Yadnya Kasodo oleh masyarakat Tengger di kawasan gunung Bromo tahun ini berlangsung pada 24 hingga 26 Juni. Di tengah keprihatinan kondisi pandemi, upacara adat masyarakat Tengger yang selalu diselenggarakan pada tanggal 14 bulan ke-10 dalam kalender Jawa, tepat pada saat bulan purnama penuh. Upacara dilakukan dengan lebih sepi dibanding kondisi normal.

Yadnya Kasodo

Masing-masing delegasi dari desa-desa suku Tengger, yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, mengarak guci bambu berisi air suci Mendhak Tirta. Mereka berkumpul di dua pintu gerbang pendakian Bromo, sebelum berjalan beriringan menuju Puncak Bromo. Rombongan suku Tengger dari Pasuruan berkumpul di gerbang Desa Pakis Bincil. Sedangkan rombongan suku Tengger yang tinggal di Probolinggo, Lumajang, dan Malang berangkat bersama dari pintu gerbang Cemoro Lawang, sekitar 30 kilometer dari Pura Luhur Kahyangan—yang menjadi lokasi tujuan. Arak-arakan ini menjadi tontonan yang menarik. Warga Tengger mengenakan pakaian adat dan membawa berbagai sesaji upacara, yang menimbulkan bau kemenyan.

Seminggu sebelum puncak upacara Kasodo digelar, telah dilakukan prosesi Mendhak Tirta, yakni upacara mengambil air suci dari empat sumber mata air yang dikeramatkan suku Tengger. Di Pasuruan, suku Tengger mengambil air suci di Gua Widodaren, sementara suku Tengger Probolinggo mengambil air suci di air terjun Madakaripura—yang dipercaya sebagai tempat pertapaan Gadjah Mada (1300-1364). Suku Tengger di Malang dan Lumajang mengambil air suci dari Danau Ranu Pane, kaki Gunung Semeru. Air suci itu kemudian diarak ke Pura Luhur Kahyangan pada puncak upacara Kasodo.

Siang 24 Juni, diadakan upacara Piodalan di Pura Luhur Kahyangan, meliputi upacara Melasti di pagi hari dan Mecaru di sore hari. Menjelang tengah malam, arak-arakan tiba di aula Pura Luhur Kahyangan. Ritual pun dimulai. Pertama, dilakukan pembacaan kitab suci suku Tengger di Bromo tentang sejarah upacara Kasodo. Kemudian, dilanjutkan dengan pembacaan kitab puji-pujian Puja Stuti. Oleh sang dukun senior, air suci dipercikkan ke semua sesaji yang terkumpul. Menjelang matahari terbit, dilaksanakan puncak acara Kasodo, yakni pelantikan dukun-dukun baru untuk menggantikan dukun senior. Dukun-dukun ini sebelumnya harus mempertontonkan kemampuan melantunkan berbagai mantra suci suku Tengger.

Dukun memiliki peran penting dalam masyarakat Tengger. Merekalah yang diberi mandat untuk memimpin semua ritual, dari urusan perkawinan, upacara adat, hingga kegiatan keagamaan. Acara berlangsung hingga matahari terbit dan ditutup dengan upacara melarungkan sesaji ke kawah Gunung Bromo. Kegiatan inilah yang paling menarik bagi para turis. Ribuan warga Tengger melempar sesaji berupa kambing, ayam, beras, bunga, bahan makanan, dan lain-lain ke dalam kawah. “Tahun ini saya berkorban sayur-sayur palawija dari hasil sawah, dan dua ekor ayam. Empat tahun lalu berkorban kambing,” ucap Kartono, warga Tengger di Desa Ngadisari.

Yadnya Kasodo merupakan upacara rituan tradisional masyarakat Tengger yang sudah berjalan beberapa abad.
Masyarakat berjalan menuju ke arah Gunung Bromo. Foto: Dok. unsplash

Diperkirakan, upacara Kasodo telah diadakan setiap tahun sejak abad 16. Tradisi itu muncul setelah keruntuhan dinasti kerajaan Majapahit (1293-1527). Kasodo adalah satu-satunya upacara adat Hindu Jawa skala besar yang masih berlangsung hingga kini. Konon, upacara ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat suku Tengger, yang menganggap dirinya adalah keturunan pasangan Roro Anteng dan Joko Seger, dua bangsawan Majapahit yang tinggal di Gunung Bromo setelah kerajaan itu runtuh.

Bertahun-tahun, pasangan Roro Anteng dan Joko Seger tidak memiliki keturunan. Hingga suatu saat mereka bertapa di atas puncak Bromo meminta kepada Tuhan agar diberi keturunan. Akhirnya, permintaan mereka dikabulkan. Roro Anteng melahirkan 25 anak. Sebagai rasa syukur, Roro Anteng dan Joko Seger melarungkan berbagai hasil pertanian dan harta kekayaan ke kawah Gunung Bromo setiap malam purnama bulan ke-10 tahun Jawa—tradisi yang kemudian diteruskan oleh anak-cucunya hingga kini.

Ke-25 anak Roro Anteng dan Joko Seger itulah yang menjadi cikal bakal keturunan suku Tengger. “Kasodo ini seperti acara reunian. Seluruh orang keturunan Tengger di mana pun berada, akan datang ke sini setiap perayaan Kasodo. Kini ada sekitar 125 ribu warga suku Tengger, tidak semua tinggal di sekitar Bromo,” ujar Bambang Suprapto, tokoh masyarakat Tengger di Desa Ngadisari.

Bambang menjelaskan, banyak orang Tengger tidak mau lagi menjadi petani, sehingga menekuni profesi lain dan tinggal di berbagai kota. Tapi setiap Kasodo, mereka kembali ke sini. Kasodo sebenarnya tidak hanya milik orang Tengger. Ribuan wisatawan datang ke Bromo mengikuti upacara Kasodo setiap tahun. Beberapa turis bahkan rela ikut bertarung di lereng kawah memperebutkan sesaji yang dilempar ke kawah. “Ngalap berkah Kasodo, kalau dapat barang dari sesaji Kasodo itu pertanda akan dapat keberuntungan baik,” ujar Sutikno, pedagang pasar dari Surabaya, yang mengaku setiap tahun selalu menghadiri upacara Kasodo. l Wahyuana

Tips Wisata Kasodo

1. Rangkaian upacara sudah digelar sepekan sebelum acara puncak. Untuk mendapatkan foto- dokumentasi budaya, manusia, dan panorama alam yang komplet, datanglah seminggu sebelum acara puncak dimulai. Biasanya atraksi wisatawan ke Bromo ditutup selama 3-4 hari atau selama masa puncak upacara Kasodo.

2. Kasodo menjadi ritual yang menarik perhatian banyak wisatawan. Rumah penduduk di sekitar Bromo akan dipenuhi pengunjung, sebaiknya pesan akomodasi sejak jauh-jauh hari.

3. Siapkan fisik secara prima karena Anda akan naik-turun gunung mengikuti iring-iringan warga Tengger dengan rute panjang dan medan terjal.

4. Jangan lupa membawa perlengkapan untuk menghadapi suhu 7-20 derajat Celsius.

Wahyu/TL/agendaIndonesia

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi