Masjid Gelgel Bali merupakan masjid tertua di Pulau Dewata itu dan berada di Kabupaten Klungkung. Suasana kota Klungkung.

Masjid Gelgel Bali menjadi saksi harmoni kehidupan masyarakat di Bali. Sebagai daerah dengan mayoritas penduduknya penganut agama Hindu, masjid tertua di Bali ini hidup lengkap dengan kampung Islam di sekitarnya.

Masjid Gelgel Bali

Jika melihat sepintas, tidak ada hal atau petunjuk yang menunjukkan tempat ibadah ini berbeda dari masjid yang ada di Indonesia pada umumnya. Berdiri megah dan nyata sekali merupakan bangunan baru. Hanya, menara masjid Nurul Huda, Desa Gelgel, Klungkung, Bali, yang setinggi 17 meter masih merupakan peninggalan bangunan lama dengan ciri arsitektur lama.

Selain manara, masjid juga masih lengkap dengan pintu kayu berukir lama. Soal bangunan yang tampak baru, “baru direnovasi dan nyaris tidak ada bangunan lama yang tersisa,” kata penjaga masjid, Aminuddin.

Suasana sekitar dan di area masjid sendiri juga memperlihatkan kondisi yang umum dijumpai di tempat-tempat ibadah umat muslim di banyak tempat. Seperti sore itu, saat adzan asar menjelang bergema, beberapa anak dengan pakaian koko dan bercelana panjang sudah duduk-duduk di tangga. Mereka bersiap untuk belajar mengaji.

Masjid tertua di Bali ini berada di kampung muslim desa Gelgel, Klungkung, berbatasan dengan Desa Kamasan yang merupakan desa pengrajin lukisan wayang klasik dan perajin uang kepeng. Terletak sekitar 3 kilometer sebelah selatan Klungkung, dan jarak dari Denpasar sekitar 30 kilometer melalui jalan By Pass Ida Bagus Mantra.

Masjid Nurul Huda di Gelgel ini berada di tengah-tengah perkampungan penduduk Hindu Bali. Dan di sekitarnya terdapat banyak pura-pura besar penyungsungan warga umat Hindu seperti kahyangan jagat pura Dasar Bhuana, pura Kawitan Pasek Gelgel, dan pura Dalem Prajurit. Kehidupan masyarakatnya terlihat tenang dan hidup dalam harmoni.

Sesungguhnya bangunan masjid ini pertama kali dibangun pada akhir abad ke-13 dan merupakan jejak masuknya Islam ke pulau Dewata. Seiring waktu bangunan mulai terlihat kuno dan perlu diperbaiki. Karena itu, sejak 1970-an, renovasi terus dilakukan hingga kini dan menjelma menjadi sebuah masjid nan megah. “Yang tertinggal (dari zaman dulu) hanya mimbarnya,” ujar salah seorang imam masjid. Di dalam masjid itu memang ada sebuah mimbar dari kayu berukir, yang berdiri di depan tempat pemberi khotbah.

Masjid Gelgel Bali sebagai masjid tertua di pulau Dewata, didirikan sejak abad 13.
Menara Masjid Nurul Huda di Kampung Islam Gelgel, Klungkung, Bali. Foto: Dok TL/Charisma A

Itulah bukti satu-satunya dari pasukan Majapahit yang tiba di Gelgel saat mengiringi Raja Gelgel, Dalem Ketut Klesir (1380-1460 M), setelah melakukan pertemuan di Kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-13.  Kala itu, Prabu Hayam Wuruk (1350-1389 M) mengadakan konferensi kerajaan-kerajaan seluruh Nusantara. Ketika hendak kembali ke Bali, Raja Gelgel dikawal 40 prajurit Kerajaan Majapahit. Pasukan tersebut beragama Islam. Selain menetap, dengan seizin raja, mereka mendirikan tempat ibadah dan menyebarkan agama Islam.

Menurut Aminuddin, di sekitar masjid pun menjadi kampung Islam. Ada sekitar 300 kepala keluarga. Kini, bahkan, tidak terbatas pada warga Bali, tapi juga kaum pendatang yang kebanyakan beragama Islam tinggal di kampung tersebut. Karena itu, anak-anak yang sore itu mengaji ketika ditanya, kebanyakan mengaku bukan dari suku Bali. “Aku orang Jawa,” ujar Adi, salah satu anak yang ditemui sore itu. Jawaban yang sama juga dilontarkan dua anak lain. Anak-anak mengaji hampir setiap sore. Setelah asar hingga magrib, masjid selalu dipenuhi anak-anak. 

Kampung Islam berada di sekitar masjid, terutama di bagian belakang. Tepat di gang sebelah gerbang tempat ibadah, saya melihat orang wira-wiri dengan mengenakan peci dan sarung. Anak-anak bersepeda dengan baju koko dan peci juga. Masjid berada di jalan raya. Di ujung jalan, berdiri pura lengkap dengan penjor di bagian depannya. Kehidupan pemeluk Islam dan Hindu berjalan dengan harmonis.

Aminuddin, sang penjaga masjid, mengaku asli dari Bali. Hingga cucunya pun masih beragama Islam. Ia mengatakan, meski orang Bali, tidak memiliki embel-embel seperti pada umumnya. Pada namanya tidak ada tambahan wayan, made, dan lain-lain. “Ada juga yang seperti itu, tapi di banjar lain,” ucapnya.

Di samping dan di seberang masjid berdiri kedai-kedai dengan label halal. Tetap dengan makanan khas Bali, seperti nasi campur, tapi dijamin aman dikonsumsi kaum muslim. Sore itu, saya meninggalkan Gelgel. Namun tepat azan magrib berkumandang, saya sudah kembali ke masjid Nurul Huda untuk menunaikan salat dan menikmati senja di sekitar masjid. Ruangan ibadah lebih ramai. Sebelum beranjak, lagi-lagi, saya mengamati satu per satu warga keluar masjid dan memasuki gang untuk kembali ke rumahnya.

Rita N./Charisma A./TL/agendaIndonesia

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi