Kerajaan Tarumanagara, Jejak Kebudayaan Nusantara (Bagian 2)

Kerajaan Tarumanagara merupakan sedikit dari kerajaan di Provinsi Jawa Barat yang menorehkan kejayaannya pada catatan peradaban Nusantara. Dari serpihan-serpihan peninggalan yang masih tersisa, para pelancong akan disuguhi keanggunan budaya tradisional dan jejak romantisme masa silam.

Kerajaan Tarumanagara

Tarumanagara pada abad keempat hingga ketujuh, geliat kehidupan penduduk di kawasan ini begitu bergelora. Pembangunan kanal dan penemuan karya sastra pada sejumlah prasasti membuktikan majunya peradabanT arumanagara.

Sejarah mengenai Kerajaan Tarumanagara tercatat secara cukup rinci dalam naskah Wangsakerta. Sayangnya, keaslian tulisan ini masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Menurut sumber tersebut, kerajaan didirikan oleh seorang Maharesi sekaligus pengungsi dari India bernama Jayasinghawarman.

Sumber valid mengenai sejarah kerajaan ini hanyalah berasal dari tulisan-tulisan pada prasastinya. Pada Prasasti Ciaruteun misalnya, dibahas mengenai kemiripan kaki Raja Purnawarman dan kaki Dewa Wisnu. Pembandingan dengan sosok dewa menunjukkan kebesaran Sang Raja yang berhasil memimpin rakyat secara bijaksana, baik, dan berani.

Hal itu didukung oleh isi Prasasti Tugu yang mencatat keberhasilan Purnawarman dalam membangun kanal yang menghubungkan Sungai Candrabaga dan Sungai Gomati dengan laut. Beberapa ahli mengkaji infrastruktur ini dibuat untuk menanggulangi banjir. Ada pula yang menduga saluran berguna untuk irigasi pertanian.

Satu hal yang pasti, dari berbagai prasasti, Raja Purnawarman adalah yang paling sering disebut. Dengan begitu pada masa pemerintahannyalah Kerajaan Tarumanagara mencapai masa keemasan.

Isi 7 Prasasti

Tulisan pada prasasti dari era Kerajaan Tarumanagara ditulis menggunakan bahasa Sanskerta dengan huruf Palawa. Terdapat sekitar delapan prasasti yang ditemukan dan dijadikan objek wisata sejarah. Sebagian besar berada di Situs Ciaruteun. Sementara sisanya tersebar di penjuru Kota dan Kabupaten Bogor.

  1. Prasasti Ciaruteun

Prasasti ini memiliki sejumlah gambar, yaitu telapak kaki, laba-laba, umbi, dan sulur-suluran. Teks yang terukir menjelaskan bahwa itu adalah telapak kaki Raja Purnawarman yang mirip dengan kaki Dewa Wisnu. Situs sejarah ini berada di Situs Ciaruteun, Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat sebagai salah satu kerjaan tertua di indonesia merupakan jejak peradaban Nusantara.
Prasasti Tapak Gajah, karena ada jejak sepasang kaki gajah, merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Tarumanagara. Foto: Dok. javalane
  • Prasasti Kebon Kopi

Pada batu besar ini terpahat bentuk sepasang telapak kaki gajah. Di dekatnya terdapat kalimat yang menjelaskan bahwa gambar itu melambangkan Airawata, yaitu gajah penguasa Kerajaan Tarumanagara. Lokasinya berada di seberang jalan masuk ke Prasasti Ciaruteun.

  • Prasasti Muara Cianten

Sampai sekarang teks prasasti belum bisa dibaca atau diartikan oleh para ahli sejarah. Ini karena tulisan tersebut berbentuk ikal atau berupa huruf sangkha. Lokasinya di tepi Sungai Cianten, Desa Ciaruteun dan belum diangkat ke tempat yang lebih aman.

  • Prasasti Tugu

Bentuknya unik, yaitu bulat lonjong seperti telur dengan tinggi kira-kira 1 meter. Isinya pun sangat menarik, yaitu mengenai penggalian sungai sepanjang 6.122 tongkat atau busur agar tersambung ke laut. Proyek berlangsung selama 21 hari. Ada juga penjelasan mengenai pemberian seribu sapi kepada kaum Brahmana. Kini Prasasti Tugu tersimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta.

Kerajaan Tarumanagara meninggalkan banyak prasasti dan candi, salah satunya Prasasti Jambu yang juga dikenal sebagai Prasasti Pasir Koleangkak.
Prasasti Jambu sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Tarumanagara. Foto; Dok. Javalane
  • Prasasti Jambu

Sesuai namanya, prasasti ini ditemukan di perkebunan jambu Bukit Koleangkak, sehingga dikenal juga sebagai Prasasti Pasir Koleangkak. Tulisannya menggambarkan tentang keberanian Raja Purnawarman saat berperang di medan laga.

  • Prasasti Cidanghiyang

Prasasti ini disebut juga Prasasti Lebak karena ditemukan di Desa Lebak, Kabupaten Pandeglang, Banten. Isinya masih menggambarkan tentang keberanian dan kebesaran Raja Purnawarman.

  • Prasasti Pasir Awi

Prasasti Pasir Awi berada di Bukit Pasir Awi, Kawasan Cipamingkis, Kabupaten Bogor. Pada batu tersebut terdapat gambar dahan dan ranting, buah-buahan, dedaunan, serta pahatan sepasang telapak kaki.

Ekspedisi 4 Candi

Sekitar 44 kilometer dari Kota Karawang, jauh dari ingar-bingar aktivitas pabrik, hamparan sawah Kecamatan Batujaya menyimpan romantisme masa silam. Di kompleks tersebut, kurang lebih terdapat 62 candi peninggalan Kerajaan Tarumanagara. Meski identik dengan suhu panas daerah pesisir, Kompleks Percandian Batujaya justru menjadi oasis pariwisata sejarah di sisi utara Jawa Barat.

Dari sekian banyak candi, terdapat empat yang sudah dipugar dan menjadi objek wisata, yakni Candi Jiwa, Blandongan, Serut, dan Telagajaya. Pada proses pemugaran tersebut ditemukan pula benda-benda peninggalan peradaban Hindu-Buddha di Nusantara. Kini warisan sejarah tersebut sudah dipindahkan dan dipajang di Museum Situs Candi Jiwa. Maka selain candi, museum ini juga menjadi daya tarik tersendiri.

Candi Jiwa

Menurut warga sekitar, candi ini diberi nama jiwa karena proses penemuannya cukup mistis. Dulunya, unur atau gundukan tanah yang menutupi candi sering dilewati oleh kambing. Uniknya, beberapa kambing mati tanpa sebab yang jelas. Dari situ masyarakat menganggap tempat itu memiliki jiwa.

Candi Jiwa berbentuk tumpukan lempengan batu yang berukirkan relief Buddha, keramik, serta prasasti berisi mantra Buddha. Ini menunjukkan bahwa bangunan ini merupakan peninggalan agama Buddha. Apalagi bentuk utuhnya mirip bunga teratai yang kemungkinan bagian atasnya terdapat stupa seperti halnya Candi Borobudur.

Kerajaan Tarumanagara meninggalkan sejumlah candi dan prasasi, salah satunya adalah Candi Blandongan.
Candi Blandongan sebagai salah satu jejak peninggalan Kerajaan Tarumanagara. Foto: Dok. Javalane

Candi Blandongan

Berbeda dengan candi lain yang sudah rusak atau terpotong bagian atasnya, Candi Blandongan masih cukup utuh. Bentuknya persegi dengan ukuran 25×25 meter dan anak tangga pada setiap sisinya. Di bagian bawah candi terdapat lorong yang memisahkan antara bangunan dan dinding samping. Di tengah ada bangunan lagi dengan ukuran 12×12 meter. Presisi ukuran ini mencerminkan majunya peradaban saat itu.

Candi Serut

Setelah gundukan tanah diangkat, terlihat beberapa bagian bangunan yang sudah rusak cukup parah. Ada yang tingginya 6 meter, ada juga yang 8 meter. Namun situs ini masih memiliki daya tarik melalui ornamen dan arca yang berbentuk hewan dan manusia. Dilihat dari penampang luar, candi ini mirip dengan pondasi rumah dengan kamar-kamar, sumur, dan lantai papan di dalamnya.

Candi Sumur

Bangunan ini berbentuk persegi panjang dengan panjang sekitar 11 meter dan lebar sekitar 7,5 meter. Dinamakan Candi Sumur karena berupa sebuah kolam dengan kedalaman masih belum diketahui. Tebal dinding sebelah timur mencapai 4 meter dan di dinding lain 1,7 meter.

agendaIndonesia

****

Rumah Jenderal Nasution, Museum 1 Oktober

Rumah Jenderal nasution menjadi saksi peristiwa 30 September 1965.

Rumah Jenderal Nasution masih jarang dikunjungi orang, baik warga Jakarta, maupun pengunjung dari daerah lain. Padaal museum kecil ini menjadi saksi peristiwa malam 30 September, di mana seorang anak kecil menjadi korban. Jadi saksi bisu perjalanan sejarah bangsa.

Rumah Jenderal Nasution

Matahari sudah meninggi. Rumah besar dan berhalaman luas di Jalan Teuku Umar No. 40, Menteng, Jakarta Pusat, itu terlihat sepi. Dari balik pagar, patung Jenderal Abdul Haris Nasution kokoh berdiri. Bagi yang sering atau setidaknya pernah melintasi jalan ini mungkin tak mengira bahwa di rumah ini sebuah peristiwa tragis pernah terjadi.

Ya, tepatnya pada 1 Oktober 1965. Saat hari masih terlalu pagi, sekitar pukul 04.00 WIB, sejumlah tentara Cakrabirawa merangsek ke kediaman Abdul Haris Nasution, yang akrab disapa Pak Nas.

“Mereka melepaskan enam kali tembakan tepat ke kamar Pak Nas,” kata Sersan Mayor Afrianto, yang menemani kami siang itu. Empat peluru mengenai tubuh Irma Suryani Nasution, anak bungsu Pak Nas. Sedangkan dua peluru lagi melukai tangan Mardiah, adik Pak Nas, yang saat itu tengah menggendong untuk menyelamatkan Ade—panggilan akrab Irma Suryani Nasution. Ade memang sempat dirawat di RSPA Gatot Subroto, Jakarta, selama 6 hari. Namun sayang, nyawanya tidak tertolong. Pada 6 Oktober 1965, Ade Irma Suryani Nasution, yang masih berusia sekitar 5 tahun, mengembuskan napas terakhir.

Peristiwa mengerikan yang terjadi pada 55 tahun silam itu sepertinya masih terlihat jelas di kamar Pak Nas. Kamar tempat Ade sering tidur bersama kedua orang tuanya. Lubang tembakan peluru di daun pintu dan dinding kamar pun masih membekas. Letak tempat tidur, meja, kursi, serta lemari masih dibiarkan pada posisi awal. Hanya ada tambahan diorama Pak Nas yang berkemeja putih dan kain sarung.

“Sejak 3 Desember 2008, kediaman Pak Nas ini resmi menjadi museum,” ucap Kepala Museum Jenderal Besar A.H. Nasution, Kapten ARH Dwi Prasetianto. Bentuk bangunan utama tidak mengalami perubahan. “Dibiarkan sama sejak peristiwa 1 Oktober 1965.”

Pintu utama merupakan pintu masuk menuju ruang tamu tempat Pak Nas biasa menerima tamu, baik dari kalangan militer, kerabat, maupun masyarakat. Di ruang tamu ini terpampang beberapa foto Pak Nas saat menjabat Panglima Divisi Siliwangi, KSAD, dan Menkonhankam.

Lebih dalam lagi, terdapat ruang kerja lengkap dengan rak buku di belakangnya. Terlihat diorama Pak Nas sedang menulis di ruangan ini. Di ruangan ini pula, konon, ide dan buah pikiran Pak Nas dituangkan ke dalam bentuk buku yang tersimpan di etalase ruangan.

Sementara itu, di seberang ruang kerja, terdapat satu ruangan berwarna serba kuning, yang disebut sebagai “ruang kuning”. Ruangan memang didominasi warna kuning. Entah itu meja, sofa, gorden, ataupun dindingnya, semua memakai warna kuning. Ruangan ini digunakan Pak Nas untuk menerima tamu-tamu VVIP (very very important person).

Di samping ruang kuning, terdapat kamar yang dijadikan ruang senjata yang menyimpan koleksi senjata sang pemilik. Sejatinya, kamar ini dulu merupakan kamar putri sulung Pak Nas yang bernama Hedrianti Sahara Nasution. Di seberang ruang itu terdapat kamar tidur Pak Nas yang menjadi saksi bisu tertembaknya Ade Irma.

Di kamar ini terhubung kamar yang biasa diisi tamu. Namun kamar itu kini berisikan diorama Pak Nas saat melompati tembok ke Kedutaan Besar Irak untuk menyelamatkan diri dari usaha pembunuhan. Pintu luar kamar ini memang menuju tembok samping yang berbatasan dengan Kedutaan Irak.

Menurut Afrianto, Pak Nas, yang sudah berada di atas tembok, berniat hendak turun lagi untuk memberi pertolongan dan perlawanan setelah melihat Ade Irma tertembak. Tapi Johana Sunarti Nasution, istri Pak Nas, melarangnya dan memohon kepada Pak Nas untuk segera menyelamatkan diri.

Di samping kamar Pak Nas inilah sebenarnya kamar tidur Ade. Dalam kamar itu terdapat sebuah lemari kaca yang memuat gaun dan seragam tentara milik Ade. Di sebelah lemari terpampang sebuah foto Ade Irma dengan tulisan yang digoreskan oleh ibunya. Di sana tertera kata-kata yang diucapkan Ade sebelum akhirnya meninggal. “Ade sayang Mama. Ade sayang Papa. Tapi kenapa Ade ditembak? Salah Ade apa, Ma?”

Di depan kamar Ade terdapat ruang makan. Di ruangan ini ada patung Johana atau Bu Nas sedang menggendong Ade yang terluka parah karena tembakan di hadapan lima tentara bersenjata lengkap. Tangan Ade terlihat melingkari leher ibunya. Adegan ini membuat bulu kuduk saya berdiri. Membayangkan betapa kuatnya Bu Nas menghadapi para tentara yang sudah siap membunuh suaminya.

Di samping kanan bangunan utama terdapat semacam paviliun. Dulunya merupakan kamar ajudan yang salah satunya ditempati Letnan Satu Czi Pierre Tendean. Sang ajudan inilah yang kemudian diangkut ke Lubang Buaya dan gugur sebagai perisai bangsa. Kini bangunan itu berisikan diorama Pierre Tendean ketika menghadapi todongan senjata para tentara Cakrabirawa.

Kisah tragis ini berhasil membawa saya tenggelam pada masa 50 tahun lalu. Di rumah 1 Oktober ini pula lagu Ade Irma karya A.T. Mahmud melayang-layang dalam ingatan.

Akan kuingat selalu Ade Irma Suryani

Waktu dipeluk dipangku ibu

Dengan segala kasih

Kini ia terbaring di pangkuan Tuhan

Senang dan bahagia hatinya

Kini ia terlena tertidur terbaring

Nyenyak di pelukan Tuhannya

Andry T./Subekti/TL/agendaIndonesia

*****