Keraton Cirebon dan Jejak Raja 1 Dari Wali Sanga

Keraton Cirebon dan jejak Wali Sanga

Keraton Cirebon memiliki sejarah yang sangat panjang. Ia tak cuma warisan budaya, namun juga jejak dari penyebaran agama Islam di wilayah barat pulau Jawa.

Keraton Cirebon

Suatu siang di bangsal Pesambangan, kompleks makam Sunan Gunung Jati, Gunung Sembung, Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Suara orang melafalkan “La Ilaha Ilallah” menggema. Mereka duduk bersila, menghadap ke arah pintu Lawang Gedhe, lurus ke arah kuburan Sunan Gunung Jati di puncak gunung. Mereka percaya, roh Sunan Gunung Jati yang dimakamkan di sana, dapat membantu mendekatkan diri dengan Tuhan, memberikan berkah, dan melapangkan jalan hidup. Sementara ribuan peziarah lain, membaca Al Quran, bersedekah, juga berdesak-desakan antre untuk menabur bunga, berbaur dengan ratusan pengemis dan para juru kunci makam.

Tak hanya untuk berwisata dan beribadah, tapi mereka juga berharap mendapat karomah obat mujarab bagi yang sakit. Jadi ditaruh-lah satu botol air di depan pintu Lawang Gedhe, dengan harapan, selama ritual doa berlangsung, air di dalam botol itu akan mendapatkan limpahan energi spiritual. Sehingga kalau diminum, akan memberi kesembuhan.

Sunan Gunung Jati (1478-1568), atau Syarif Hidayatullah, yang mereka ziarahi itu adalah wali paling berpengaruh di wilayah barat Pulau Jawa ini. Ia juga pendiri dan raja pertama Kasultanan Cirebon. Kompleks makam seluas lima hektare itu telah berusia lebih dari enam abad. Namun wisatawan hanya diizinkan berkunjung sampai bangsal Pesambangan, di depan pintu Lawang Gedhe, di pintu keempat.

Yang menarik, banyak juga keturunan Cina yang datang berziarah. Mereka berdoa, membakar hio, dan bersedekah kepada para pengemis di sekitar lokasi. “Salah satu istri Sunan Gunung Jati, yang bernama Ong Tien Nio, adalah putri kaisar Yung Lo dari Cina. Jadi kehadiran warga Cina ke sini untuk menziarahi leluhur mereka juga,” ujar juru kunci permakaman Sunan Gunung Jati. Para peziarah pribumi berdoa di depan pintu Lawang Gedhe, sedangkan peziarah Cina berdoa dan membakar dupa di bilik depan pintu Lawang Merdhu.

Di dalam kompleks juga terdapat Masjid Dog Jumeneng, atau Masjid Agung Sunan Gunung Jati, yang berkapasitas 3.000 orang. Masjid ini dulu dibangun orang-orang Keling atau India Tamil setelah mereka takluk dalam usaha penyerangan yang gagal terhadap kekuasaan Sunan Gunung Jati. Terdapat pula Paseban Besar, tempat menerima tamu; Paseban Soko, tempat musyawarah; Gedung Jimat, tempat penyimpanan guci-guci keramik kuno dari era Dinasti Ming, Cina, juga keramik-keramik gaya Eropa, khususnya Belanda.

Tur ke Cirebon memang identik dengan berziarah ke situs-situs peninggalan Sunan Gunung Jati. Tak hanya kompleks makamnya di Gunung Sembung, tapi juga berbagai situs peninggalannya yang tersebar di seantero Cirebon. Ini memang tak lepas dari sejarah Cirebon. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu karya besarnya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005), mengisahkan, Cirebon muncul dalam arus utama sejarah Nusantara baru sejak masuknya Islam yang dibawa pedagang pribumi. Di masa kejayaan Hindu, Cirebon kurang penting. Cirebon masuk peta sejarah tak lepas dari kisah dan peranan Sunan Gunung Jati. Jejak-jejak wali penyebar ajaran Islam itulah yang kini menjadi tujuan ziarah ribuan wisatawan. l

Obyek Wisata Pilihan

Keraton Kasepuhan

Memiliki arsitektur perpaduan Sunda, Jawa, Islam, Cina, dan Belanda, Keraton Kasepuhan merupakan istana tertua di Cirebon. Didirikan pada 1529 oleh Pangeran Mas Mohammad Arifin II, cicit Sunan Gunung Jati. Ada banyak bangsal dengan fungsi masing-masing. Di antaranya bangsal Prabayaksa, dindingnya dibangun dari keramik Dinasti Ming, Cina, tahun 1424 dan keramik Delf Blue dari Delf, Belanda, 1745. Museum Keraton Kasepuhan menyimpan aneka koleksi bernilai tinggi.

Keraton Kanoman

Didirikan pada 1588 oleh Sultan Kanoman I atau Sultan Badridin. Museum keraton ini menyimpan banyak peninggalan Sunan Gunung Jati di antaranya kereta Paksi Naga Liman dan Paksi Jempana, yang dulu dipakai langsung oleh Sunan Gunung Jati.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Tak jauh dari Keraton Kasepuhan, di Alun-Alun Cirebon, terdapat masjid keramat dan salah satu masjid tertua di Jawa yang dibangun pada 1489 oleh Wali Songo. Masjid ini mempunyai bentuk atap limasan dan di atasnya tidak dipasang mahkota masjid.

Petilasan Sunan Kalijaga

Salah satu Wali Songo ini pernah menjejakkan kaki di Cirebon. Tepatnya di barat Sungai Sipadu, di Jalan Pramuka, Desa Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Dikenal juga sebagai Taman Kera. Menurut kepercayaan, Sunan Kalijaga pada abad ke-15 pernah bertapa dan tinggal di sana untuk turut membantu Sunan Gunung Jati dalam mendirikan Kerajaan Cirebon.

Makam Syekh Siti Jenar

Makam sosok kontroversial dalam sejarah Wali Songo yaitu, Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang, dipercaya berada di Desa Kemlaten, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Tak jauh dari situs petilasan Sunan Kalijaga, yang merupakan salah satu musuh besarnya. Makam itu sederhana, hanya berupa satu cungkup kuburan 180 x 90 sentimeter yang dipayungi kelambu putih.

Kelenteng Dewi Welas Asih

Di Cirebon juga terdapat kelenteng Dewi Welas Asih atau Tiau Kak Sie, yang merupakan kelenteng tertua dan tempat penziarahan masyarakat keturunan Cina. Dibangun pada 1595, kelenteng berada di Jalan Kantor Nomor 2, Desa Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Tak jauh dari wilayah Keraton Kasepuhan. Terdapat sebuah jangkar sepanjang dua meter yang dipercaya sebagai jangkar bekas peninggalan armada Laksamana Cheng Ho, yang pernah berkunjung ke Cirebon sekitar 1430-1433.

Trusmi, Sentral Batik

Sekitar lima kilometer dari pusat kota, terdapat Kampung Trusmi, Kecamatan Weru, yang terkenal sebagai pusat batik dan cendera mata Cirebon. Kehadiran Trusmi tak lepas dari jejak Sunan Gunung Jati. Ki Gede Trusmi adalah pengikut setia Sunan Gunung Jati pada abad ke-16, yang menyebarkan Islam sembari mengajarkan seni membatik kepada warga setempat.

Dari Jakarta

Ke Cirebon, bila sembari mampir selama perjalanan, memang asyiknya membawa kendaraan sendiri. Tapi bila ingin beristirahat sepanjang jalan, bisa pilih kereta api. Ada cukup banyak pilihan kereta dan waktu keberangkatan. Misalnya, Cirebon Ekspres seharga Rp 90 ribu, hingga yang bertarif Rp 300 ribu-an, seperti Gajayana, Bangunkarta, Sembrani, dan Argo Anggrek Malam. Lama perjalanan mulai 2,5 jam.

Wahyuana/Tony H./Dok. TL

Tur Dua Hari di Cirebon (Bagian 1)

Nasi lengko haji Barno merupakan salah satu 'landmark' kota Cirebon.

Tur dua hari di Cirebon mungkin bisa menjadi alternatif liburan ketika waktu untuk perjalanannya terbatas. Salah satu kota di Provinsi Jawa Barat ini memiliki banyak peninggalan sejarah yang sayang untuk dilewatkan.

Tur Dua Hari di Cirebon

Cirebon selama ini hanya dikenal sebagai tempat persinggahan ketika orang melakukan perjalanan panjang dari Jawa Tengah atau Jawa Timur menuju Jawa Barat atau Jakarta, juga sebaliknya. Padahal, kota ini memiliki potensi wisata yang tak kalah dengan daerah lain di Pulau Jawa. Maka itu, ada baiknya bila sampai di kota ini, pelancong memperpanjang waktu singgah dan menyempatkan barang dua hari untuk bereksplorasi. Berikut itinerary yang bisa dipilih jika ingin melakukan tur ke Cirebon.

 

Hari 1

Pasar Kanoman

Setelah menyantap bubur, jalan-jalan di pasar sembari mengamati kehidupan masyarakat Cirebon menjadi ide terbaik untuk membuka waktu pelancongan di kota tua ini. Bila berjalan ke arah pelabuhan, kira-kira 10 menit berkendara dari Balai Kota Cirebon, wisatawan bisa menemui sebuah pasar yang memiliki nilai historis tinggi, yakni Pasar Kanoman. Pasar yang sudah ada sejak 1800-an ini berdiri gagah di depan Keraton Kanoman. Dulu, pada masa kolonial, pasar sengaja dibangun Belanda untuk menggembosi kekuatan keraton dan memagari warga supaya sulit mengakses pusat kesultanan. Maka itu, bangunan pasar didesain memiliki dinding-dinding yang tinggi, menyerupai kawasan Pojok Benteng di Yogyakarta.

Dari dulu sampai sekarang, segala aktivitas jual-beli di Cirebon berpusat di sini. Penjaja menjual beragam jenis barang. Ada sembako, makanan dan minuman khas Cirebon yang sudah siap santap, produk kerajinan, dan berbagai kebutuhan rumah tangga. Pertama kali masuk ke pasar itu, kita akan mendengar orang-orang berbicara bahasa Sunda bercampur Jawa dengan logat ngapak, yang terdengar sebagai sebuah kekayaan lingustik. Dari situ, wisatawan bisa memotret keaslian masyarakat setempat.

 Keraton Kanoman

Tak sampai 50 kali melangkah dari beranda belakang Pasar Kanoman, pelancong bisa menemukan sebuah keraton tua yang dari gerbang muka tampak sedikit tak terawat. Keraton ini sudah berdiri sejak 1678, dibangun oleh Pangeran Mohamad Badridin atau Pangeran Kertawijaya, yang bergelar Sultan Anom I. Keraton Kanoman bisa diakses oleh siapa pun, bahkan warga biasa yang tak memiliki hubungan kekerabatan dengan sultan. Mereka bisa masuk dan melihat rumah sultan, mengunjungi tempat-tempat ritual yang biasa dipakai untuk upacara, sampai berkomunikasi dengan kerabat sultan, penghuni keraton tersebut.

Keraton Kanoman yang berdiri di lahan seluas 6 hektare ini terdiri atas tiga bagian. Bagian depan ialah tempat yang biasa dipakai untuk pentas. Di sana terdapat bangsal yang dimanfaatkan untuk tempat menyimpan gamelan dan alat-alat pentas milik kesultanan. Bangsal tersebut dikepung oleh pagar bumi dengan ornamen piring-piring peninggalan bangsawan Cina yang ditempel di dinding-dindingnya. Sementara bagian tengah, terdapat bangunan bernama Jinem. Bangunan ini seperti joglo yang dipakai untuk penobatan sultan.

Sedangkan di bagian belakang, terdapat rumah sultan dan bangunan keputran, yakni tempat tinggal para putra-putri kerajaan, yang bentuk aslinya masih sangat dipertahankan. Ada pula Witana, yakni tempat untuk permandian kerabat kerajaan—karenanya di sana terdapat sumur tua yang dijaga—juga tempat untuk mengadakan ritual khusus.

 

Sultan Kanoman Cirebon 1
Bangsal Dalem Keraton Kasultanan Kanoman Cirebon (Rosana)

 

Pantai Kejawanan

Memang tak banyak pantai yang dapat dibanggakan di Cirebon, meski kota ini merupakan daerah pesisir. Rata-rata pantai di sana berpasir hitam dengan air laut yang sudah tercemar oleh limbah-limbah kapal. Namun, meski begitu, tak berarti pantai di Cirebon tak layak dikunjungi. Pantai Kejawanan, misalnya. Pantai ini menjadi spot terbaik untuk menikmati matahari terbenam. Ada sebuah dermaga menjorok ke laut yang mengantarkan pengunjung lebih dekat dengan garis pantai. Di sampingnya, berlabuh kapal-kapal pengangkut logistik, juga batu bara.

Kala matahari melungsur, kapal-kapal itu berubah warna menjadi merah-hitam, terkena pantulan lembayung. Kadang-kadang, bulatan surya mengintip di cerobong asap kapal, atau di sela dek, menghasilkan sebuah lanskap yang eksotis. Kalau ingin melihat matahari tenggelam bulat-bulat, tersedia kapal-kapal nelayan yang siap mengangkut wisatawan menuju tengah laut. Biayanya berkisar kurang lebih Rp 50 ribu per orang.

 

Alun-alun Kejaksaan

Menjelang malam, alun-alun yang bersebelahan dengan Masjid Raya At-Taqwa ini kian ramai disambangi muda-mudi, juga keluarga. Tempat tersebut seolah menjadi magnet kehidupan malam di Kota Cirebon. Lampu-lampu taman yang berkedip warna-warni menimbulkan suasana meriah. Di bawah lampu-lampu itu, duduk bergerombol teruna-teruni yang asyik mengobrol. Juga keluarga muda yang tengah mengajak anak-anaknya bermain.

Di lapangan yang luas, menghadap ke arah masjid, terdapat sejumlah permainan bocah, misalnya odong-odong, mobil-mobilan, arena memancing buatan. Di sekelilingnya digelar beragam tenda kuliner. Para penjaja menyediakan bermacam-macam jenis penganan. Yang paling top dan jadi incaran pelancong kalau datang ke Cirebon adalah es durian. Durian yang dipakai beberapa pedagang didatangkan langsung dari Bengkulu atau Medan. Tak heran kalau rasanya membikin ketagihan.

 

Rosana

 

…bersambung Hari ke 2