Sentra gudeg Wijilan, Yogyakarta, ternyata bukan sekadar kawasan dengan deretan penjual masakan khas Yogyakarta dari bahan nagka muda itu. Kawasan ini menyimpan sejarah panjang kuliner yang ikut menyokong perekonomian masyarakat, bahkan tradisi dan kebudayaan.
Sentra Gudeg Wijilan
Wijilan satu kawasan yang terkenal sekaligus bersejarah yang berhubungan dengan masakan gudeg. Kampung Wijilan terletak di sebelah Selatan Plengkung Tarunasura atau yang lebih dikenal dengan sebutan Plengkung Wijilan. Kampunya ada di sebelah Timur Alun Alun Utara. Begitu melewati plengkung, di jalan ini berjejer tempat makan yang menjajakan gudeg.

Plengkung itu sendiri menandai bahwa Kampung Wijilan ini menjadi bagian apa yang disebut sebagai jeron beteng, di dalam benteng (kraton). Ini artinya Wijilan masuk dalam kompleks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang ditinggali oleh para keluarga abdi dalem. Nama-nama jalan di kawasan ini memperlihatkan posisi para abdi dalam.
Menurut cerita sejumlah pedagang gudeg di kawasan itu, gudeg adalah salah satu makanan khas keluarga kraton. Ini membuat para istri abdi dalem memiliki kemampuan membuat gudeg.
Namun, kisah terbentuknya kampung Wijilan menjadi sentra kuliner gudeg dimulai ketika seorang penjual bernama ibu Slamet merintis usaha warung gudeg pada 1942. Pada saat itu, meski di tempat lain ada penjual atau pembuat gudeg, namun di wilayah itu dialah yang merintis menjadi pedagang pertamanya.
Beberapa tahun kemudian warung gudeg di daerah itu bertambah dua, yakni Warung gudeg Campur Sari dan Warung Gudeg Djuwariah. Yang terakhir ini belakangan kemudian dikenal dengan sebutan gudeg Yu Djum. Ia menjadi salah satu ikon kuliner yang terkenal saat ini.
Pada 1980, warung gudeg Campur Sari tutup tetapi tempat makan lain seperti warung gudeg Bu Lies dan lain-lain buka di sana. Hingga saat ini, toko gudeg milik Yu Djum, Bu Slamet, dan Bu Lies masih ditemui di Sentra Gudeg Wijilan. Meskipun beberapa memindahkan dapur utamanya.
Pasang surut usaha gudeg memang sempat dialami oleh warung gudeg yang ada di kampung Wijilan. Termasuk tutupnya warung gudeg Campur Sari tadi. Butuh waktu sekitar 13 tahun baru warung gudeg di kampung tersebut menjadi ramai seperti saat ini tepatnya pada 1993. Makanan dengan citarasa manis dan gurih ini kini menjadi incaran para pengunjung yang sedang berwisata di Jogja.
Gudeg yang dibuat oleh toko di Sentra Gudeg Wijilan umumnya memiliki rasa hampir mirip, yakni manis dan cenderung jenis gudeg kering. Karena itu, gudeg di sentra ini juga cocok menjadi buah tangan karena tidak mudah basi dan bahkan mampu tahan selama tiga hari.
Gudegnya adalah jenis gudeg kering dengan rasa manis. Sebagai lauk pelengkap, daging ayam kampung dan telur bebek yang dipindang kemudian direbus. Sedangkan rasa pedas datang dari paduan sayur tempe dan sambal krecek.
Gudeg Yogya umumnya memang berbeda dengan gudeg Solo yang basah. Di kota pelajar ini gudeg justru kering karena tidak menggunakan areh yang diencerkan. Areh merupakan kuah santan kental yang biasanya disajikan dengan cara disiram di atas nasi atau lauk. Di daerah lain seperti Solo, areh yang dipakai berbentuk lebih encer dan terkesan menjadi seperti kuah.
Dan seperti disebut di depan, bagi masyarakat Yogyakarta selain menjadi santapan dan oleh-oleh, gudeg Kampung Wijilan dulu juga dipakai sebagaiĀ ubo rampeĀ keperluan keluarga Sultan saat melakukanĀ kembul bujono.

Kembul bujono merupakan istilah untuk menamai kegiatan makan bersama-sama dengan menggunakan daun pisang sebagai alasnya. Tak hanya mengisi perut, aktivitas ini juga melambangkan kekompakan dan kerukunan.
Yang juga unik dari gudeg-gudeg di Sentra Gudeg Wijilan adalah beberapa penjual tidak keberatan menunjukkan cara memasak gudeg kepada para pengunjung. Bahkan di warung gudeg Yu Djum menawarkan paket wisata memasak gudeg kering bagi anda yang ingin memasak sendiri dengan pengarahan langsung dari Yu Djum. Saat ini dilanjutkan anak keturunannya.
Dengan berwisata gudeg, pengunjung tidak hanya akan mencicipi gudeg, namun seharian penuh mereka akan belajar meracik bumbu dan mamasak gudeg. Prosesnya di mulai dari mulai merajang gori (nangka muda), meracik bumbu, membuat telur pindang, sampai mengeringkan kuah gudeg di atas api.

Rata-rata warung gudeg di Wijilan buka dari pukul 5.30 pagi hingga pukul 8 malam. Gudeg yang disajikan pun berbeda-beda, tergantung selera.
Sentra Gudeg Wijilan pada akhirnya tak hanya sekadar spot wisata, namun juga pusat konservasi kulineri Yogyakarta. Tertarik? Ayo agendakan kunjunganmu ke sini.
agendaIndonesia
****