Kampung Bena Rosana

Kampung Bena Flores, Nusa Tenggara Timur, kampung adat yang lekat mengesankan kehidupan zaman batu atau megalitikum. Kampung ini berada di Ngada, sebuah kabupaten di tengah Pulau Flores, yang pada 1995 diakui UNESCO masuk daftar World Heritage Tentative List sebagai daerah dengan kategori kebudayaan.

Kampung Bena Flores

Di kabupaten Ngada, tradisi dan adat kental dijunjung. Masyarakat dari beragam kelompok masih eksis. Mereka terbagi atas beberapa suku. Anggota-anggota suku hidup di perkampungan adat. Salah satu yang terbesar adalah Kampung Adat Bena.

Pemgunjung jika baru pertama kali menginjakkan kaki di kampung ini, akan merasa memasuki lorong waktu dan menatap kehidupan masa lalu. Sebab, modernisasi minim sekali dirasakan. Orang-orangnya masih mempertahankan budaya lampau, penduduk yang menganut paham matrilineal itu umumnya masih mengunyah sirih pinang, melakoni aktivitas berladang, dan menenun kain tradisional.

AgendaIndonesia pernah menyusuri perkampungan adat tersebut. Inilah catatan perjalanan selama mengunjungi Kampung Bena. Perjalanan dimulai dari Kota Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada.

Perlu perjalanan darat kurang lebih 9 jam dari Labuan Bajo untuk menjangkau lokasi ini. Atau, bisa juga menggunakan jalur udara menuju Bandar Udara Soadi, dilanjutkan perjalanan darat kurang lebih satu jam.

Sepanjang 19 kilometer, hampir tak terlihat kehidupan di jalan yang menghubungkan Kota Bajawa dan Kampung Bena. Selepas perkotaan kecil, hanya hutan dan pegunungan yang tampil di kanan-kiri jalanan.

Medannya pun tak main-main. Tanjakan, turunan, dan kelokan esktrem serta-merta bisa dijumpai. Laurent (37 tahun), warga asli Bajawa, yang memberi tumpangan menuju Kampung Bena, hati-hati betul mengatur gas motornya. “Jalanan licin. Lumpur turun kalau habis hujan,” kata Laurent. Meski sedang kemarau, misalnya, cuaca Bajawa tak bisa ditebak. Wilayahnya yang terletak di dataran tinggi membuat hujan sekonyong-konyong bisa turun.

Kampung Bena Flores dengan gunung Inerie-nya

Kira-kira 30 menit setelah berjibaku dengan medan yang berliku-liku, pemandangan berubah. Kini, yang tampak adalah kantong-kantong perkampungan di lereng gunung. “Itu Gunung Inerie,” kata Laurent. Gunung Inerie tampil menjulang. Ini merupakan gunung api dengan puncak tertinggi di pulau Flores. Ketinggiannya 2.245 meter di atas permukaan laut.

Adapun perkampungan di kaki Gunung Inerie yang tampak dari sisi jalan raya adalah kampung-kampung adat. Salah satunya Kampung Bena, yang terhitung paling besar.

Laurent menghentikan laju motornya di bawah tanah lapang luas dengan pepohonan bambu di sekelilingnya. Di depan tanah lapang itu tampak sebuah permukiman dengan rumah-rumah tradisional berjajar serta berhadapan.

Inilah Kampung Adat Bena. Sebelum masuk ke kampung adat, wisatawan harus membayar tiket masuk. Biayanya Rp 25 ribu untuk turis lokal. Setelah mendapatkan tiket, wisatawan akan dipinjami ikat kepala. Ikat kepala ini wajib dipakai sebagai salah satu syarat masuk perkampungan.

Menyusuri kampung Bena, pengunjung akan merasa diapit rumah-rumah kuno nan unik. Bentuk perkampungan itu berundak-undak, seperti desa di perbukitan. Bangunan rumah penduduknya masih terbuat dari kayu beratap rumbai-rumbai.

Di sana berdiri kira-kira 45 rumah. Uniknya, keluarga yang tinggal di rumah-rumah tersebut berasal dari sembilan suku, yakni suku Bena, Ago, Dizi, Dizi Azi, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Khopa, Wahto, dan Ngada.

Pembedanya, rumah mereka dipisahkan oleh tingkatan-tingkatan. Masing-masing suku menempati satu tingkat. Tingkat paling tengah dihuni oleh suku Bena. Sebab, suku itu dianggap paling tua dan menjadi pionir pendiri kampung. Komunikasi antarsuku tersebut berlangsung menggunakan bahasa setempat, yakni Nga’dha.

Rumah-rumah di perkampungan adat dibangun dengan mempertahankan kontur asli tanah. Itulah sebabnya, bentuk kampung tersebut berundak-undak. Di ujung kampung, ada sebuah bukit kecil. Bukit itu menjadi titik kumpul masyarakat untuk berdoa dan beribadah. Di sana bersemayam patung Bunda Maria.

Patung Bunda Maria berdiri di tengah bebatuan yang ditata seperti gua. Di sekeliling gua juga terdapat batu-batu besar.

Bebatuan tak cuma bisa dijumpai di bukit. Di muka tiap rumah pun terdapat bebatuan besar dengan ujung runcing. Laurent menyebut, keberadaannya merupakan simbol pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang.

Masyarakat Kampung Adat Bena hidup mempertahankan tradisi leluhur mereka sejak zaman batu. Karena itulah kampung ini disebut kampung megalitikum.

Di beranda rumah-rumah, perempuan menggelar alat tenun bukan mesin. Setiap hari para mama—sebutan untuk perempuan sudah beristri—memintal benang dan menenunnya menjadi kain tradisional yang dipasarkan kepada wisatawan.

Tenunan itu alami. Pewarnanya berasal dari akar tumbuh-tumbuhan.

Ritus hidup masyarakat adat Kampung Bena menarik perhatian wisatawan asing. Suzanne van den Beek, warga asli Belanda, yang ditemui di Kampung Bena, mengaku tak menyangka bisa menjumpai perkampungan zaman batu di masa modern. “Ini luar biasa mengagumkan dan saya belum pernah menjumpainya sebelumnya,” tuturnya.

Kampung Bena menjadi salah satu bukti sejarah bahwa peradaban masyarakat adat yang banyak bermukim di Flores masih terus hidup.

F. Rosana

Yuk bagikan...

Rekomendasi