
Pulau Kenawa Sumbawa, 1 savana, 1 bukit, dan nyaris tanpa penghuni. Bisakah dibayangkan mencoba petualangan di sebuah pulau tanpa penghuni? Kedengarannya asyik dan menantang. Bukan saja karena harus bertahan hidup tanpa listrik dan tinggal di tenda tanpa penerangan, tapi juga mesti menempuh perjalanan menyeberang lautan yang penuh tantangan.
Pulau Kenawa Sumbawa
Adalah pulau Kenawa di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, sebuah pulau kecil yang masih tanpa penghuni. Pulau ini memang belum sepopuler pulau-pulau kecil lain di sekitar pulau Lombok seperti Gili Trawangan atau Gili Air. Namun sejatinya, ia punya lanskap alam yang tak kalah elok dibanding dua pulau tersebut.
Pulau ini luasnya hanya 13 hektare. Di sana nihil penerangan dan kehidupan manusia. Hanya ada padang savana dan sebuah bukit. Tempat ini rasanya cocok untuk menyepi. Sebuah liburan yang tenang. Biasanya untuk berkemah dan snorkeling.
Menuju ke Kenawa pengunjung, tentu, harus menggunakan moda perahu nelayan atau kapal-kapal kayu milik penduduk setempat. Kapal kayu banyak dijumpai di tepi Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Besar. Dari Lombok Timur, pertama kita menyebarang ke a pulau Sumbawa. Biaya per orang sekitar Rp 17 ribu. Dari dermaga feri Poto Pano di Sumbawa, kita tinggal menuju ke dermaga penduduk, di mana perahu-perahu mereka ditambatkan. Jaraknya sekitar 500 meter dari dermaga feri
Di dermaga penduduk, kita harus menemui pemilik kapal. Biasanya ada yang mau disewa utuh, namun jika beruntung kita bisa share sewa dengan pengunjung lain. Jadi lebih murah. Satu perahu cadik untuk sekitar 6 orang biasanya bisa disewa Rp 300-400 ribu untuk pulang pergi. Namun, jika kita hendak menginap atau berkemah dan minta dijemput keesokan harinya kita harus tawar-menawar lagi.
Untuk menuju Kenawa, pengunjung harus menyusuri laut di perairan Sumbawa ke arah barat laut pulau itu. Kapal penduduk yang kami pakai, milik Jaharudin, Â seperti kapal kayu nelayan lainnya: kapal kayu dengan dua cadik di sisi kanan dan kiri.
Di lambung kapal terdapat tempat duduk kayu. Tempat duduk itu berhadap-hadapan. Penumpang biasanya diminta duduk berhadapan, supaya seimbang kanan dan kirinya. Cek juga soal ketersediaan pelampung. Maklum kapal penduduk yang rata-rata memang mahir berenang, tapi wisatawan?
Belakangan rata-rata pemilik kapal sudah menyediakan pelampung yang tersedia di dekat tempat duduk karena sering disewa pengunjung. Jumlah pelampung itu cukup banyak. Kira-kira lebih dari delapan. Jumlah yang melebihi kapasitas penumpang. Jika ingin aman, pengunjung bisa memakai pelampung sejak awal.
Kapal kayu umumnya tak melaju terlalu kencang, sebab cuma dengan satu mesin. Suara deru kapal langsung memekak. Badan kapal berjalan bergelombang, naik dan turun megikuti gelombang laut. Byar..byar… Suara cadik keras menabrak ombak.
Kapal itu tak berdinding. Kami bisa menyaksikan pemandangan sekeliling 360 derajat. Tangan kami juga bisa menyentuh laut. Cukup dijulurkan dan badan merunduk sedikit. Air laut berwarna biru agak tua, itu menandakan perairan tersebut agak dalam.
Makin ke tengah laut, warna air makin biru tua. Gelombang pun makin tinggi dan percikan air makin banyak masuk ke badan kapal. Tas penumpang tak ayal basah. Karena itu, sebaiknya tas dibalut rain cover supaya isinya tak ikut kuyup.
Perjalanan menyusuri laut lepas menuju pulau tak berpenghuni itu berlangsung 45 menit jika gelombang laut agak tinggi. Jika laut sedang tenang, perjalanan akan ditempuh sekitar 30 menitan. Meski menantang, pengalaman ini mahal harganya. Butuh keberanian dan kepercayaan terhadap nakhoda, juga kerendahan hati pada alam.
Tiba di Kenawa, ada satu dermaga untuk kapal merapat. Namun kadang, tak sedikit pengunjung yang memilih turun langsung ke air. Maklum airnya bening dan tak dalam, seakan memanggil untuk diterjuni.
Tak ada permukiman di Kenawa. Namun, saat ini ada sebuah warung yang dihuni penduduk lokal daratan bernama Ibu Nur. Ia tinggal di gubuk di pinggir pulau, kadang kembali ke daratan besar di Sumbawa. Bu Nur ini menyewakan tenda buat tamu-tamu yang ingin menginap. Tenda disewakannya dengan harga mulai Rp 30 ribu, sesuai ukuran besar dan kecilnya.
Bu Nur tentu saja juga menjual bermacam-macam makanan. Namun, tak ada salahnya, jika pengunjung membawa bekal yang cukup jika hendak main ke Kenawa. Terutama jika hendak menginap. Bawa bekal yang cukup, termasuk perlengkapan P3K. Dan jangan lupa minta nomor kontak di Poto Tano ketika lapor hendak menyebrang, untuk jaga-jaga jika ada kondisi tidak diinginkan.
Di Kenawa, pelancong akan langsung disuguhi komposisi alam yang harmonis, puluhan gradasi warna laut, karang-karang hidup, dan beragam jenis ikan yang menari-nari tak jauh dari sandaran kapal. Air yang jernih serupa kaca memudahkan pandangan wisatawan menemukan ikan-ikan nemo yang sembunyi di balik koral.
Di sisi barat, kalau langit cerah, pengunjung akan memperoleh pemandangan Gunung Rinjani. Di tengah-tengah pulau Kenawa sendiri, terdapat sebuah bukit cukup tinggi yang berbentuk seperti kerucut. Bukit ini menjadi ikon Kenawa.
Jika pengunjung mendakinya, dari puncak orang-orang dapat menyaksikan seluruh sisi Kenawa, mulai muka hingga punggungnya. Namun, meski tak terlampau tinggi, bukit tersebut cukup sulit didaki. Jalurnya yang terjal dan licin membuat kaki sulit berpijak.
Di kanan-kiri jalur pendakian menuju bukit, tak ada pepohonan. Memang, pulau ini tak ditumbuhi pepohonan tinggi. Hanya rerumputan dan beberapa tanaman bakau.
Bila angin berembus, suara rumput yang bergesekan satu sama lain terdengar seperti lagu alam yang membuat pikiran menjadi tenang. Bahkan suaranya lebih mirip dengan instrumen pengantar meditasi. Ditambah lagi dengan gemericit burung yang bertengger di ranting-ranting kering atau lalu-lalang di atas pulau.
Sewaktu matahari terbit dan terbenam, rerumputan di Pulau Kenawa akan berubah warna menjadi kemerahan oleh pantulan cahaya matahari. Pemandangan tersebut membuat pulau makin sempurna menjadi tempat untuk mendamaikan diri.
Tertarik? Ayo agendakan Indonesia-mu.
F. Rosana/shutterstock