneka jenis terjerat di jala-jala itu. Lumayan hasil jeratannya.

Di Pantai Timur ini tersedia pula sarana rekreasi air yang bisa memuaskan adrenalin para wisatawan, seperti banana boat, aqua glade flyfish, tornado, dansederet nama lain yang menggoda. Tapi saya kurang begitu tertarik. Saya lebih terpikat dengan cagar alam yang menyimpan banyak kisah.

Menyusuri Cagar Alam

Hanya berjalan beberapa ratus meter dari pusat rekreasi air dan melewati kios-kios suvenir khas pantai yang masih tutup, tiba-lah saya di gerbang Cagar Alam Pangandaran. Petualangan dimulai setelah membayar tiket masuk. Jalan setapak yang saya lalui terlihat rapi. Jauh berbeda dibandingkan pada 1990-an saat saya pertama kali menjejakkan kaki di cagar alam ini. Sejak resmi dimekarkan pada 25 Oktober 2012, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, tampaknya terus berbenah.

Belum jauh kaki melangkah, Gua Panggung di sebelah kiri jalan seakan sudah menyambut. Berdasarkan keterangan di bagian depan, disebut Gua Panggung karena kondisinya menyerupai panggung. Di dalamnya terdapat sebuah makam bernama Embah Jaga Lautan. Konon beliau bertugas menjaga lautan di daerah Jawa Barat.

Sekitar 100 meter dari gua tersebut, ada Gua Parat. Dalam bahasa Sunda, ‘parat’ berarti tembus. Gua ini memang bisa dilewati hingga mulut gua yang menghadap Laut Selatan. Sama halnya dengan Gua Panggung, Gua Parat juga memiliki petilasan yang menyimpan kisah tersendiri. Tak ada kesan mistis yang membuat takut. Yang ada justru kekaguman pada relief dinding gua yang indah.

Selain dua gua tersebut, Cagar Alam Pangandaran memiliki gua lain, seperti Gua Sumur Mudal, Gua Lanang, Gua Cirengganis, dan Gua Jepang. Masing-masing memiliki keunikan tersendiri, serta ada informasi yang dipasang di depan tiap pintu masuknya. Sehingga pengunjung mendapat detail tentang gua tersebut. Sungguh mengasyikkan bisa larut dalam legenda gua-gua tersebut. Apalagi selama perjalanan banyak ditemui kera dengan tingkah pola yang menggemaskan. Terkadang mengkhawatirkan jika kera-kera itu akan menyerang. Beruntung, tak ada satu pun kera yang “nakal”.

Mengantar Surya

Lewat tengah hari, rasa lapar mulai mendera. Mengelilingi Cagar Alam Pangandaran memang lumayan menguras energi. Ke luar dari kawasan tersebut, saya menemukan kuliner khas pesisir di tempat ini dengan mudah. Maklum saja, banyak berdiri rumah makan yang menawarkan aneka makanan laut. Saya mampir di salah satu rumah makan dan memesan cumi asam-manis. Ehmm, nikmatnya.

Setelah perut terisi dan cukup beristirahat, saya melanjutkan perjalanan ke Pantai Barat. Pantai yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Pantai Timur. Berada di semenanjung, posisi Pangandaran memang strategis. Diapit oleh dua pantai; Pantai Timur dan Barat.

Berbeda dengan Pantai Timur, suasana wisata pantai lebih terasa di Pantai Barat ini. Wisatawan dapat berenang, bermain pasir, dan bermain sepak bola atau voli. Bahkan ada yang berkuda di sepanjang pantai, serta ada pula yang mencoba bermain ombak dengan papan selancar mini. Tak hanya itu, turis juga dapat menyewa perahu untuk mengelilingi taman laut.

Waktu tak terasa cepat berlalu. Senja mulai menjelang. Bersandar di kursi kayu dengan ditemani kelapa muda dan semilir angin pantai, saya mengantar sang surya masuk ke peraduannya kembali. l

Andry T./P. Mulia/Dok. TL

3 Keindahan Pangandaran Yang Tersembunyi

3 keindahan pangandaran yang tersembunyi, salah satunya ombak untuk surfing

3 keindahan tersembungi di Pangandaran, Jawa Barat. Pasir Putih, Batu Karas, dan Madasari, tiga pilihan pantai bak surga dunia. Perlu diagendakan bagi yang menyenangi wisata bahari.

3 Keindahan Pangandaran

Setelah menapaki puluhan anak tangga, akhirnya saya tiba di puncak tanjung. Warga setempat menyebut daratan yang menjorok ke laut ini sebagai jojontor. Dari atas ketinggian ini saya menyaksikan hamparan Pantai Pasir Putih, Pangandaran, Jawa Barat, nan menawan. Tak salah jika AsiaRooms, perusahaan penyedia layanan reservasi hotel yang bermarkas di Singapura dan Thailand, menobatkannya sebagai pantai terbaik di Pulau Jawa.

Sesuai dengan namanya, pasir pantai ini putih bak pualam. Birunya Samudra Hindia yang membentang luas dengan gradasi hijau muda sebelum menyentuh bibir pantai yang berpasir putih bagaikan lukisan mahakarya Sang Pencipta. Langit biru dengan beberapa gumpalan mega semakin melengkapi pantai tersembunyi ini.

Decak kagum tak hanya meluncur dari mulut saya. Sepasang suami-istri, yang rupanya sedari tadi mengikuti jejak saya, juga tak kalah seru. “Wah, apike,” kata si istri dalam bahasa Jawa yang berarti bagus. Ia lantas meminta sang suami memotret dirinya dengan latar belakang keindahan alam itu.

Bahkan ia langsung menyambut tawaran saya untuk membantu memotret mereka berdua. “Kayak prewedding yo,” ujarnya lagi tak bisa menyembunyikan kebahagiaan setelah melihat hasil jepretan ponsel pintar miliknya. Senangnya bisa ikut membahagiakan pasangan asal Cilacap itu. Ternyata bahagia itu sederhana.

Enggan rasanya meninggalkan keindahan alam ini sesegera mungkin. Selain berselonjor dan menikmati keindahan dari bibir pantai, pengunjung biasanya snorkeling untuk melihat cantiknya terumbu karang di bawah laut. Anak-anak kecil terlihat asyik bermain pasir membentuk bangunan dan menggali lubang. Sedangkan bagi yang berpasangan, berjalan berdua menyusuri pantai sembari bergandengan tangan serasa dunia milik berdua. Betapa indah dan damainya surga dunia ini.

Untuk dapat mencapai pantai ini, pengunjung bisa menyewa perahu atau melewati Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Saya memutuskan pilihan terakhir untuk sekadar membuka kenangan lama. Tak ada yang berubah setelah sekian tahun berlalu. Wisma tempat saya menginap pun masih ada, tapi sudah sedikit berbeda bentuk. Tampaknya sudah direnovasi. Masih segar dalam ingatan saat saya remaja bermain bola di bibir pantai kala pagi menjemput. Monyet-monyet hanya bisa menyaksikan keceriaan kami dari balik pepohonan. Kaki saya terus melangkah meninggalkan kenangan lama dan membuka kenangan baru di Pantai Pasir Putih.

3 keindahan Pangandaran yang tersembunyi

Soal keindahan dan kedamaian, Pantai Batu Karas tak kalah dengan Pantai Pasir Putih. Letaknya sekitar 45 menit waktu tempuh dari pintu gerbang Pangandaran. Sepanjang Jalan Raya Cijulang, mata saya disuguhi pemandangan yang meneduhkan berupa aliran air berwarna hijau toska dari aliran Sungai Cijulang di kiri jalan.

Setelah melewati jembatan dan tiba di pertigaan, kendaraan yang saya tumpangi berbelok ke kiri untuk memasuki kawasan pantai ini. Jalanannya mirip jalan perdesaan. Di sisi kiri-kanan, berderet rumah warga. Sepintas tak terlihat seperti memasuki kawasan pantai. Terasa lebih hening. Namun siapa sangka, setibanya di ujung jalan, terbentang pantai yang luas. Saya seakan menemukan pantai tersembunyi. Sebuah pantai yang relatif lebih sunyi ketimbang Pantai Pasir Putih yang saya lihat sebelumnya.

Beberapa kali terlihat turis pria asing bertelanjang dada bermotor sembari membawa papan selancar. Sedangkan di tengah laut, ada sekitar 10 peselancar asing dan lokal yang sedang menanti datangnya ombak besar. Ketika ombak datang, mereka berusaha mengejarnya lalu berdiri di atas papan selancar, berupaya menaklukkan gulungannya. Begitu asyik.

Pantai Batu Karas memang dikenal sebagai incaran turis asing peselancar. Hal itu diakui Hanna, turis asal Australia. Mahasiswa University of Western Australia yang saya temui di pinggir pantai itu bahkan mengatakan Batu Karas lebih indah daripada Bali. “Ombaknya sangat cocok untuk peselancar pemula seperti saya,” ucap Hanna yang berencana menghabiskan 10 hari di Batu Karas sebelum kembali ke negaranya.

Hanna setali tiga uang dengan Joao Piedro. Turis asal Portugal yang sudah sepekan tinggal di Batu Karas ini pun mengakui keindahan Batu Karas. “It’s great,” katanya. Meski berasal dari negara berbeda, keduanya seakan sepakat jika Batu Karas merupakan pantai tersembunyi dengan versi surga dunia mereka masing-masing sebagai peselancar.

Tak jauh dari Batu Karas, masih ada satu pantai tersembunyi lagi. Pantai Madasari, namanya. Pantai yang tepatnya berada di Desa Masawah, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran, ini memang belum diketahui banyak wisatawan. Dari Batu Karas sebenarnya pengunjung bisa langsung menuju Madasari jika jembatan yang sedang dibangun sudah terhubung.

Terpaksa, saya pun harus kembali ke luar ke Jalan Raya Cijulang lebih dulu dan mencapai Jalan Raya Cimerak. Dari jalan raya ini, kendaraan yang saya tumpangi kembali berbelok ke kiri, melewati persawahan dan perbukitan. Setelah melewati jalan desa sepanjang 8 kilometer, akhirnya saya memasuki kawasan pantai. Di sepanjang jalan berjejer pohon pandan liar dan pohon ketapang.

Mata saya tertumbuk pada deretan batu karang berukuran besar di pantai dan laut. Namanya pun unik. Ada Gedogan, Sebrotan, Leuit, Legok Gandu, Cariuk, Bale Kambang, Bancen, dan Pandan Nyampai. Saya melakukan trekking menyusuri Pandan Nyampai. Saya melewati jalan menanjak dengan anak tangga alami yang hanya dipagari bambu sederhana sebagai pengaman itu. Setibanya di puncak Pandan Nyampai, gambaran tentang batu karang yang tandus sirna. Saya menemukan banyak pepohonan di tempat ini. Di atas ketinggian ini pula, saya menyaksikan lekukan Pantai Madasari. Pantai perawan yang tersembunyi. l

Dari Bandara Halim Perdanakusuma

Jika memilih lewat udara, Anda harus berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma. Penerbangan hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 1 jam dengan menggunakan pesawat Susi Air sebelum tiba di Bandara Nusawiru, Pangandaran. Dalam satu hari, rute Jakarta-Pangandaran dilayani satu kali penerbangan. Untuk transportasi lokal menuju obyek wisata, bisa melalui darat dengan menyewa kendaraan. Pilihan lain dapat menggunakan kendaraan pribadi sekitar 8 jam perjalanan dengan jarak lebih-kurang 358 kilometer melalui rute Bandung-Tasikmalaya-Banjar-Pangandaran.

Andry T/Prima M/Dok.TL