Pesona Bodhi dan Pagoda Setinggi 45 Meter di Watugong, Semarang

Bodhi dan Pagoda di Vihara Buddhagaya Watugong di Semarang diyakini penganut agama Budha sebagai salah satu vihara penting dalam penyebaran agama Buddha di pulau Jawa.

Bodhi dan Pagoda

Langit kelabu mulai menggelayut seakan bersiap menyambut senja. Semilir angin menampar dedaunan pohon Bodhi di pelataran Vihara Buddhagaya Watugong, yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan, Semarang, Jawa Tengah. Meski memiliki batang pokok relatif pendek, pohon bernama latin Ficus religiosa itu memiliki banyak dahan dan ranting serta berdaun lebat. Usianya diperkirakan lebih dari 80 tahun!

Oey Poen Kiat, pemandu wisata yang menemani saya, mengatakan pohon Bodhi itu boleh dibilang merupakan situs sejarah. Menurut dia, pohon tersebut dibawa langsung dari Sri Lanka oleh seorang biksu bernama Narada. “Narada Mahatera datang ke Indonesia membawa dua pohon Bodhi pada 1934. Keduanya ditanam di kawasan Borobudur, Magelang. Namun, pada 1955, salah satu pohon dibawa dan ditanam di halaman Vihara Buddhagaya ini,” ujar Oey tentang pesona Bodhi dan Pagoda.

Dalam agama Buddha, Oey menyebutkan, pohon ini dipercaya sebagai tempat Sang Buddha Gautama bermeditasi dan memperoleh pencerahan agung. Mungkin, karena itu pula, di bawah pohon terdapat patung Buddha berwarna emas yang tengah bersila. Pria berusia 65 tahun itu juga meyakini Vihara Buddhagaya Watugong merupakan vihara pertama yang menyebarkan agama Buddha di Pulau Jawa, setelah kejatuhan Kerajaan Majapahit.

Pesona Bodhi dan pagoda setinggi 45 meter di Vihara Watugong, Semarang, jawa Tengah.
Pesona Bodhi dan pagoda di Vihara Buddhagaya Watugong, Semarang, Jawa Tengah. Foto: N. Dian/TL

Tak jauh dari pohon Bodhi, menjulang PagodaAvalokitesvara. Pagoda ini memiliki warna cerah yang menyita perhatian. Yang menarik, pagoda dibuat tujuh tingkat untuk melambangkan makna bahwa seorang pertapa akan mencapai kesuciannya pada tingkat ketujuh. Bagian dalam pagoda berbentuk segi delapan dengan ukuran 15X15 meter. Tingginya disebut mencapai 45 meter.

Tingkat satu menjadi tempat bersembahyang. Di tingkat 1 ini, terdapat pula patung Kwan Im Po Sat, yang tingginya sekitar 5,1 meter. Mulai tingkat kedua hingga keenam dipasang patung Dewi Welas Asih, yang menghadap empat penjuru mata angin. Hal ini bertujuan agar Sang Dewi memancarkan kasih sayangnya ke segala arah. Sedangkan pada tingkat ketujuh, terdapat patung Amitaba, yakni guru besar para dewa dan manusia.

Di puncak pagoda terdapat stupa untuk menyimpan relik mutiara Sang Buddha. Namun sayangnya, pengunjung tidak dapat ke puncak pagoda karena tidak disediakan tangga untuk mengakses puncaknya. Patung di pagoda yang disebut juga sebagai Pagoda Metta Karuna, yang berarti pagoda cinta dan kasih sayang, itu berjumlah 30 buah.

Pembangunan pagoda, diperkirakan Oey, berbarengan dengan ditanamnya pohon Bodhi. Kemudian direnovasi pada 2006. Pagoda Avalokitesvara, yang identik dengan perpaduan warna merah dan kuning khas bangunan Cina, diresmikan pada tahun yang sama oleh Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) sebagai pagoda tertinggi di Indonesia.

Bukan hanya bangunan pagoda yang mempunyai daya tarik, keberadaan dua gazebo yang mengapit di kanan dan kiri bangunan yang digunakan untuk tambur dan lonceng juga memikat. Sama memikatnya dengan patung Buddha tertidur di samping bangunan pagoda. Ya, Pagoda Avalokitesvara memang bisa dikatakan sebagai ikon dari kawasan Vihara Buddhagaya Watugong Semarang, yang berdiri di atas lahan seluas 2,25 hektare.

Selain Pagoda Avalokitesvara, bangunan lain yang mencolok di kawasan hijau dan asri ini adalah Vihara Dhammasala. Lokasinya tak jauh dari pagoda, dibangun pada 1955. Terdiri atas dua lantai, bentuknya segi empat. Di dalamnya terdapat patung Buddha berlapis emas dengan ukuran besar.

Sebelum memasuki Vihara Dhammasala, pengunjung sebaiknya mengikuti ritual khusus, yakni menginjak relief ayam, ular, dan babi, yang ada di lantai pintu masuk. Relief-relief ini memiliki arti khusus. Ayam melambangkan keserakahan, ular melambangkan kebencian, dan babi melambangkan kemalasan. “Melalui ritual ini, diharapkan umat yang beribadah dapat menghilangkan ketiga karakter yang ada di badan setiap manusia, hingga pada akhirnya bisa masuk surga,” Oey menjelaskan.

Semua unsur di bangunan ini memiliki makna, termasuk dinding sekeliling vihara. Dindingnya dihiasi relief Paticca Samuppada, yang menceritakan tentang proses hidup manusia, dari mulai lahir hingga meninggal. Selain sebagai tempat ibadah, vihara merupakan tempat untuk melakukan kegiatan sosial. Di kompleks vihara, ada satu bangunan yang digunakan sebagai kegiatan belajar masyarakat setempat. Ada pula taman membaca yang dapat dipakai untuk semua agama.

Di area ibadah ini juga terdapat penginapan. Terbuat dari kayu dan bentuknya seperti rumah panggung. Biasanya dijadikan tempat tinggal pengunjung vihara saat ada acara-acara keagamaan.

agendaIndonesia/Andry T./N. Dian/TL

Yuk bagikan...

Rekomendasi