Ombak 5 meter, apalagi jika memiliki panjang gulungan hingga 200 meter, pastilah menjadi impian para surfer atau peselancar. Lucunya, ombak tak selalu bergulung, di saat air laut surut, pantai pun menjadi laboratorium kelautan.
Ombak 5 Meter
Cerita ombak 5 meter ini bukan di Bali atau G-Land Banyuwangi, tapi di pesisir barat Lampung, tepatnya di Tanjung Setia, Pekon, atau Desa Tanjung Setia, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Lampung Barat. Untuk menuju ke lokasi ini, pengunjung bisa terbang selama 40 menit dari Soekarno Hatta ke Bandara Raden Inten II di Bandar Lampung.
Dari bandara, perjalanan dilanjutkan sekitar enam jam dengan jalur darat yang cukup lenggang. Melewati tiga kota —Pring Sewu, Tanggamus, dan Kota Agung, sebelum akhirnya membelah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan menyisir pesisir Barat Provinsi Lampung.
Cobalah memulai menyusuri wilayah ini pada pagi hari. Pantai dengan pasir putih yang masih sepi menjadi pemandangan yang menenangkan. Tenang? Lalu ke mana ombak 5 meter yang dicari peselancar.
Tunggu dulu. Jika kita penyusuri pantai hingga sampai di satu titik pada bagian tanah yang menjorok ke laut alias tanjung, pengunjung baru bisa melihat gulungan ombak yang dikenal luas di antara para peselancar dari pelbagai belahan dunia.
Di situ pengunjung pantai akan mulai terlihat. Umumnya orang asing berkulit putih dengan ‘tentengan’ papan selancar. Kebanyakan pria, tapi ada juga satu-dua kawan perempuan mereka.
Pria-pria berkulit putih itu tak henti-hentinya menggulung diri dengan ombak dan menantang laut dengan sebilah papan. Ketika lelah, mereka mengaso di halaman homestay yang menghadap ke laut. Namun kadang tak lama mereka kembali menyapa laut dengan tariannya di atas papan.
Cerita para pencinta ombak lebih lengkap diceritakan t dari pemilik penginapan, Dewi. Perempuan asal Sukabumi itu membuka usaha Homestay Utopia pada sekitar sembilan tahun lalu saat Tanjung Setia mulai berkembang.
Dewi menyebut tamunya datang dari berbagai penjuru dunia. Dari Eropa, Australia, Amerika Serikat, dan negara-negara belahan lain, seperti Brasil, hingga Jepang. Lama tinggalnya tidak seperti wisatwan lokal yang hanya berakhir pekan, tapi mereka bisa sampai sebulan hingga dua bulan.
Mayoritas yang datang memang wisatawan asing yang berminat dengan olahraga khusus tersebut. Bahkan ada beberapa homestay yang tidak membuka pintu bagi tamu lokal. Kamar yang disewakan hanya untuk warga asing. Dua hari di Tanjung Setia, agendaIndonesia memang tidak bertemu dengan wisatawan domestik.
Tanjung Setia memang seperti banyak disebut lebih dikenal di mancanegara. Tumbuhnya deretan homestay pun kebanyakan untuk mengakomodasi para pencinta ombak tersebut. Kebanyakan berupa bangunan sederhana. Akhir September lalu, saat kami menyusuri jalan di kawasan itu, ada sebuah homestay yang dibikin lebih apik. Masih terbuat dari kayu, namun dengan pembuatan yang lebih baik. Mungkin menjadi akomodasi paling “mewah”. Tidak hanya di lahan yang menghadap ke laut, tapi juga di sisi lainnya.
Menurut Dewi, Pantai Tanjung Setia yang dikenal dengan ombak 5 meter dan panjang 200 meter bukan satu-satunya yang dipilih para peselancar. “Mereka juga suka ke Way Jambu. Enggak jauh kok dari sini,” ujarnya.
Penasaran, kami pun ke sana. Benar saja, belum tiba di pantai, serombongan peselancar baru saja usai bercanda dengan ombak yang diberi nama khusus “The Sumatran Pipeline” itu. Tak hanya melaju dari pantai ke pantai dengan kendaraan roda empat, tetapi juga tak jarang peselancar yang ditemui seperti di Bali: naik sepeda motor dengan papan selancar yang memburu pantai-pantai dengan ombak tinggi.
Pantai Melasti dan Mandiri, yang tidak jauh dari Pantai Tanjung Setia, pun menjadi pilihan lagi bagi peselancar. Saat tengah menikmati suasana Pantai Labuhan Jungkung yang berada di pusat kota Krui, ibu kota Kabupaten Lampung Barat, tampak sepasang wisatawan tengah bermain dengan ombak. Rupanya yang perempuan baru latihan tahap awal berselancar. Ia memulainya dengan mempelajari gulungan ombak. Dan itu dilakukan di tengah terik sinar mentari.
Namun Tanjung Setia tak melulu soal selancar. Pantai ini punya keunikan lain. Pada sisinya yang lain, air lautnya justru terlihat tenang. Terlebih jika sedang surut.
Pada sejumlah bagian, kadang kita akan berpikir ini bukanlah pantai yang asyik untuk bersantai. Pantai tidak terlalu landai dan selebihnya penuh karang. Karang-karang tampak muncul di tepi pantai.
Namun rupanya karang-karang itu punya pesonanya sendiri. Saat air laut surut ternyata membawa keindahan tersembunyi. Pengunjung bisa menemukan bermacam-macam bentuk teripang, landak laut, bulu babi, udang, anemon, kepiting berwarna merah, ikan buntal hingga scorpion fish. Luar biasa!
Rasa bungah benar-benar memenuhi dada. Tanpa harus bersusah payah menyelam, pengunjung dapat menemukan keragaman biota laut. Cobalah ajak teman yang cukup mengenal kehidupan laut, pastilah kita akan dapat pelajaran biologi. Ahai…
Sungguh asyik, sambil mengamati satu per satu karang yang hendak dipijak, pengunjung bisa digoda oleh ikan-ikan kecil yang berlarian. Bahkan ikan-ikan tersebut tak sekadar berlari, tapi melompat untuk menghindar. Mereka mencari tempat yang lebih aman. Kepiting pun tak mau diganggu. Hewan kecil dengan capit itu langsung bersembunyi di balik karang. Serasa berada di dunia lain. Di tengah kehangatan sang surya yang belum lama muncul, “kawan-kawan baru” di laut ini semakin membuat suasana menyenangkan.
Tertarik? Jika perjalanan enam jam dianggap terlalu lama, ada beberapa alternatif jalan menuju Tanjung Setia.
Cobalah cari penerbangan langsung ke Bandara Seray, Krui, di Lampung Barat. Dari sana hanya perlu 30 menit untuk mencapai Tanjung Setia. Bila memilih jalur darat, setelah menyeberang dari Merak ke Bakahuni, dari Terminal Rajabasah bisa memilih bus menuju Krui melalui Jalan Raya Trans-Sumatera sisi barat.
agendaIndonesia/TL/Rita
*****