
Barapan kebo Sumbawa memang tidak setenar karapan sapi di Madura, Jawa Timur, atau pacu jawi di Sumatera Barat. Namun, soal keseruannya, balapan ini jelas tak kalah. Sawah berlumpur pun menjadi arena pesta. Kerbau berpacu dan penonton pun duduk di pematang sawah.
Barapan Kebo Sumbawa
Buat yang sekali-kali ingin mengagendakan menonton atraksi ini, bisa memulai perjalanan dari pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dari sana menumpang kapal feri, pengunjung bisa menuju Sumbawa. Sebuah perjalanan yang asyik, sebab di kapal mendekati pulau di timur Lombok ini, terlihat pemandangan yang memukau: Gunung Tambora tampak bagai bayangan tipis, cantik sekaligus penuh misteri.
Gunung jangkung dengan ketinggian hampir mencapai 2.850 meter itu pernah meletus pada 1825, tepatnya dua abad silam. Letusan dengan guncangan penuh abu itu tidak hanya mengubur kerajaan-kerajaan kaya di Sumbawa dan menggelapkan langit Nusantara, tapi juga langit di belahan Barat sana.
Letusan yang membuat sedikitnya satu tahun tanpa sinar matahari di Eropa. Year Without Summer, kata sebuah buku. Letusan yang membuat ribuan ternak mati dan menewaskan hampir 100 ribu jiwa.

Namun kita tak hendak mendaki gunung itu. Panen baru saja selesai di pulau ini dan barapan kebo Sumbawa atau balapan kerbau pun digelar di mana-mana. Atraksi itulah yang mendorong orang berkunjung ke pulau ini.
Dari Poto Tano, pelabuhan di barat Sumbawa, pengunjung bisa menumpang bus melewati jalan berliku serta menyusuri pantai berpasir hitam di barat laut pulau itu. Rumah-rumah beratap tembikar kusam, pohon-pohon bakau tua dengan akar menghunjam ke muara dangkal, serta hamparan sabana luas dipenuhi kerbau dan kuda.
Di petak-petah sawah yang datar karena panen sudah selesai di sebuah desa di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, agendaIndonesia melihat sebuah pesta yang bernama barapan kebo Sumbawa baru usai. Penonton telah bubar. Rupanya, terlambat datang. Tapi jangan khawatir. Cobalah tanya ke masyarakat sekitar, pasti ada informasi di mana lagi barapan kebo digelar. Saat setelah panen, masih banyak acara seperti ini. Dari sana, ada kota kecil di Bima sebuah pesta akbar akan digelar.
Ketika tiba di sana, di tengah lahan datar, sepanjang mata memandang ini, ratusan lelaki telah berkumpul, bergerombol. Sepertinya pesta ini tidak hanya milik kaum lelaki. Di persawahan yang penuh lumpur, perempuan-perempuan berbondong-bondong datang dengan pakaian warna-warni.
Matahari mulai menyengat ketika mobil-mobil serta truk semakin banyak yang dating. Mereka menurunkan kerbau-kerbau lengkap dengan para joki. Ini bintang utama barapan kebo Sumbawa.
Beberapa anak menarik kerbau mengarah ke tempat tenda-tenda gelanggang dan arena pacu yang telah dipenuhi canda-tawa. Para petani Sumbawa sepertinya tengah bergembira. Dan memang, ini hari mereka berpesta, menyenang-nyenangkan hati setelah panen raya.

“Beginilah pesta kami seusai panen,” kata seorang tua tengah mendandani kerbaunya dengan tali kekang berwarna mewah. Dalam pesta barapan kebo ini siapa saja boleh melihat dan ikut serta serta tak tertutup kemungkinan ikut bertaruh. Bertaruh tentunya secara sembunyi-sembunyi. Di Kabupaten Sumbawa Barat dan Sumbawa, pesta adu cepat dan akurat lari kerbau ini digelar tiap selesai panen.
Seorang sandro (sebutan untuk dukun) mulai memacangkan sebuah tiang setinggi 1 meter ke tengah lumpur sawah. Tiang kayu itu dinamai saka—tiang finish yang harus dilewati dua ekor kerbau yang dikendalikan seorang joki. Pengeras suara berteriak keras dari tenda panitia.
Tak berapa lama, para joki mengambil tempat. Sawah sepanjang hampir 100 meter dan lebar 20 meter ini disulap jadi arena lintasan kerbau untuk bertanding. Beberapa sandro telah berdiri menghadap ke hamparan sawah yang penuh genangan air. Juri atau wasit pertandingan ini juga seorang sandro pilihan.
Pengeras suara sejak dari tadi berseru dalam bahasa Sumbawa. Terkadang memakai bahasa Indonesia dengan dialek setempat yang meledak-ledak penuh dengan lelucon dan olok-olok. Entah kenapa, beberapa penonton melawan olok-olokan dari pengeras suara itu juga dengan berolok-olok.
Lelaki-lelaki yang memenuhi arena duduk bergelantur seadanya, berkelompok-kelompok mengenakan topi dan sarung untuk menghambat terik yang kian menyengat. Gadis-gadis datang memakai payung. Mereka tidak berteriak dan bersorak. Hanya berbisik-bisik satu dan lainnya serta menunjuk-nunjuk kerbau yang tengah dipacu joki di arena.
Seorang sandro tampak sibuk mengelus kepala dua ekor kerbau yang nanti hendak berlaga di gelanggang pacuan. Dengan jamu dan beberapa ramuan, ia membacakan mantra, menghadap ke selatan, dan kemudian meminumkannya pada dua ekor kerbau. Setelah itu, dipasangkan kayu pengepit yang menghubungkan keduanya.
Balapan dibagi dengan delapan kelas yang ditandai pertama dengan kelas paling bawah dengan anak-anak yang menjadi joki. Kelas berikutnya ialah orang dewasa. Setelah empat kelas turun dan selesai, empat kelas berikutnya adalah kelas serius dan sangat dinantikan. Kelas ini menentukan seberapa kaliber kerbau dan seberapa jago jokinya.
Pengeras suara kembali berujar lantang. Ini kelas yang ditunggu-tunggu. Kelas terakhir. “Ini kelas berat sekali,” ucap seorang pria tua lainnya sembari membenarkan posisi duduk di pematang sawah.
Dua ekor kerbau dan jokinya tengah bersiap dan pengeras suara berkoar lagi. Sebuah ledakan berbunyi sebagai penanda balapan dimulai. Penonton mulai berteriak-teriak keras sekali, kadang mengumpat kencang sekali ketika joki jagoan mereka tergelincir atau terjungkir karena lari kerbau yang tak serempak.
Penonton lain tertawa terbahak-bahak secara serempak. Arena riuh sekali hingga petang menjelang. Siapa yang menang? Tidak penting buat penonton. Yang penting adalah kegembiraan setelah panen.
Pulau yang dihuni petani dan penggembala ini mengadakan pesta sederhana yang penuh tawa. Sebuah agenda acara yang layak dipertimbangkan bukan?
agendaIndonesia/Dok. TL
******