Pesta Sakura, 1 Pesta Hari Raya di Liwa

Pesta Sakura sebagai tradisi Idul Fitri di Liwa, Lampung

Pesta Sakura, ini tak ada kaitannya dengan musim bunga di Jepang. Juga tidak terlait dengan bunga khas matahari terbit itu. Ini adalah tradisi perayaan di saat Idul Fitri yang dilakukan masyarakat di Kabupaten Lampung Barat, Lampung.

Pesta Sakura

Kabut masih menggulung di depan kamar hotel yang terletak di salah satu jalan utama di Kabupaten Lampung Barat, Lampung. Memang masih pukul 06.00 lewat beberapa menit, tapi suara anak-anak begitu nyaring terdengar. Saya membuka gorden sedikit dan terlihat sekelompok anak sekolah dasar dan menengah. Beberapa tampak tengah membalut dirinya dengan kain panjang bercorak batik. Baik bagian wajah maupun badan. Pesta sakura atau sering disebut sekura segera dimulai.

Pesta Sakura adalah tradisi merayakan Idul Fitri atau Syawalan di Lampung Barat.
Pesta topeng Sakura menjadi tradisi di Liwa, Lampung Barat. Foto: Dok. shutterstock

Memang bukan Hari Raya Idul Fitri seperti lazimnya acara sakura digelar yang umumnya pada 2-10 Syawal. Namun, seperti diungkapkan Bupati Liwa Drs Muchlis Basri dalam pembukaan perayaan ulang tahun kabupaten ini, sakura kini tak hanya setahun sekali, tapi juga diadakan saat perayaan ulang tahun Liwa. Meski hanya melalui parade di pusat kota dan lebih ingin menikmati kesukariaan itu, saya pun bergegas keluar. Sinar mentari perlahan muncul dan hawa mulai menghangat.

Dikelilingi pegunungan dan tak hanya dikenal sebagai penghasil kopi dan sayuran, Liwa juga lekat oleh tradisi seni topeng sakura. Seni ini melekat di beberapa kecamatan, seperti di Belalau, Batu Brak, Liwa, dan Sukau.

“Datang pas Lebaran, sekuraan (perayaan sakura atau pesta sakura) di kampung-kampungnya ramai sekali,” ucap Udin, warga yang saya temui di Batu Brak. Sembari menunjuk gang kecil di antara rumah panggung, ia menyebutkan, “Orang-orang keluar dari gang kemudian keliling pekon (desa).”

Biasanya dimulai pada pagi hari. Satu kelompok akan bergabung dengan kelompok lain hingga keriuhan pun tak terhindarkan. Banyak juga yang menonton. Udin menjelaskan, orang yang bersakura itu tak hanya berjalan, tapi juga berjingkrak-jingkrak dan menari-nari. “Lucu-lucu kadang-kadang,” ucapnya sembari tersenyum.

Sakura juga disebut topeng kayu, tapi kini penutup wajah dibuat lebih bermacam-macam. Selain kayu, ada kain, kertas, dan dedaunan. Tanpa harus ditata sehingga tercipta bentuk indah. Justru dibuat tak beraturan agar terkesan aneh atau lucu, sehingga bisa menghibur. Walhasil, selendang, sarung, daun pisang kering, daun pohon sagu, dan rok perempuan pun bisa dilekatkan pada tubuh orang yang bersakura itu.

Yang ambil bagian bisa anak-anak dan orang tua. Yang pasti ialah kaum Adam. Tak mengherankan di Museum Nasional Lampung bisa ditemukan sakura anak, topeng yang berbentuk kecil dengan wajah seperti menangis, dan sakura tuha yang menunjukkan ekspresi orang sepuh.

Keragaman itu membuat sakura terbagi atas dua jenis. Pagi itu saya menemukan anak-anak sekolah berbalut kain bersih. Inilah yang disebut dengan sakura helau atau betik yang berarti bersih—sakura dengan kain bersih dan rapi.

Selain itu, ada sakura kamak yang dikenal sebagai sakura kotor. Biasanya menggunakan pakaian dan topeng dari tanaman. Pakaian yang dikenakan bak orang bekerja di ladang atau sawah. Hiasannya yang ditempel pun memberi kesan kotor. Sering juga lebih menonjolkan kelucuan, seperti pria dengan gaya ibu hamil.

Salah satu ciri lain dari sakura adalah tingkah polahnya selama berjalan keliling kampung. Orang yang bersakura berniat menarik perhatian orang dan menghibur. Mereka menari-nari, bertingkah lucu, dan kerap juga bergaya seperti binatang. Tak mengherankan ditemukan topeng kayu dengan bentuk hewan beruk yang merupakan peninggalan masa lalu dan kini tersimpan di Museum Negeri Lampung.

Pesta sakura biasanya diakhiri oleh panjat pinang. Nah, sakura kamak-lah yang akan ambil bagian dalam atraksi ini. Sebaliknya, sakura betik hanya menjadi penonton atau penggembira. Yang bersekura betik pada masa lalu adalah pria yang belum menikah atau mekhanai. Sedangkan sekura kamak bisa pria lajang ataupun sudah beristri (khagah).

Pesta Sakura dilaksanakan setiap tanggal 2 hingga 10 Syawal.
Pesta Sakura biasa dilaksanakan antara tanggal 2 hingga 10 Syawal. Foto: Dok. shutterstock

Dalam sebuah pawai karnaval, saya juga menemukan sakura cakak buah. Ditampilkan oleh sebuah sekolah dasar, rupanya sakura yang satu ini merupakan bagian dari sakura kamak. Mereka membawa beberapa buah-buahan seperti yang biasa dibuat untuk panjat pinang. Ada pula kelompok orang bersakura dengan gaya yang superlucu seperti dandanan ala perempuan yang membuat saya tersenyum sendiri. Kreasi orang bersakura memang bermacam-macam. Dan, yang paling penting bisa memancing perhatian orang.

Kata sakura sendiri berasal dari kata sakukha yang berarti penutup muka atau penutup wajah. Tujuan pesta sekura selain menghibur ialah bersilaturahmi dan berakhir pada panjat pinang yang sifatnya bergotong royong atau beguai jejama. Akhir dari pesta siang itu, orang-orang yang bersakura langsung berkumpul di lapangan. Di sana sudah berdiri beberapa pohon pinang dengan hadiah bergelantungan di atas. Keriuhan kembali meruap.

Keahlian memanjat dan kerja sama yang baik membuat benda-benda di atas pohon pun beralih tangan dengan cepat. Wajah-wajah penuh senyum pun bubar. Pesta usai. l

Dua Versi

Masyarakat Liwa meyakini sakura merupakan seni paling tua peninggalan leluhurnya, yakni buay tumi. Pada saat itu, suku tersebut menganut animisme dan sakura pun merupakan salah satu bentuk pemujaan terhadap penguasa alam dan roh-roh nenek moyang yang cenderung berwajah jelek serta berbusana dari dedaunan atau seadanya.

Jejak dari suku pertama di wilayah Lampung Barat ini adalah Ratu Sekarmong yang memimpin masyarakat buay tumi pada akhir pengaruh Hindu. Pada masa itu, sakura digelar saat panen ataupun bulan purnama, meski tak seorang pun bisa memastikan awal kemunculan tradisi sakura ini.

Namun, selama ini, sakura terkait dengan perayaan Idul Fitri atau datangnya bulan Syawal, sehingga ada peneliti yang memperkirakan sakura di daerah ini muncul pada zaman Islam. Islam menyebar di pesisir Barat Lampung ini sekitar abad ke-13 hingga sakuraan pun diperkirakan dimulai pada masa itu. Sakuraan menjadi ungkapan untuk rasa syukur ketika bulan Syawal datang dan sukacita menyambut hari suci dan besar.

Sementara itu, peneliti yang berbeda memperkirakan sakura dimunculkan pada Hari Idul Fitri setelah masyarakat Liwa menganut Islam, yang sempat terhenti sebelumnya. Seperti diungkapkan salah tokoh masyarakat setempat Habbibur Rahman Lekat Haiman Sukri seperti dikutip dari Penelitian Sejarah Sekala Bekhak Lampung Barat yang dikeluarkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Liwa.

Ia menyatakan sakura pernah tidak memunculkan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun akhirnya dihadirkan kembali saat Idul Fitri karena dinilai tepat sebagai acara silaturahmi atau ngejalang sesama warga. l

agendaIndonesia/TL/Rita N.

*****

Pengantin Betawi, Tradisi Unik 4 Bangsa

Pengantin Betawi memiliki akar pada tradisi dan budaya 4 bangsa.

Pengantin Betawi hingga hari ini masih banyak yang menduga ia bagian dari budaya dan tradisi perkawinan Melayu. Sesungguhnya, adat pengantin Betawi merupakan pengaruh dari empat budaya: yakni Cina, Arab, Portugis juga Melayu. Ke empatnya menyatu dalam rias bakal maupun rias besar.

Pengantin Betawi

Mumpung sedang ulang tahun Jakarta, tak ada salahnya membicarakan budaya masyarakat Betawi. Salah satunya adalah adat istiadat perkawinam, dalam hal ini gaya pengantinnya.

Mungkin banyak yang mengira pengantin Betawi itu gayanya biasa-biasa saja. Seringkali pengantin pria dengan jas sedangkan pengantin perempuannya dengan gaun modern.Kadang yang membedakan adanya perkawinan dengan adat Betawi hanyalah sepesang ondel-ondel yang biasanya dipajang di depan rumah atau pagar, atau malah di ujung gang dekat tempat tinggal pengantin perempuan.

Informasi soal gaya pengantin Betawi kami peroleh dari Milla House milik Emma Amalia Agus Bisrie. Kolektor batik nusantara dan berbagai barang khas Betawi ini memang memiliki sederet busana Betawi dari masa ke masa. Di sana pengunjung bisa menemukan busana pengantin Betawi yang msih kental dengan unsur Cina.

Berupa blus satin dengan kerah Shanghai berwarna merah dengan bordir kembang dan burung hong di beberapa titik. Bagian bawah rok atau disebut kun, dibuat dari beludru hitam, dengan hiasan corak dari benang emas, termasuk renda emas di bagian bawahnya.

Teratai atau hiasan di dada pun dari beludru hitam dengan kepingan logam keemasan dalam bentuk kupu-kupu dan bunga. Tak lupa siangko yang menjadi hiasan kepala lengkap dengan tirai-tirai cadar wajah yang membuahkan kecantikan tersendiri. Selopnya bak alas kaki milik Aladin, bagian depannya melengkung. Diberi nama sepatu kasut.

Alas kaki serupa juga yang dikenakan pengantin pria. Hanya busananya lebih condong ke model busana Timur Tengah. Di bagian dalam dikenakan gamis kemudian selempang berbordir. Selanjutnya ditutup jubah panjang dari beludru yang bertaburan bebatuan. Topinya mirip punya Aladin. Bulat dan padat dengan untaian kembang melati di salah satu sisinya.

Pengantin Betawi memiliki perpaduan dari banyak tradisi, setidaknya ada 4 buaya internasional.
Pasangan model pakaian pengantin Betawi. Foto: Dok TL/Milla House

Perpaduan berbagai budaya dari luar memang menjadi ciri khas Suku Betawi. Hingga menyusup dalam soal busananya. “Busana Pengantin Betawi pun merupakan campuran dari Cina, Arab dan Portugis,” ujar Emma Amalia Agus Bisrie.

Ada dua jenis busana pengantin khas Betawi, yakni Rias Bakal atau saat akad nikah dan Rias Besar saat resepsi. Rias Bakal tidak banyak mengalami perubahan. Namun tetap unik karena benar-benar campuran berbagai bangsa dan daerah.

Untuk perempuan, misalnya di bawah mengenakan songket, dengan pilihan songket Palembang, Padang atau Medan. Terutama yang bermotif tombak atau pucuk rebung.

Bagian atasnya dikenakan baju kurung dari sutera atau beludru, dengan hiasan tabur dan benang emas. Di pundaknya dikenakan juga hiasan dada yang disebut teratai itu, sama seperti model awal, dibuat dari beludru dengan hiasan kepingan logam keemasan.

Ini masih dilengkapi perhiasan kerabu alias anting-anting, sunting yang digantungkan ditelinga, siangko dengan cadar tirainya. Ditambah kroon atau mahkota dan 9 atau 11 tusuk konde kembang goyang. Yang khas adalah di bagian kening dibuat goresan bulan sabit.

Busana akad nikah pria yang diberi nama Jas Kain Serebet cenderung sederhana. Sarung Samarinda, Plekat atau Bugis di bagian bawah, kemeja putih dan jas dengan hiasan bunga ros dan anggrek di dada, tapi kadang hanya sebuah saputangan warna merah, plus peci di bagian kepala.

Busana Rias Besar atau resepsi lah yang mengalami perkembangan dari masa ke masa. Busana model Cina yang disebut di awal merupakan busana yang pertama-tama muncul dalam resepsi pernikahan ala Betawi dan disebut Rias Besar Dandanan Care Pengantin Cine.

Sang pria pada masa itu mengenakan Care Haji yang memang diadaptasi dari pakaian Timur Tengah atau busana haji. Ada jubah, alpie atau topi bulat, gamis, dan selempang tanda kebesaran. Dikenakan dari pundak kiri ke pinggang kanan, yang bermakna hal manusiawi jika orang cenderung memilih jalan ke kiri atau melakukan kesalahan, tapi selanjutnya harus ditarik ke kanan, menuju kebenaran.

Pada 1980-an orang cenderung lebih modern. Walhasil, busana pengantin perempuan dibuat dari bahan organdi dan lebih kental dengan unsur Barat.

Rok  terbagi dua bagian, bagian dalam yang menyerupai sarung dengan bagian tengahnya dibuat bordir kerancang, sedangkan rok kedua dibuat lebar.

Busana atas lebih mirip blus biasa hanya penuh dengan payet dan bordir. Hanya hiasan teratai, siangko, macam-macam tusuk konde seperti kembang goyang, kembang rumput, Lam, dan lain-lain masih tetap dimunculkan. Sementara pengantin pria masih setia dengan model Care Haji, hanya muncul dalam variasi warna berbeda.

Beruntung, akhir-akhir ini orang cenderung kembali gandrung pada model tradisional meski dikemas modern. Koleksi busana pengantin milik Milla House menunjukkan perkembangan tersebut. Dua koleksinya, lebih modern namun tetap kental dengan tradisi. Sang perempuan dengan kebaya kerancang nan cantik. Dipadu dengan rok lurus di bagian dalam dan tambahan kiri-kanan yang melebar.

Semakin kinclong dengan hiasan siangko bercadar, mahkota, sunting di telinga, selain juga anting kerabu, dan aneka tusuk konde, seperti kembang goyang, tusuk Lam, kembang rumput. Ada pula dengan rok lebar tapi masih memunculkan corak-corak batik lawas, seperti pucuk rebung dalam hiasannya.

Yang tidak berubah banyak tentunya hiasan di dada dan sanggul buatan (sanggul khas pengantin Betawi yang menggunakan cemara panjang dan dibentuk seperti stupa yang di dalamnya diisi irisan daun pandan) beserta hiasan kepalanya. Yang dua itu memang masih Betawi banget.

Jika suatu saat hendak menikah atau menikahkan putra-putrinya, mungkin bisa mengagendakan dengan gaya pengantin Betawi.

agendaIndonesia/TL/Rita/Aditya/Milla House

*****

Boneka Sigale-gale Pertama Dibuat Tahun 1930

Boneka Sigale-gale dari tradisi Batak Samosir.

Boneka Sigale-gale yang dibalut ulos itu tampak menonjol dalam Festival Danau Toba di Pulau Samosir, Sumatera Utara, beberapa tahun lalu. Tidak seperti biasanya, kali ini boneka itu muncul dalam bentuk raksasa. Tingginya mencapai 16 meter, berdiri menjulang di tepi perairan Tuktuk Siadong, Samosir. Selain bagian badan diselubungi ulos, boneka itu mengenakan penutup kepala tradisional.

Boneka Sigale-gale

Dalam perhelatan besar tersebut, Sigale-gale memang benar-benar ditonjolkan. Tidak hanya dipajang menyambut para pengunjung atau peserta festival, tapi juga diperke- nalkan sebagai salah satu kesenian rakyat yang melekat dengan suku Batak Toba. Di antaranya dengan karnaval Sigale-gale. Boneka Sigale-gale yang memiliki ukuran serupa manusia diarak sejauh 18 kilometer diiringi irama musik khas Batak dalam karnaval itu. Perjalanan dimulai dari Tuktuk, Samosir. Tidak hanya dibalut baju hitam, tapi juga ada juga boneka yang mengenakan pakaian merah dan kuning. Lengkap dengan kayu di lengan sebagai alat penggerak.

Untuk memperkenalkan lebih jauh, diadakan pula pelatihan pembuatan boneka kayu tersebut, termasuk latihan untuk memainkannya. Maklum, bila ke Samosir, hanya ada beberapa lokasi untuk menyimak pertunjukan tradisional ini. Jumlah pembuat boneka dan dalangnya pun terus menyusut. Walhasil, dalam acara seni budaya ini, Sigale-gale diangkat kembali.

Jika tidak datang bertepatan dengan festival tahunan ini, sebenarnya hanya beberapa langkah dari Pelabuhan Tomok, kisah Sigale-gale sudah bisa dicermati. Tepatnya,di pemakaman Raja Sidabutar. Di sana, boneka kayu itu biasa dipentaskan dengan iringan musik dari tape recorder. Sementara si boneka menari-nari dengan lengan yang digerakkan, anak-anak setempat ikut menari seiring irama yang mengalun.

Boneka Sigale-gale yang terbuat dari kayu seukuran manusia dewasa.
Boneka Sigale-gale yang terbuat dari kayu sebagai salah satu tradisi dan budaya masyarakat Samosir, Sumatera Utara. Foto: Dok. shutterstock

Pertunjukan singkat ini bisa menjadi awal perkenalan dengan boneka kayu yang sudah ada sejak lama. Sebuah versi menyebut tradisi ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Namun, versi lain menyebut, tradisinya sudah lama namun bonekanya sendiri pertama kali dibuat pada 1930. Mana yang benar, walahualam. Yang jelas ini adalah salah satu kekayaan budaya Samosir yang tiada tara.

Kisah Sigale-gale memang melekat dengan masyarakat Samosir. Terdapat beberapa versi soal kemunculan boneka kayu ini. Kebanyakan memang menuturkan kisahnya dimulai pada masa Raja Rahat, yang berasal dari salah satu kerajaan di Samosir. Ia mempunyai anak semata wayang, Raja Manggale. Untuk memperluas kekuasaan, ia mengutus anaknya ke medan perang. Namun sang putra gugur. Sang raja pun sedih bukan alang kepalang. Ia selalu meratap, sehingga rakyat ikut berduka.

Dukun dalam masyarakat setempat, disebut datu-datu, lalu membuatkan boneka kayu yang mirip dengan anak sang raja untuk menghiburnya. Boneka itu dipakaikan ulos serta tali pengikat kepala dalam warna merah, hitam, dan putih, lantas dimasukkan ke peti. Beberapa datu-datu pun memanggil roh Raja Manggale dengan bantuan iringan musik tradisional, sehingga boneka itu bisa bangkit dan manortor atau menggerakkan tangannya seperti menari tortor. Raja merasa bahagia. Ketika dilanda rindu, ia kerap meminta diadakan pertunjukan boneka kayu tersebut. Karena disertai aksi pemanggilan roh, atraksi ini kerap dikaitkan dengan hal mistis.

Tentu, kini tidak ada roh yang dipanggil dalam setiap pertunjukan. Namun cerita itu semakin menyebar dan menjadi ciri masyarakat Toba Samosir. Pertunjukannya pun menjadi atraksi kesenian rakyat setempat. Gerakan boneka yang gemulai saat menari membuatnya dinamakan Sigale-gale. Sigale-gale dalam bahasa setempat artinya lemas, tapi dalam kaitannya dengan boneka ini, istilah itu juga berarti lemah gemulai.

Versi lain menyebutkan, ada seorang ayah yang kehilangan anak lantaran sang anak sakit. Karena suku Batak menganut prinsip patrilineal, pria tersebut sedih bukanmain tidak mempunyai keturunan. Ia pun membuat boneka yang menyerupai anaknya untuk menghibur diri. Langkah itu diikuti oleh para pria yang mengalami hal serupa. Bahkan, boneka itu kemudian digunakan sebagai penolak bala oleh masyarakat.

Boneka Sigale-gale dari Samosir kini menjadi salah satu atraksi budaya yang menarik perhatian wisatawan.
Wisatawan berkunjung ke Samosir dan menikmati atraksi Boneka Sigale-gale. Foto: Dok. shutterstock

Pembuatan boneka tersebut juga dikaitkan dengan kepercayaan animisme yang dianut suku Batak pada masa itu. Masyarakat Samosir meyakini orang yang meninggal tanpa keturunan akan memiliki derajat rendah, bahkan setingkat dengan roh jahat. Karena itu, perlu ada tarian dan sesajen selama seminggu. Dalam kesempatan itulah Sigale-gale menari bersama sanak-saudara orang yang meninggal. Boneka tersebut juga diberi pakaian bagus. Perhelatan ini sebagai doa agar kedukaan tidak datang kembali ke keluarga tersebut.

Pertunjukan tari tortor dengan boneka kayu tersebut bisa ditemukan di Museum Huta Bolon, Simanindo. Bila ke Samosir, setelah tiba di pelabuhan di Tomok, Anda bisa melaju ke kanan, kemudian menemukan Desa Tuk Tuk dengan gerbangnya yang indah. Selanjutnya, Anda akan masuk ke Desa Ambarita, baru kemudian tiba di Desa Simanindo. Di ping- gir jalan utama, museum tersebut dengan mudah ditemukan.

Setiap hari pada pukul 11.00, di museum itu digelar seni tari Batak. Di antaranya pentas Tortor Sigale-gale. Di depan deretan rumah bolon atau rumah adat Batak Toba, boneka kayu manortor diiringi dengan gendang dan instrumen lain. Ada dua boneka: berukuran kecil dan besar. Boneka itu menari diiringi oleh belasan penari. Bahkan, para pengunjung diajak untuk turut menari. Di tengah irama musik, ketika para pengunjung menaruh uang di wadah yang tersedia, para penari pun berucap, “Horas!”

Rita N./TL/agendaIndonesia

*****

Reog Ponorogo, Titisan Seni Abad 11

Reog Ponorogo merupakan seni tari sejak abad 11. Foto: shutterstock

Reog Ponorogo selalu menjadi pertunjukan yang menakjubkan. Terutama ketika penari Barongan utamanya muncul dan ‘ndadi’, untuk memperlihatkan ia melakukan aksi yang “agak” tak masuk akal. Misalnya dengan topengnya yang sangat besar, dan pasti berat itu, di sisi kepala masih mengangkat seorang penari. Kata orang ada unsur magisnya.

Reog Ponorogo

Betulkah demikian? Kesenian yang berasal dari Ponorogo, sebuah kota dan kabupaten di sisi barat Provinsi Jawa Timur ini memang unik. Seni pertunjukan reog Ponorogo diyakini telah ada sejak abad ke-11, tepatnya pada masa kerajaan Kediri.

Kata ‘reog’ sendiri dianggap berasal dari istilah ‘angreok’ yang ditulis Mpu Prapanca dalam naskah sastra gubahannya, Nagarakertagama. ‘Angreok’ merupakan istilah yang kurang lebih merujuk kepada sebuah pertunjukan tradisional yang dulunya ditujukan sebagai penyemangat, suri teladan dan hiburan bagi rakyat. Beberapa unsur dan detail dalam pertunjukan tersebut dipercaya sebagai asal usul reog.

Reog Ponorogo memiliki berbagai versi sejarahnya. Salah satunya dimulai dari zaman Majapahit.
Festival Reog Ponorogo menjadi agenda tahunan Pemerintah Daerah Ponorogo. Foto” Pemkab Ponorogo

Jalan cerita sendratari dalam pertunjukan reog Ponorogo disebut sebagai representasi sikap protes Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan Majapahit. Ia merasa gamang atas kondisi kerajaan yang digerogoti korupsi, dan pengaruh Tiongkok, setelah raja menikahi putri Campa dari Tiongkok.

Melihat situasi tersebut, ia mulai khawatir jika Majapahit tak lama lagi akan runtuh. Dari kekhawatirannya tersebut, ia kemudian mendirikan padepokan dan merekrut anak-anak muda untuk belajar ilmu kebatinan dan bela diri.

Harapannya, anak-anak muda ini akan menjadi bibit-bibit yang mampu menumbuhkan kembali Majapahit bila suatu saat nanti benar-benar runtuh. Kendati demikian, ia masih merasa jumlah murid asuhannya masih tak cukup banyak bilamana terjadi pertempuran.

Oleh karena itu, ia berusaha untuk memobilisasi rakyat lewat pertunjukan seni yang memuat nilai dan pesan politis mengenai kondisi kerajaan kala itu. Beberapa penokohan yang terdapat di pertunjukan ini kemudian menjadi cikal bakal unsur kesenian reog kini.

Dalam pertunjukan tersebut, terdapat penari Barongan dengan topeng singa yang memiliki bulu-bulu merak, sehingga menyerupai kipas. Ini merupakan representasi dari raja dan kerajaan yang sedang banyak dipengaruhi oleh kepentingan orang-orang asing.

Kemudian ada penari Jathilan, yang tampil dengan menggunakan kuda-kudaan, sebagai representasi pasukan kerajaan. Mereka digambarkan bertarung melawan penari Warok, yang berdandan serba hitam dengan topeng, sebagai simbol Ki Ageng Kutu dan muridnya.

Pertunjukan sendratari ini terbukti populer dan sangat diterima oleh rakyat pada saat itu, hingga terdengar oleh kerajaan. Mengetahui potensi niat pemberontakan, pertempuran pun pecah dan Ki Ageng Kutu beserta muridnya mampu dikalahkan.

Festival Reog Ponorogo Kemenparekraf
Salah satu pertunjukan Reog Ponorogo. Foto: Kemenparekraf

Namun demikian, kesenian tersebut telah mendapat tempat di hati rakyat. Sehingga pada perkembangannya, pertunjukan seni ini terus diadakan walaupun terdapat modifikasi pada alur cerita dan penokohannya.

Ada pula versi yang menyebut bahwa kesenian serupa reog yang berasal dari era kerajaan Kediri dan memiliki jalan ceritanya sendiri. Versi ini menyebut bahwa kisah sendratari ini terinspirasi dari kisah antara kerajaan Kediri dan Bantarangin.

Diceritakan, Prabu Klanasewandana adalah raja dari kerajaan Bantarangin yang bermaksud untuk mempersunting Dewi Sanggalangit, putri dari kerajaan Kediri. Tetapi pihak kerajaan Kediri pada saat itu masih merasa tak berkenan dan enggan memberi restu.

Akhirnya mereka mengajukan syarat, siapapun yang ingin menikahi sang putri harus mengalahkan pasukan Singo Barong, yang digambarkan berwujud singa berbulu merak. Prabu Klanasewandana lantas menghadapinya dengan pasukan Jathilan dan Warok.

Jathilan digambarkan sebagai pasukan kerajaan yang kewalahan melawan para Singo Barong, sedangkan Warok disebut memiliki ilmu kebatinan yang mampu menandingi dan membantunya mengalahkan Singo Barong tersebut. Ada pula tokoh Bujang Ganong sebagai patih kerajaan.

Prabu Klanasewandana kemudian membawa beberapa Singo Barong tersebut sebagai mas kawin. Akhirnya ia mendapat restu dan pesta pernikahan pun dilangsungkan. Versi cerita inilah yang boleh dibilang paling lazim dipentaskan dalam setiap pertunjukan reog saat ini.

Reog Ponorogo terdiri dari Singo Barong, Warok dan jathilan.
Penari Jathilan pada Reog Ponorogo. Foto: Kemenparekraf

Ada pula kepercayaan warga Ponorogo bahwa reog merupakan kesenian yang berlandaskan ritual penolak bala. Kepercayaan ini menganggap bahwa seni tari dengan menggunakan topeng berwujud setengah singa setengah harimau dapat menghalau hal-hal buruk.

Wujud topeng tersebut adalah representasi dari roh ‘penjaga’ yang telah ada sejak Ponorogo masih berupa hutan belantara dulu. Sehingga dalam perkembangannya, ritual ini berevolusi dan dilestarikan menjadi kesenian reog.

Pada era sekarang ini, reog Ponorogo dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama adalah reog obyog, yakni reog yang cenderung lebih sederhana dan tidak terlalu berpaku pada satu versi cerita. Biasanya reog obyog banyak ditemukan di pedesaan, misalnya pada hari besar atau hajatan tertentu.

Versi yang kedua adalah reog festival, yaitu reog yang biasanya sudah dilatih untuk mengikuti salah satu versi, serta umumnya lebih profesional, utamanya dari segi peralatan. Reog jenis ini tampil pada acara resmi, misalnya pada gelaran Festival Reog.

Festival Reog sendiri adalah acara yang digelar setahun sekali sejak 1997 oleh pemerintah kota Ponorogo. Tujuannya tentu untuk memberi panggung bagi para penampil reog dan mempromosikan kesenian reog sebagai jati diri Ponorogo.

Walaupun punya jenis dan tafsiran yang berbeda-beda, namun secara umum ada beberapa hal yang serupa bagi semua versi. Misalnya, penari Warok biasanya adalah laki-laki berjumlah minimal enam hingga delapan orang, berdandan serba hitam dan bertopeng.

Sedangkan penari Jathilan adalah perempuan berjumlah minimal enam hingga delapan orang, dengan aksesoris kuda-kudaan. Dulu Jathilan diperankan laki-laki dengan dandanan dan tarian yang feminin, namun seiring perkembangan jaman peran ini kini dilakoni oleh perempuan.

Adapun Singo Barong memiliki topeng yang terbuat dari bulu burung merak dan kulit harimau. Ukurannya sangat besar, dengan ukuran panjang sekitar 2,25 meter dan lebar kurang lebih 2,30 meter. Bobotnya pun tergolong berat, berkisar antara 50 sampai 80 kg.

Yang menarik, topeng ini ditopang oleh penarinya dengan gigi. Penari Singo Barong biasanya sudah sangat terlatih, bahkan konon diwajibkan untuk memperdalam ilmu spiritual dengan cara berpuasa, bertapa dan lain sebagainya.

Untuk mengiringi pertunjukan reog, musik pun dimainkan menggunakan beragam alat musik tradisional. Mulai dari kenong, saron, bonang, kempul, gong, kendang, ketipung, angklung, dan slompret.

Hingga saat ini, reog Ponorogo masih terhitung sebagai salah satu kesenian tari tradisional Indonesia yang paling populer. Bahkan populasi di negara lain seperti Malaysia dan Suriname yang notabene masih keturunan Jawa, juga didapat membawa dan mementaskan kesenian ini.

Maka tak heran bila organisasi kebudayaan PBB yakni UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menetapkan reog Ponorogo sebagai salah satu warisan budaya nonbenda. Sebuah kesenian yang hingga kini lekat sebagai ikon kota Ponorogo.

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Bau Nyale, Saat Hari Ke-5 Purnama Kalender Sasak

Bau Nyale adalah sebuah perayaan tentang cacing atau nyale merupakan perwujudan putri yang menyerahkan diri dan cintanya kepada rakyat.

Bau Nyale

Pantai Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, yang pernah saya singgahi beberapa tahun lalu, terasa berbeda kali ini. Keramaian ada di mana-mana. Wajar saja jejeran pantai dari Tanjung Aan hingga Kuta itu terasa riuh. Sebab, saya datang menjelang Upacara Bau Nyale. Ritual tahunan yang digelar saat bulan purnama antara Februari dan Maret bahkan telah dikemas menjadi satu festival. Bau dalam bahasa Sasak berarti menangkap, sedangkan nyale bermakna cacing. Kegiatan utamanya memang memburu cacing saat air laut surut.

Tradisi menangkap cacing yang muncul dari lubang-lubang karang di Pantai Seger maupun Kuta ini bermula dari legenda masyarakat di Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Pada zaman dulu, Kerajaan Mandalika, yang berada di daerah itu, memiliki seorang putri yang elok dan memikat sejumlah pangeran. Namun sang putri tidak mau menimbulkan pertumpahan darah akibat masalah cinta.

Ia memutuskan untuk terjun ke laut dari bukit yang berada di Pantai Seger atau dikenal juga sebagai Pantai Mandalika. Lokasinya bersebelahan dengan Pantai Kuta. Dengan cara itu, ia bisa membagi dirinya untuk pangeran yang mencintainya dan juga rakyatnya. Setelah tubuh Putri Mandalika ditelan ombak, muncullah cacing berwarna-warni dari batu karang. Masyarakat setempat meyakini cacing itu jelmaan sang putri.

Nah, setiap tahun, perwujudan sang putri itu selalu muncul di laut pada hari kelima purnama bulan 10 kalender Sasak. Tahun ini, Upacara Bau Nyale digelar pada 19-20 Februari. Namun kini lebih berfokus pada masa Bau Nyale Poto (akhir bau nyale) daripada Bau Nyale Tunggak (awal bau nyale) seperti tahun-tahun sebelumnya.

Sebenarnya acara menangkap cacing dilakukan juga di sejumlah pantai di Lombok. Setidaknya, ada 16 titik untuk menjaring nyale. Hanya, karena legendanya tumbuh di Pantai Seger, festival selalu dipusatkan di kawasan Kuta. Sebelumnya, sejumlah kegiatan dan ritual digelar. Para tarune (pemuda) menjajal aneka lomba tradisional, di antaranya, bertarung dalam presean—sejenis bela diri dengan senjata sebilah tongkat rotan. Dilengkapi juga dengan tameng dari kulit sapi. Presean digelar di tepi pantai. Suasananya riuh karena teriakan orang berbaur dengan gendingpengiring pertarungan yang terdiri atas dua gendang dan masing-masing satu set petuk, rencek, gong, dan seruling.

Tidak jauh dari Tanjung Aan, yang berada di sebelah Pantai Seger, saya menemukan pacuan kuda anak-anak. Areanya yang besar membikin saya lebih leluasa menyaksikan pacuan kuda dari jauh. Rasanya miris juga menyimak dari dekat. Tanpa pelana dan perlindungan ala kadarnya, sejumlah bocah berusia 9-13 tahun memacu kuda. Peserta datang dari berbagai desa, bahkan juga dari Sumbawa.

Esoknya, saya menemukan keriuhan lain di lobi sebuah hotel di kawasan Kuta. Dung-dung-dang-dang-jreng! Suara tersebut begitu nyaring tertangkap telinga. Terlihat rombongan pria berbalut seragam berupa pakaian tradisional suku Sasak. Mereka rupanya menyambut tetamu hotel. Masing-masing membawa perangkat musik. Mulai gendang beleq (besar), gendang kecil, gong, hingga seruling. Kebanyakan grup gendang beleq terdiri atas belasan kru, dengan semua pemain laki-laki.

Menjelang Festival Bau Nyale, keramaian memang tak putus-putus. Di kampung-kampung pun warga membuat penyambutan. Mereka memotong ayam, lalu memanggang dan memadukannya dengan ketupat. Ini suguhan wajib yang telah menjadi tradisi. Sore hari, suasana kian ramai di sepanjang Pantai Tanjung Aan hingga Kuta. Warga dari berbagai penjuru Lombok berdatangan. Turis-turis pun tak mau kalah ikut nimbrung.

Langit semakin gelap, saya melihat air laut surut semakin jauh. Meski perburuan cacing yang dikenal dengan nama nyale oleh warga setempat mulai dilakukan dinihari, obor-obor di tepi pantai sudah terlihat. Ada juga orang yang mencari peruntungan lebih awal. “Kadang memang nyale sudah mulai bermunculan pas matahari tenggelam, tapi yang benar-benar banyak nanti pukul 03.00 atau 04.00 gitu,” ujar Adi, warga Desa Rimbitan, Pujut, yang setiap tahun ikut berburu nyale.

Saya pun memilih beristirahat agar benar-benar bisa ambil bagian dalam perburuan cacing yang memiliki nama Latin Polychaeta dan hidup di dasar laut itu. Jenis cacing ini muncul ke permukaan laut atau muara setahun sekali untuk berkembang biak. Namun warga Lombok mengaitkannya dengan legenda Putri Mandalika.

Festival Bau Nyale telah menjadi sarana promosi wisata Lombok Tengah, sehingga tradisi pun dikemas dengan rangkaian hiburan. Tidak hanya dendang khas suku Sasak dan drama tentang Putri Mandalika, tapi juga ada penyanyi-penyanyi dari luar kota. Setelah berbagai keramaian di panggung, warga berburu cacing pada pukul 04.00. Di tengah kegelapan, saya ikut beramai-ramai dengan warga menuju Pantai Seger.

Jalan menuju pantai bukan pasir nan mulus seperti dua pantai di sebelahnya, Kuta dan Tanjung Aan. Berada di antara bukit kecil, jalannya agak berliku. Pantainya penuh dengan batu karang. Ketika air surut, pulau kecil di depannya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Dan saat surut itulah dari batu karang muncul cacing berwarna-warni, seperti hijau dan kuning.

Seolah diberi aba-aba, warga semakin maju ke tengah pantai. Mereka membungkuk, mengorek-ngorek batu karang, lalu menjumput cacing dan memasukkannya ke botol, ember, atau wadah lain yang dibawa. Kebanyakan warga mengolah cacing ini dengan cara dipepes. Ketika mentari mulai muncul, sedikit demi sedikit orang mundur dengan ember atau botol berisi cacing. “Kalau dapatnya sedikit, nanti di pasar juga suka ada yang jual,” ujar Adi, sembari menyebutkan bahwa hidangan dari cacing ini rasanya memang luar biasa. Waaah! l

Lokasi lain untuk berburu nyale

1. Pantai Kaliantan, Lombok Timur

2. Pantai Sekongkang, Sumbawa Barat

3. Pantai Wanukaka, Sumba Barat

Info

1. Akomodasi saat digelar Festival Bau Nyale di Lombok Tengah selalu penuh. Jadi, pesanlah kamar sejak jauh-jauh hari agar bisa mendapatkan hotel yang lokasinya tidak jauh dari pantai tempat festival digelar.

2. Deretan Pantai Tanjung Aan, Seger, dan Kuta berada di Lombok Tengah, yang bisa dicapai dari Bandara Internasional Lombok dalam 30 menit.

3. Datanglah minimal tiga hari sebelum festival, sehingga Anda bisa menyaksikan berbagai atraksi tradisional. Di sekitar kawasan Kuta juga terdapat beberapa pantai lain yang layak dikunjungi, seperti Pantai Mawun, Teluk Gerupuk, Pantai Selong Belanak, dan Pantai Mawi. Selain itu, ada Desa Sade dan Desa Sukarara, yang dikenal dengan adat dan kerajinan tradisionalnya.

agendaIndonesia/Rita N./Subekti/Dok. TL

*****

Tari Kecak, Seni Tari Popular Mulai 1930

Tari Kecak Bali, kesenian tradisional yang mengandung makna spiritual. Foto: unsplash

Tari kecak rasanya salah satu seni tari tradisional Bali yang sudah sangat popular. Di Tengah acara G20 di Bali November 2022 ini, rasanya seni ini yang akan mendapat cukup banyak perhatian, selain tari Pendet yang ditampilkan untuk menyambut para tamu negara. Tetapi mungkin belum banyak yang mengetahui makna spiritual yang menjadi alasan ikon budaya pulau Dewata ini menjadi tradisi yang terus dilestarikan hingga kini.

Tari Kecak

Secara umum, tari kecak merupakan seni tari yang diperagakan oleh sejumlah laki-laki yang duduk melingkar. Jumlah penari ini bisa mencapai puluhan hingga ratusan orang, ditambah beberapa penari yang tampil di tengah-tengah para penari laki-laki yang melingkar tersebut.

Penari-penari yang tampil di tengah lingkaran tersebut lantas menampilkan sendratari epos Ramayana, yakni kisah Rama yang berupaya menyelamatkan Shinta dari Rahwana. Dalam upayanya ini Rama dibantu pasukan kera yang dipimpin Hanoman.

Para penari yang melingkar itu adalah representasi dari pasukan kera tersebut, sebagai latar dari lakon yang diperagakan. Para penari biasanya akan tampil dengan kain kotak-kotak yang dikenakan seperti sarung di pinggang, tanpa mengenakan baju.

Tari Kecak merupakan simbol taolak bala dalam masyarakat Bali.
Tari Kecak Bali merupakan bagian dari cerita Ramayana. Foto: DOk. Kemenparekraf

Sebagai latar lakon yang dipertunjukkan, para penari tersebut kemudian akan menari dengan mengangkat tangannya ke atas dan menggoyangkannya ke kanan atau ke kiri, sambil berseru kata ‘cak’, atau ‘cak-cak’ berulang kali secara berirama. Bagi telinga awam, seruan ‘cak’ yang berulang inilah mengapa tari ini kemudian lazim disebut tari kecak.

Dalam pertunjukan tari ini, tidak ada alunan musik dari alat musik yang dimainkan untuk mengiringi jalannya pertunjukan. Hanya ada suara kerincing yang dipakai di kaki dan tangan para penari di dalam lingkaran, serta tentunya seruan ‘cak’ dan ‘kecak’ yang khas itu. Kadang ditambah tiruan gamelan dari mulut para penari. Semacam acapela.

Di balik lakon bertema pewayangan Hindu tersebut, tari kecak disebut punya keterkaitan dengan seni tradisional Bali lainnya, yaitu ritual tari sanghyang. Ritual ini merupakan perpaduan unsur mistik dengan kepercayaan luhur masyarakat Bali.

Ritual ini diyakini telah ada sejak masa pra-Hindu di wilayah Bali. Pada dasarnya, para penampil ritual ini adalah orang-orang yang disebut tidak sadarkan diri dan disusupi oleh hyang (roh), sehingga dapat bergerak dan menari sendiri tanpa terkendali.

Bahkan, para penari ritual tersebut dapat menginjak api sambil menari atau melakukan gerakan tarian yang tak lazim dilakukan manusia pada umumnya. Konon, ini merupakan cara berinteraksi secara spiritual dengan sang Pencipta, meminta agar dihindarkan dari keburukan.

Ritual ini pun sejatinya bukanlah sebuah pertunjukkan yang marak dipertontonkan untuk umum, karena nilai sakralnya. Biasanya ritual ini dilakukan pada situasi tertentu yang dianggap mencemaskan, seperti saat serangan wabah penyakit, dan lain sebagainya.

Tari Kecak Bali PARIWISATA ATRAKSI shutterstock 1332483425 Aries Hendrick Apriyanto 660c40fe2d
Tari Kecak dibawakan oleh puluhan hingga ratusan penari. Foto: Shutterstock

Tari kecak sendiri secara mendasar juga ditujukan sebagai ritual penolak bala. Beberapa elemen dari ritual tersebut seperti beberapa penari-penarinya yang juga dirasuki dan menginjak bara api, serta sesajen juga kerap terdapat pada pementasan tari ini.

Selain itu, penampilan kisah Ramayana dalam pertunjukannya juga mengandung pesan moral seperti usaha dan perjuangan yang pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan. Serta pentingnya untuk tidak serakah, pun selalu ingat dan berserah diri kepada sang Pencipta.

Menurut sejarahnya, tari kecak mulai dipopulerkan pada tahun 1930-an. Semua berawal ketika Walter Spies, seorang seniman asal Jerman yang tinggal di Bali sedang mendalami kesenian tradisional setempat, termasuk ritual tari sanghyang.

Ritual tersebut meninggalkan impresi yang mendalam baginya, sehingga ia kemudian berdiskusi dengan temannya, seorang seniman tradisional Bali bernama I Wayan Limbak. Mereka lantas berkolaborasi dan mengaransemen pertunjukan tari kecak seperti yang dikenal saat ini.

Kala itu, I Wayan Limbak sendiri tengah mengembangkan gerakan-gerakan baru pada tari baris, yakni tari tradisional Bali yang berakar pada tari perang di masa lalu, sebagai tanda pemuda-pemuda dianggap sudah dewasa dan siap bertarung. Tari ini biasanya diiringi oleh gamelan.

Dari kolaborasi itu, tercetus ide untuk mengintegrasikan gerakan yang tengah dikembangkan tersebut ke dalam sendratari Ramayana. Namun alih-alih diiringi gamelan, penampilan tersebut kemudian diiringi oleh seruan ‘cak’ dan ‘kecak’ yang berirama, layaknya sebuah ritual.

Irama tersebut lantas diatur oleh aba-aba seseorang di dalam kumpulan lingkaran tersebut layaknya seorang konduktor. Seseorang lainnya kemudian bernyanyi sesuai alur ceritanya, didampingi oleh sang dalang yang menarasikan jalan cerita.

Setelah aransemen secara keseluruhan telah jadi, tari ini kemudian dipertunjukan kepada umum di beberapa desa, utamanya di wilayah Gianyar. Setelah populer, kini tari ini dipentaskan di berbagai tempat lainnya, seperti Uluwatu, Tanah Lot, dan Garuda Wisnu Kencana.

prabu panji SXM0NC45wU0 unsplash
Rama dan Sinta sebagai bagian pergelaran Tari Kecak. Foto: unsplash

I Wayan Limbak juga sempat membawa pertunjukan tari ini ke berbagai negara-negara lain, sehingga banyak turis mancanegara yang tertarik untuk melihat pentas tari ini secara langsung. Dewasa ini, tari kecak juga kerap jadi pertunjukan dalam festival atau perayaan tertentu di Bali.

Kendati terkadang dipertunjukkan pada siang atau malam hari, tari kecak idealnya dipentaskan pada waktu petang saat matahari terbenam, kira-kira jam 18.00. Terutama jika pengunjung menonton di pura-pura seperti di Uluwatu atau Tanah Lot.

Yang menarik, tari kecak bisa dibilang masih merupakan salah satu seni tradisional yang sangat dibanggakan dan dijaga oleh masyarakat Bali. Banyak dari para penarinya yang sehari-hari merupakan pekerja di berbagai bidang lain.

Setelah selesai bekerja, mereka baru tampil sebagai penari kecak. Meskipun umumnya mereka juga mendapat penghasilan dari tiket penonton yang kerap kali ramai, tetapi justru semangat mereka lebih kepada usaha melestarikan kebudayaan Bali yang begitu ikonik ini.

Terlebih dengan nilai-nilai ajaran Hindu yang terkandung di dalamnya, serta kepercayaan luhur agar terhindar dari hal-hal buruk, membuatnya menjadi kesenian yang sangat lekat dan dipegang teguh oleh masyarakat Bali hingga kini.

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Ogoh-ogoh di Malam Bulan Mati Ke-9

Ogoh-ogoh identik dengan hari Nyepi, hari sakral bagi masyarakat hindu Bali. Ia diibaratkan nafsu atau hal buruk yang harus dilepaskan dari diri. Figur-figur ogoh-ogoh dulu seperti bentuk raksasa atau mahluk yang seram. Makin ke sini, bentuknya tidak melulu menyeramkan, tapi juga ada yang cantik atau lucu.

Ogoh-ogoh

Tahun 2021 ini mungkin Hari Raya Nyepi akan semakin sepi, sebab pawai ogoh-ogoh sudah dipastikan tidak diizinkan digelar merujuk pada situasi pandemi Covid-19. Tentu ada yang terasa ‘hilang’ bagi masyarakat Bali. Namun ini adalah situasi yang harus dihadapi. Artikel ini adalah kisah pelaksanaan ogoh-ogoh beberapa tahun silam.

Malam masih belum jatuh betul, masih ada sedikit cahaya ketika keramaian itu muncul di sejumlah banjar atau kampung di Bali. Tetabuhan dipukul. Patung raksasa dengan wajah menyeramkan, yang dikenal sebagai ogoh-ogoh, tampak menonjol di antara barisan pria dengan balutan kain kotak-kotak di bagian bawah tubuhnya. Busana tradisional itu dilengkapi udeng atau ikat kepala yang menjadi ciri pria Pulau Dewata.

Situasi itu adalah hal yang biasa saat menyambut Hari Nyepi, masyarakat menggelar Malam Pengerupukan atau Malam Penyepian. Boneka raksasa ogoh-ogoh memang khusus dimunculkan sehari sebelum Hari Raya Nyepi atau pada tilem sasih kesanga (bulan mati yang ke sembilan). Tahun 2021 ini, dalam kalender Masehi, jatuh pada 14 Maret.

Ogoh-ogoh merupakan simbolisasi menjauhkan hal-hal yang buruk bagi masyarakat Bali.
Pawai mengarak ogoh-ogoh di malam menjelang Hari Raya Nyepi di Bali. Foto: Dok. shutterstock

Sebelumnya, umat Hindu melakukan upacara yang disebut Bhuta Yadna dalam bentuk Mecaru mulai di tingkat keluarga, banjar, desa, hingga kecamatan. Tujuannya, mensucikan diri dari segala bentuk kotoran sekaligus memohon kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala, dan Batara Kala supaya mereka tidak mengganggu lagi. Ogoh-ogoh pun baru diarak saat senja mulai turun atau sekitar pukul 6 sore.

Ogoh-ogoh mungkin semcam seni patung dalam tradisi Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu, Bhuta Kala simbol kekuatan alam semesta dan waktu yang tidak terukur. Dalam perwujudannya digambarkan sebagai sosok yang menyeramkan. Biasanya berupa raksasa, terkadang juga makhluk hidup lain dalam penampakannya yang tidak biasa.

Banyak pula yang mengambil tokoh-tokoh pewayangan lengkap dengan fragmen tarinya. Belakangan, tak hanya ogoh-ogoh dalam tampilan yang menyeramkan yang diarak warga, ada juga yang cantik atau lucu serupa tokoh kartun di televisi.

Biasanya, ogoh-ogoh terbuat dari bahan yang ringan, seperti koran, kertas semen, styrofoam,dan kapas. Ini agar ketika sudah jadi ia jadi mudah diarak, termasuk oleh anak-anak. Sebab bentuknya umumnya gigantis. Besar sekali. Ada puluhan orang dari satu banjar yang ikut mengarak ogoh-ogoh dengan iringan musik, baik gong, gamelan, maupun baleganjur, alias bunyi-bunyian dari bambu, semisal kentongan. Terkadang dilengkapi penari serta lelucon, sehingga masyarakat benar-benar terhibur. Ingar-bingar gamelan, kentongan, dan bunyi-bunyian berlangsung dari sore hingga menjelang malam. Biasanya, ogoh-ogoh kembali ke banjar masing-masing sekitar pukul 22.00. Namun tak jarang arak-arakan dilakukan sampai larut malam.

Anak-anak dan orang dewasa ikut memeriahkan Malam Pengerupukan. Semua aktivitas tersebut baru berhenti total saat kulkul atau kentongan besar di banjarberbunyi. Itu tanda bahwa seluruh aktivitas harus disudahi. Akhirnya, setelah diarak, ogoh-ogoh dibakar atau dipralina. Diharapkan roh jahat yang ada dalam diri raksasa tidak mengganggu umat Hindu.

Sebagai karya seni, ogoh-ogoh tidak dibuat dalam semalam. Perlu persiapan sebulan. Sepulang bersekolah atau bekerja, para pemuda melakukan persiapan di balai banjar masing-masing. Tidak hanya membuat ogoh-ogoh, tapi mereka juga berlatih baleganjur. Lebih tepatnya, melakukan harmonisasi antara tarian ogoh-ogoh dan tetabuhan. Seminggu sebelumnya, latihan intensif dilakukan.

Atraksi inilah yang mengundang kekaguman wisatawan. Meski pada Hari Nyepi itu Bali seperti pulau tanpa kehidupan, banyak wisatawan datang sebelum perayaan. Prosesi ke masa hening menarik perhatian turis. Tepat di hari H, semuanya sepi dan sunyi. Hanya suara burung berkicau dan kukuruyuk ayam dari kejauhan yang terdengar begitu nyaring. Bahkan anjing pun ikut diam karena tidak ada orang yang melintas.

Hari itu suasana Bali benar-benar seperti pulau mati. Tidak ada aktivitas apa pun. Umat Hindu menyebutnya Catur Brata, yaitu amati geni (tidak ada cahaya atau api), amati lelungan (tidak bepergian), amati karya (tidak melakukan pekerjaan sehari-hari) dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Bagi yang mampu, dianjurkan juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadiHari ini biasanya digunakan untuk merenung agar menjadi manusia yang lebih baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

Ogoh-ogoh pada akhirnya dibakar setelah diarak keliling banjar, ini menyimbolkan hal-hal buruk menjauh dari masyarakat.
Pembakaran ogoh-ogoh di akhir pawai menandakan agar hal-hal buruk hilang dan enyah dari masyarakat Bali. Foto: Dok. shutterstock

Rangkaian Acara Sebelum Nyepi

Hari Raya Nyepi merupakan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan atau kalender Caka, yang dimulai pada 78 Masehi. Jatuh pada tilem kesanga atau bulan mati kesembilan, yang dipercaya hari penyucian para dewa di pusat samudra. Para dewa itu membawa intisari amerta atau air hidup. Untuk itu, umat Hindu memuja mereka. Tujuan utama peringatan Hari Raya Nyepi adalah memohon kepada Ida Sang Hyang Wishi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) untuk mensucikan Bhuana Alit,alam manusia mikrokosmos,dan Bhuana Agung, makrokosmos.

 Di samping Malam Pengerupukan dengan atraksi ogoh-ogoh, dua hari atau tergantung kesepakatan masyarakat adat setempat, sebelum Penyepian, ada kegiatan yang disebut Melasti atau Mekiis. Pada hari tersebut, semua sarana persembahyangan yang ada di pura diarak ke pantai atau danau. Sebab, laut atau danau dianggap sebagai sumber air suci yang bisa digunakan untuk mensucikan segala leteh atau kotoran yang ada dalam diri manusia dan alam. Selain menampilkan iring-iringan umat Hindu yang membawa sesajen dan benda sakral dari pura, ada suguhan kesenian. Orang-orang beriringan ke pantai atau danau sambil melakukan sembahyang.

agendaIndonesia/TL

*****

Kota Singkawang, Cap Go Meh Dan 1000 Tatung

Kota Singkawang punya Festival Cap Go Meh yang menampilkan parade tatung.

Kota Singkawang di Kalimantan Barat selalu menjadi pusat perhatian wisatawan saat perayaan Cap Go Meh. Tidak saja di Indonesia, tapi sudah meluas ke manca negara.

Kota Singkawang

Pagi di Singkawang saat hari ke-15 setelah Imlek –karenanya disebut Cap go meh, yang artinya hari ke 15—seluruh penjuru kota ini menjadi riuh dan meriah. Itu tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2021, Cap go Meh yang mestinya jatuh pada Jumat 26 Februari—mungkin tak akan semeriah biasanya. Mungkin pandemi menelan keriuhan itu.

Dalam situasi “normal”, biasanya sejak pagi-pagi sekali kota ini sudah mulai “dibisingkan” dengan suara gendang yang bertalu-talu dan bersahutan dengan gemerincing cymbal. Mereka punya nada dan biarama yang khas. Sehari sebelumnya bahkan biasanya suasana mistis mulai mengintip di sudut-sudut kota. Aroma hio atau dupa mulai meruar dari kelenteng-kelenteng.

Singkawang, seperti disebut di muka, memang terkenal sebagai pusat perayaan Cap Go Meh di Indonesia. Cap Go Meh di kota ini bahkan sudah menjadi agenda festival yang memikat wisatawan dari dalam maupun luar negeri.

Suasana Cap Go Meh sudah mulai terasa sejak tahun baru Imlek, dan getarannya terus terasa selama 15 hari. Puncak acaranya biasanya berupa parade tatung. Istilah tatung ini diberikan kepada para dukun pemanggil roh. Buat yang percaya, mereka ini manusia pilihan dewa di mana roh-roh berkenan manjing atau merasuk ke dalam diri mereka.

Dalam parade, para tatung berpakaian dengan perbagai gaya. Biasanya dengan warna-warna cerah. Warna kostum mereka hitam, kuning, merah atau hijau. Mereka tampil bak dewa, ksatria, jenderal, atau panglima perang. Perisai dan pedang yang mereka bawa berkilau-kilau oleh sepuhan emas dan perak. Mereka biasanya mengusung bendera segitiga yang memuat nama para tatung tersebut. Para tatung ini ada yang berjalan kaki, ada yang ditandu. Ini bukan sekadar atribut festival, tapi memperlihatkan posisi sosial mereka di masyarakat. Sebagian memikul tandu sembari menyipratkan air penolak bala.

Maksud posisi sosial ini adalah kepercayaan publik kepada “kesaktian” mereka. Di luar acara Cap Go Meh, para tatung ini sejatinya adalah paranormal yang mampu meramal nasib dan mengobati penyakit.aJadi, semakin “sakti” seorang tatung dan dipercaya masyarakat yang minta dibacakan nasib mereka, atau datang untuk berobat, artinya akan banyak sumbangan masuk. Dana sumbangan inilah yang salah satunya bisa berwujud tandu yang mereka pakai saat parade.

Bagi yang percaya, tatung ini dipercaya sebagaimana manusia pilihan dewa. Masyarakat Singkawang, dan juga sebagian di kota lain di Kalimantan Barat seperti Pontianak dan Sambas, meyakini mereka dapat membantu manusia mencapai kedamaian, atau pengobatan. Caranya, mereka membiarkan badannya dirasuki roh.

Kota Singkawang terkenal sebagai salah satu China Town dengan Festival Cap Go Meh yang dramatis dengan penampilan para tatung.
Festival Cap Go Meh di Singkawang, Kalimantan Barat, menampilkan parade para tatung. Foto: shutterstock

Saat kerasukan itulah, jarum-jarum besi sepanjang 50 sentimeter bisa menembus pipi, bibir, bahkan lidah mereka tanpa satu tetes darah pun yang menetes. Konon, mereka harus menjadi vegetarian selama tiga hari sebelum upacara atau parade, agar jiwa mereka menjadi bersih dan kuat untuk ditusuk.

Cap Go Meh sejatinya merupakan hari terakhir perayaan Imlek, dan biasanya dilakukan sembahyangan tahun baru untuk memohon berkah. Di Singkawang, ritual sembahyang saat Cap Go Meh ditujukan pada Dewa Langit atau Ket Sam Thoi. Sebagai Kota Seribu Kelenteng, masyarakat Singkawang menganut kepercayaan Konghucu dan mengucapkan syukur pada dewa-dewi kepercayaan mereka.

Banyaknya warga keturunan Tionghoa di Singkawang, yang sering disebut juga sebagai kota seribu klenteng ini, membuatnya menjadi salah satu tempat perayaan Imlek dan Cap Go Meh yang menarik dikunjungi. Sebagaimana dilaporkan tirto.id yang mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, Singkawang memiliki 246.306 penduduk dan 42 persen di antaranya adalah warga keturunan Tionghoa. Sisanya ada dari suku Jawa, Dayak, Melayu dan lainnya.
Masyarakat Tionghoa sudah ada di kota ini sejak ratusan tahun lalu, atau setidaknya mulai tahun 1740. Orang dari luar ini bisa jadi melihat Singkawang sebagai pecinan besar. 

Nama Singkawang sendiri, masih dari tirto.id, berasal kata San Kew Jong, yang dalam bahasa Hakka berarti: gunung, muara, dan laut. Nama Singkawang mulai dicatat orang Eropa setidaknya sejak 1834, seperti ditulis George Windwor Earl dalam The Eastern Seas. Tidak mengherankan perayaan Imlek dan Cap Go Meh di Singkawang juga menyuguhkan budaya Tionghoa yang kental.
Festival Cap Go Meh sudah puluhan tahun diselenggarakan di Singkawang. Dengan puncak acaranya pada parade para tatung. Konon saking banyaknya tatung yang muncul saat parade, ada yang menyebut 1.000 tatung memenuhi jalanan kota ini.

Bagi yang datang ke Singkawang ketika parade tatung tapi ngeri untuk menyaksikannya, bisa memilih atraksi lain: Festival Lampion. Ini biasanya juga diselenggarakan dalam rangkaian Imlek di Singkawang.Tak hanya barisan lampion yang digantung, tapi juga pawai lampion dan dekorasi Imlek. Berkali-kali festival lampion ini jga memecahkan rekor Muri. Pada 2009 ada 10.895 lampion dinyalakan di Singkawang. Lalu, pada 2018 ada 20.607 lampion dinyalakan.

Tahun 2021 ini, terkait pandemi, mungkin parade tatung akan ditiadakan. Namun, mudah-mudahan ada puluhan ribu lampion yang menyala.

agendaIndonesia

*****

Hombo Batu Nias, Aura Tradisi 400 Tahun Silam

Hombo Batu Nias atau lompat batu di Nias, Sumatra Utara, dikenal sebagai salah satu tradisi masyarakat Nias yang menjadi ikon pariwisata Indonesia. Hombo Batu sendiri sudah ada sejak 350-400 tahun silam.

Hombo Batu Nias

Nataauli Duha masih ingat saat ia pertama kali berlatih lompat batu. Ketika itu, warga Desa Hilimondegeraya, Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, ini duduk di bangku sekolah dasar. Nata—sapaan akrabnya—memang tidak langsung melompati batu dengan ketinggian sekitar dua meter. Ia berlatih meloncati tumpukan tanah yang dibuat bersama teman-temannya terlebih dulu. Satu demi satu secara bergantian mereka melampaui tumpukan tanah yang tingginya tidak sampai satu meter itu. Nata menyebut atraksi meloncati tumpukan tanah yang dibuat bersama teman-temannya ini sebagai lompat batu mini.

Rampung dengan tumpukan tanah, pada kesempatan berikutnya mereka bermain lompat tali. Tali yang digunakan terbuat dari bahan yang mudah putus. Ini supaya tidak mencelakakan mereka. Tali itu direntangkan pada dua sisi berseberangan. Semula, mereka bermain dengan ketinggian 50 sentimeter. Setelah itu, secara bertahap, mereka meninggikan posisi tali hingga mencapai satu meter. Bergan- tian mereka memegang dan melompati tali itu. Nata dan teman-teman pun merasakan kegembiraan bermain.

Selain tali, mereka menggunakan bambu dan batu yang ditumpuk. Puncaknya, ketika beranjak remaja, mereka akan berusaha menaklukkan batu sesungguhnya dengan ketinggian mencapai sekitar dua meter. “Biasanya, orang tua si anak akan memotong seekor ayam jantan sebagai jamuan ketika anaknya berhasil melompati batu itu,” kata Nata. Hal serupa juga akan dilakukan para bangsawan, yang rumahnya terletak tak jauh dari batu yang dilompati anak-anak itu.

Jamuan ayam jantan dilakukan bukan tanpa maksud. Dalam tradisi Nias Selatan, Sumatera Utara, ayam jantan merupakan lambang ayam yang kuat dan memiliki kemampuan terbang tinggi. “Begitulah harapan orang tua dan kaum bangsawan kepada anak-anak muda supaya mereka memiliki karakter yang kuat laksana ayam jantan yang mampu terbang tinggi,” ujar Nata.

Tradisi lompat batu atau hombo batu sesungguhnya berawal dari keinginan bangsawan untuk menyiapkan laskar kampung atau pasukan pertahanan desa. Pada masa itu, sekitar 350-400 tahun lalu, Nata bertutur, sering terjadi konflik antar-kampung yang berujung perang perebutan kekuasaan.

Konflik itu tidak selalu akibat masalah besar, tapi juga terkadang dari hal-hal kecil. Semisal, saling ejek ketika sama-sama berburu kijang hingga akhirnya memercikkan permusuhan.

Meskipun memiliki leluhur yang sama, konflik antar-kampung itu, menurut Nata, tak terhindarkan. Berdasarkan penelitian arkeologis, Nata mengatakan, leluhur Nias Selatan, yang berasal dari Gomo, mendiami Kecamatan Teluk Dalam sejak 600-700 tahun silam. Jauh sebelum itu, sudah ada kelompok lain yang mendiami Teluk Dalam. Antara kelompok ini dan leluhur Nias Selatan tak jarang terjadi bentrokan. Motifnya bermacam-macam, termasuk soal perebutan dan perluasan kekuasaan.

Supaya perebutan kekuasaan dan pencaplokan kampung lain berjalan mulus, para bangsawan tidak tinggal diam. Mereka menyiapkan laskar kampung atau pasukan pertahanan desa dengan merekrut anak-anak muda untuk berperang. Anak-anak muda ini harus mengikuti latihan hombo batu. Melalui si’ulu atau kepala suku, fisik mereka digenjot. Mereka dilatih pula supaya bisa melompati batu. Anggota laskar kampung atau pasukan per- tahanan desa yang mampu melewati batu setinggi dua meter berarti sudah siap berperang dan melompati pagar berduri yang tinggi. Memang, desa atau kampung yang akan diserang biasanya menyiapkan pagar berduri yang dipasang tinggi-tinggi mengelilingi desa.

Hombo Batu Nias adalah tradisi masyarakat setempat untuk menghasilkan ksatria-ksatria yang membela tanah air.
Hombo Batu Nias dilakukan untuk mencetak para pemuda menjadi laskar atau pasukan di Nias. Foto: shuterstock

Layaknya seorang kesatria yang maju berperang, keberanian anak-anak muda ini sejatinya dititiskan dari orang tua. “Bila bapaknya seorang kesatria yang pemberani, maka darah kesatria itu menitis dan mengalir ke tubuh anak-anaknya,” ujar Nata. Di pundak anak-anak muda ini, ia menyebutkan, para bangsawan menaruh harapan besar. Sebab, kelak merekalah yang menjaga desa atau kampung dari se- rangan desa lain.

Dalam peperangan itu, jika berhasil mencaplok kampung lain, sang pe- menang akan bertambah kuat karena warga kampung yang kalah menjadi bagian dari kampung yang memenangi peperangan. Dengan bertambahnya jumlah warga, menurut Nata, kampung tersebut semakin kuat. Kekuatan itu bertambah besar jika pada peperangan berikut mereka bisa kembali mengalah- kan kampung lain. Begitu seterusnya.

Di balik perluasan kekuasaan dan perebutan harta, Nata melihat, jalan per- ang dipilih bangsawan untuk menambah jumlah abdi atau pelayan. Ini salah satu motif lain para bangsawan menghendaki terjadinya perang. Kini, peperangan itu memang tidak ada lagi. Hombo batu bersama tarian perang, fataele, sekarang menjadi atraksi wisata memikat yang sewaktu-waktu ditampilkan di Desa Bawomataluo, Teluk Dalam, Nias Selatan.

Mengenakan pakaian warna-warni— hitam, kuning, merah—dan membentuk formasi empat berjajar panjang, warga membawa tameng, pedang, atau tombak. Mereka pun menari mengikuti komando. Dimulai dengan gerakan maju dan mundur sambil mengentak-entakkan kaki ke tanah, mereka lalu meneriakkan yel-yel untuk membangkitkan semangat. Aura peperangan 350-400 tahun silam begitu terasa, seolah dibawa kembali ke masa kini.

agendaIndonesia/Aris Darmawan/shutterstock

*****

Wayang Potehi, Pertunjukan Boneka Sejak Abad 16

Wayang potehi mungkin ingatan orang langsung ke pertunjukan wayang ala peranakan. Tak salah, meski tak 100 persen tepat. Pertunjukan yang hampir musnah ini lahir dari proses akulturasi budaya yang mengajarkan filosofi kehidupan.

Wayang Potehi

Tik-tik-tik-tik-ceng…. Tik-tik-ceng… Bunyi piak ko yang disusul siauw loo muncul silih berganti. Kaisar Lie Sie Bin yang baru saja naik takhta memasuki istana. Dengan suara lantang, sang kaisar memerintahkan pasukannya untuk segera menginvasi wilayah Utara Tiongkok—tempat tinggal bangsa Pak Hoan.

Tak sekadar memerintah, Lie Sie Bin juga turun langsung ke medan perang. Kaisar didampingi oleh jago-jago tua, seperti Cin Siok Po, Uttie Kiong, Thia Kauw Kim, dan penasehatnya yang cerdas, Cie Bouw Kong. Tak ketinggalan, seorang pemuda gagah bernama Lo Tong Ceng Souw Pak atau Lo Tong.

Lo Tong sebagai tokoh utama dikisahkan mengalami banyak konflik. Mulai dendamnya kepada salah seorang panglima Negeri Tong hingga intrik pernikahannya dengan seorang putri dari Negeri Pak Hoan. Pernikahannya hanyalah satu strategi untuk menjatuhkan musuh.

Tik-tik-tik-tik-ceng…. Tik-tik-ceng… Pukulan kayu dan gembreng kecil kembali berbunyi nyaring. Sorot mata anak-anak masih terpaku pada panggung pertunjukan wayang Potehi dengan lakon Lo Tong Ceng Souw Pak yang digelar ketika itu. Mereka begitu antusias menyaksikan pergelaran wayang yang memang jarang digelar tersebut.

Maklum saja, wayang Potehi biasanya memang hanya digelar di kelenteng-kelenteng dan pada waktu-waktu tertentu saja. Namun kini wayang Potehi bisa disaksikan di pusat belanja yang berlokasi di Jakarta Barat itu.

Wayang Potehi sejatinya merupakan seni pertunjukan boneka tradisional asal Tiongkok. Potehi sendiri berasal dari akar kata pou yang berarti kain, te berarti kantong, dan hi yang berarti wayang. Secara harfiah Potehi bermakna wayang yang berbentuk kantong dari kain.

Dalam setiap pertunjukkannya, wayang Potehi diiringi sejumlah alat musik tradisional Tiongkok. Alat musik dari wayang ini biasanya berupa toa loo (gembreng besar), hian na (rebab), piak ko (kayu), bien siauw (suling), siauw loo (gembreng kecil), tong ko (gendang), dan thua jwee (terompret).

Sang dalang, Sugiyo Waluyo Subur, memperkirakan kesenian Potehi dibawa masuk oleh pedagang Tionghoa ke Nusantara pada abad ke-16. ”Kali pertama dimainkan di Kota Semarang,” ujar pria yang dikenal dengan sebutan dalang Subur itu.

Cara memainkannya dengan memasukkan tangan ke dalam pakaian yang dikenakan wayang. Jari tengah digunakan untuk mengendalikan kepala. Sedangkan ibu jari dan kelingking untuk mengendalikan tangan wayang.

Wayang Potehi merupakan akulutrasi kebudayaan Tiongkok dan kearifan lokal Nusantara.
Pertunjukan wayang potehi biasanya dilakukan di tempat-tempat yang penontonnya tidak terlalu banyak. Foto: shutterstock

Konon, wayang Potehi disebut-sebut berasal dari balik jeruji penjara kerajaan Tiongkok. Alkisah, lima orang narapidana akan dieksekusi mati karena pelanggaran hukum berat. Berita eksekusi ini menciutkan nyali empat orang di antara pesakitan tersebut. Mereka pun sedih meratapi nasib.

Hal yang berbeda justru terlihat pada seorang pesakitan. Sang narapidana ini justru menyambut sisa hidupnya dengan gembira. Ia mengajak rekan-rekannya tersebut untuk mengisi detik-detik terakhir hidupnya dengan menghibur diri sendiri. Akhirnya, mereka secara spontan membuat pertunjukan boneka dari kain dengan iringan bunyi-bunyian yang berasal dari berbagai benda yang ada di sel mereka.

Tak disangka, dari beraneka barang yang ada, seperti piring, panci, dan perkakas hadir musik yang enak didengar. Pertunjukan boneka ini pun ternyata tidak saja menghibur mereka, tapi juga narapidana lain dan bahkan para sipir penjara. Cerita tentang pertunjukan kelima orang narapidana ini akhirnya sampai ke telinga kaisar. Atas kebijaksanaan sang kaisar, kelima narapidana tersebut mendapatkan kesempatan melakukan pertunjukan di hadapan sang kaisar dan memperoleh pengampunan.

Di Indonesia sendiri, kesenian tradisional ini mengalami pasang-surut sepanjang perjalanan sejarahnya. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, kesenian ini cukup populer di tengah masyarakat. ”Tetapi pada awal era Orde Baru berkembang, sentimen negatif terhadap budaya Tionghoa membuat seni wayang ini mengalami masa surut. Keberadaannya hilang di tengah masyarakat,” kata dalang Subur menceritakan.

Seiring era Reformasi, perlahan kesenian ini kembali menggeliat. Kesenian Potehi mulai dipentaskan di berbagai tempat seperti kelenteng atau pada saat perayaan ritual keagamaan. Bahkan saat ini pertunjukan wayang Potehi pun marak merambah ke sejumlah pusat belanja, khususnya saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh. ”Wayang Potehi telah menjadi budaya Indonesia dan perlu dilestarikan,” ujar Rida Kusrida, Public Relations Mal Ciputra, Jakarta.

Sebagai sebuah kesenian, wayang Potehi menunjukkan bahwa ia lahir dari sebuah proses akulturasi yang panjang. Potehi mampu bertahan menjadi sebuah kesenian yang dapat merontokkan sekat-sekat kesukuan dan membentuk kesenian serta kebudayaan Indonesia. Satu hal yang jelas kentara ialah dalang Potehi tidak melulu dimainkan oleh orang Tionghoa. Contohnya ialah dalang Subur ini. Pria asal Surabaya ini justru berasal dari suku Jawa. ”Saya sendiri memeluk agama Islam,” kata dalang Subur.

Dalang yang memulai kariernya saat masih berusia 12 tahun itu mengungkapkan kisah-kisah wayang Potehi seperti Lo Tong Ceng Souw Pak, Sun Go Kong, Sie Jin Kui, Cu Hun Cau Kok, dan sebagainya serta mengajarkan filosofi kehidupan manusia yang masih berlaku pada masa kini.

agendaIndonesia/Andry T./Frann./TL/shutterstock

*****