Seni Kampung Badud, Warisan Tahun 1868

Senin Kampung Badud

Seni Kampung Badud, rasanya hampir tak ada orang dari luar kawasan Pangandaran yang tahu. Ini memang kampung yang masih agak terisolasi di Kabupaten Panganaran, Jawa Barat, namun ia memiliki tradisi seni sejak ratusan tahun silam. Buat, sebagian orang, kesenian ini mungkin terasa asing. Namun, ia memiliki ragam kesenian Sunda yang cukup lengkap.

Seni Kampung Badud

Hening tadinya membalut Dusun Margajaya, Desa Margacinta, Pangandaran, Jawa Barat. Namun mendadak riuh ketika rombongan pengantin sunat dengan pemain musik, yang mengenakan pangs –pakaian pria tradisional Sunda–melintas jalan dusun, siang itu. Suara musik dog-dog, angklung, gendang, dan gong muncul silih berganti, dan langsung memecah keheningan.

Pemain topeng juga tak kalah semangat. Meski menggunakan topeng lengkap dengan kostum kakek-nenek, macan, babi hutan, kera, dan lutung, mereka tetap bergoyang mengikuti irama dengan enerjik.

Perjalanan rombongan terhenti saat mereka tiba di tempat hajatan. Begitu pula dengan alunan musik. Semua pemain musik menghentikan atraksinya. Suasana kembali sunyi. Namun tak berlangsung lama. Setelah sesaji berupa ayam bakar, minyak kelapa, telur, kopi, teh, dan lainnya digelar, doa-doa dalam bahasa Sunda dipanjatkan, musik pun kembali mengalun. Bau kemenyan menyeruak ke udara. Semua menyatu dalam keriuhan.

Pemain topeng, yang menggunakan kostum kera dan lutung, langsung lincah di tengah arena. Gerakan tubuhnya mirip dengan hewan, merangkak, melompat, terkadang menggaruk-garuk tubuh. Orang yang bertugas sebagai pawang sibuk menenangkan mereka.

Belum selesai, kini muncul pemain topeng yang menggunakan kostum macan dan babi hutan merangsek arena. Gerakan tubuhnya menyerupai hewan yang sama dengan kostumnya. Tak hanya bergerak, sang macan mengambil sesaji dan memakannya.

Lain halnya dengan pemain topeng kakek-nenek. Meski sama-sama kerasukan, keduanya bergerak lebih tenang layaknya orang yang memang sudah lanjut usia. Kendati begitu, sang pawang tetap saja sibuk menyadarkan mereka saat acara mulai berakhir. Kini giliran doa untuk pengantin sunat dipanjatkan. Beras dan permen dilemparkan ke tubuh pengantin sunat oleh orang yang dituakan di dusun tersebut.

“Inilah yang dinamakan kesenian badud,” ujar H. Adwidi, Ketua Badud Rukun Sawargi kepada Traveloungeyang berkesempatan menyaksikan langsung atraksi tersebut. Menurut Adwidi, seni badud diciptakan pada 1868 oleh Ki Ijot dan Ki Ardasim. Dua tokoh petani Dusun Margajaya itu, menurut Adwidi, awalnya menginginkan sebuah hiburan menjelang panen. “Hiburan yang ditujukan sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya. “Dari keinginan itulah dibuat topeng-topeng hewan, ditambah iringan musik agar semakin menghibur,” ucapnya.

Meski awalnya diadakan saat panen tiba,  Adwidi menyebutkan, seni badud belakangan makin berkembang. Tak hanya menjelang panen, seni badud juga digelar saat pernikahan atau khitanan. Sebab, kesenian dinilai memiliki warisan kesenian leluhur tersebut. Dusun Margajaya sampai sekarang dikenal dengan sebagai Kampung Badud. Seiring dengan berjalannya waktu, kesenian ini terus dilestarikan dan diajarkan turun-temurun.

Untuk mencapai kampung yang asri ini tidak mudah. Dari jalan raya Cijulang, Pangandaran, kendaraan yang saya tumpangi memasuki jalan desa sejauh 8 kilometer dengan kontur jalan naik-turun dan berkelok-kelok. Kami melewati ladang, kebun, dan hutan.

Ini adalah jalur yang cocok bagi pengunjung yang senang berpetualang. Namun kendaraan yang saya tumpangi harus berhenti di ujung jembatan gantung. Sebab, jembatan gantung yang dinamakan Jembatan Pongpet oleh warga setempat itu hanya bisa dilalui kendaraan roda dua atau berjalan kaki.

Jembatan sepanjang 63 meter ini menghubungkan Kampung Margajaya dengan Desa Margacinta. Tak jauh dari jembatan, telah berdiri sebuah saung pementasan seni badud. “Desa Margacinta lahir pada 1870, jauh sebelum Indonesia merdeka. Desa ini awalnya merupakan gabungan antara Desa Kolot dan Dusun Balengbeng. Kendati begitu, sampai hari ini Kampung Margajaya masih terisolasi. Margajaya belum bisa dilewati kendaraan roda empat,” ujar Edi Supriadi, Kepala Desa Margacinta, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran.

Namun Edi yakin, jika pemerintah daerah ikut membantu memperbaiki akses jalan, seni badud akan menjadi daya tarik wisata budaya. Tentu akan mendukung Kabupaten Pangandaran yang mencanangkan diri menjadi kabupaten pariwisata. l

Andry T./P. Mulia/Dok. TL

Tanjidor Grup 3 Saudara Mengalun Ikuti Zaman

Tanjidor grup 3 saudara, warna kesenian Betawi

Tanjidor Grup 3 Saudara mengalun mengikuti zaman, meskipun kini kian jarang meramaikan pesta pernikahan, tapi dinanti di acara-acara kantor pemerintahan.

Tanjidor Grup 3 Saudara

Suara piston, trombon, dan klarinet khas musik Betawi itu kerap terdengar saat saya tinggal di sekitar Rawa Belong, Jakarta Barat, pada 1990-an. Kala ada tetangga yang menggelar pesta pernikahan, lantunan lagu-lagu lawas dari kesembilan pemain tanjidor pun langsung mengundang warga untuk datang. Asyiknya menyaksikan pengantin dan tentunya para seniman bercelana pangsi dengan sarung di leher yang memainkan alat-alat musik jadul.

Kian lama kian jarang terdengar. Hingga saya temukan kembali di panggung di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, juga acara budaya, dan tentunya yang mencuat manakala ibu kota negeri ini merayakan ulang tahunnya. Tanjidor atau tanji, demikian Sait, 71 tahun, dari kelompok tanjidor Tiga Saudara, menyebutnya. Sebenarnya yang asli, menurut dia, adalah tanji. “Ciri khas tanji itu seragam. Terus harus lengkap ada sembilan orang,” katanya. Menjadi tanjidor kalau ada tambahan sinden. “Sinden itu jidoran, ada ngibing juga,” ia menambahkan.

Grup Tiga Saudara yang berdiri sejak 1973 itu kadang-kadang diminta tampil lengkap dengan penyanyi dan penari, yang biasanya diambil dari sanggar lain. Kadang tak melulu penari Betawi. Ada juga jaipongan, dan tentunya tembang-tembang Sunda untuk pengiringnya.

Para pemainnya umumnya berjumlah 7-9 orang. Instrumen yang digunakan adalah piston, klarinet, tenor, trombon, bas, tambur, beduk, panil, dan kecrek. Namun secara umum dibagi dua jenis, yakni alat musik tiup dan pukul, meski ada juga perkusi, yang diwakili oleh kecrek. Dalam komposisi yang lebih lengkap, ditambahkan gong dan kempul.

Yang menjadi ciri khas adalah bas. Bentuknya melingkar dan, saat pemainnya beraksi, alat musik itu membelit tubuh. “Tenaganya harus gede,” ujar Saman, sang peniup. Alat ini pun termasuk barang paling antik di antara perangkat yang ada. Sudah beberapa kali diperbaiki karena tak menghasilkan suara yang prima lagi. Di dekat logonya, ada merek dan tahun produksi—MJH Kessels “Jilburg” Bass 1894. Benar-benar sudah kuno.

Gampang-gampang susah memainkan orkestra tanjidor. Itu karena tanjidor tak ada partitur khusus, yang bisa mempermudah ketika mempelajarinya secara sistematis. Lagu dan iramanya diwariskan dari generasi ke generasi berdasarkan pengalaman mendengar dan merasakan. “Iramanya di hati kita sendiri,” ujar Sait. Karena itu, menurut dia, latihan menjadi hal utama. “Kalau latihan semalam dua jam saja, seharusnya dua bulan udah bisa satu lagu,” katanya meyakinkan. Sayangnya, tak semua pemuda dan anak-anak telaten dalam soal ini. Meski demikian, kini di markas grup tanjidor di Gang Kecapi, Jagakarsa, tak hanya pemain berusia 60-an yang berkumpul, tapi para pemuda pun mulai tampil.

Sait menyebutkan, lagu-lagu yang paling sering dibawakan adalah lagu-lagu Betawi dan Sunda, seperti Jali-jali dan Kicir-kicir. Namun biasanya setiap pertunjukan akan dibuka dengan maras. Lagu-lagu yang dibawakan memang lagu lama, tidak ada lagu baru. Dari alat musik yang tersedia pun tak bisa lahir tembang anyar. Dulu, memang ada lagu-lagu campuran, seperti Portugis dan Belanda, tapi kini sudah tak lagi dilantunkan.

Biasanya, pentas terbagi dalam dia sampai tiga babad yang membawakan maras, kemudian disusul lagu-lagu Betawi, ditambah tembang Sunda. “Biasanya dari jam 9 pagi sampai 4 sore. Lagu Betawi biasanya di pembukaan,” Sait menuturkan. Cuma, memang, jadwal mentasgrup tanjidor semakin jarang. Kebanyakan penyelenggara keriaan di kampung-kampung Betawi saat pernikahan dan khitanan memilih organ tunggal atau orkes dangdut. “Kalah dah bersaing dengan dangdut,” ujarnya.

Akhirnya, hanya acara-acara khusus yang menjadi langganan Tiga Saudara, selain masih ada beberapa perhelatan di Gandul, Jakarta Selatan. Kebanyakan panggilan saat acara di kampus, sekolah, dan kantor pemerintah daerah. Tiga Saudara sebenarnya bukan satu-satunya tanjidor di Jakarta Selatan. Masih ada grup lain di Warung Buncit dan Cijantung. Juga di Jakarta Barat, Jakarta Timur, Depok, Tangerang dan sekitarnya, hingga ke wilayah Bogor. l


Warisan Portugis

Abad ke-18 sering disebut sebagai awal kelahiran tanjidor. Dibawa oleh bangsa Portugis ketika masuk ke negeri ini. Kata tanjidor dinyatakan berasal dari bahasa Portugis, “tanger”, yang dalam bahasa Indonesia berarti bermain musik. Di Portugal, kesenian ini biasanya dimainkan pada saat pawai militer atau upacara keagamaan. Adapun pemainnya disebut tangedor. Tak mengherankan kalau kemudian nama yang merebak adalah tanjidor. Namun grup musik ini kemudian lebih dikenal lagi pada zaman penjajahan Belanda. Benar-benar merebak pada abad ke-19.

Pemainnya merupakan budak-budak dari tuan tanah dari Negeri Kincir Angin. Karena itu, mereka dikenal juga sebagai Slaven-orkes. Grup dibentuk karena para penguasa itu membutuhkan hiburan. Valckenier, salah seorang Gubernur Jenderal Belanda pada zaman itu, tercatat memiliki grup musik yang terdiri atas 15 pemain alat musik tiup, ditambah pemain gamelan, pesuling Cina, dan penabuh tambur Turki, untuk memeriahkan berbagai pesta.

Ketika penjajah kembali ke negerinya, kelompok musik itu tak langsung bubar. Mereka bertahan meski kemudian tembang-tembang tak lagi bersentuhan erat dengan Belanda dan Portugis. Lebih fokus pada lagu-lagu Betawi bercampur Sunda. Ketika masa penjajahan, yang mereka bawakan antara lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Cakranegara, dan Welmes. Irama lebih pada mars dan waltz. Sedangkan lagu-lagu Betawi yang dimainkan di antaranya Jali-jali, Surilang, Cente Manis, Kicir-kicir, Sirih Kuning, Stambul, dan Persi. Sementara tembang Sunda semisal Kangaji dan Oncom Lele.

Pada 1950-an, kebanyakan grup tanjidor membuat pentas keliling alias ngamen untuk mencari nafkah. Mereka tampil di depan rumah-rumah elite di daerah Menteng, Kebayoran Baru. Hanya saja, aksi seni mereka tiba-tiba dipangkas oleh keputusan Pemda DKI Jakarta pada 1954, yang melarang grup tanjidor main di pusat kota. Mereka pun akhirnya memilih tampil di pinggiran kota. Karena itulah, perkembangannya terjadi di daerah Tangerang, Depok, dan Bogor. l Berbagai Sumber

Rita N./Nunu N./Dok. TL

Ronggeng Gunung, 1 Juru Kawih Banyak Penari

Ronggeng Gunung shutterstock

Ronggeng Gunung adalah kesenian yang berusaha menghapus citra tak sedap yang kerap dipersepsikan orang soal ronggeng. Di balik tari tradisional ini terselip cerita menarik. Dan, kini muncul sebagai hiburan yang jauh dari kesan vulgar.

Ronggeng Gunung Pangandaran

Suara gendang, gong, bonang, dan kecrek saling bersahutan, membentuk irama sederhana yang terdengar dari kejauhan saat saya memasuki Dusun Cimanggu, Desa Parakanmanggu, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, akhir Januari lalu. Sebuah dusun sederhana ini relatif jauh dari pusat kota Pangandaran. Jalan menanjak menuju dusun pun masih berupa tanah bebatuan.

Siang itu, seorang warga Dusun Cimanggu rupanya sedang melangsungkan acara pernikahan. Dalam bahasa setempat dikenal dengan istilah ‘hajatan’. Panggung yang berdiri di sisi jalan terisi penuh oleh pemusik. Sementara itu, di halaman tempat hajatan berlangsung, sudah ada sekitar 12 orang tengah menari. Enam di antara mereka adalah penari yang mengenakan kebaya. Sedangkan sisanya ialah para tamu undangan, baik pria maupun wanita, baik tua maupun muda.

Mereka terlihat bersemangat menari dan mengikuti alunan musik serta kawih (nyanyian). Gerakannya kompak, ke kiri dan ke kanan. Saya perhatikan gerakan tangan dan kakinya mirip seperti bela diri pencak silat. “Memang mirip dengan pencak silat,” kata Edi Rusmiadi, Ketua Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata Kabupaten Pangandaran, membenarkan dugaan saya.

Kemudian, mereka melangkah ke depan membentuk putaran. Entah sudah berapa kali putaran mereka lalukan. Namun tak sedikit pun terlihat raut lelah di wajah mereka. Bahkan ada sepasang penari yang bertingkah lucu dan membuat geli orang-orang yang menyaksikan. Suasana pun menjadi riuh dan gembira. Tidak terlihat kontak fisik yang menimbulkan kesan vulgar, jauh dari kesan yang selama ini beredar bahwa penari Ronggeng adalah penggoda laki-laki.

“Ini yang dinamakan tarian Ronggeng Gunung,” ujar Apan Rachmat, Ketua Lingkung Seni Jembar Mustika. Pria yang menggunakan pakaian ala Sunda atau pangsi lengkap dengan ikat kepala itu mengatakan jumlah penari Ronggeng tergantung permintaan penggelar hajat. “Bisa enam penari dan bisa juga tujuh penari. Tergantung permintaan,” ucapnya.

Dulu, kata Apan, Ronggeng gunung hanya dibawakan oleh seorang penari, yang sekaligus merangkap sebagai juru kawih (penyanyi). “Belakangan berkembang hadir dengan banyak penari dan hanya satu juru kawih.”

Menurut Apan, Ronggeng Gunung sudah menjadi tradisi kesenian Pangandaran sejak lama. Ada beberapa versi tentang lahirnya kesenian tersebut. Namun versi yang terkenal adalah kisah Dewi Samboja. Kala itu, Dewi Samboja sangat bersedih atas kematian Angkalarang, suaminya, yang dibunuh oleh pemimpin bajak laut bernama Kalasamudra. Untuk menghilangkan kesedihan sekaligus kemarahan putrinya, maka ayahandanya, Prabu Siliwangi, meminta Dewi menuntut balas.

Untuk mewujudkan permintaan ayahnya tersebut, Dewi Samboja harus menyamar sebagai seorang penari Ronggeng agar dapat mendekati Kalasamudra. Bahkan Dewi rela mengganti namanya menjadi Nini Bogem. Singkat cerita, tarian Ronggeng di tempat Kalasamudra pun digelar. Ketika menari bersama, Dewi Samboja berhasil membunuh Kalasamudra.

Cerita mengenai asal-usul tari, yang digunakan untuk balas dendam tersebut, membuat Ronggeng Gunung terasa mengenaskan. Namun, ujar Apan, tarian Ronggeng Gunung kini lebih bersifat sebagai hiburan, seperti perkawinan, khitanan, dan penerimaan tamu.

Ronggeng Gunung sebagai sarana hiburan juga diakui Ida Nurbaya, penari Ronggeng, siang itu. “Tarian ini lebih bersifat hiburan. Lewat tarian ini, saya dapat mengenal orang dari berbagai kalangan,” ucap perempuan berusia 34 tahun itu. Ida mengaku mengenal Ronggeng saat usianya 17 tahun. Ida, yang telah berumah tangga dan dikaruniai dua anak itu, tak khawatir dengan kesan negatif sebagai penari Ronggeng.

Hal yang sama juga diamini Yulia Sri Mulyati. Siswa SLTA, yang juga ikut menari Ronggeng Gunung, justru bangga. Bahkan beberapa kali ia sempat diajak memperkenalkan Ronggeng Gunung ke sejumlah daerah, mewakili Kabupaten Pangandaran.

Tak terasa dua jam berlalu. Para tamu yang ikut menari sudah mengembalikan selendang yang diberikan oleh penari Ronggeng. Di ujung selendang sudah terikat sejumlah uang sebagai tanda “sawer”. Namun bukan berarti gelaran Ronggeng Gunung sudah berakhir. Masih ada sesi terakhir yang akan digelar pada malam nanti sebagai bagian dari tradisi seni asli Pangandaran. l

Andry T./Prima M./Dok. TL

Tenun Endek Bali, Warisan Kerajaan Gelgel Dari Abad 18

Tenun Endek Bali akan dipakai setidaknya seminggu sekali oleh ribuan pegawai pemerintahan provinsi Bali.

Tenun Endek Bali mungkin akhir-akhir ini tidak semencuat kain-kain tenun dari Nusa Tenggara. Barat maupun Timur. Namun tenun ini sejatinya mempunyai jejak sejarah yang panjang.

Tenun Endek Bali

Suara gelak tawa terdengar nyaring. Kepala saya langsung menengadah ke lantai kedua bangunan terbuka yang berada di Banjar Jerokapal, Desa Gelgel, Kabupaten Klungklung, Bali, itu. Ada alat tenun yang terbuat dari kayu. Jari dan tangan ibu-ibu pun terlihat di atas alat tersebut. Bibir mereka sesekali melontarkan gurauan. Suara kayu beradu tawa. Begitulah suasana khas di Pertenunan Astiti. Mulai menenun pukul 9.00, mereka meneruskan warisan leluluhur membuat tenun endek dan songket.

Salah satunya Ketut Suryani, yang berkenalan dengan alat tenun sejak remaja.  Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, mulai pukul 09.00, ia menggeluti alat tenun. Dia baru beranjak dari tempat menenun pukul 17.00. Dalam satu hari, bisa dihasilkan selembar kain katun endek berukuran 2,25 meter, jenis kain yang jadi ciri khas kabupaten tempat kerajaan-kerajaan Bali di masa lalu itu.

Terkenal dengan Kerajaan Gelgel, Klungkung tak hanya menyisakan bangunan istana dan bersejarah, tapi juga kerajinan tenun. Tenun mulai dikenal pada abad ke-18. Semula kain tenun hanya dikenakan kaum bangsawan atau untuk upacara di pura. Kini kain dikenakan sehari-hari, bahkan seragam berbagai instansi. Sejumah desa di Klungkung dikenal menjadi pusat tenun. Desa Sulang pun sama dengan Geolgel.

Di Gelgel, tempat tenun endek dan songket pun mudah ditemui. Di Jalan Raya Gelgel saja, saya menemukan Dian’s Rumah Songket dan Endek, selain Pertenunan Astiti. Memang tidak di jalan utama, tapi keduanya memasang papan nama cukup besar sehingga mudah dibaca turis atau konsumen. Para penenun umumnya berusia 30-40 tahun. Namun saya menemukan pula ibu berusia 75 tahun yang masing rutin menenun. Wayan Rasaini–nama ibu tersebut – berkutat dengan alat tenun tradisional, cagcag. Alat ini membuatnya harus duduk di lantai, seperti terkungkung dengan alat. Ibu-ibu lain menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Mereka membuat endek.

Kain songket, seperti pada umumnya, diselipi benang-benang emas sehingga terkesan mewah saat digunakan untuk acara dan upacara khusus. Kain endek juga digunakan untuk upacara di pura, selain dikenakan untuk busana sehari-hari. Para penenun memulai kerja memintal benang atau ngulak sesuai dengan corak yang telah disiapkan.

 “Pola motif yang buat anak-anak sekolah,” ujar Ketut Suryani. “Mereka biasanya ke sini setelah pulang sekolah,” ujarnya. Walhasil, para penenun pun tinggal berkarya mengikuti pola ikatan benang. Anak-anak sekolah yang dimaksud ialah pelajar sekolah menengah jurusan desain yang rutin datang mengikat benang mengikuti pola motif yang dibuat pemilik pertenunan, Drs I Nyoman Sudira, MM.


Pensiunan pegawai sekretariat DPRD Klungkung ini sebenarnya baru terjun membantu istrinya setelah memasuki masa purnakarya. Ia mulai mewarnainya sendiri, baik dengan pewarna alam maupun sintetis. Sebelumnya urusan tersebut diserahkan ke orang lain. Tak hanya itu, pria sepuh ini juga memanfaatkan teknologi untuk pembuatan pola dan memindahkan ke gulungan benang lebih mudah dan singkat. Hasilnya tak hanya dijual di balai kerja, tapi juga di  dua gerai di Pasar Seni Semarapura, Klungkung, dan di Jalan Hayam Wuruk, Denpasar. Harga kain endek berukuran 2,25 meter dijual mulai Rp 200 ribu.

Penasaran dengan Desa Sulang, yang juga dikenal dengan kampung penenun, saya pun melanjutkan perjalanan ke desa tersebut, tepatnya di Banjar Kawan, Kecamatan Dawan, Klungkung. Saya mampir ke gerai Endek Gurita milik Kadek Antari, MPd, yang dibuka 4 tahun lalu. Saya bertemu dengan seorang penenun, I Dewa Ayu Nyoman Arti, 50 tahun. Perempuan yang sudah 34 tahun menggeluti bidang ini mengaku hanya berdua menenun di tempat tersebut. “Tapi di sekeliling ini ada 50 orang yang nenun di rumah sendiri-sendiri,” ujarnya.

Nyoman Arti mengaku membuat kreasi sendiri, kecuali ada pesanan. Ia pun lebih banyak membuat motif polos. Kadang corak kotak-kotak yang sekarang banyak permintaan. Harga dipatok tergantung jenis benang. Katun endek berbahan benang katun dengan pewarna alam dijual mulai Rp 600 ribu. Namun kain dengan pewarna sintetis mulai Rp 250 ribu. Kalau bahannya benang sultra, harganya bisa hingga dua kali lipat. l

Teknologi & Motif

Kain Endek, seperti umumnya kain tenun, dibuat dengan teknik ikat. Benang-benang yang akan digunakan harus terlebih dulu diikat sesuai dengan pola. Bila pengerjaannya manual, dibutuhkan berhari-hari, bahkan seminggu. Dengan bantuan teknologi, I Nyoman Sudira terlebih dulu membuat desain di layar komputer dengan program coral drew dan mencetak di selembar bahan untuk spanduk. Kini, hanya dalam 5 menit, pola sudah berpindah ke atas pintalan benang. “Memindahkan pola itu perlu waktu seminggu karena satu jam saja sudah pegal, kan pakai spidol untuk membuat garis satu per satu,” ujar Nyoman.

Nyoman menyebut, dengan teknologi, corak tenun endek bisa dibuat variatif. Ia mengungkapkan tenun endek punya motif asli. Di antaranya wajik atau ceplok. Namun, secara umum, corak endek  meniru pola songket yang umumnya banyak meniru bentuk alam, termasuk flora atau patra. Pada umumnya, bagi umat Hindu, kembang melambangkan kesucian hati. Selain itu, fauna atau karang banyak melambangkan sifat dewa. Disamping itu, ada juga corak dari tokoh pewayangan.

Yang menjadi corak khas Gelgel adalah burung merak, bintang, bulan, digabung dengan motif kembang-kembang atau sulur alias tumbuhan menjalar. Soal warna, trennya berubah-ubah. Tahun ini, misalnya, Nyoman menyebut, tren warnanyacenderung merah muda, sedangkan tahun lalu biru.

Di Desa Sulang, Kecamatan Dawan, tepatnya di gerai Endek Gurita, kemunculan tenun dibarengi dengan teknik lukis dengan corak kupu-kupu dan bunga. Walhasil, ini menjadi label, karena perpaduan seni tenun dan lukis membuat endek lebih berwarna. l

Rita N./B. Rahmanita/Dok TL

Tari Topeng Cirebon, 5 Jenis Yang Unik

Tari Topeng Cirebon merupakan kesenian yang pernah dipakai untuk menyebarkan agama Islam di Jawa Barat.

Tari topeng Cirebon merupakan salah satu kesenian asli daerah di pesisir utara Jawa Barat. Dan sesuai namanya, tarian ini dimainkan dengan mengenakan topeng atau kedok sebagai aksesoris utama. Topeng-topeng yang dipergunakan ini merupakan simbol-simbol dari karakter yang dimainkan dalam tarian tersebut.

Tari Topeng Cirebon

Tari topeng tidak hanya menyuguhkan keindahan dalam gerak, namun juga sarat akan aneka simbol yang penuh makna. Simbol-simbol ini direpresentasikan dalam bentuk topeng, jumlah topeng, hingga jumlah gamelan pengiringnya.

Masing-masing topeng memiliki makna yang disampaikan dalam setiap tari topeng. Ini meliputi nilai kepemimpinan, cinta, dan kebijakan yang disampaikan melalui media tari.

Tari topeng Cirebon memiliki akar pada kesenian di daerah lain di sekitar wilayah tersebut. Ini meliputi tari-tari topeng dari Subang, Indramayu, Majalengka, Jatibarang, hingga Brebes. Sampai saat ini masih belum diketahui pasti pencipta dari tarian ini. Pasalnya ada banyak versi cerita yang kerap dianggap sebagai asal usul tarian topeng.

Tari Topeng Cirebon awalnya hanya dipentaskan di dalam kraton Cirebon. Kraton asepuhan Cirebon.
Kraton Kasepuhan Cirebon. Foto: Dok. TL

Salah satu versi cerita yang paling terkenal adalah tari topeng dibuat pertama kali pada zaman Majapahit. Pasca runtuhnya kerajaan terbesar di Nusantara tersebut, tari topeng dipertahankan oleh Kesultanan Demak. Lalu menyebar ke wilayah Cirebon yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Demak.

Meski saat ini tari topeng menyebar di berbagai kalangan di Cirebon, namun awalnya tidak demikian. Tari topeng masih menjadi tarian eksklusif di dalam Keraton saja. Hingga suatu ketika raja-raja Cirebon tak memiliki dana memelihara semua kesenian Keraton.

Akibatnya para penari dan penabuh gamelan mencari sumber pendapatan di luar Keraton. Dan akhirnya tarian ini menyebar menjadi kesenian rakyat hingga ke pelosok-pelosok Cirebon.

Setelah Islam masuk pada masa Sunan Gunung Jati, tepatnya pada 1470, Cirebon kemudian dijadikan sebagai pusat penyebaran agama Islam. Pada masa itu tari topeng Cirebon pun dipergunakan sebagai media untuk mengenalkan agama Islam bersama dengan seni pertunjukan lain.

Setiap tari topeng Cirebon menggunakan jenis topeng yang berbeda-beda, setidaknya ada lima jenis topeng yang umum dipentaskan. Ke lima jenis topeng itu dikenal dengan nama Panca Wanda, yakni masing-masing topeng Kelana, Tumenggung, Rumyang, Samba, dan Panji.

Tari Topeng Cirebon shutterstock
Warna topeng mencermikan sifat dan sikap lakon yang dijalani penarinya. Foto: dok shutterstock

Tiap detail dari tari topeng memiliki nilai filosofis tersendiri. Nilai filosofis tersebut bisa dilihat dari karakteristik topengnya. Ini digambarkan melalui warna dari masing-masing topeng yang juga melambangkan siklus hidup manusia.

Misalnya, topeng panji yang memiliki wajah putih bersih memiliki makna suci seperti bayi yang baru dilahirkan. Sedangkan topeng samba yang memiliki karakter anak-anak sebagai simbol keceriaan dan kelincahan.

Masa dewasa diwakili dengan topeng rumyang, gerakannya pun semakin mantap menunjukkan manusia yang mendekati kemapanan. Topeng temanggung menceritakan siklus kehidupan manusia yang telah menginjak masa kematangan dan kemapanan sempurna.

Sedangkan topeng kelana menggambarkan seseorang yang sedang marah. Biasanya, saat mengenakan topeng kelana gerakan yang akan dilakukan penari bercirikan gerak tubuh energik, lincah, dan bersemangat. Gerak tari topeng kelana menggambarkan seseorang yang bertabiat buruk, serakah, penuh amarah, dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu.

Tari topeng Cirebon merupakan jenis tarian sakral yang membutuhkan ritual khusus sebelum mementaskannya. Menurut kepercayaan setempat, umumnya para penari akan melakukan puasa, pantang, hingga semedi sebelum melakukan tari topeng.

Bahkan sebelum melakukan pertunjukkan tari topeng, masyarakat percaya bahwa harus disediakan dua sesaji. Dalam sesaji yang pertama berisi bedak, sisir, dan cermin yang melambangkan perempuan. Sedangkan, sesaji yang kedua berisi cerutu dan rokok sebagai lambang lelaki. Ada juga bubur merah yang menjadi lambang manusia dan bubur putih sebagai lambang dunia atas.

Selain itu, tari topeng Cirebon tidak bisa dipisahkan dari gerakannya yang indah nan gemulai. Ciri khas tarian ini terletak pada gerakan tangan yang gemulai dengan diiringi musik gendang dan rebab yang mendominasi sepanjang pementasan.

Tari Topeng Cirebon pada zaman dahulu biasanya dipentaskan menggunakan tempat pagelaran yang terbuka berbentuk setengah lingkaran, misalnya di halaman rumah, di blandongan atau tenda-tenda pesta atau di bale yakni panggung yang memakai obor sebagai penerangannya. Begitupun dengan berkembangnya zaman dan teknologi, tari Topeng Cirebon pada masa modern juga dipertunjukan di dalam gedung dengan lampu listrik sebagai tata cahayanya

Saat ini tari topeng Cirebon tidak hanya dipentaskan dalam hajatan di kampung-kampung saja. Tarian ini telah eksis hingga panggung mancanegara, seperti Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat.

agendaIndonesia

*****

Tahun Baru Imlek, Ini 8 Makanan Khasnya

Tahun Baru Imlek memiliki beragam makanan atau kudapan yang khas.

Tahun Baru Imlek atau dalam masyarakat Tionghoa dikenal juga dengan istilah Tahun Baru Musim Semi, sementara masyarakat internasional menyebutnya sebagai Lunar New Year. Tahun Baru Imlek memang lahir dari hitungan perputaran bulan atas bumi.

Tahun Baru Imlek

Di sejumlah daerah di Indonesia Tahun Baru Imlek menjadi salah satu perayaan yang ditunggu dan dirayakan. Misalnya saja di Pontianak dan Singkawang, atau di Medan, di mana cukup banyak warganya yang berasal dari masyarakat Tionghoa. Begitupun, untuk Indonesia, Imlek sudah menjadi salah satu bagian kegembiraan masyarakatnya.

Tahun ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, memperingati Tahun Baru Imlek 2574 kurang lengkap rasanya kalau tidak mencicipi berbagai kuliner lezat khas Imlek yang banyak dijual di pasaran. Sebagian bahkan dijual tanpa menunggu Tahun Baru Imlek.

Tak hanya memiliki rasa yang lezat, setiap makanan khas Imlek turut menyimpan makna dan filosofi yang mendalam bagi masyarakat Tionghoa. Menariknya lagi, setiap makanan dipercaya membawa keberuntungan bagi yang menyantapnya.

Tahun Baru Imlek memiliki sejumlah makanan khas perayaannya. Tak afdol jika takmenyantapnya saat Imlek.
Kue Keranjang adalah makanan yang sangat ikonik dengan perayaan Tahun Baru Imlek. Foto: dok. shutterstock

Lantas, apa saja pilihan makanan atau kudapan saat merayakan Tahun Baru Imlek?

Kue Keranjang

Kue keranjang tidak pernah absen setiap perayaan Tahun Baru Imlek. Memiliki rasa manis dan tekstur yang kenyal, kue keranjang dipercaya membawa keberuntungan, kesehatan, kekayaan, hingga kebahagiaan yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Penataan kue keranjang yang saling bertumpuk juga punya makna mendalam, yakni melambangkan keberuntungan pada gaji dan posisi yang lebih tinggi.

Kue Mangkok

Kue Mangkok di Tahun baru Imlek shutterstock
Kue mangkok melambangkan bunga yang sedang mekar saat musim semi. Foto: shutterstock

Terbuat dari tepung beras, kue mangkok atau fa gao adalah makanan khas Imlek berbentuk bunga yang sedang mekar. Konon, bentuk kelopak bunga tersebut melambangkan rezeki yang sedang berkembang. Banyak orang menyebutnya “kue kemakmuran” karena kue mangkok dipercaya memberikan keberuntungan. Bahkan, semakin banyak kelopak di atasnya, maka semakin banyak pula keberuntungan yang akan didapatkan.

Kue Ku

Ciri khas kue ku adalah bentuknya yang menyerupai tempurung dan berwarna merah cerah yang cantik. Kue tradisional yang terbuat dari tepung ketan berisi kacang hijau ini melambangkan kemakmuran. Tidak jarang kue ku dicetak dengan cetakan yang memiliki huruf, gambar, atau lambang keberuntungan di Tahun Baru Imlek.

Kue Bulan

Selanjutnya adalah kue bulan atau dikenal dengan moon cake. Berbeda dengan kue-kue sebelumnya, kue bulan adalah makanan manis khas Imlek yang menyerupai pia dan berisi pasta kacang merah. Bentuknya yang bulat menyerupai bulan melambangkan keutuhan. Sehingga jika kita mengonsumsi kue bulan, dipercaya dapat mendatangkan rezeki, kemakmuran, dan kesehatan utuh selama setahun ke depan.

Manisan Segi Delapan

Manisan kotak segi delapan atau dikenal dengan tray of togetherness adalah kumpulan manisan yang dikemas dalam wadah berbentuk segi delapan. Setiap manisan memiliki maknanya masing-masing. Seperti manisan melon melambangkan kesehatan, semangka merah melambangkan kebahagian, dan jeruk kumquat melambangkan keberuntungan dan kemakmuran.

Sedangkan manisan kelapa kering melambangkan kebersamaan atau kekeluargaan, manisan berbentuk seperti biji teratai melambangkan kesuburan, manisan kelengkeng melambangkan banyak anak, dan terakhir kacang tanah melambangkan doa agar panjang umur.

Dumpling

Dumpling untuk Imlek unsplash
Makanan lain yang khas Imlek adalah dumpling. Foto: dok. unsplash

Dikenal juga dengan sebutan jiaozi merupakan olahan pangsit berbentuk uang Tiongkok kuno yang melambangkan kemakmuran. Menurut kepercayaan, banyaknya dumpling yang dikonsumsi pada malam Imlek memprediksi jumlah uang yang akan didapatkan saat memasuki tahun baru. Dumpling berisi daging sapi dan sayur yang menyegarkan. Agar semakin nikmat, dumpling biasanya dicocol dengan saus kecap asin dan jahe sebelum disantap.

Lumpia

Berwarna cokelat keemasan menyerupai emas batangan, lumpia termasuk makanan khas Imlek yang dipercaya membawa keberuntungan dan kekayaan. Mirip dengan lumpia pada umumnya, spring roll khas Imlek ini diisi dengan potongan daging dan berbagai sayuran. Jangan lupa dicocol dengan campuran saus tiram, arak beras, kecap asin, dan minyak wijen. Dijamin semakin nikmat memakannya.

Mi Panjang Umur

Selain disajikan saat perayaan ulang tahun, mi panjang umur kerap menjadi makanan wajib pada perayaan Tahun Baru Imlek. Sesuai dengan namanya, mi goreng ini melambangkan umur panjang dan keberuntungan.

Namun, bagi mereka yang memeprcayaiya, harus berhati-hati saat mengolah dan menyantapnya. Sebab, bentuk mi yang pendek atau terpotong, meskipun tanpa sengaja, melambangkan nasib buruk dan memperpendek umur.

Itulah beragam makanan khas Tahun Baru Imlek yang dipercaya membawa keberuntungan bagi siapa saja yang menyantapnya. Umumnya makanan-makanan tersebut halal, yang harus hati-hati mungkin adalah dumpling. Kadang ada yang menggunakan daging non-halal untuk isiannya.

agendaIndonesia/kemenparekraf

*****

Geliat 3 Batik: Betawi, Semarangan, dan Besurek

5 sentra belaja batik di kota SOlo-- Kampung Batik Andreas Hie shutterstock

Geliat 3 Balik khas Jakarta, Semarangan, dan Bengkulu menyusul batik-batik tradisional yang selama ini sudah dikenal masyarakat. Ini makin memperkayai khasanah batik sebagai warisan budaya adiluhung yang dimiliki masyarakat Indonesia.

Geliat 3 Batik

Kain batik jelas bukan barang langka di bumi Nusantara ini. Pekalongan, Yogyakarta, dan Solo bisa disebut sebagai gudang kain bercorak khas ini. Setiap kota tampaknya juga mempunyai ciri khas. Salah satu yang sedang naik daun batik Garutan. Kota lain pun punya kain khas. Jakarta, misalnya, punya batik Betawi dengan perjalanan panjang yang naik-turun. Juga Semarang dan Bengkulu. Masing-masing memiliki kekhasan.

Batik Betawi boleh dibilang kurang populer. Padahal para perempuan Betawi sudah pintar memainkan canting dan menembok, alias menutup corak batik dengan lilin, sejak masa penjajahan. Bahkan ada perkampungan khusus di Terogong. Namun tradisi ini terhenti pada 1970. Keluarga pembatik di Jakarta Selatan ini baru membangkitkannya lagi pada 2012.

Keunikan batik Betawi terletak pada motifnya yang menampilkan ikon-ikon khas betawi. “Ada yang bergambar ondel-ondel, penari ronggeng Betawi, alat musik tanjidor, atau landmark, seperti Monas dan Patung Pancoran,” ujar Aap Hafizoh, salah seorang pengelola batik Betawi Terogong.

Aap menambahkan, beberapa motif lain tak kalah unik dan malah menggambarkan hal-hal berkaitan dengan Betawi yang belum diketahui banyak orang. Contohnya, motif burung hong dan Masjid Krukut, yang merupakan salah satu bangunan bersejarah. “Namun yang menjadi ciri khas motif batik Betawi Terogong adalah motif mengkudu dan cermai.”

Menurut Aap, pohon mengkudu (Morinda citrifolia)dan cermai (Phyllanthus acidus) dijadikan motif khas Batik Betawi Terogong karena memiliki kenangan tersendiri. Dia mengatakan kedua pohon itu tumbuh di halaman belakang rumah. Proses produksi batik Betawi Terogong memang memanfaatkan lahan milik keluarga yang kini dihuni sekitar enam kepala keluarga.

Yang jarang terdengar, meski dikelilingi kota-kota yang terkenal dengan kreasi batiknya, adalah batik Semarangan. Kampung Batik Semarang pernah mengalami kejayaan pada 1919-1925. Namun, karena krisis yang menyebabkan sulitnya mendapatkan bahan sandang, akhirnya banyak perajin gulung tikar. Baru mulai menggeliat lagi sekitar 2004, saat Pemerintah Kota Semarang memiliki keinginan mengembalikan nama besar batik Semarangan yang dulu pernah mencapai masa keemasan.

Ketua Paguyuban Sentral Batik Semarang Tri Mujiono menyebutkan, motif batik Semarang menonjolkan unsur flora dan fauna. “Misalnya, buah asem arang dan burung blekok,” katanya. Burung blekok putih memang banyak ditemukan di kawasan Srondol, Semarang, di masa lalu. Kini susah melihat burung berparuh panjang itu. Begitu pula asem arang, yang dulu banyak tumbuh di Semarang. Konon, nama Semarang diambil dari nama pohon asem, yang tumbuhnya saling berjauhan tersebut.

Belakangan, motif batik Semarangan kian berkembang. Ikon Kota Semarang, seperti Gedung Lawang Sewu, Tugu Muda, dan Sam Poo Kong, menjadi ciri khas lain batik Semarangan. Sedangkan untuk pewarnaannya, batik Semarang dikenal memiliki warna-warna terang, seperti biru, merah, dan cokelat.

Geliat 3 batik: Jakarta, semarangan dan besurek
Membuat patron di kain untuk dijadikan batik.

Tak hanya kota-kota di Pulau Jawa yang punya corak batik, Bengkulu, salah satu kota di Sumatera, juga dikenal dengan batik khasnya. Namanya batik besurek. “Besurek” sebenarnya berarti tulis. Jadi kain besurek tak lain adalah batik tulis, yang merupakan teknik awal dari pembuatan batik. Cuma, karena yang banyak dimunculkan selain flora dan fauna adalah huruf Arab, muncul juga makna lain dari kain ini, yakni kain dengan tulisan huruf Arab.

Kain besurek, yang merupakan kain tradisional ini, digunakan masyarakat Bengkulu dalam berbagai upacara adat, pernikahan, cukur bayi, mengantar jenazah ke kuburan, hingga acara kesenian. Untuk setiap kesempatan, tentunya berbeda pula corak kain batik yang dikenakan. Setiap motif menunjukkan simbol yang berbeda. Misalnya, perpaduan rembulan dengan kaligrafi dalam kain berdasar merah melambangkan nilai ciptaan Tuhan. Kain bercorak ini dikenakan pengantin putri dalam pernikahan atau acara mandi saat prosesi pernikahan. Ada pula motif burung kuau dan kaligrafi berwarna biru, yang bermakna kehidupan alam.

Dirunut dari sejarahnya, kain besurek sudah berkembang pada abad ke-16 saat agama Islam berkembang di provinsi ini. Ketika Sentot Alibasya, panglima perang Pangeran Diponegoro, diasingkan ke Bengkulu bersama sanak saudaranya pada abad ke-18, para pedagang berkebangsaan India, Cina, Arab, dan Eropa sudah menenteng kain besurek dari Bengkulu. Kreasi sesungguhnya asli Bengkulu, meski bahan bakunya didatangkan dari tanah Jawa.

Kini, tidak lagi selalu ada kaligrafi atau huruf Arab gundul sebagai corak kainnya, tapi banyak juga dimunculkan bunga Rafflesia arnoldi, yang memang menjadi ikon kota ini. Sejumlah corak lama juga kerap dimunculkan, seperti burung kuau, kembang cengkeh, kembang cempaka, relung paku, dan burung. Toko-toko suvenir pun mulai banyak menawarkan kain khas ini. Padahal, beberapa tahun lalu, cukup sulit mencari kain besurek. Padahal jelas kain ini lekat dengan masyarakat sejak masa lampau.

Lekatnya imaji kain besurek dengan masyarakat Bengkulu juga bisa disimak pada lagu Kain Besurek: “Uncu, marolah dekek siko, cubo tolong sayo.

Buekkan kain besurek selambar sajo. Buek kenangan kawan nan tercinto. Uncu,

dasarnya halus pulo. Raginya ragi lamo. Peninggalan datuk kek andung dahulu

kalo. Yang perlu kita lestarikan besamo. Kain. Kain besurek ragi lamo. Kini

banyak nan dapek membueknyo. Pacak dibuek jadi kenangan. Dipakai baju oi elok

nian. Uncu … Liek ado nan datang. Samo samo kesiko. Katonyo ndak pesan kain

besurek pulo.”

(Bibi, marilah ke sini, coba tolong saya. Buatkan kain besurek, selembar saja. Buat

kenangan teman tercinta. Dasarnya yang halus. Motifnya ragi lama. Peninggalan

kakek dan nenek dahulu kala. Yang perlu kita lestarikan bersama. Kain. Kain

besurek motif ragi lama. Kini banyak yang dapat membuatnya. Bisa dijadikan

kenang-kenangan. Dijadikan baju juga indah sekali. Bibi, lihat ada yang datang.

Sama-sama ke sini, katanya mau pesan kain besurek juga). l

Andry T/Rita N./Dok. TL

Keris Desa Aeng Tong-tong Warisan Abad 14

Keris Desa Aeng Tong-tong memiliki sejarah yang panjang. Bahkan sejak abad 14.

Keris Desa Aeng Tong-tong di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, akhir-akhir ini makin dikenal publik awam. Ya, sebab bagi pecinta keris, desa ini sudah lama dikenal dan menjadi salah satu pilihan jika hendak memesan senjata tradisional yang sarat seni ini.

Keris Desa Aeng Tong-tong

Nama Desa Aeng Tong-tong melambung setelah menjadi salah satu dari empat desa wisata dari Provinsi Jawa Timur yang berhasil masuk 50 besar ADWI 2022. Terpilihnya Desa Wisata Aeng Tong-tong dalam kategori “Desa Wisata Terbaik” ADWI 2022 bukan tanpa alasan. Desa ini memiliki budaya serta kearifan lokal yang khas dan tidak dimiliki daerah lainnya, yakni sebagai desa penghasil keris dengan empu terbanyak

Keris Desa aeng Tong-tong menjadi salah satu pilihan para kolektor keris.
Para empu tengah menempa besi untuk menjadi keris. Foto: dok shutterstock

Buat yang masih sedikit asing dengan salah satu desa wisata terbaik di Jawa Timur ini, Desa Aeng Tong-tong merupakan wilayah dataran tinggi dan sebagian besar dataran rendah di pulau Madura. Desa Aeng Tong-tong dikelilingi berbagai sumber daya alam yang melimpah, seperti sawah, ladang tembakau, ladang padi, kebun kelapa, perbukitan, dan banyak lagi.

Desa Aeng Tong-tong adalah desa yang menjadi rumah bagi sekitar 640 empu —sebutan bagi perajin keris—di Sumenep. Kualitas mereka bahkan sudah diakui dunia. Sejak 2014, Sumenep telah mengukuhkan dirinya menjadi Kota Keris. Bahkan UNESCO telah pula menetapkan Kabupaten Sumenep sebagai daerah perajin keris terbanyak di dunia, dan sebagian besarnya ada di Desa Aeng Tong-Tong.

Menilik sejarahnya, dari empat kabupaten yang ada di Madura, salah satu yang memiliki nilai sejarah, budaya, dan seni yaitu Songeneb atau kini disebut Sumenep. Pemilihan kata Sumenep diresmikan pada masa Penjajahan Belanda agar memudahkan pengucapan.

Desa Aeng Tong-Tong merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep. Desa ini memang memiliki banyak potensi, baik dari segi sumber daya manusia dan sumber daya alamnya.

Terpilihnya desa ini menjadi pusat industri bukan hanya karena keterampilan yang dimiliki masyarakatnya. Tetapi dari sejarahnya, budaya perkerisan yang dimiliki. Keris Desa Aeng Tong-tong mengalami pertumbuhan pesat pada masa pemerintahan Pangeran Joko Tole pada abad 14.

Desa Aeng Tong-tong adalah satu-satunya desa di Indonesia yang hampir 100 persen warganya adalah perajin keris. Menurut Mpu Sanamo, salah seorang perajin keris di desa tersebut, mereka mempunyai rumah asli peninggalan nenek moyang yang masih dipelihara keasliannya sampai saat ini. Di dalamnya ada sebuah pusaka yang diikat di sebuah tiang rumah, dan tidak pernah dipindahkan sampai sekarang.

Mengutipo jurnal Makna Keris dan Pengaruhnya terhadap Masyarakat di Surakarta (2008) karya Akhmad Arif Musadad, keris sebagai benda pusaka dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Ini menyebabkan banyak mansyarkat yang mengagumi, menghormati dan menyimpannya.

Hingga sekarang, aktivitas membuat keris Desa Aeng Tong-tong masih terus dilestarikan, bahkan sudah menjadi mata pencaharian sebagian besar masyarakat desa wisata tersebut. Demi terus melestarikan tradisi ini, budaya pembuatan keris Desa Aeng Tong-tong sudah dikenalkan pada anak-anak sejak memasuki usia sekolah dasar.

Diperkirakan, hingga saat ini ada ratusan empu yang berprofesi secara aktif sebagai perajin atau pembuat keris di Desa Aeng Tong-tong. Biasanya, keris yang dibuat di Desa Aeng Tong-tong digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar, pesanan pedagang, atau bahkan memenuhi para pesanan kolektor baik di dalam negeri atau mancanegara.

Ciri khas keris Desa Aeng Tong ada pada garapan badan kerisnya maupun warangka (sarung keris) yang halus dengan ukiran yang sangat indah. Proses pembuatannya tentu saja sangat panjang.

Keris Desa Aeng Tong-tong diproduksi oleh sekitar 640 empu pembuat keris.
Membakar besi untuk ditempa. Foto ilustrasi: shutterstock

Tak sembarang orang bisa membuat keris. Para empu tidak asal menempa besi panas, mereka juga harus berpengalaman dan paham mengenai seluk-beluk tentang keris.

Proses pembuatan keris dimulai dari pemilihan besi dan penempaan untuk mendapatkan bentuk yang diinginkan. Dilanjutkan dengan metode penghalusan, menambahkan tembaga atau emas untuk diukir sesuai pesanan, hingga terakhir proses penyepuhan agar mendapatkan warna kering yang diinginkan.

Setidaknya dibutuhkan ribuan lapisan untuk menciptakan keris berkualitas terbaik. Selain itu, untuk bisa mendapat ketajaman keris, pada bagian tengah disisipkan lapisan baja. Setelah itu, keris akan terus ditempa dan diberi lapisan, supaya lebih kuat.

Sampai menjadi sebuah keris setidaknya terdiri dari 150 lipatan. Setelah dirasa cukup, maka bahan dasar tersebut kemudian diperhalus dengan gerinda. “Ditambahkan tembaga atau emas, dan kemudian diukir sesuai pesanan,” ujar Mpu Sanamo, perajin keris lainnya dari Desa Aeng Tong-tong.

Setelah proses penempaan, pembuatan keris dilanjutkan dengan pembentukan bilah dan proses kinatah (ukir besi). Ini dilanjutkan lagi dengan proses warangka atau pembuatan sarung keris dari bahan kayu. Hingga proses terakhir adalah mewarangi atau memberi lapisan pada besi kerisnya, biasanya campuran cairan arsenic dengan air jeruk nipis yang dioleskan atau untuk celupan kerisnya.

Keris Desa aeng Tong-tong adalah prosuk seni yang cocok untuk dikoleksi.
Keris Desa Aeng Tong-tong Sumenep indah untuk dikoleksi. Foto: dok, shutterstock

Proses pembuatannya memang sangat panjang. Tidak heran jika satu keris rata-rata bisa memakan waktu pengerjaan 2 hingga =6 bulan. Hal ini tergantung pada kesulitan dari ukiran serta bentuk keris yang dibuat.

Setelah melewati tahapan pembuatan keris, biasanya para empu di Desa Aeng Tong-tong akan menghelat ritual pencucian keris dan ziarah makam leluhur. Biasanya, ritual tersebut akan dilakukan bersama dengan pesta rakyat dan diramaikan dengan kesenian tradisional.

agendaIndonesia

*****

Gong Factory, 1 Peninggalan Zaman Kolonial

Gong Factory, pabrik gong di Bogor Jawa Barat

Gong Factory, siapa sangka pabrik gong di Bogor, Jawa Barat, ini berdiri sejak zaman kolonial. Gemanya telah terdengar hingga ke mancanegara. Tak hanya memproduksi gong untuk gamelan kesenian Sunda dan Jawa, tapi juga untuk alat musik Batak, Aceh, juga Minang.

Gong Factory Bogor

Lidah api itu menari-nari. Saling berkejaran menjilat ke udara lalu lenyap sekejap. Lantas muncul dengan cepat lidah api baru. Silih berganti tiada henti. Panas yang sangat menyergap seakan tak dihiraukan oleh seorang pekerja di sudut ruangan itu. Matanya mantap tertuju pada sebuah loyang yang sedang mencairkan logam tembaga dan timah. Seorang pekerja lainnya, yang posisinya agak jauh, bertugas menjaga api agar tetap membara. Campuran kedua bahan logam ini nantinya akan dibentuk menjadi lempengan yang siap ditempa menjadi gong.

Kegiatan serupa juga ditemui di tengah ruangan pabrik Gong Factory, Bogor, Jawa Barat. Namun pekerjanya lebih banyak. Setidaknya ada sekitar lima orang. Mereka inilah yang menempa lempengan logam campuran tadi menjadi sebuah gong. Seorang pekerja bertugas menjaga bara api dengan alat pengembus angin (blower). Sementara itu, satu orang pekerja lagi, bertugas meletakkan lempengan logam campuran tadi di tengah bara dengan menggunakan potongan kayu panjang.

Sedangkan sisanya, tiga pekerja, sudah bersiap dengan palu kayu di tangan masing-masing. Setelah lempengan logam yang masih merah menyala diletakkan di tanah, mereka dengan sigap memukulnya bergantian. Hantaman palu berkali-kali itu tidak langsung membentuk gong. Lempengan tadi masih harus dibakar lagi dan ditempa lagi. Begitu seterusnya.

Bara masih menyala. Sambil menunggu lempengan logam dibakar, seorang pekerja berujar kepada saya. ”Palu ini beratnya sekitar 8 kilogram,” katanya. Wow! Terbayang dalam benak saya betapa sulitnya membuat sebuah gong. Mereka harus menghantamkan palu seberat itu berulang kali. Tak mengherankan jika peluh sudah membasahi tubuh mereka di siang itu.

Sekitar tiga jam lamanya, lempengan logam tadi sudah berubah bentuk menjadi gong walaupun warnanya masih menghitam akibat proses pembakaran tadi. Namun proses itu belum terhenti di sana. ”Kita harus mencari nada,” jelas Hidayatullah, seorang pekerja yang diminta menjadi juru bicara dadakan oleh rekan pekerja siang itu.

Dibantu rekan-rekannya, Dayat–begitu ia akrab disapa–kembali menghantam gong dengan palu yang agak ringan. Ya, lebih ringan hantamannya kali ini. Gong tersebut kemudian diangkat dan diketuk sehingga mengeluarkan bunyi. ”Sedikit lagi,” katanya. Proses pencarian nada ini pun berlangsung berulang kali. ”Ini baru dapat nadanya,” ujarnya sembari tersenyum.

Proses pengerjaan gong berdiameter 40 cm dengan berat 4 kg itu, kata Dayat, membutuhkan waktu sekitar sehari. Sebab, setelah ketemu nadanya, gong masih harus dipoles agar muncul warna keemasan. Dalam sehari, Dayat dan rekan-rekan mampu mengerjakan sekitar 2 buah gong berukuran 40 cm. Lain halnya jika harus membuat gong berukuran lebih besar lagi. Tentu butuh waktu yang lebih lama.

Menurut Dayat, Gong Factory biasa membuat pesanan pembuatan gong dengan berbagai diameter, yaitu mulai 25 hingga 60 cm. ”Dari Nong (gong terkecil), Bonang, Saron, Jengglong, sampai gong besar,” paparnya.

Mengenai harga, sebuah gong ditentukan oleh beratnya. Sebagai contoh, gong kecil dengan berat sekitar 3 kg dikenai Rp 900 ribu, ukuran 7 kg seharga Rp 2 juta. Gong berukuran besar dengan berat 10 kg dijual dengan harga Rp 3 juta, sedangkan yang berukuran 20 kg dijual seharga Rp 6 juta.

Pabrik gong yang berada di pinggir jalan raya ini tidak hanya membuat gong Sunda dan Jawa, tapi juga gong Batak, Aceh, dan Minang. Pembelinya tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke. Bahkan, pesanan dari mancaranegara juga dilayani, seperti dari Malaysia, Singapura, Brunei, Austalia, Belanda, dan Amerika.

Tak hanya melayani pembuatan gong, lanjut Dayat, pabrik ini juga sering dikunjungi wisatawan asing yang ingin melihat proses pembuatan gong dan kemudian membelinya untuk oleh-oleh pulang ke negaranya. Turis-turis yang datang beragam, dari berbagai belahan benua, seperti Asia, Eropa, dan Amerika. “Namun yang paling banyak adalah yang berasal dari Amerika Serikat.”

Mungkin, kata Dayat, karena pabrik gong ini sudah lama berdiri. Pabrik gong turun-menurun yang masih tradisional itu kini dikelola oleh generasi ke-6. Pemiliknya bernama Haji Sukarna yang kini berusia lebih dari 80 tahun. Dayat juga meyakini jika pabrik gong tempatnya bekerja merupakan satu-satunya pabrik yang ada di Jawa Barat. Sebagian masyarakat Bogor mengenalnya sebagai Gonghom.

Pabrik gong yang buka setiap hari mulai pukul 8.00 -15.00, kecuali Jumat, ini pun tak pernah berpindah lokasi sejak pertama kali di zaman kolonial. Bangunan pabriknya kini memang sudah menua dan sederhana. Namun hasil karya gong dari Pancasan ini sudah menggema hingga ke mancanegara.

Andry Triyanto-Dok. TL

Seren Taun, Harmoni Angka 18 dan 22

Seren Taun adalah harmoni antara angka 18 dan 22. Mungkin belum banyak paham makna angka-angka tersebut. Namun, rasanya sudah banyak yang tahu jika ritual ini adalah upaya harmonisasi manusia dan alamnya. Sebuah kearifan lokal.

Seren Taun, Harmoni Angka 18 dan 22

Pagi itu, ratusan orang berkerumun di pinggir Jalan Raya Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Mereka menanti rombongan yang mengarak hasil bumi seperti padi, buah-buahan, dan umbi-umbian menuju halaman paseban. Itulah sepenggal perayaan Seren Taun, upacara adat masyarakat Sunda sebagai wujud syukur sekaligus harapan untuk musim panen yang akan datang. Kini acara ini menjadi salah satu kekuatan wisata adat Sunda.

Meski mengusung makna yang sama, prosesi Seren taun berbeda-beda dari satu desa ke desa lainnya. Namun secara umum, masyarakat mempersembahkan hasil bumi dengan membawanya berkeliling kampung dan dilanjutkan dengan ritual menumbuk padi bersama-sama.

Puncak perayaan Seren Taun selalu dilakukan setiap tanggal 22 Rayagung, yakni bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda di Jawa Barat. Jika diselaraskan dengan kalender Masehi, biasanya jatuh sekitar bulan September. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya pada tanggal 18 Rayagung, ritual dimulai dengan prosesi damar sewu alias seribu lentera. Ketika malam tiba, satu obor besar akan dinyalakan, dilanjutkan dengan menyalakan obor-obor lain di sepanjang jalan desa sebagai simbol penerang jiwa.

Ritual selanjutnya bernama pesta dadung, yakni kegiatan menari dan menyanyi sambil memegang dadung atau tali pengikat kerbau atau sapi. Tradisi ini menjadi ungkapan cinta petani dalam mengelola sawah dan ternak dari segala gangguan (hama). Pesta dadung kerap dibarengi upacara membuang hama ke Situ Hyang.

Berbeda dengan pertanian modern yang menggunakan pestisida, masyarakat agraris konvensional memiliki kearifan untuk sekadar memindahkan hama agar keseimbangan ekosistem tetap terjaga. Dengan begitu, baik cacing, belalang, wereng, katak, tikus, ular, maupun manusia sendiri dapat hidup dalam harmoni tanpa ada yang punah atau berlebihan jumlahnya.

Berikutnya adalah malam kidung spiritual sebagai aktivitas sakral dari berbagai agama, adat, dan kepercayaan. Maka tak heran jika dalam upacara Seren Taun biasanya turut hadir para pendeta, pastor, biarawati, kiai, pandita, dan biksu. Selain itu, ada pula para raja dan sultan dari kerajaan lain, seperti Sultan Yogyakarta, Sultan Demak, Raja Sinjai, Raja Nusa Tenggara Timur (NTT), Raja Nusa Tenggara Barat (NTB), Raja Luwu, Raja Agung Tapanuli, dan Ratu Sumatera Utara.

Sementara ritual terakhir sebagai puncak Seren Taun terdiri atas persembahan kesenian, ngajayak atau persembahan hasil bumi, babarit atau tembang rohani, dan rajah pawahaci atau rangkaian doa. Sebagai penutup, ada kegiatan tumbuk padi (nutu) dan makan bersama. Aktivitas nutu diawali dengan pemberkatan aluoleh ketua adat, kemudian diserahkan oleh para pejabat dan undangan khusus.

Pada pesta makan bersama, semua peserta boleh ikut makan nasi tumpeng, tanpa kecuali. Prosesi ini mengabaikan segala sekat dan perbedaan status sosial. Maka untuk kesekian kalinya, Seren Taun kembali mengajarkan pentingnya menyelaraskan segala macam kebinekaan, tanpa menyeragamkannya.

Muasal Seren Taun

Dalam Bahasa Sunda, seren artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, sedangkan taun berarti tahun. Maka Seren Taun dapat dimaknai sebagai penyerahan hasil panen selama setahun sebagai wujud syukur kepada Tuhan dan harapan agar panen tahun mendatang akan lebih baik.

Tradisi ini sudah dilakukan turun-temurun sejak era kerajaan Sunda purba, ketika masyarakat masih menganut agama nenek moyang yang berbasis kehidupan agraris. Seorang tokoh bernama Kiai Madrais kemudian merumuskan pola ajaran ini dan menerapkannya ke dalam berbagai ritual Seren Taun. Sekarang setelah kebanyakan masyarakat Sunda memeluk agama Islam, di beberapa desa adat Sunda seperti Sindang Barang, ritual Seren Taun dilaksanakan dengan doa-doa Islam.

Selain doa-doa, bagian upacara lain yang menjadi daya tarik ritual Seren Taun adalah pertunjukan tarinya. Masing-masing daerah dapat menampilkan tarian yang berbeda. Namun umumnya terdapat tiga tarian yang selalu muncul, yaitu:

  • Tari Pwah Aci Sanghyang Sri

Nyai Pwah Aci Sanghyang Sri atau lebih dikenal dengan sebutan Dewi Sri merupakan dewi kesuburan yang selalu hadir dalam tradisi masyarakat agraris Nusantara. Tari ini ditujukan untuk menghormati Sang Dewi yang telah memberikan welas asih berupa pangan bagi kelangsungan hidup manusia. Karena tergolong sakral, tarian berkisar pada gerakan tangan mengarah pada mata, hidung, mulut, dan telinga untuk menetralisir rohdalam tubuh manusia agar dapat rataatau seimbang.

  • Tari Ngareremokeun

Berbeda dengan tari lainnya, Ngareremokeun dipentaskan oleh para lelaki dengan ritme yang ringan dan penuh penghayatan. Mereka menari sambil melantunkan kidung pujian diiringi angklung. Setelah itu, satu per satu duduk bersimpuh lalu menggosok gigi dengan sirih dan pinang.

  • Tari Buyung

Tarian ini menggunakan buyung dan kendi sebagai instrumennya. Buyung adalah benda yang biasa digunakan untuk mengambil air di sungai, sedangkan kendi merupakan tempat air sebelum dituang ke cangkir atau gelas. Para gadis harus melenggang di atas kendi, sembari menyunggi buyung di atas kepalanya. Mereka harus bergerak dengan penuh konsentrasi agar tidak jatuh atau menjatuhkan buyung. Atraksi ini menyiratkan pentingnya keseimbangan dalam menjalani kehidupan.

Selain ketiga tarian di atas, upacara yang berlansung selama berhari-hari memungkinkan masyarakat menampilkan banyak tarian Sunda lainnya, seperti Tari Jamparing Apsari dan Puragabaya yang lebih rancak.

Makna di Balik Angka

  • 18

Ritual Seren Taun dimulai sejak tanggal 18 bulan Rayagung. Dalam bahasa Sunda, bilangan 18 diucapkan dalapan welas. Kata ini identik dengan ungkapan welas asih yang berarti cinta kasih dan kemurahan Tuhan yang telah menganugerahi kehidupan bagi umat-Nya.

  • 22

Tanggal penyelenggaraan Seren Taun adalah 22 bulan Rayagung. Bilangan ini sama dengan jumlah padi yang diarak, yaitu 22 kuintal. Pembagiannya, 20 kuintal ditumbuk serta dibagikan ke penduduk dan 2 kuintal dijadikan benih. Dilansir dari situs kuningankab.go.id, angka 20 merefleksikan jumlah anatomi tubuh manusia, sedangkan angka 2 mengacu pada dualitas kehidupan, seperti siang-malam, baik-buruk, dan sebagainya.

Lokasi Perayaan Seren Taun

Setiap tahunnya, upacara Seren Taun berlangsung semarak di berbagai desa adat Sunda. Ratusan orang tumpah ke jalanan setiap hari, padahal rangkaian acara dilakukan selama 5 – 7 hari. Tak hanya melulu dari penduduk daerah di Jawa Barat, Seren Taun bahkan sudah menarik perhatian turis domestik dan mancanegara. Tertarik untuk ikut menyaksikan? Inilah beberapa desa adat Sunda yang menggelar Seren Taun pada setiap bulan September.

  • Kampung Adat Sindang Barang

Kampung Sindang Barang terlatak di Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Kampung Sindang Barang disinyalir merupakan kampung tertua yang berada di Bogor, diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Sunda sekitar abad XII. Di sinilah kebudayaan Sunda Bogor bermula dan bertahan, salah satunya upacara adat Seren Taun yang sesuai dengan mata pencaharian utama warganya, yakni petani.

  • Desa Cigugur

Desa Cigugur berada di lereng Gunung Ceremai, tepatnya di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Perayaan Seren Taun di sini adalah salah satu yang paling meriah. Awal munculnya perayaan Seren Taun di Desa Cigugur adalah ketika Kiai Madrais menetapkan tanggal 1 Muharam sebagai waktu diadakannya upacara Seren Taun. Menurut ajaran Madrais, Sanghyang Sri atau Dewi Padi perlu dihormati dengan upacara religius daur ulang penanaman padi untuk mengendalikan hawa nafsu dan menyelamatkan hidup.

  • Kampung Adat Ciptagelar

Ritual Seren Taun di Kabupaten Sukabumi terselenggara di pelataran alun-alun Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok. Alun-alun kasepuhan selalu ramai oleh warga dan tamu dari berbagai daerah pada puncak acara Seren Taun yang sudah dilakukan sejak 646 tahun silam.

  • Kasepuhan Pasir Eurih

Warga Kasepuhan Pasir Eurih menggelar ritual Seren taun di Desa Sindanglaya, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Ritual Seren Taun juga menjadi ajang silaturahmi antara warga sesama masyarakat Desa Sindanglaya. Dimulai dengan ziarah kubur, dilanjutkan dengan pembacaan dongeng tentang leluhur Pasir Eurih, dan berdoa untuk para leluhur. Puncaknya adalah ngariung, yaitu membawa nasi atau hasil bumi ke kasepuhan kemudian berzikir dan makan bersama.

Dok. TL