Topeng Malang dalam kisah panji

Topeng Malang adalah perjalanan panjang satu abad lebih kisah Asmorobangun. Ini kisah sebuah pedepokan sekaligus kesenian tradisional yang menjadi warna bagi Malang, Jawa Timur.

Topeng Malang dan Kisah Panji

Pendopo Padepokan Seni Topeng Asmorobangun di Dusun Kedung Monggo, Desa Karang Pandan, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur, dua jam sebelum arak-arakan topeng dimulai. Pawai itu membuka rangkaian kegiatan Gebyak Senin Legi di padepokan tersebut. Gebyak berarti pementasan. Tri Handoyo, generasi kelima yang memimpin padepokan tampak sibuk melakukan persiapan.

Sebulan sekali, khususnya pada Senin Legi—hari baik dalam penanggalan Jawa menurut perhitungan masyarakat desa setempat—padepokan mementaskan tari topeng berdasar cerita Panji. Lakonnya berbeda-beda dan pemainnya tak hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak. Seperti pada Ahad malam itu, sekitar 40 anak-anak membawakan tari topeng dengan lakon Lahire Panji Laras atau Lahirnya Panji Laras.

“Silakan tunggu di padepokan, Mas, di sebelah sana, sebentar lagi saya nyusul,” kata Handoyo. Padepokan hanya berjarak 20 meter dari pendopo. “Dulunya padepokan itu bernama Perkumpulan Wayang Topeng Pendawa Lima, yang didirikan Mbah Serun pada 1900, kemudian dilanjutkan Mbah Kiman, Mbah Karimun, lalu bapak saya, Pak Taslan, dan sekarang saya, generasi kelima,” ujar Handoyo membuka pembicaraan.

Disebut Pendawa Lima, karena cerita yang diangkat dalam pentas merupakan cerita Purwa yang berkisah tentang epos Ramayana dan Mahabharata. Dulu orang desa tahunya cerita yang diimpor dari India itu. Namun setelah Perkumpulan Wayang Topeng Pendawa Lima dipimpin Mbah Karimun, cerita yang dipentaskan tidak lagi tentang epos Ramayana dan Mahabharata, melainkan cerita Panji. “Cerita khas milik masyarakat Jawa Timur seiring berkembangnya kerajaan-kerajaan di Jawa Timur pada zaman dulu,” katanya.

Dalam cerita Purwa selalu menampilkan adegan pembunuhan. Sedangkan dalam cerita Panji, adegan tersebut tidak ada. “Adegan pertempuran tetap ada, tapi tidak sampai terjadi pembunuhan. Pihak yang kalah dalam pertempuran dikembalikan ke negara atau kerajaan asal mereka,” ujarnya.

Sejak membawakan cerita Panji dalam pentas tari topeng, Mbah Karimun mengganti nama Perkumpulan Wayang Topeng Pendawa Lima menjadi Perkumpulan Wayang Topeng Asmorobangun. Di era Handoyo, Perkumpulan Wayang Topeng Asmorobangun bersalin nama menjadi Padepokan Seni Topeng Asmorobangun. Nama Asmorobangun tetap dipertahankan.“Asmorobangun itu figur pahlawan dalam cerita Panji. Asmorobangun juga berarti membangun cinta atau kesenangan,” katanya.

Tepat pukul 16.00, arak-arakan 40 anak yang membawa karakter topeng mulai berjalan menyusuri jalan. Mendung mulai menggelayut di atas langit pendopo. Dita, salah satu anak dalam arak-arakan, terlihat di baris depan membawa topeng Sabrang, satu dari 76 karakter topeng yang dimiliki Padepokan Seni Topeng Asmorobangun.

Sabrang adalah bagian dari karakter tokoh antagonis dengan tokohnya, antara lain Klana, Bapang, Patih Sabrang, dan Butho. Selain tokoh antagonis, terdapat tokoh protagonis (Panji dan Dewi), tokoh jenaka (Demang dan Bambang), dan tokoh hewan (Lembu, Ikan/Bader Bang). “Karakter-karakter tersebut merupakan perlambang sifat manusia,” ucapnya.

Tujuan pertama arak-arakan adalah makam mbah Karimun, yang berjarak lebih kurang 200 meter dari pendopo. Di depan makam mbah Karimun, mbah Sumantri, kerabat Padepokan Seni Topeng Asmarabangun berdoa dengan cara bersenandung terdengar mengalun lembut. Aroma dupa menguar ke angkasa.

Dari makam mbah Karimun, arak-arakan menuju Belik Kurung yang berada di aliran Sungai Metro. Belik atau sumber mata air yang letaknya di dekat makam Mbah Karimun itu disakralkan warga. Di tempat ini doa kembali dipanjatkan, warga berterima kasih kepada leluhur karena diberi kesenian tari topeng.

“Dalam cerita Panji, diajarkan agar manusia harus bersikap baik terhadap alam dan tidak boleh merusak alam, terutama sumber mata air karena merupakan sumber kehidupan. Dalam cerita Panji juga diajarkan untuk memperbanyak sumber mata air agar bisa memberikan kehidupan bagi masyarakat dan berbuat baik bagi orang lain,” tuturnya.

Setelah berdoa di Belik Kurung, warga menikmati nasi yang telah didoakan sambil menyaksikan tari Beskalan Patih, tari Sekar Sari, dan tari topeng Bapang. Arak-arakan kembali ke pendopo. Mendung yang sedari tadi menggantung berangsur-angsur menghilang. Langit berubah cerah.“Itu artinya, acara ini direstui,” ujar Saini, istri Handoyo. Suara azan magrib kemudian berkumandang.

Ketika jarum jam menunjuk pukul 19.30, di atas panggung sudah menunggu Panji Asmarobangun dan Dewi Sekartaji, serta karakter-karakter topeng lainnya yang akan membawakan lakon Lahire Panji Laras. “Yang paling sulit dari tari topeng adalah menghidupkan dan menjiwai karakter topeng yang kita bawakan. Kita harus tahu karakternya agar dapat menyatu di dalamnya,” kata Handoyo yang melatih tari topeng setiap Minggu pagi untuk anak-anak dan umum tanpa memungut biaya.

Sekitar pukul 22.30, pementasan pun usai. “Lahire Panji Laras memiliki makna tentang petualangan mencari sosok seorang ayah melalui perjuangan yang sangat panjang dengan berbagai kendala. Namun semua kendala bisa diatasi asalkan kita memiliki niat baik, ikhlas, dan memohon bantuan Tuhan”.

Puasa, Pasak Bambu, dan Kalender Jawa

Selain mengajarkan tari topeng, Tri Handoyo juga dikenal sebagai pengrajin Topeng Malang. “Saya belajar dari bapak dan kakek saya,” ujarnya. Selama proses pembuatan topeng, ada tahapan yang harus dilalui. “Untuk topeng yang digunakan saat pementasan dan kebutuhan internal keluarga, sehari sebelumnya saya berpuasa agar topeng yang dibuat halus dan sempurna,” ujarnya. Lama pengerjaan topeng ini sekitar 3-4 minggu. Sedangkan waktu menyelesaikan topeng yang digunakan pada saat kelas tari sekitar 2-3 hari untuk satu topeng.

Handoyo mengatakan bahan pembuat topeng salah satunya berasal dari pohon pule dan pohon nangka yang usianya di atas 100 tahun. Pohon-pohon tersebut tumbuh di sekitar desa. “Kami biasanya menggunakan materi membuat topeng dari pohon yang tumbang. Bila kami menebang, kami sebelumnya melakukan ritual kecil untuk meminta izin pada pohon yang ada penunggunya supaya proses pembuatan topeng tidak ada gangguan”.

Setelah menyiapkan bunga telon dan memanjatkan doa, pasak bambu kemudian ditancapkan pada pohon yang akan ditebang. “Kalau besoknya pasak tersebut masih menancap, berarti pohon tersebut boleh ditebang. Namun kalau pasaknya lepas, berarti pohon belum boleh ditebang. Semesta akan memilih sendiri pohon yang akan ditebang, manusia tidak bisa memaksa,” ucapnya.

Pada saat membentuk menjadi topeng pun ada aturannya. “Bagian atas topeng harus berasal dari bagian atas pohon. Begitu pula bagian bawah topeng harus dari bagian bawah pohon. Jika terbalik akan mengganggu orang yang memakainya,” ujarnya. Handoyo juga memperhatikan penanggalan Jawa saat membuat topeng.

Aris Darmawan/Aris NH/Dok. TL

Yuk bagikan...

Rekomendasi