Kipo merupakan warisan kuliner Mataram Islam sejak abad 16.

Kipo rasanya banyak yang belum pernah mendengar nama ini, bahkan sebagian masyarakat Yogyakarta. Padahal ini adalah salah satu kuliner khas Yogyakarta. Makanan ini berukuran tak lebih besar dari ukuran ibu jari orang dewasa.

Kipo

Ya, makanan ini saat ini mungkin hanya dapat ditemui di Kotagede, kawasan yang berada di bagian tenggara wilayah Kota Yogyakarta. Produk ini dibuat dengan bahan lokal seperti tepung ketan, gula kelapa, daging kelapa, dan daun suji. Bahan-bahan baku itu sesungguhnya tak sulit ditemui di pasar-pasar tradisional yang ada di manapun.

Makanan yang memiliki rasa manis dan legit ini cukup banyak digemari tidak saja masyarakat lokal Yogyakarta, Kipo juga disukai oleh wisatawan domestik maupun mancanegara yang datang ke kota Pelajar ini. Namun entah kenapa, makanan ini semakin langka.

Kipo merupakan penganan manis yang disukai oleh Sultan Agung.
Kipo di antara pengananan jajan pasar lainnya. Foto: dok. shutterstock

Kalau merunut sejarahnya, makanan ini sudah ada pada abad ke-16. Pada waktu itu, konon kipo menjadi makanan favorit Sultan Agung.

Selain itu, makanan ini memiliki sejarah yang panjang. Makanan ini disebutkan dengan nama “Kupo” dalam Serat Centhini. Dan dipercaya menjadi kudapan favorit raja-raja Mataram Islam. Namun, seiring perjalanan waktu, makanan ini sempat hilang peredarannya sehingga keberadannya sempat dilupakan.

Ya, bahkan kini, meski ada upaya untuk mengangkatnya kembali, ia telah menjadi satu dari banyaknya makanan khas Jogja yang sudah mulai langka. Banyak orang pasti akan sulit menemukan makanan khas satu ini.

Sekarang ini, salah satu yang masih bertahan menjajakan Kipo ini adalah Bu Djito. Ia memang sejak puluhan tahun lamanya menjajakan penganan ini. Lokasinya berada di Jalan Mondorakan Nomor 27, Kotagede. Selain Kipo sebagai menu andalannya, di kios ini juga terdapat aneka camilan yang disajikan dalam etalase.

Kue tradisional ini yang telah ada dari masa kerajaan Mataram Islam ini pernah mengalami masa punah. Bahkan hingga tahun 1940-an orang sudah tidak membuatnya lagi seiiring dengan kebudayaan kerajaan Mataram yang runtuh.

Setelah bertahun-tahun hilang, makanan ini kembali dipopulerkan oleh Mbah Mangun Irono pada tahun 1946 bersama teman-temannya. Namun karena hanya dia yang telaten membuat Kipo, Mbah Mangunlah yang terus berjualan kue tersebut di Jalan Mondokaran yang dulunya menjadi pasar tiban -pasar kaget kalau di Jakarta, saat pagi hari.

Saat Mbah Mangun sudah lanjut usia, usaha kipo-nya kemudian dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Paijem Djito Suhardjono. Ia berjualan di depan rumahnya. Sebab jika menunggu hari pasaran, waktu berjualannya hanya lima hari sekali. 

Namun, jika hari pasaran, Paijem membawa kipio ke Pasar Legi di Kotagede. Mungkin karena terbatasnya tempat berjualan ini, pada waktu itu kipo hanya dikenal di kalangan masyarakat kelas bawah saja.

Pasar Legi yang merupakan pasar awal mula penjualan Kipo kini telah berubah wajah menjadi pasar Kotagede. Pasar yang masih menjalanan aktivitas jual beli hingga saat ini. Di pasar ini, kadang ada warga yang ikut berjualan kipo.

Toko dan pasar ini lah yang akhirnya mengenalkan kembali kipo kepada masyarakat Yogyakarta. Paijem dan keluarganya terus mempertahankan usaha kue tradisonal satu ini.

Selain nama kupo dari sejarahnya, ketika dikenalkan kembali ke masyarakat oleh mbah Mangun, banyak pembeli kue yang bertanya seraya menunjuk kue ini, “Iki opo”. Pertanyaan itu dalam Bahasa Indonesia artinya, “ini apa?”

Pertanyaan yang kerap muncul tersebut akhirnya menjadikan lebel kue unik ini dan bisa diterima oleh masyarakat Jogja. “Nah dari awal itulah mungkin mereka yang belum pernah melihat baru itu, oh makanan tradisional yang notabene lucu karena bentuknya yang kecil, orang juga belum pernah merasakan. Mereka kan terus bertanya ‘iki opo’, kemudian tercetus nama kipo,” terang Paijem. 
Kipo memiliki bentuk lonjong, dengan tekstur kenyal, dan juga warnanya yang kehijauan serta isiannya yang terdiri dari parutan kepada dan gula jawa cair. Bahan utama dari kue ini adalah tepung beras yang dicampur tepung ketan. Adonannya kemudian dicampur dengan parutan kelapa, daun suji, dan pewarna hijau alami serta daun pandan. Tujuannya untuk menimbulkan aroma harum khas makanan unik ini.

Adonannya kemudian dicetak pada piring tanah liat lalu dipanggang dengan alas daun pisang. Setelah hampir masak, adonan parutan kelapa dimasukan bersama dengan gula jawa dan dilipat menjadi dua lalu dipanggang lagi hingga matang. Jika diingat lagi mungkin mirip dengan penganan klepon.

Murdijati Gardjito, peneliti di Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, menyebut bahwa kipo adalah jajanan asli Yogyakarta yang tidak terkontaminasi kudapan asing. Kesederhanaan cara pembuatannya juga teknik memasaknya, membuat makanan ini cukup berat harus bersaing melawan kue-kue yang dioleh dengan teknik yang canggih.

Tapi kipo pernah rebound dan menarik perhatian masyarakat. Rasanya kita harus mengagendakan mencicipi kipo jika berkunjung ke Kotagede.

agendaIndonesia

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi