Iket kepala pria seperti menjadi ciri khas yang unik bagi pria di Indonesia. Ini terlihat hampir merata di banyak daerah. Dikembangkan dari iket, misalnya, blangkonbagi laki-laki Jawa terus melekat dalam keseharian masyarakatnya.
Iket Kepala Pria
Penutup kepala yang merupakan paduan busana tradisional untuk lelaki Jawa ini memang unik. Bahkan antara Yogyakarta dan Solo saja, yang bersebelahan, terdapat perbedaan model. Blangkon Yogya dikenal dengan benjolan di bagian belakang. Pada dasarnya blangkon adalah iket, kain batik persegi yang diikatkan di kepala dengan teknik tertentu. Nah, agar lebih efisien dan praktis, para seniman mengembangkannya menjadi blangkon. Hanya dibutuhkan separuh bahan kain iket untuk menghasilkan blangkon. Kini, para pria tinggal memasang blangkon di kepala tanpa perlu repot menyimpulkan ujung-ujung kainnya. Tidak jauh berbeda dengan mengenakan topi.
Jenis penutup kepala tradisional ini memang beragam. Blangkon Yogya dilengkapi mondholan, yakni tonjolan di belakang. Sebenarnya tonjolan tersebut menunjukkan rambut pria pada masa silam yang umumnya panjang. Jadi, ketika mereka menggunakan iket, muncul tonjolan di bagian belakang sebesar telur ayam. Para perajin di Yogyakarta, seperti yang bisa ditemukan di pabrik blangkon Santi, Kampung Bugisan, Kecamatan Wirobrajan, mengisi bagian belakang blangkon dengan serbuk kayu sisa gergajian.
Blangkon buatan pabrik yang beroperasi sejak 1975 ini tidak hanya khas Yogya, tapi juga Solo, yang dikenal dengan model trepes. Ini adalah modifikasi dari model Yogya. Dibikin seperti itu karena para pria kemudian lebih banyak berambut pendek. Di perusahaan keluarga tersebut, setiap hari diproduksi sekitar 140 blangkon yang dijual ke berbagai daerah di dalam maupun luar Pulau Jawa.
Kampung Bugisan RT 32 RW 06, Kecamatan Wirobrajan, sejak 1974 memang dikenal sebagai kampung blangkon. Dulu, hampir semua warga di sini berprofesi sebagai pembuat blangkon. Kebanyakan produknya dijual di Pasar Beringharjo dan Jalan Malioboro, Yogyakarta. Kini hanya beberapa yang bertahan, salah satunya pabrik blangkon Santi.
Tidak ada yang memastikan kapan blangkon mulai hadir di Pulau Jawa. Hanya, penutup kepala ini disebut sebagai hasil pengaruh budaya para pendatang, seperti pedagang Gujarat yang umumnya keturunan Arab. Serban penutup kepala khas para pedagang Gujarat menginspirasi orang Yogya mengenakan iket, yang kemudian dikembangkan menjadi blangkon.
Tidak hanya Yogyakarta dan Jawa Tengah yang memiliki penutup kepala khas. Di Jawa Timur dan Jawa Barat pun bisa ditemukan hal serupa. Di Parahyangan aksesori ini dikenal dengan nama bendo atau iket, yang tertutup hingga bagian belakang dan biasa dipadukan dengan busana tradisional. Bentuknya kurang-lebih mirip dengan blangkon Solo. Saat ini, bendo hanya dipakai dalam upacara pernikahan atau pementasan tari tradisional. Tidak seperti di Yogya dan Solo, di mana masyarakatnya, apalagi di lingkungan Keraton, masih lekat dengan penutup kepala yang satu ini.
Iket Sunda hingga Lombok
Blangkon ataupun bendo terbuat dari iket atau kain persegi yang digunakan untuk menutup kepala. Berbagai model blangkon tersebar di Jawa, Bali, hingga Lombok. Di setiap daerah, penutup kepala ini disebut dengan nama berbeda. Masyarakat Jawa Barat mengenalnya dalam tiga nama, yakni iket, totopong,sertaudeng, sementara orang Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menyebutnya iket. Adapun di Pulau Dewata dikenal sebagai udeng dan di Pulau Lombok disebut sapuk.
Di Jawa Barat, tradisi mengenakan penutup kepala ini dilestarikan dengan membentuk kelompok khusus, yakni Komunitas Iket Sunda (KIS), yang pernah menggelar perhelatan Jambore Iket Sunda internasional di Pangandaran, Ciamis. Di tataran Sunda, totopong dulu dikenal terdiri atas beberapa jenis: barangbang semplak, julang ngapak, kuda ngencar, parekos nangka, parengkos jengkol, maung heuay, porteng, dan kekeongan, yang di daerah Banten disebut borongkos keong.
Iket tetap memiliki model baru karena masyarakat terus berkreasi. Yang tergolong anyar adalah candra sumirat, maung leumpang, dan hanjuang nantung. Penutup kepala ini dikenal masyarakat Jawa Barat pada 1450 atau masa Kerajaan Padjadjaran. Selain dikenakan untuk melindungi kepala dari terik mentari, pada masa kolonial iket muncul sebagai identitas pejuang atau simbol perlawanan terhadap penjajah.
Bentuk iket terbilang unik. Sebab, kain persegi ini tidak sepenuhnya bercorak batik. Sebagian kain yang dipotong secara diagonal berwarna polos, sisanya bercorak. Corak batik yang digunakan biasanya sida mukti, kumeli, katuncar mawur, eurih, kalangkang ayakan, kangkung, kawung ece, dan lain-lain. Jenis ikatannya juga menunjukkan kelas masyarakat, dari bangsawan hingga rakyat biasa. Berarti, di masa lalu totopong menggambarkan status sosial. Dan satu lagi, setiap bentuk ikatan mengandung filosofi sendiri-sendiri.
Ikat kepala pun melekat dalam kehidupan masyarakat Bali. Para pria di pulau ini menggunakan udeng dalam kegiatan sehari-hari, termasuk saat beribadah. Tidak perlu repot untuk mengenakan udeng karena sudah siap pakai. Tersedia dalam beragam ukuran, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Perajin ikat kepala ini bisa ditemukan di Karangasem, salah satunya Desa Sidemen, yang memang warganya dikenal sebagai perajin kain. Udeng tersedia dalam model polos atau bercorak, seperti batik dan metalik. Sisi kanan udeng lebih tinggi daripada yang kiri. Sengaja dibuat asimetris untuk mengingatkan bahwa kita harus melakukan kebajikan, yang biasanya disimbolkan dengan sisi kanan.
Mungkin karena dipengaruhi tradisi Bali, warga Lombok turut mengenakan ikat kepala, yang dikenal dengan nama sapuk. Modelnya hampir serupa dengan di Bali, yang sangat berbeda dari jenis ikat kepala di Pulau Jawa.
Masyarakat Yogya pun tidak lepas dari kreasi dalam soal iket. Agustus tahun lalu, mahasiswa dan dosen Universitas Negeri Yogyakarta membuat jenis iket berbeda. Dibikin lebih praktis, tapi masih mempertahankan gaya khas Yogya. Iket ini fleksibel karena ukurannya bisa disesuaikan dengan sang pemakai, selain terlihat lebih modis dan bisa dipadu dengan beragam busana. Iket hasil modifikasi tersebut menggabungkan corak lurik dan batik. Lurik digunakan di bagian bawah dan pengikat, sedangkan batik di atas serta samping. Sungguh modis.
Rita N./TL/agendaIndonesia
*****