Danau Toba Dan Sekitarnya Dalam 5 Hari

Menparekraf dan menhub bertemu nahas 5 dsp, salah satunya Danau Toba

Danau Toba di Sumatera Utara makin hari makin menarik perhatian pelancong. Selain sudah adanya bandara Silangit di dekat danau ini, perjalanan dari Medan pun makin mudah dan mengasyikan.

Danau Toba

Ketenaran Samosir, pulau kecil di Danau Toba, tak disangsikan lagi. Namun kebanyakan orang yang melancong hanya singgah sebentar ke Pelabuhan Tomok atau Tuktuk. Setelah itu, kembali lagi ke Pelabuhan Ajibata di Parapat. Selebihnya menghabiskan waktu di hotel di Parapat dan memandang Samosir dari kejauhan. Padahal banyak situs sejarah dan obyek budaya bisa dieksplorasi jika kita berkeliling kabupaten seluas 206.905 hektare ini. Apabila dipadu dengan kunjungan ke Berastagi, berwarnalah perjalanan Anda di Sumatera Utara. Waktu yang dibutuhkan cukup lima hari. Perjalanan tentunya dimulai dari Medan.

Hari pertama. Bila tiba di Medan tidak terlalu pagi, untuk kenyamanan, mulailah perjalanan dengan jalur pendek, yakni dari Medan ke Berastagi—berjarak 66 kilometer. Jalanan kecil dan berkelok. Diperlukan waktu sekitar dua jam. Berastagi adalah kota kecamatan yang berada di Kabupaten Karo. Bila tiba siang hari di Berastagi, masih ada waktu untuk menatap Gunung Sinabung dari dekat, jadi melajulah ke Lau Kawar.

Dari Berastagi, temukan Tugu Perjuangan, kemudian Anda tinggal belok ke kanan menuju Kecamatan Simpang Empat. Jarak ke obyek wisata ini sekitar 27 kilometer dari Berastagi. Di sepanjang jalan, kebun berjajar. Sayuran dan buah-buahan dapat dengan mudah ditemui, termasuk jeruk dan markisa, yang merupakan buah khas Berastagi. Akhirnya tiba juga di danau yang berada di Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran. Gunung Sinabung tak hanya menawarkan udara yang sejuk, tapi juga lingkungan yang tenang. Begitu hening jika Anda datang bukan pada akhir pekan. Kabut sering turun, sehingga membuat hawa dingin dan suasana sepi. Di pinggir danau ada kios makanan dan minuman, ada pula lahan untuk berkemah.

Bila masih terang, cobalah berperahu ke seberang. Temukan tanaman kantong semar, jenis tanaman yang melahap serangga, seperti kupu-kupu, lipan, dan kalajengking. Di pinggir danau, Anda bisa mencari pemilik kapal sekaligus pemandu untuk menemukan tanaman unik ini. Setelah menikmati danau hingga sore, bila hendak melihat perkampungan dan rumah adat Karo berusia ratusan tahun, mampirlah ke Desa Lingga. Ketika hendak kembali ke Berastagi, sebelum tiba di perempatan Tugu Perjuangan, ada jalan menuju ke kanan. Hanya, kondisi rumahnya memang banyak yang sudah tidak terawat. Atau jika Anda penyuka alam, bisa juga sore itu melaju ke Bukit Gundaling. Jaraknya hanya sekitar 3 kilometer dari Berastagi. Di bukit ini, Anda bisa menemukan tempat untuk menikmati Berastagi dari ketinggian.

Hari Kedua. Pagi-pagi tinggalkan dinginnya Berastagi. Melajulah ke Kecamatan Merek untuk mengitari Taman Simalem Resort. Kawasan resor seluas 206 hektare yang terdiri atas kebun buah-buahan, termasuk yang langka, seperti biwa. Selain itu, ada buah markisa dan jeruk. Ada pula sarana lodge, perkemahan, kafe, restoran, hingga paket untuk trekking dan bertualang di hutannya. Dari tempat yang satu ini, Anda bisa juga memandang Danau Toba, selain bukit-bukit gundul yang, mau tidak mau juga, tampak jelas dari sini. Resor yang bisa ditempuh sekitar 35 menit dari Berastagi ini juga memiliki kuil Buddha yang megah menjulang di atas bukit. Untuk memasuki kawasan ini, tiket masuk Rp 150 ribu per mobil.

Bila masih mempunyai tenaga untuk menuruni ratusan anak tangga, singgahlah pula ke air terjun Sipiso-piso di Desa Tongging, Kecamatan Merek. Tinggi air terjunnya sekitar 120 meter, jarak dari Berastagi sekitar 35 kilometer. Dari sini, Danau Toba dan Samosir terlihat. Lokasinya akan terlewati jika Anda menuju Parapat. Bisa juga langsung ke Parapat, yang berjarak 110 kilometer dari Berastagi atau sekitar tiga jam perjalanan. Bila sudah terlalu sore tiba di Parapat, pilihannya tentu saja menginap. Pilihan akomodasi berlimpah di Parapat, yang menjadi pusat wisata Danau Toba.

Hari Ketiga, menyeberang dari Pelabuhan Ajibata ke Tomok. Berbeda dengan Berastagi yang dingin, udara panas langsung menerpa saat menginjak kaki di Samosir. Obyek wisata terdekat dari Pelabuhan Tomok adalah makam Raja Sidabutar. Makam ini terbuat dari batu utuh tanpa sambungan yang dipahat untuk tempat peristirahatan Raja Sidabutar, yang menjadi penguasa pada masa silam.

Di Samosir, kita bisa mempelajari tradisi pada Batak kuno. Salah satunya tradisi tarian Sigale-gale di Museum Huta Bolon Simanindo, Ambarita. Lokasinya 20 kilometer dari Tomok, lebih dekat ke Kecamatan Pangururan. Setiap hari pada pukul 11.00 rutin digelar pertunjukan Sigale-gale dengan alat musik tradisional dan berbagai tarian tradisional Batak Karo. Penonton dipersilakan duduk di rumah-rumah Batak. Pertunjukan diakhiri dengan tarian Tor-tor bersama. Koleksi museumnya di antaranya terdiri atas kain ulos, peralatan memasak, dan perlengkapan masyarakat Batak pada masa silam.

Bila sudah tiba di sini, mampirlah sejenak ke wisata air panas di Pangururan. Ini merupakan kota kecamatan di mana rumah makan bisa ditemukan lebih mudah, terutama hidangan Padang, yang pas untuk muslim. Pemandian air panas berjarak 3 kilometer dari Pangururan. Tepatnya di kaki Pusuk Buhit. Airnya mengandung belerang. Di kota kecamatan ini pula kita bisa melihat bahwa Samosir sebenarnya bukanlah pulau sesungguhnya karena antara Samosir dan sisi lain Danau Toba itu terhubung, sehingga bisa dicapai lewat darat.

Sehabis berendam, saatnya ke Tuktuk Siadong, yang tidak jauh dari Tomok. Ada gerbang yang menunjukkan kawasan berbentuk tanjung yang menjadi pusat wisata. Ada deretan hotel dan penginapan di sini. Rata-rata di pinggir Danau Toba. Di sini pula ada gedung kesenian, studio kerajinan ukiran, sekaligus pelabuhan langsung ke Ajibata atau Tiga Raja. Alat transportasi berupa perahu penumpang, dengan lama perjalanan hanya 30 menit.

Berada di Tuktuk seperti berada di tempat lain dari Samosir. Lingkungannya khas turis. Ada penyewaan sepeda bagi yang ingin berkeliling menggunakan sepeda. Dan ada perlengkapan untuk bermain di Danau Toba di hotel bila ingin menikmati sore dengan bermain perahu, berenang. Sore hari saatnya menikmati danau dari Tuktuk. Demikian juga esok paginya, menunggu mentari terbit, sambil menatap hamparan air nan luas.

Hari Keempat, mempelajari sejarah Batak Toba belumlah usai. Sejarah dan tradisi raja di daerah ini bisa disimak di Batu Persidangan Siallagan. Tak jauh dari Tuktuk, obyek wisata yang tertata ini terdiri atas beberapa rumah Batak Toba, makam raja, serta seperangkat meja dan batu. Yang terakhir inilah yang disebut Batu Persidangan. Di kursi batu itulah raja bersama penasihat membahas hukuman untuk seseorang yang berbuat kejahatan. Hukumannya bisa berupa hukuman pancung. Siallagan tak lain adalah nama sebuah marga. Pemimpinnya Siallagan. Huta atau kampung Siallagan di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, dikelilingi oleh batu besar, yang juga berfungsi sebagai benteng.

Puas melihat detail rumah Batak dan sejarah panjang Raja Siallagan, Anda bisa melangkah ke rumah penenun ulos, yang tersebar di beberapa desa. Kebanyakan berada tak jauh dari Pangururan, seperti Desa Lumban Suhi-suhi. Selain itu, di sepanjang jalan menuju Pangururan, bisa ditemukan penenun perorangan. Bila ingin berbelanja ulos, bisa langsung ke perajin di sini. Sore hari saatnya menikmati kembali Danau Toba. Ada beberapa sisi dari Danau Toba yang muncul seperti landai sehingga tak salah jika penduduk setempat menyebutnya pantai. Ada Pantai Pasir Putih dan Pantai Ambarita. Silakan menikmati pantai berair non-asin!

Hari Kelima, setelah kembali menikmati mentari terbit dari pinggir danau dan sarapan, saatnya bersiap-siap meninggalkan Samosir. Ada banyak obyek wisata alam yang belum sempat disinggahi, tapi mungkin untuk kunjungan berikutnya. Penyeberangan feri berlangsung sekitar satu jam. Kali ini jalur kembali tidak lewat Berastagi, melainkan melalui Pematang Siantar. Dengan pemandangan kiri-kanan kebun karet dan kelapa sawit. Melewati Serdang Bedagai, lalu Medan. Perjalanan sekitar empat jam. Lebih singkat, jalan lebih datar, dan pilihan obyek untuk disinggahi pun tak beragam. Tiba di Medan, Anda bisa langsung mengambil penerbangan sore menuju Soekarno-Hatta.

Rita N./Toni H./Dok TL

Petualangan Di Tangkahan Dengan Fauna Seberat 2700 Kilo

Petualangan di Tangkahan dengan Naik Gajah

Petualangan di Tangkahan dengan fauna seberat 2700 kilogram bisa menjadi semacam perjalanan safari ala Indonesia. Bermain dengan gajah, dan tubing di tengah hutan.

Petualangan Di Tangkahan

Gajah sudah benar-benar ada di depan mata. Ehmmm… bukan di seberang lautan seperti peribahasa. Dengan berat sekitar 2.700 kilogram, gajah itu terlihat begitu jelas. Sekelompok hewan dengan kuping lebar itu tengah mengunyah rumput di halaman kantor Conservation Response Unit di Tangkahan, Langkat, Sumatera Utara.

Seketika lupa perjalanan kemarin sore selama tiga jam dengan jarak 98 kilometer dari Medan. Perjalanan yang meletihkan, sekaligus penuh kebingungan. Bagaimana tidak, ada jalur panjang di tengah kebun kelapa sawit dengan debu beterbangan. Sejenak tak ingat pula, malam penuh kegelapan di homestay Bamboo River. Belum lagi suara-suara binatang di hutan yang begitu nyaring. Salah satunya mungkin orangutan atau monyet ekor panjang.

Area untuk konservasi gajah itu memang sudah dikembangkan menjadi Kawasan Ekowisata Tangkahan. Berada di salah satu sisi Taman Nasional Gunung Leuseur, ada banyak aktivitas yang bisa dijalani. Pagi hari, memandikan gajah tentunya bisa jadi pilihan. Setelah menyeberangi jembatan gantung di atas Sungai Batang Serangan, saya bergabung dengan para mahout atau pelatih gajah. Ada tujuh gajah yang dimandikan pagi itu. Kelompok gajah yang digunakan untuk patroli hutan tersebut mempunyai jadwal mandi dua kali, pukul 08.00 dan pukul 16.00.

Bukan hal yang mudah membawa hewan superberat itu dari kantor Conservation Response Unit turun ke sungai. Namun, manakala sudah masuk ke air, suara kecipak air terdengar tak berhenti-henti. Para mahout membersihkan badan gajah dengan sikat hingga bersih. Bahkan hingga menguras kotorannya dari bagian dubur di tepian sungai hingga tak mengotori sungai. Sungai menjadi sumber air bagi masyarakat Desa Sei Serdan dan Namo Sialang yang tinggal di sekitar Sungai Batang Serangan dan Buluh.

petualangan di Tangkahan dengan Gajah gajah

Saya merasakan keriangan bermain air, hingga tak lama saatnya para gajah yang tengah menyemburkan air itu harus beranjak. Giliran saya mencoba menaiki salah satunya dan membawanya ke tempatnya berkumpul sebelum melakukan patroli. Wooow, saya terguncang-guncang perlahan. Perjalanan singkat yang menyenangkan.

Berikutnya, giliran turis-turis asing yang ikut berkeliling hutan dengan para mahout. Mereka memilih tur dengan gajah. Ada paket pendek hanya sekitar satu hingga tiga jam. Ada pula hingga menginap di hutan yang berlangsung tiga hari. Saya lebih memilih trekking setengah hari di dalam hutan. Seusai sarapan, perjalanan ditemani dua pemandu pun dimulai. Kedua pemuda setempat itu membawa ban dalam untuk tubing untuk perjalanan pulang.

Saya tak membayangkan perjalanan yang akan dilalui. Jadilah semua yang ditemui menjadi sederet kejutan. Jalan perlahan menanjak, kemudian menyeberangi sungai, melalui pohon-pohon karet, sejumlah tanaman obat, bertemu dengan babi, dikelilingi pacet yang menyelip di antara jari-jari kaki, juga menempel di tengkuk. Hmmm… yang terakhir ini malah baru saya temukan setelah kembali dari perjalanan.

Terbanyak tentunya hewan kecil itu mendekam di sekitar jari-jari kaki, seakan minta diajak menjelajah sisi lain taman nasional ini. Bagian lain yang menjadikan perjalanan kali ini sebuah petualangan tentu saja masuk ke gua kelelawar. Di sepanjang gua, saya harus berjalan dengan berjongkok. Gua terasa lembap, dan ada aroma khas begitu kuat tercium. Hewan malam itu tergantung di langit-langit gua. Penyusuran berakhir setelah saya menemukan sebersit cahaya yang kemudian membesar. Saya keluar dari gua dan dihadapkan pada sebuah sungai. Luar biasa!

Setelah hilang rasa kaget sekaligus heran, saya turun ke sungai. Ajakan berendam di air panas di seberang sungai tak saya tolak. Rupanya di seberang ada gua kecil yang memiliki mata air panas. Setelah rasa air dingin, saya langsung merasakan kehangatan. Duduk manis di air hangat yang jernih, saya benar-benar menikmatinya. Tak lama, sang pemandu memanggil, ban-ban sudah tersambung. Barang pun sudah dikemas dan dibalut plastik. Saatnya mengalun mengikuti aliran sungai. Kupu-kupu warna-warni di tepi sungai hinggap sejenak di tangan, dan suara burung nan nyaring seperti ingin mengucapkan selamat jalan.

Tak perlu lagi melangkah menyusuri bukit. Bokong saya benamkan di tengah ban, sementara kedua kaki di luar menahan badan. Saatnya meluncur, wrrr… dinginnya air sungai mulai merendam sebagian badan. Sungai cukup lebar, antara 8-10 meter, tapi tak membuat saya cemas karena arusnya tergolong tenang. Apalagi semakin jauh mengalun, sungai semakin datar. Aha, rupanya aksi tubing saya berakhir di tempat pemandian gajah tadi pagi.

Sang pemandu menarik ban ke tepian, saya pun segera turun. Lalu melangkah ke warung untuk mengisi perut. Menjelang sore, saatnya kembali ke penginapan untuk membasuh badan yang penuh keringat, juga kotoran kelelawar, tanah, dan tentu saja pacet yang menempel di tengkuk. l

Dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta

Penerbangan yang harus diambil tentunya menuju Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara. Ada banyak maskapai yang melayani rute dengan penerbangan 2 jam 20 menit ini, seperti Garuda Indonesia, Citilink, Batik Air, Lion Air, dan Sriwijaya Air. Kemudian, lanjutkan dengan perjalanan darat sekitar empat jam atau berjarak 143 kilometer dari Kualanamu menuju pusat konservasi gajah di Tangkahan, Langkat.

Catatan Kecil

1. Konservasi Gajah. Berjarak sekitar98-100 kilometer dari Medan,kawasan ekowisata Tangkahan ini merupakan tempat konservasi gajah. Karena itu, saat datang, pengunjung harus lapor terlebih dulu ke Visitor Center. Kawasan Ekowisata Tangkahan dikelola Lembaga Pariwisata Tangkahan.

2. Homestay sederhana. Tidak ada akomodasi mewah di sini. Kebanyakan berupa homestay sederhana dengan tarif Rp 100-350 ribu per malam. Baik akomodasi maupun paket tur dikelola masyarakat di bawah Community Tour Operator.

3. Bermalam. Bukan liburan yang bisa dilakoni dalam waktu singkat. Jadi Anda tentu saja harus bermalam, luangkan setidaknya dua hari semalam.

4. Perlengkapan. Berada di lingkungan hutan, siapkan losion antinyamuk, jas hujan, dan sepatu yang nyaman untuk berjalan kaki.

Aktivitas

1. Trekking. Menyusuri bukit, masuk ke gua kelelawar, menuju air terjun, hingga tubing. Bisa pilih paket pendek sekitar dua jam hingga perjalanan setengah hari selama tujuh jam.

2. Menginap di Gua Kambing. Tersedia juga paket trekking dengan menginap di Gua Kambing.

3. Tur gajah. Menaiki gajah menuju sisi hutan terdekat hingga bermalam dan tiba di Bukit Lawang, Bahorok, di sisi lain taman nasional ini. Bukit Lawang merupakan konservasi orangutan. Paket dari tiga jam hingga tiga hari.

Rita N./Toni H/Dok TL

Danau Toba, Keindahan Letusan 75 Ribu Tahun Silam

Danau Toba Saat Senja fadli azhari unsplash

Danau Toba, danau terluas di Asia Tenggara dengan air terhampar hingga tujuh kabupaten. Tak cuma keindahan alam, tapi juga tradisi budaya adi luhur.

Danau Toba

Mata rasanya masih ingin terpejam, tapi tak ada pilihan selain segera mandi, sarapan, dan duduk manis di mobil. Saatnya meluncur ke Prapat. Salah satu titik untuk menikmati Danau Toba, yang disebut sebagai sijujung baringin di Sumatera Utara alias obyek wisata paling utama di provinsi ini. Danau ini merupakan yang terbesar di Asia Tenggara, dengan luas 1.072,16 kilometer persegi. Terbayang, airnya terhampar luas bak lautan hingga ke tujuh kabupaten. Kali ini kami ingin menatapnya dari berbagai titik. Pukul 07.00 perjalanan dimulai. Pagi yang lengang. Maklum, hari Minggu. Kendaraan kami pun melesat di jalan Kota Medan. Melayang di jalan tol, meninggalkan rumah-rumah beratap seng.

Tak lama, Deli Serdang pun terlewati. Selanjutnya Serdang Bedagai, dengan ciri khas deretan gerai dodol pulut, yang menjadi oleh-oleh khas kota ini. melaju di jalanan nan lurus, dalam sekejap kota dodol itu pun dilalui. Tak lama kami menggelinding di jalanan Kota Pematangsiantar. Jarak Medan-Pematangsiantar sekitar 128 km. Jam menunjukkan pukul 09.00, di kiri-kanan jalan gereja mulai dipenuhi jemaat. Kaum ibu dengan kebaya panjang dan songket serta ulos di pundaknya. Kaum remaja dengan busana rapi dan cantik.

Di kota ini, becak motor (bentor) yang menggunakan motor BSA berseliweran. Motor Inggris itu digunakan tentara negeri kerajaan tersebut di Indonesia manakala Perang Dunia II pada tahun 1940-an. Yang masih banyak digunakan adalah yang berkapasitas 350 cc dan 500 cc karena kota ini berbukit. Di kota ini, kami pun sempat menengok sentra ulos di daerah Parluasan.

Keluar dari Parluasan, jalanan mulai menanjak. Kiri-kanan pohon-pohon besar, tak lagi perkebunan seperti di sepanjang rute Serdang Bedagai ke Pematangsiantar. Saya langsung tak sabar untuk memandang Danau Toba. Ternyata harapan itu datang tak lama kemudian. Ketika jalan mulai menyempit dan semakin tinggi, saya pun dapat memandang danau yang terbentuk akibat letusan gunung berapi 75 ribu tahun silam itu dari kejauhan.

Danau Toba saat fajar

Kami pun menemukan titik pertama untuk menikmati Danau Toba setelah perjalanan selama empat jam dari Medan. Titik itu adalah Prapat, di sebuah warung, dengan pemandangan terdekat Batu Bergantung, yang legendanya melekat dengan masyarakat setempat. Langit biru dan udara masih segar. Saat itu pukul 11.00, sehingga terik mentari belum menyengat. Monyet-monyet kecil berekor panjang melompat di antara dahan di depan saya.

Minuman dan camilan sudah habis, kami pun sepakat untuk langsung menyeberang ke Samosir, sehingga Dermaga Ajibata-lah yang kami tuju. Inilah pelabuhan penyeberangan ke Samosir. Berputar-putar mengamati hotel dan penginapan, kami pun tiba di Ajibata. Butir-butir pasir di dermaga sudah memantulkan sinar nan menyilaukan. Terik menyengat kulit. Kami harus menunggu sekitar satu jam. Sudah ada tiga mobil yang menunggu keberangkatan. Ada tiga pengamen cilik pula yang bernyanyi bergantian. “Mereka nyanyi lagu Batak Toba,” ujar sang sopir. Bahasanya berbeda lagi dengan Batak yang lain. Saya pun hanya mengangguk-angguk sambil menyimak bocah berkulit gelap terbakar mentari itu berdendang. Kadang-kadang diselingi bahasa Indonesia.

Sekitar 30 menit menjelang keberangkatan, lahan parkir sudah penuh. Saya membeli tiket untuk kendaraan roda empat seharga Rp 95 ribu untuk sekali penyeberangan. Akhirnya kami masuk ke perut kapal, dan pukul 13.30 kami meninggalkan dermaga. Langit terang dan sinar mentari yang menyengat menjadi teman selama perjalanan.

Sekitar satu jam menatap air dan pegunungan di sekelilingnya, akhirnya kami pun menginjak Tomok, pelabuhan feri di Samosir. Bila menggunakan perahu penumpang, penyeberangan hanya perlu waktu sekitar 30 menit. Deretan toko suvenir menyambut. Di dekat pelabuhan sudah ada satu obyek wisata bersejarah, pemakaman Raja Sidabutar dan keturunannya, yang berumur ratusan tahun. Terbuat dari batu alam tanpa sambungan. Di situ juga pertunjukan boneka Si Gale-gale digelar, dalam bentuk sederhana, hanya ada boneka dan iringan musik dari kaset. Tentu ada seorang pria menggerakkan boneka. Si Gale-gale dipercayai dulu digerakkan oleh kekuatan magis.

Mumpung belum sore, kami memilih jalan berkeliling, mengarah ke Ambarita dan Simanindo. Menikmati jalan cukup mulus yang tidak terlalu lebar. Suasana sepi, tak banyak kendaraan lewat. Sesekali ada turis dengan sepeda. Tanda lalu lintas yang ada bergambar kerbau, karena jenis hewan ini sering tampak berduyun-duyun. Bisa jadi mereka menyeberang jalan tiba-tiba. Merasa seperti menyusuri jalan tak berujung, kami pun berbalik arah dan menuju Tuk-tuk. Gerbangnya di jalanan menanjak seperti menjulang ke langit. Di sini, keramaian baru terasa. Penginapan dan hotel tampak berderet di pinggir Danau Toba, hingga akhirnya kami memilih salah satunya. Hotel dengan beberapa kamar bercirikan rumah adat.

Ada banyak pilihan obyek wisata di pulau seluas 630 kilometer persegi ini. Dan kami akan mendatanginya esok hari. Setelah puas di pagi hari menikmati danau dengan latar belakang deretan hotel-hotel di Prapat serta bukit-bukit di sisi kiri dan kanannya. Hari ini saatnya belajar adat dan budaya Batak Toba lewat ulos dan rumah adat. Pertama kali, sejarah itu kami gali di obyek wisata Batu Parsidangan Siallagan di Desa Siallagan. Kompleks rumah adat Raja Siallagan, yang terkenal dengan hukuman mati di masa lampau. Dari rumah adat, banyak tradisinya bisa dikorek habis dari pemandu wisata, belum cerita batu persidangan, yang merupakan tempat berkumpul raja, dukun, serta hakim saat membahas satu kasus, dan tentunya menjatuhkan hukuman.

Belajar adat, budaya, dan sejarah Batak Toba memang Samosir tempatnya. Kabupaten ini masih memiliki rumah-rumah adat dalam kondisi terawat. Sepanjang jalan dari Tomok menuju Pangururan–ibu kota kabupaten–rumah adat berdiri tegak di antara rumah-rumah modern. Para perajin ulos tersebar di beberapa desa. Di depan rumah adat sesekali masih ditemukan ibu atau remaja asyik menjalin benang menjadi ulos. Yang paling banyak dikenal tentunya di Desa Lumban Suhi-suhi karena mereka menenun secara berkelompok.

Meski berupa danau, ada pula daerah yang disebut pantai di Samosir. Salah satu yang sempat saya kunjungi adalah pantai pasir putih di Desa Parbaba. Karena bukan hari libur, tempat ini cenderung sepi. Ada juga gerombolan anak sekolah yang baru pulang dan mampir duduk-duduk di bawah pohon dekat pantai. Di sisi kanan, masih ada ibu yang mencuci perlengkapan dapur di bibir danau. Ada trotoar untuk pengunjung jika ingin jalan-jalan.

Esok pagi, baru kami menyaksikan tarian Si Gale-gale di Museum Huta Bolon Simanindo. Rumah adat yang dijadikan museum ini merupakan peninggalan Raja Sidauruk. Pertunjukan berlangsung setiap hari pukul 11.00. Ada beberapa jenis tarian, seperti yang menjadi ciri khas Tor tor, selain Si Gale-gale. Di akhir acara, pengunjung pun menari. Selepas makan siang di Pangururan, kami meninggalkan Samosir melalui jalan darat. Tidak perlu lagi ke Tomok.

Kami seperti menyusuri bibir Danau Toba. Melingkarinya, naik-turun. Mencermati desa di ujung danau dengan lahan sawahnya. Ada pula sebuah masjid–Al Huda, yang berdiri sejak 1940-an. Itu pemandangan di sisi kiri. Di sisi kanan ada perkampungan lain. Ketika rumah tak tampak lagi, jalanan pun semakin sempit, bahkan kemudian berbatuan. Namun tak lama kami disambut dengan jalanan tanah lebar dengan debu berhamburan, hingga akhirnya tiba di jalan penuh kelokan dengan tebing batu di sisi kiri dengan bebatuan yang sepertinya siap-siap berguling, sementara di sisi kanan jurang yang supercuram. Pecahan batu tercecer di jalanan.

Rasa cemas langsung menyergap, teringat akan kecelakaan yang beberapa kali terjadi di jalur ini. Maka sepanjang jalan hanya doa yang bisa saya panjatkan. Terutama ketika merasa terjepit di antara tebing batu dan jurang curam. Dengan jalan yang meliuk-liuk, di setiap belokan, jantung terasa berdetak lebih cepat. Perjalanan terasa panjang.

Namun di sinilah kami menemukan titik-titik terindah memandang Danau Toba. Ke mana mata memandang, yang tampak hanya hamparan air danau, yang kini tengah didengungkan soal ancaman kerusakannya. Bukit di sekelilingnya yang gundul dan airnya yang tercemar karena pengambilan ikan dengan bahan-bahan kimia. Beruntung, masih ada beberapa titik yang menampakkan kehijauan.

Setelah meliuk-liuk hampir dua jam, akhirnya kami tiba di Menara Pandang Tele. Sebuah menara yang terdiri atas empat lantai, yang membuat orang bisa memandang Danau Toba dengan Pulau Samosir yang utuh. Rasa lega pun memuncak di sini, tak hanya karena pemandangan yang terindah danau ini, tapi juga karena saya sudah melewati kelokan-kelokan berbahaya. Perasaan ringan pun bergelayut. Kendaraan melaju ke arah tujuan akhir hari itu: Brastagi.

Belum lama menikmati jalan mulus, kami harus menemui jalan berlubang, yang membuat kendaraan melaju lambat. Kemudian, sebelum mencapai Taman Simalem Resort, ada pula perbaikan jalan akibat longsornya dinding tebing. Hingga akhirnya tiba di resor ketika langit mulai gelap. Beruntung, kami masih bisa memandang lagi keindahan Danau Toba dengan pegunungan di sekelilingnya. Meski harus terusik lagi karena ada bukit yang penampilannya seperti kepala orang tua: botak sebagian besar.

Beranjak dari Bukit Merek, setelah mengelilingi kompleks wisata itu, kami masih menemui jalan berlubang sebesar ban di Simpang Merek. Padahal jalan tersebut merupakan jalur lintas Kota Kabanjahe-Merek-Sidikalang. Akhirnya kami tiba di Kabanjahe sekitar pukul 20.00 dengan perasaan dan badan lelah. Tujuh jam perjalanan dari Pangururan. Kami pun beristirahat di Brastagi, dan tentu tak mungkin lagi mencari titik untuk memandang Danau Toba di sini. l

Tiga Hal tentang Samosir

Penyeberangan. Ada dua pelabuhan yang memiliki rute ke Samosir dari Prapat. Paling tinggi frekuensinya dari Ajibata. Pilihannya, bila membawa kendaraan, harus dengan feri yang melaju lima kali sehari. Bila hanya penumpang, cukup dengan kapal wisata dengan jadwal setiap jam. Bisa juga Anda menyewa kapal. Dari Pasar Tiga Raja, ada juga perahu langsung ke Tuk Tuk sehingga turis bisa langsung mencapai hotel di pinggir danau. Jadwalnya delapan kali sehari.

Hotel. Hotel paling banyak ditemukan di Desa Tuk Tuk dan, untuk kenyamanan, sebaiknya memilih hotel di wilayah ini. Fasilitas untuk turis paling memadai, ada sewa sepeda, dan toko suvenir. Wartel dan warnet pun mudah ditemukan.

Obyek Wisata. Selain menikmati Danau Toba dan adat-istiadat Batak Toba, Kabupaten Samosir memiliki obyek yang berlimpah, terutama yang berunsur air. Di antaranya pemandian air panas di Pangururan, Gunung Pusuk Buhit dengan beberapa mata airnya, Danau Sidihoni–danau di dalam danau–dan mata air Datuk Parngongo. Setiap kecamatan rata-rata memiliki obyek berupa mata air, air terjun, pantai, dan jenis wisata serupa lainnya.

Rita N./Toni H./Dok. TL