Jajanan Khas Semarang, 5 yang Bikin Kangen

Makanan Khas Semarang ada banyak macamnya, salah satunya tahu gimbal atau kadang juga dijual dengan tahu pong

Jajanan khas Semarang ada berbagai macam, namun lima yang ditulis berikut ini layak untuk dilirik. Nama jajanannya menarik dan harganya cukup ramah dompet. Kelimanya perlu dicicipi jika punya kesempatan main ke ibukota Jawa Tengah ini.

Jajanan Khas Semarang

Kaya wisata kuliner. Begitulah kesimpulan yang bisa saya ambil setelah beberapa hari menjajal sejumlah sajian Kota Semarang, Jawa Tengah. Tidak hanya di rumah makan, di warung kaki lima juga ditawarkan menu yang tak kalah menggoda selera. Dan satu yang pasti, harganya relatif nyaman di saku celana. Namanya pun unik, seperti koyor, gimbal, kopyok, dan kropok. Hanya lunpia atau lumpia yang akrab di telinga saya. Ternyata sajian kuliner khas Semarang tersebut sudah ada sejak puluhan tahun silam.

Mi Kopyok

Yang pertama saya jajal adalah mi kopyok. Nama “mi kopyok” ternyata diambil dari cara memasaknya. Mi mentah dimasukkan ke air mendidih dan “dikopyok-kopyok”. Begitu pula taugenya. Dalam satu mangkuknya berisikan mi, lontong, tahu pong, dan tauge. Dalam sajian seharga Rp 10 ribu ini disertakan pula kerupuk gendar.

Jika dirasa masih kurang gurih, penikmat mi kopyok bisa menambahkan kaldu bawang putih yang disediakan di setiap meja. Namun, sebelumnya, pastikan mengocoknya lebih dulu agar kaldu tercampur rata, barulah tuangkan ke sajian. Menu khas Semarang ini dulu dijual dengan cara berkeliling. Kini kebanyakan pedagangnya berjualan dengan menetap di satu lokasi. Salah satunya warung yang saya kunjungi di Jalan Tanjung ini.

Mie Kopyok Pak Dhuwur; Jalan Tanjung No. 18; Semarang

Jajanan khas Semarang ada berbagai macam dan semuanya membuat kangen, salah satunya adalah bandeng Kropok.
Jajanan khas Semarang ada Bandeng Kropok . Foto: Travelounge /N. Dian

Bandeng Kropok

Bandeng duri lunak atau bandeng presto sudah biasa saya dengar. Namun ikan bandeng bakar kropok? Inilah yang membuat saya penasaran dan ingin mencicipinya, meski harus sedikit rela menuju daerah Kota Semarang Utara. Ehm, rasanya benar-benar khas dan menggugah selera. Saus yang memadukan rasa asam, manis, dan asam menjalin harmonisasi di lidah. Dan  saya tidak menemukan duri halus pada dagingnya.

Menurut seorang pelayan, bandeng segar disayat tipis-tipis kemudian digoreng setengah matang. Setelah itu, bandeng dibakar sembari diberi kecap manis dan sambal. Hasilnya, duri halus bandeng menjadi renyah dan tergilas halus dalam kunyahan. Rupanya teknik pengolahan itu menjadi kunci rahasianya. Saya tidak menemukan duri halus bandeng secuil pun hingga kunyahan terakhir. Harga per onsnya dipatok Rp 5.500.

Rumah Makan Lesehan Tanjung Laut; Jalan Puri Eksekutif I;Semarang

Tahu Gimbal

Gimbal? Saya, yang pertama kali mengunjungi Kota Semarang, jelas penasaran akan hidangan kuliner yang satu ini. Semula, saya kira gimbal itu adalah rambut panjang tanpa perawatan, seperti milik penyanyi reggae Bob Marley atau rambut khas milik masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Ternyata, gimbal itu adalah bakwan goreng yang berisi udang dan menjadi makanan khas Semarang.

Tahu gimbal sendiri berbahan utama lontong, rajangan kol mentah, tauge, telur dadar, tahu goreng, dan gimbal, tentunya. Sajiannya menjadi lengkap dengan siraman bumbu kacang. Kalau di Jakarta, mungkin, mirip dengan ketoprak. Harga per porsinya hanya Rp 12 ribu. Untuk mendapatkan seporsi tahu gimbal, Anda tinggal menuju  Taman Keluarga Berencana yang berada di Jalan Menteri Supeno. Banyak pedagang lesehan yang menjual menu di sekitar taman tersebut.

Tahu Gimbal Pak Edi; Jalan Menteri Supeno;Sekitar Taman Keluarga Berencana;Semarang

Nasi Koyor

Menu lain yang namanya terdengar aneh adalah nasi koyor. Koyor rupanya otot sapi yang dimasak dengan kuah gurih santan dan agak pedas. Sesuai dengan namanya, koyor disajikan begitu saja dengan nasi, plus sambal. Atau bisa juga dikombinasikan dengan menu gudeg. Pilihan yang terakhir ini lebih menarik. Sebab, dalam satu porsi, nasi koyor plus gudeg akan semakin menambah cita rasa.

Saya coba mencicipi nasi koyor di salah satu daerah di Pudak Payung, Semarang, yang mungkin belum terkenal seperti nasi koyor Bu Tum. Di tempat ini, koyor tidak menggunakan otot sapi, melainkan daging sapi. Daging sapi begitu empuk dan bumbunya juga meresap hingga ke bagian dalam. Harganya Rp 22 ribu  per porsi. Tambahan pecel atau sayur rebung sepertinya patut pula dipertimbangkan.

Warung Koyor Bu Kito; Jalan Perintis Kemerdekaan Km 17;Pudak Payung, Banyumanik;Semarang

Jajanan khas Semarang memiliki ragam yang beraneka, salah satunya berbahan rebung atau bambu muda dan disebut dengan nama lunpia.
Jajanan khas Semarang di antaranya ada loenpia atau lunpia, atau kadang disebut juga dengan lumpia. Salah satunya Lunpia Mataram. Foto: Travelounge/N. Dian

Rebung Muda

Mengunjungi Semarang tanpa mencicipi lumpia rasanya kurang lengkap. Makanan berbahan dasar tumisan rebung—tunas bambu muda—yang dibungkus dengan kulit tepung beras ini memang dikenal sebagai penganan khas Semarang. Tak mengherankan jika sangat mudah menemukan lumpia di kota ini. Di sepanjang Jalan M.T. Haryono, Semarang, misalnya, terdapat puluhan penjual lumpia dengan nama dagang yang sama, yakni Lunpia Mataram.

Saya coba mendatangi salah satu warung yang konon telah berdagang di wilayah tersebut sebelum pecah peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI). Aroma rebung muda begitu menyeruak. Harga per potongnya Rp 11 ribu. Ukurannya benar-benar mantap. Hanya, makanan yang katanya cocok sebagai oleh-oleh ini rupanya cuma bertahan selama 20 jam. Jadi, paling aman dibeli sebelum menuju bandara.

Lunpia Mataram; Jalan M.T. Haryono 481;Semarang

agendaIndonesia/Andry T./N. Dian/TL

Loenpia Semarang, Jejak Kuliner Sejak Abad 19

Loenpia Semarang

Loenpia Semarang menjadi salah satu pilihan buah tangan jika wisatawan berkunjung ke ibukota Jawa Tengah. Loenpia atau sering juga disebut lumpia adalah satu lagi contoh makanan hasil akulturasi dua kebudayaan yang kemudian menjadi ikon tersendiri.

Loenpia Semarang

Perjalanan loenpia telah melampui lebih dari 1 abad dengan pelbagai perkembangannya. Dari berbagai sumber, konon lahirnya loenpia bermula saat seorang pria warga Fujian, atau Provinsi Fu Kien, Tiongkok, bernama Tjoa Thay Joe memutuskan pindah dan tinggal di Semarang. Ia mencoba peruntungan dengan berjualan makanan asal negerinya di kota itu.

Tjoa awalnya membuka bisnis makanan khas negerinya berupa makanan pelengkap berisi daging babi dan rebung. Belakangan ia kemudian bertemu Wasih, orang Jawa yang juga berjualan makanan yang hampir sama, hanya saja rasanya lebih manis dan berisi kentang juga udang. Ke duanya berjualan di tempat yang berdekatan.

Seiring waktu, mereka ternyata saling jatuh cinta dan kemudian menikah. Bisnis makanan yang mereka jalankan pun dilebur dengan beberapa perubahan yang saling melengkapi. Isi lumpia diubah menjadi ayam atau udang yang dicampur dengan rebung, serta dibungkus dengan kulit lumpia khas Tionghoa. Jadilah loenpia seperti yang dikenal saat ini.

Soal penamaan makanannya sendiri, ada dua pendapat. Pertama, nama lunpia berasal dari dialek Hokkian, “lun” atau “lum” berarti lunak dan “pia” artinya kue. Pada awalnya loenpia Semarang tidak digoreng, sehingga sesuai makna lumpia, kue yang lunak.

Pendapat lain menyebutkan, nama makanan itu muncul karena Tjoa dan Wasi menjual jajanan mereka itu di pasar malam Belanda bernama Olympia Park. Masyarakat lalu mengenal panganan hasil akulturasi tersebut dengan nama lumpia karena kesulitan menyebut Olympia. Mana yang benar, walahualam. Yang jelas loenpia atau lumpia kemudian berkembang menjadi salah satu kekhasan Semarang. Termasuk ketika keduanya kemudian membuka usaha secara menetap di Gang Lombok Nomor 11, Semarang.

Dari pasangan ini, loenpia kemudian menyebar. Awalnya pusaka kuliner Tjoa Thay Yoe–Wasih ini diteruskan oleh keluarga Siem Gwan Sing- Tjoa Po Nio yang merupakan menantu dan putri tunggal Tjoa-Wasih. Dari pasangan generasi ke dua tersebut, loenpia makin melebar ketika ketiga anak Siem Gwan-Tjoa Po, yakni Siem Swie Hie, Siem Hwa Nio, dan Siem Swie Kiem, masing-masing membuka usaha loenpia.

Ketiganya mengembangkan loenpia dengan gaya dan resep masing-masing. Semacam diferensiai produk. Loenpia dari trah Tjoa-Wasih kini praktis sudah berada di tangan generasi ke empat dan ke lima.

Warung tertua saat ini, peninggalan Tjoa dan Wasih, masih buka di Gang Lombok Nomor 11, bersebelahan dengan Klenteng Tay Kak Sie. Loenpia Gang Lombok ini kini dikelola oleh generasi ke empat, yakni Purnomo Usodo yang akrab disapa Pak Untung. Ia adalah anak dari Siem Swie Kiem, anak ke tiga  Tjoa-Wasih.

Untung tetap setia melayani konsumennya di kios warisan ayah dan kakeknya di Gang Lombok 11. Keistimewaan lumpia Gang Lombok ini menurut sejumlah penggemarnya adalah racikan rebungnya tidak berbau “pesing”, juga campuran telur dan udangnya tidak amis.

Loenpia Semarang Kedai Mbak Lien di Gg. Grejen

Lumpia buatan generasi keempat lainnya dapat kita peroleh di kios lumpia Mbak Lien alias Siem Siok Lien (43) di Jalan Pemuda dan Jalan Pandanaran. Mbak Lien meneruskan kios almarhum Siem Swie Hie, yang merupakan abang dari Siem Swie Kiem, di Jalan Pemuda (mulut Gang Grajen) sambil membuka cabang di Jalan Pandanaran, yakni di depan toko bandeng presto Juwana. Kekhasan loenpia Mbak Lien ini adalah isinya yang ditambahi racikan daging ayam kampung.

Adapun generasi keempat lainnya, yaitu anak-anak dari almarhum Siem Hwa Nio (kakak perempuan dari Siem Swie Kiem) meneruskan kios ibunya di Jalan Mataram, atau sekarang Jalan MT Haryono, seraya membuka kios-kios baru di beberapa tempat di Semarang.

Selain keluarga-keluarga leluhur pencipta loenpia Semarang tersebut, sekarang banyak juga orang-orang  di luar trah tersebut yang membuat lumpia. Mereka umumnya mantan karyawan dari ketiga keluarga awal. Mereka yang mempunyai hobi kuliner juga turut meramaikan bisnis lumpia semarang dengan membuat lumpia sendiri, seperti Lumpia Ekspres, Phoa Kiem Hwa dari Semarang International Family and Garden Restaurant di Jalan Gajah Mada, Semarang.

Manakah dari semua merek loenpia ini yang paling enak? Semua kembali kepada selera.

Agendaindonesia

*******