Kampung Adat Cireundeu, Singkong Sejak 1918

Kampung adat Cireundeu di Cimahi mempertahankan tradisi leluhur.

Kampung adat Cireundeu mirip dengan desa-desa adat lain di Jawa Barat. Perkembangan peradaban mendorong bergesernya fungsi kebutuhan primer. Bahan makanan menjadi komoditas dan rumah menjadi instrumen investasi. Di tengah laju modernitas itu, sejumlah daerah di Jawa Barat masih mempertahankan pola kehidupan tradisional. Masyarakat adat ini teguh memegang warisan leluhur untuk senantiasa hidup selaras dengan alam.

Kampung Adat Cireundeu

Sebagian besar warga kampung-kampung adat di provinsi ini menggantungkan mata pencaharian sebagai petani. Mereka menjaga kelestarian lingkungannya dengan menghindari produk-produk sintetis, seperti pupuk, plastik, obat, dan sabun dari bahan kimia. Dengan keunikan karakteristik ini, kampung adat justru menjadi magnet bagi orang-orang yang jenuh dengan aktivitas serba instan dan udara kota yang polutif.

Kampung adat Cireundeu berada di Kelurhan Leuwigajah, Cimahi Selatan, Jawa Barat.
Rumah Kampung adat Cireundeu. Foto: Dok. shutterstock

Kampung adat Cireundeu yang berada di kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Cimahi, Jawa Barat, agak berbeda dari kampung adat lainnya. Tanaman pertaniannya bukan padi, melainkan singkong. Masyarakatnya tidak mengonsumsi beras sebagai makanan pokok, tetapi rasi, singkatan dari beras singkong.

Awalnya pada 1918, penduduk Kampung adat Cirendeu mulai berpindah pola makan, dari beras ke singkong. Ini terjadi sesudah penjajah menyita lahan padi mereka melalui pemberlakuan tanam paksa atau Cultuurstelsel.

Sesudah itu, mereka terus melanjutkan peralihan tersebut mengikuti arahan dari Haji Ali atau Mama Ali yang menjadi tokoh setempat sampai terjadi bencana alam pada sekitar 1920-an. Pada saat itu terjadi bencana kekeringan yang berdampak pada kebun dan sawah masyarakat Cireundeu. Keluarga Haji Ali pun mulai mengenalkan pemanfaatan singkong yang diolah jadi beras.

Kamp;ung Adat Cireundeu terkenal karena hanya mengkonsumsi beras singkong.
Beras singkong atau rasi produksi masyarakat Kampng adat Cireundeu. Foto: Javalane

Seluruh warga kampung tersebut diminta Haji Ali untuk menanam singkong. Hal itu karena singkong dapat bertahan dalam bermacam kondisi. Semenjak itu masyarakat kampung adat tersebut mulai berpindah dan mengganti nasi dengan rasi, yaitu beras singkong untuk makanan utama mereka.

Sampai sekarang, secara turun temurun penduduk adat mengonsumsi singkong yang dinamakan dengan rasi untuk jadi pengganti makanan pokok. Cara pengolahan singkong dilakukan dengan cara digiling, kemudian diendapkan lalu disaring sehingga menghasilkan aci atau sagu.

Ampas dari olahan tersebut kemudian dikeringkan serta dibuat jadi rasi atau beras singkong. Selain itu, singkong juga diolah jadi bermacam camilan seperti opak, cireng, bolu, atau simping, bahkan jadi dendeng kulit singkong yang dijual sebagai oleh-oleh sesudah dikemas. Rasa kenyang karena mengkonsumsi singkong lebih lama daripada padi. Karenanya penduduk kampung adat ini hanya makan dua kali sehari.

Kampung adat Cireundeu dikelilingi sejumlah gunung, seperti Gunung Cimenteng, Gunung Gajahlangu atau Gunung Kunci.
Warga kampung adat Cireundeu mengolah singkong jadi bahan panganan. Foto: Dok. Javalane

Kampung adat Cireundeu berada di tempat yang sekelilingnya tertutup oleh gunung, lokasi tepatnya berada di lembah Gunung Cimenteng, Gunung Gajahlangu, dan Gunung Kunci.

Nama Kampung Cireundeu ternyata berasal dari nama pohon, yaitu “pohon reundeu”. Pohon ini banyak ditemui tumbuh di sekitar daerah tersebut dan diyakini tanaman tersebut mempunyai khasiat jadi tanaman herbal yang dapat digunakan untuk penyembuhan banyak penyakit.

Mereka memegang teguh warisan tradisi leluhur yang mengakar kuat. Sebagian besar penduduk Cirendeu tak suka merantau serta berpisah dengan sanak saudaranya. Kampung ini dihuni oleh 65 kepala keluarga yang sebagian besar bermata mata pencahariannya sebagai petani singkong. Luas Kampung Adat tersebut sekitar 64 hektare, yang sekitar 60 hektarenya diperuntukan bagi pertanian dan sisanya menjadi pemukiman.

Demi kelestarian alam, penduduk membagi hutan menjadi tiga bagian, yaitu leuweung larangan (hutan larangan), leuweung tutupan (hutan reboisasi), dan leuweung baladahan (hutan pertanian). Leuweung Larangan atau hutan larangan yakni hutan yang pepohonannya tak boleh ditebang karena pohon-pohon tersebut berfungsi sebagai penyimpanan air khususnya bagi penduduk Kampung adat Cireundeu.

Leuweung Tutupan atau hutan reboisasi yakni hutan yang dipakai untuk reboisasi. Pepohonan di hutan ini bisa atau boleh dipergunakan, tapi penduduk harus mengganti pohon lama dengan menanam pohon yang baru.

Leuweung Baladahan atau hutan pertanian, yakni hutan yang bisa digunakan oleh masyarakat setempat untuk berkebun. Biasanya lahan tersebut ditanami dengan jagung, singkong atau ketela, kacang tanah, dan umbi-umbian.

Masyarakat adat di Kampung Cireundeu kebutuhan airnya didapatkan dari mata air yang berada di lereng Gunung Gajahlangu. Mata airnya bernama Caringin. Tak hanya Caringin, kampung ini juga mengandalkan mata air yang bernama Nyimas Ende.

Bagi perempuan yang sedang haid dilarang untuk mendekat ke area mata air ini agar lokasi mata air terjaga kesuciannya. Menurut kepercayaan penduduk setempat itu adalah kabuyutan atau hal yang dihormati sekali.

Salah satu hal yang juga terus dipertahankan masyarakat desa ini adalah prinsip hidupnya. Mereka memegang teguh “Ngindung ka waktu, mibapa ka jaman. Artinya, senantiasa melestarikan cara, ciri, dan keyakinan masing-masing, tetapi tetap beradaptasi pada perubahan zaman. Misalnya, mengikuti perkembangan teknologi berupa listrik, televisi, atau ponsel. 

Jika berkunjung pada malam tahun baru Saka Sunda, yang biasanya jatuh pada bulan Oktober, wisatawan akan berkesempatan menyaksikan Upacara Syura-an yang dirayakan sebagai rasa syukur atas rahmat Tuhan. Para pemuka adat, warga, dan pemerintah kota akan datang dan turut meramaikan acara adat tersebut.

agendaIndonesia

*****

Tari Topeng Cirebon, 5 Jenis Yang Unik

Tari Topeng Cirebon merupakan kesenian yang pernah dipakai untuk menyebarkan agama Islam di Jawa Barat.

Tari topeng Cirebon merupakan salah satu kesenian asli daerah di pesisir utara Jawa Barat. Dan sesuai namanya, tarian ini dimainkan dengan mengenakan topeng atau kedok sebagai aksesoris utama. Topeng-topeng yang dipergunakan ini merupakan simbol-simbol dari karakter yang dimainkan dalam tarian tersebut.

Tari Topeng Cirebon

Tari topeng tidak hanya menyuguhkan keindahan dalam gerak, namun juga sarat akan aneka simbol yang penuh makna. Simbol-simbol ini direpresentasikan dalam bentuk topeng, jumlah topeng, hingga jumlah gamelan pengiringnya.

Masing-masing topeng memiliki makna yang disampaikan dalam setiap tari topeng. Ini meliputi nilai kepemimpinan, cinta, dan kebijakan yang disampaikan melalui media tari.

Tari topeng Cirebon memiliki akar pada kesenian di daerah lain di sekitar wilayah tersebut. Ini meliputi tari-tari topeng dari Subang, Indramayu, Majalengka, Jatibarang, hingga Brebes. Sampai saat ini masih belum diketahui pasti pencipta dari tarian ini. Pasalnya ada banyak versi cerita yang kerap dianggap sebagai asal usul tarian topeng.

Tari Topeng Cirebon awalnya hanya dipentaskan di dalam kraton Cirebon. Kraton asepuhan Cirebon.
Kraton Kasepuhan Cirebon. Foto: Dok. TL

Salah satu versi cerita yang paling terkenal adalah tari topeng dibuat pertama kali pada zaman Majapahit. Pasca runtuhnya kerajaan terbesar di Nusantara tersebut, tari topeng dipertahankan oleh Kesultanan Demak. Lalu menyebar ke wilayah Cirebon yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Demak.

Meski saat ini tari topeng menyebar di berbagai kalangan di Cirebon, namun awalnya tidak demikian. Tari topeng masih menjadi tarian eksklusif di dalam Keraton saja. Hingga suatu ketika raja-raja Cirebon tak memiliki dana memelihara semua kesenian Keraton.

Akibatnya para penari dan penabuh gamelan mencari sumber pendapatan di luar Keraton. Dan akhirnya tarian ini menyebar menjadi kesenian rakyat hingga ke pelosok-pelosok Cirebon.

Setelah Islam masuk pada masa Sunan Gunung Jati, tepatnya pada 1470, Cirebon kemudian dijadikan sebagai pusat penyebaran agama Islam. Pada masa itu tari topeng Cirebon pun dipergunakan sebagai media untuk mengenalkan agama Islam bersama dengan seni pertunjukan lain.

Setiap tari topeng Cirebon menggunakan jenis topeng yang berbeda-beda, setidaknya ada lima jenis topeng yang umum dipentaskan. Ke lima jenis topeng itu dikenal dengan nama Panca Wanda, yakni masing-masing topeng Kelana, Tumenggung, Rumyang, Samba, dan Panji.

Tari Topeng Cirebon shutterstock
Warna topeng mencermikan sifat dan sikap lakon yang dijalani penarinya. Foto: dok shutterstock

Tiap detail dari tari topeng memiliki nilai filosofis tersendiri. Nilai filosofis tersebut bisa dilihat dari karakteristik topengnya. Ini digambarkan melalui warna dari masing-masing topeng yang juga melambangkan siklus hidup manusia.

Misalnya, topeng panji yang memiliki wajah putih bersih memiliki makna suci seperti bayi yang baru dilahirkan. Sedangkan topeng samba yang memiliki karakter anak-anak sebagai simbol keceriaan dan kelincahan.

Masa dewasa diwakili dengan topeng rumyang, gerakannya pun semakin mantap menunjukkan manusia yang mendekati kemapanan. Topeng temanggung menceritakan siklus kehidupan manusia yang telah menginjak masa kematangan dan kemapanan sempurna.

Sedangkan topeng kelana menggambarkan seseorang yang sedang marah. Biasanya, saat mengenakan topeng kelana gerakan yang akan dilakukan penari bercirikan gerak tubuh energik, lincah, dan bersemangat. Gerak tari topeng kelana menggambarkan seseorang yang bertabiat buruk, serakah, penuh amarah, dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu.

Tari topeng Cirebon merupakan jenis tarian sakral yang membutuhkan ritual khusus sebelum mementaskannya. Menurut kepercayaan setempat, umumnya para penari akan melakukan puasa, pantang, hingga semedi sebelum melakukan tari topeng.

Bahkan sebelum melakukan pertunjukkan tari topeng, masyarakat percaya bahwa harus disediakan dua sesaji. Dalam sesaji yang pertama berisi bedak, sisir, dan cermin yang melambangkan perempuan. Sedangkan, sesaji yang kedua berisi cerutu dan rokok sebagai lambang lelaki. Ada juga bubur merah yang menjadi lambang manusia dan bubur putih sebagai lambang dunia atas.

Selain itu, tari topeng Cirebon tidak bisa dipisahkan dari gerakannya yang indah nan gemulai. Ciri khas tarian ini terletak pada gerakan tangan yang gemulai dengan diiringi musik gendang dan rebab yang mendominasi sepanjang pementasan.

Tari Topeng Cirebon pada zaman dahulu biasanya dipentaskan menggunakan tempat pagelaran yang terbuka berbentuk setengah lingkaran, misalnya di halaman rumah, di blandongan atau tenda-tenda pesta atau di bale yakni panggung yang memakai obor sebagai penerangannya. Begitupun dengan berkembangnya zaman dan teknologi, tari Topeng Cirebon pada masa modern juga dipertunjukan di dalam gedung dengan lampu listrik sebagai tata cahayanya

Saat ini tari topeng Cirebon tidak hanya dipentaskan dalam hajatan di kampung-kampung saja. Tarian ini telah eksis hingga panggung mancanegara, seperti Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat.

agendaIndonesia

*****

Manado dan Tomohon, 2 Hari di 2 Kota

Manado dan Tomohon mampir ke Laut Manado

Manado dan Tomohon, dua kota ini jaraknya berdekatan. Jika punya waktu main ke salah satu dari dua kota ini, sempatkan untuk mampir ke kota yang lainnya. Ke duanya bisa dikunjungi dalam dua hari. Ayo bermain dengan alam di dua kota yang berdekatan.

Manado Dan Tomohon

Berlibur ke Sulawesi Utara, tak hanya bisa menghirup udara laut dan bermain dengan gelombang. Anda yang lebih suka berada di kehijauan alam dengan udara yang sejuk, tetap punya pilihan. Juga mendapat wisata lengkap, wisata kuliner di Manado, juga wisata alam antara Manado dan Tomohon. Cukup luangkan dua hari.

Hari Pertama: Dua Air Terjun

1. Kawasan Kuliner Tinutuan Wakeke. Kawasan kuliner dengan deretan rumah makan khas Manado. Berada di Jalan Wakeke, Kecamatan Wenang, Manado. Mulai hari dengan sarapan di sini. Bisa cicipi bubur tinutuan, mi cakalang, aneka goreng ikan, dan sebagainya. Ada pula es kacang merah, dan lain-lain. Siapkan energi untuk menjelajah hutan dan menemukan dua air terjun dalam sehari.

2. Tiga Air Terjun. Dari Manado meluncur ke arah tenggara sekitar 10 kilometer. Menuju Desa Kali, Pineleng, yang termasuk Kabupaten Minahasa. Temukan Tiga Air Terjun atau warga setempat menyebutnya Tapahan Telu, atau ada juga yang menyebutnya air terjun Pineleng. Terdiri atas tiga air terjun dengan ketinggian yang berbeda-beda, mulai 6-20 meter. Untuk mencapainya, perlu jalan kaki sekitar 20-30 menit, atau berjarak 3 kilometer dari parkir mobil di depan rumah penduduk. Suasana sekeliling asri dan sejuk.

3. Air Terjun Tinoor. Masih ingin merasakan sensasi dinginnya air terjun? Berkendara lagi sekitar 15-20 menit ke Tinoor, yang terkenal dengan pemandangan Manado dari atas. Di salah satu sisinya terlihat deretan rumah makan khas setempat. Air terjun Tinoor atau Regesan in dicapai dengan jalan kaki sekitar 30-40 menit. Yang satu ini, sudah masuk ke daerah administratif Tomohon.

4. Danau Tondano. Dua kali perjalanan melelahkan ke air terjun, saatnya menikmati sore di tepi Danau Tondano sembari kembali mengisi perut, mengganti energi yang hilang. Dari Tinoor bisa dicapai dalam satu jam. Danau ini sebenarnya masuk ke Kabupaten Tondano tapi tidak jauh Tomohon ini. Di tepi danau bisa ditemukan restoran dengan menu khas lokal. Ikan nike, ikan khas Danau Tondano yang dibuat perkedel. Juga udang kecil, ikan gurami, mujair, hingga siput sawah yang diolah menjadi satai.

5. KotaTomohon. Malam hari, menginaplah di Tomohon agar dari pagi hari bisa menghirup udara sejuk dan segar, serta menikmati keindahan Gunung Mahawu dan Gunung Lokon dari kejauhan.

Manado dan Tomohon, Kuliner manado di tepi laut

Hari Kedua: Menatap Gunung dan Bukit

1. Bukit Doa Tomohon. Sarapanlah di hotel sebelum memulai perjalanan. Tujuan pertamaadalahobyek wisata yang dikenal juga sebagai Bukit Kelong,berada di Jalan Salib Mahawu, Tomohon. Merupakan tempat wisata religi umat kristiani, tapi siapa pun bisa datang untuk menghirup udara segar dan menikmati Tomohon dari ketinggian.Melihat Gunung Lokon dari kejauhan.

2. Desa Rurukan. Tomohon terkenal dengan kebun-kebunnya, yang menghasilkan bunga dan sayur-mayur. Untuk menengoknya sekaligus menikmati hawanya yang sejuk, selanjutnya bisa melaju ke Desa Rurukan, hanya sekitar 4,5 kilometer dari Bukit Doa. Posisinya di kaki Gunung Mahawu. Gunung pun terlihat jelas, apalagi saat langit cerah. Para petani di pagi hari sibuk di ladang. Anda bisa menikmati secangkir kopi dan mengunyah camilan selama menatap keindahan sekeliling.

3. Kembali ke Manado. Dengan menyusuri perbukitan yang berbeda dengan keberangkatan. Melalui Warembungan, Kabupaten Minahasa dan Sea I sebelum akhirnya masuk ke Manado. Dari Rurukan sekitar 28 kilometer mencapai pusat Ibu Kota Sulawesi Utara ini. Bedanya, melalui jalan trans-Sulawesi ini, kita akan menemukan deretan pantai sebelum masuk ke pusat kota. Dari Pantai Tasik Ria hingga akhirnya saya singgah di Pantai Kalasey.

4. Ikan Bakar Pantai Kalasey. Nikmati hidangan aneka ikan bakar ditemani cah kangkung dan tentunya nasi hangat. Rasa lapar yang ditahan selama perjalanan pun hilang. Sejenak saya melipir ke pantai melihat Gunung Manado Tua dan Pulau Bunaken dari kejauhan.

5. Manado. Sore setelah membasuh badan, dihabiskan untuk beristirahat. Sebelum akhirnya menghabiskan malam dengan meneguk jahe hangat atau saraba untuk melepas penat dan tentunya pisang goreng plus sambal roa.

Rita N/Hariandi/Dok TL

Tahun Baru Imlek, Ini 8 Makanan Khasnya

Tahun Baru Imlek memiliki beragam makanan atau kudapan yang khas.

Tahun Baru Imlek atau dalam masyarakat Tionghoa dikenal juga dengan istilah Tahun Baru Musim Semi, sementara masyarakat internasional menyebutnya sebagai Lunar New Year. Tahun Baru Imlek memang lahir dari hitungan perputaran bulan atas bumi.

Tahun Baru Imlek

Di sejumlah daerah di Indonesia Tahun Baru Imlek menjadi salah satu perayaan yang ditunggu dan dirayakan. Misalnya saja di Pontianak dan Singkawang, atau di Medan, di mana cukup banyak warganya yang berasal dari masyarakat Tionghoa. Begitupun, untuk Indonesia, Imlek sudah menjadi salah satu bagian kegembiraan masyarakatnya.

Tahun ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, memperingati Tahun Baru Imlek 2574 kurang lengkap rasanya kalau tidak mencicipi berbagai kuliner lezat khas Imlek yang banyak dijual di pasaran. Sebagian bahkan dijual tanpa menunggu Tahun Baru Imlek.

Tak hanya memiliki rasa yang lezat, setiap makanan khas Imlek turut menyimpan makna dan filosofi yang mendalam bagi masyarakat Tionghoa. Menariknya lagi, setiap makanan dipercaya membawa keberuntungan bagi yang menyantapnya.

Tahun Baru Imlek memiliki sejumlah makanan khas perayaannya. Tak afdol jika takmenyantapnya saat Imlek.
Kue Keranjang adalah makanan yang sangat ikonik dengan perayaan Tahun Baru Imlek. Foto: dok. shutterstock

Lantas, apa saja pilihan makanan atau kudapan saat merayakan Tahun Baru Imlek?

Kue Keranjang

Kue keranjang tidak pernah absen setiap perayaan Tahun Baru Imlek. Memiliki rasa manis dan tekstur yang kenyal, kue keranjang dipercaya membawa keberuntungan, kesehatan, kekayaan, hingga kebahagiaan yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Penataan kue keranjang yang saling bertumpuk juga punya makna mendalam, yakni melambangkan keberuntungan pada gaji dan posisi yang lebih tinggi.

Kue Mangkok

Kue Mangkok di Tahun baru Imlek shutterstock
Kue mangkok melambangkan bunga yang sedang mekar saat musim semi. Foto: shutterstock

Terbuat dari tepung beras, kue mangkok atau fa gao adalah makanan khas Imlek berbentuk bunga yang sedang mekar. Konon, bentuk kelopak bunga tersebut melambangkan rezeki yang sedang berkembang. Banyak orang menyebutnya “kue kemakmuran” karena kue mangkok dipercaya memberikan keberuntungan. Bahkan, semakin banyak kelopak di atasnya, maka semakin banyak pula keberuntungan yang akan didapatkan.

Kue Ku

Ciri khas kue ku adalah bentuknya yang menyerupai tempurung dan berwarna merah cerah yang cantik. Kue tradisional yang terbuat dari tepung ketan berisi kacang hijau ini melambangkan kemakmuran. Tidak jarang kue ku dicetak dengan cetakan yang memiliki huruf, gambar, atau lambang keberuntungan di Tahun Baru Imlek.

Kue Bulan

Selanjutnya adalah kue bulan atau dikenal dengan moon cake. Berbeda dengan kue-kue sebelumnya, kue bulan adalah makanan manis khas Imlek yang menyerupai pia dan berisi pasta kacang merah. Bentuknya yang bulat menyerupai bulan melambangkan keutuhan. Sehingga jika kita mengonsumsi kue bulan, dipercaya dapat mendatangkan rezeki, kemakmuran, dan kesehatan utuh selama setahun ke depan.

Manisan Segi Delapan

Manisan kotak segi delapan atau dikenal dengan tray of togetherness adalah kumpulan manisan yang dikemas dalam wadah berbentuk segi delapan. Setiap manisan memiliki maknanya masing-masing. Seperti manisan melon melambangkan kesehatan, semangka merah melambangkan kebahagian, dan jeruk kumquat melambangkan keberuntungan dan kemakmuran.

Sedangkan manisan kelapa kering melambangkan kebersamaan atau kekeluargaan, manisan berbentuk seperti biji teratai melambangkan kesuburan, manisan kelengkeng melambangkan banyak anak, dan terakhir kacang tanah melambangkan doa agar panjang umur.

Dumpling

Dumpling untuk Imlek unsplash
Makanan lain yang khas Imlek adalah dumpling. Foto: dok. unsplash

Dikenal juga dengan sebutan jiaozi merupakan olahan pangsit berbentuk uang Tiongkok kuno yang melambangkan kemakmuran. Menurut kepercayaan, banyaknya dumpling yang dikonsumsi pada malam Imlek memprediksi jumlah uang yang akan didapatkan saat memasuki tahun baru. Dumpling berisi daging sapi dan sayur yang menyegarkan. Agar semakin nikmat, dumpling biasanya dicocol dengan saus kecap asin dan jahe sebelum disantap.

Lumpia

Berwarna cokelat keemasan menyerupai emas batangan, lumpia termasuk makanan khas Imlek yang dipercaya membawa keberuntungan dan kekayaan. Mirip dengan lumpia pada umumnya, spring roll khas Imlek ini diisi dengan potongan daging dan berbagai sayuran. Jangan lupa dicocol dengan campuran saus tiram, arak beras, kecap asin, dan minyak wijen. Dijamin semakin nikmat memakannya.

Mi Panjang Umur

Selain disajikan saat perayaan ulang tahun, mi panjang umur kerap menjadi makanan wajib pada perayaan Tahun Baru Imlek. Sesuai dengan namanya, mi goreng ini melambangkan umur panjang dan keberuntungan.

Namun, bagi mereka yang memeprcayaiya, harus berhati-hati saat mengolah dan menyantapnya. Sebab, bentuk mi yang pendek atau terpotong, meskipun tanpa sengaja, melambangkan nasib buruk dan memperpendek umur.

Itulah beragam makanan khas Tahun Baru Imlek yang dipercaya membawa keberuntungan bagi siapa saja yang menyantapnya. Umumnya makanan-makanan tersebut halal, yang harus hati-hati mungkin adalah dumpling. Kadang ada yang menggunakan daging non-halal untuk isiannya.

agendaIndonesia/kemenparekraf

*****

Tenun Rangrang, 3 Warna-warni Nusa Penida

Tenun Rangrang adalah kerajinan khas Nusa Penida, Bali. Foto: milik Wak Laba

Tenun Rangrang adalah jenis tenunan tradisional Bali yang semakin dilirik kaum perempuan di Indonesia. Ini merupakan kreasi penduduk Nusa Penida, jenis tenunan ini menunjukkan keragaman karya perajin Pulau Dewata. Disebut rangrang, ternyata karena jenisnya yang berlubang-lubang atau jarang-jarang.

Tenun Rangrang

Saat ke Bali dan mampir ke Dian’s Rumah Songket dan Endek di Kabupaten Klungklung, ternyata bisa ditemukan tenun rangrang di antara kain songket, cepuk, dan endek. Khusus tenun rangrang, biasanya sang pemiliki langsung memesan ke perajin dari Banjar Karang, Nusa Penida.

Tenun Rangrang adalah produk kerajinan dari masyarakat Nusa Penida, Bali,
Salah satu spot di Nusa Penida. Foto: shutterstock

Tidak sekedar memesan, ia bahkan mengirim benang-benang katun ke sana agar hasil tenun berkualitas baik. Termasuk juga benang dari bahan alam. Menurut sejumlah butik di Klungkung, sudah tujuh tahun ini tenun rangrang semakin digemari orang.

Sebelumnya, konon cukup susah mempromosikan tenun rangrang ini. Namun promosi yang terus menerus membuat pamor tenun jenis ini terus terkerek, harganya pun ikut melonjak. Untuk kualitas terbaik, dengan benang dari bahan alam, selembar kain tenun rangrang berukuran 90 x 200 sentimeter bisa mencapai Rp 1,5-2 juta.

Harga tenunan bervariasi atau bergantung pada ukuran kain. Paling rendah Rp 600 ribu. Bila sudah menjadi pakaian, dipatok mulai Rp 700 ribu. Kain rangrang, yang menggunakan benang sintetis, dijual pada kisaran Rp 400 ribu.

Padahal saat belum naik daun, hasil tenunan  ini dijual mulai Rp 200 ribu. Kini tenun rangrang pun dibuat beragam produk, tak hanya blazer, kemeja, blus, tapi juga dompet, sarung bantal, tas, dan lain-lain.

Keindahan dan harga tinggi tenun rangrang itu pun membikin penasaran. Esok harinya, dari pantai Sanur, agendaIndonesia melaju dengan perahu bermotor menuju Nusa Penida, yang termasuk Kabupaten Klungkung. Sekitar 40 menit perjalanan sudah menginjak pasir putih Dermaga Toyapakeh.

Rupanya, kampung perajin tidak berada dekat pantai. pengunjung harus naik sepeda motor turun-naik bukit sekitar satu jam dari dermaga. Jalanan pun tidak selalu mulus. Mengarah ke sisi timur pulau ini dan menyusuri pantai menaiki beberapa bukit berkapur, akhirnya kendaraan beroda dua berhenti di Banjar Ampel, Desa Pejukutan, yang berada di sebuah bukit.

Banjar Karang, yang banyak disebut juga sebagai kampung perajin rangrang, berada setelah kampung ini. Jauh dari pantai, tak mengherankan jika tak ada seorang pun yang berprofesi sebagai nelayan ataupun petani rumput laut seperti umumnya warga Nusa Penida.

Tua-muda, laki-laki ataupun perempuan beraksi dengan benang plus alat tenun. Di belakang rumah dibuat bangunan terbuka. Diisi beberapa perangkat tenun, sehari-hari mereka bisa ditemukan di sana. Biasanya menenun berkelompok 3-4 orang. Kebanyakan satu keluarga besar atau tetangga. Saya pun bertemu dengan Nyoman Terima—perempuan berusia 60-an tahun yang terhitung sebagai penenun tertua di antara 200 penenun di kampung ini.

Dalam dua tahun terakhir, para remaja pun tergoda menyentuh alat tenun. Putu Wahyudi, 21 tahun, salah seorang di antaranya. Bila kebanyakan anak laki-laki di kota besar bermain dengan gadget atau di depan komputer bermain game, ia anteng menyalin benang. Bahkan umumnya anak perempuan di kampung ini sejak kelas 3 SD sudah mulai menenun.

“Perempuan yang kerja di kota pun kembali dan menenun juga,” ujar Nyoman Widastra, 51 tahun. Ia pun sebelumnya menjajal segala jenis pekerjaan, termasuk menjadi kuli bangunan. Setelah 35 tahun beralih, ia menjadi penenun. “Enak teduh (tidak kepanasan) dan bisa kerja semalaman pula,” ujarnya.

Nyoman bisa melakukannya hingga tengah malam, bahkan sampai pukul 03.00. Pekerjaan menenunnya dimulai dari mengurai benang hingga memintalnya. Setelah itu, ia baru bisa menenun. Rata-rata untuk kain yang paling pendek, yakni 60 sentimeter  x 2 meter, diperlukan waktu sekitar dua hari. “Biasanya untuk selendang.”

Mayoritas perajin menyerahkan hasil kerja mereka kepada pengepul yang sebagian besar menerapkan sistem bayar belakang saat  kain sudah terjual. Bisa juga warga menjual langsung kepada turis mancanegara yang kerap datang. “Kadang mereka beli 2-3 buah gitu,” kata Nyoman.

Mayoritas perajin menggunakan alat tenun terbaru, model lama atau alat tenun cacag tidak lagi digunakan. Bahkan penenun tua pun sudah beralih. Posisi di punggung bawah harus ikut menahan alat tenun dan posisinya yang harus duduk di bawah, membuat mereka lebih cepat lelah. Dibanding alat tenun baru, penenun bisa duduk di bangku dengan posisi lebih nyaman.

Tenun Rangrang membuat banyak anak muda kembali ke desanya di Nusa Penida.
Tenun Rangrang. Foto: shutterstock

Di Dusun Ampel, Banjar Pejukutan, umumnya penenun menggunakan benang sintetis dengan pilihan warna terang atau lembut. “Biasanya pakai tiga warna. Motifnya, kebanyakan bianglala, wajik, dan alam,” kata Nyoman Widastra.

Tidak seluruh kain penuh dengan corak. Yang lazim pada tenunan yang dibuat dengan teknik ikat tunggal ini lantaran ada latar warna. Kemudian di tengahnya berupa corak tertentu. Menurut pengakuan penenun, motif yang dipilih kerap bergantung pada permintaan pengepul.

Tidak hanya paduan warna-warni yang menyuguhkan keindahan, tetapi sesungguhnya kain rangrang juga memuat filosofi mengenai hidup dan kepercayaan masyarakat Bali terhadap alam, karmapala, dan tridarma dalam agama Hindu.

Dalam masyarakat Bali, sebenarnya dikenakan untuk upacara adat. Namun, seperti pengakuan sejumlah perajin, mereka justru tak lagi memiliki kain rangrang. “Kita bikin buat dijual,” ucap Nyoman seraya menyebutkan dirinya yang sehari-hari menenun tak memilikinya.

Harga yang tinggi menjadi salah satu alasan bagi warga setempat mengapa tak lagi mengenakan kain rangrang. Membuat rangrang hanya untuk mendapat penghasilan, bukan untuk dipakai sendiri.

Rangrang dibikin pun hanya untuk memenuhi permintaan pasar. Warna dan corak sering bergantung pada permintaan. Tidak lagi muncul model lama dengan hiasan pinggiran seperti kupu-kupu, bunga julit, daun bakung, atau katak.

Warga pun tak lagi menggunakan warna alam seperti akar mengkudu dan kayu secang untuk warna merah, bunga delima yang dikeringkan untuk warna kuning, dan daun mangga untuk warna hijau. Kecuali tentu jika ada pesanan.

agendaIndonesia/TL/Rita N./C. Adristy

*****

Geliat 3 Batik: Betawi, Semarangan, dan Besurek

5 sentra belaja batik di kota SOlo-- Kampung Batik Andreas Hie shutterstock

Geliat 3 Balik khas Jakarta, Semarangan, dan Bengkulu menyusul batik-batik tradisional yang selama ini sudah dikenal masyarakat. Ini makin memperkayai khasanah batik sebagai warisan budaya adiluhung yang dimiliki masyarakat Indonesia.

Geliat 3 Batik

Kain batik jelas bukan barang langka di bumi Nusantara ini. Pekalongan, Yogyakarta, dan Solo bisa disebut sebagai gudang kain bercorak khas ini. Setiap kota tampaknya juga mempunyai ciri khas. Salah satu yang sedang naik daun batik Garutan. Kota lain pun punya kain khas. Jakarta, misalnya, punya batik Betawi dengan perjalanan panjang yang naik-turun. Juga Semarang dan Bengkulu. Masing-masing memiliki kekhasan.

Batik Betawi boleh dibilang kurang populer. Padahal para perempuan Betawi sudah pintar memainkan canting dan menembok, alias menutup corak batik dengan lilin, sejak masa penjajahan. Bahkan ada perkampungan khusus di Terogong. Namun tradisi ini terhenti pada 1970. Keluarga pembatik di Jakarta Selatan ini baru membangkitkannya lagi pada 2012.

Keunikan batik Betawi terletak pada motifnya yang menampilkan ikon-ikon khas betawi. “Ada yang bergambar ondel-ondel, penari ronggeng Betawi, alat musik tanjidor, atau landmark, seperti Monas dan Patung Pancoran,” ujar Aap Hafizoh, salah seorang pengelola batik Betawi Terogong.

Aap menambahkan, beberapa motif lain tak kalah unik dan malah menggambarkan hal-hal berkaitan dengan Betawi yang belum diketahui banyak orang. Contohnya, motif burung hong dan Masjid Krukut, yang merupakan salah satu bangunan bersejarah. “Namun yang menjadi ciri khas motif batik Betawi Terogong adalah motif mengkudu dan cermai.”

Menurut Aap, pohon mengkudu (Morinda citrifolia)dan cermai (Phyllanthus acidus) dijadikan motif khas Batik Betawi Terogong karena memiliki kenangan tersendiri. Dia mengatakan kedua pohon itu tumbuh di halaman belakang rumah. Proses produksi batik Betawi Terogong memang memanfaatkan lahan milik keluarga yang kini dihuni sekitar enam kepala keluarga.

Yang jarang terdengar, meski dikelilingi kota-kota yang terkenal dengan kreasi batiknya, adalah batik Semarangan. Kampung Batik Semarang pernah mengalami kejayaan pada 1919-1925. Namun, karena krisis yang menyebabkan sulitnya mendapatkan bahan sandang, akhirnya banyak perajin gulung tikar. Baru mulai menggeliat lagi sekitar 2004, saat Pemerintah Kota Semarang memiliki keinginan mengembalikan nama besar batik Semarangan yang dulu pernah mencapai masa keemasan.

Ketua Paguyuban Sentral Batik Semarang Tri Mujiono menyebutkan, motif batik Semarang menonjolkan unsur flora dan fauna. “Misalnya, buah asem arang dan burung blekok,” katanya. Burung blekok putih memang banyak ditemukan di kawasan Srondol, Semarang, di masa lalu. Kini susah melihat burung berparuh panjang itu. Begitu pula asem arang, yang dulu banyak tumbuh di Semarang. Konon, nama Semarang diambil dari nama pohon asem, yang tumbuhnya saling berjauhan tersebut.

Belakangan, motif batik Semarangan kian berkembang. Ikon Kota Semarang, seperti Gedung Lawang Sewu, Tugu Muda, dan Sam Poo Kong, menjadi ciri khas lain batik Semarangan. Sedangkan untuk pewarnaannya, batik Semarang dikenal memiliki warna-warna terang, seperti biru, merah, dan cokelat.

Geliat 3 batik: Jakarta, semarangan dan besurek
Membuat patron di kain untuk dijadikan batik.

Tak hanya kota-kota di Pulau Jawa yang punya corak batik, Bengkulu, salah satu kota di Sumatera, juga dikenal dengan batik khasnya. Namanya batik besurek. “Besurek” sebenarnya berarti tulis. Jadi kain besurek tak lain adalah batik tulis, yang merupakan teknik awal dari pembuatan batik. Cuma, karena yang banyak dimunculkan selain flora dan fauna adalah huruf Arab, muncul juga makna lain dari kain ini, yakni kain dengan tulisan huruf Arab.

Kain besurek, yang merupakan kain tradisional ini, digunakan masyarakat Bengkulu dalam berbagai upacara adat, pernikahan, cukur bayi, mengantar jenazah ke kuburan, hingga acara kesenian. Untuk setiap kesempatan, tentunya berbeda pula corak kain batik yang dikenakan. Setiap motif menunjukkan simbol yang berbeda. Misalnya, perpaduan rembulan dengan kaligrafi dalam kain berdasar merah melambangkan nilai ciptaan Tuhan. Kain bercorak ini dikenakan pengantin putri dalam pernikahan atau acara mandi saat prosesi pernikahan. Ada pula motif burung kuau dan kaligrafi berwarna biru, yang bermakna kehidupan alam.

Dirunut dari sejarahnya, kain besurek sudah berkembang pada abad ke-16 saat agama Islam berkembang di provinsi ini. Ketika Sentot Alibasya, panglima perang Pangeran Diponegoro, diasingkan ke Bengkulu bersama sanak saudaranya pada abad ke-18, para pedagang berkebangsaan India, Cina, Arab, dan Eropa sudah menenteng kain besurek dari Bengkulu. Kreasi sesungguhnya asli Bengkulu, meski bahan bakunya didatangkan dari tanah Jawa.

Kini, tidak lagi selalu ada kaligrafi atau huruf Arab gundul sebagai corak kainnya, tapi banyak juga dimunculkan bunga Rafflesia arnoldi, yang memang menjadi ikon kota ini. Sejumlah corak lama juga kerap dimunculkan, seperti burung kuau, kembang cengkeh, kembang cempaka, relung paku, dan burung. Toko-toko suvenir pun mulai banyak menawarkan kain khas ini. Padahal, beberapa tahun lalu, cukup sulit mencari kain besurek. Padahal jelas kain ini lekat dengan masyarakat sejak masa lampau.

Lekatnya imaji kain besurek dengan masyarakat Bengkulu juga bisa disimak pada lagu Kain Besurek: “Uncu, marolah dekek siko, cubo tolong sayo.

Buekkan kain besurek selambar sajo. Buek kenangan kawan nan tercinto. Uncu,

dasarnya halus pulo. Raginya ragi lamo. Peninggalan datuk kek andung dahulu

kalo. Yang perlu kita lestarikan besamo. Kain. Kain besurek ragi lamo. Kini

banyak nan dapek membueknyo. Pacak dibuek jadi kenangan. Dipakai baju oi elok

nian. Uncu … Liek ado nan datang. Samo samo kesiko. Katonyo ndak pesan kain

besurek pulo.”

(Bibi, marilah ke sini, coba tolong saya. Buatkan kain besurek, selembar saja. Buat

kenangan teman tercinta. Dasarnya yang halus. Motifnya ragi lama. Peninggalan

kakek dan nenek dahulu kala. Yang perlu kita lestarikan bersama. Kain. Kain

besurek motif ragi lama. Kini banyak yang dapat membuatnya. Bisa dijadikan

kenang-kenangan. Dijadikan baju juga indah sekali. Bibi, lihat ada yang datang.

Sama-sama ke sini, katanya mau pesan kain besurek juga). l

Andry T/Rita N./Dok. TL

Pesisir Selatan Minangkabau Dalam 3 hari

Pesisir selatan Minangkabau salah satunya mengunjungi Danau Langkisau

Pesisir selatan Minangkabau dalam 3 hari mungkin bisa menjadi alternatif saat mengunjungi Sumatera Barat. Bagi yang ingin menikmati wisata bahari di provinsi ini, cobalah melipir ke pesisir.

Pesisir Selatan Minangkabau

Berjarak 77 kilometer atau bisa ditempuh sekitar 2-3 jam dari Padang, ada sederet obyek yang menggoda. Mulai bukit hijau, air terjun, hingga pantai. Lumayan komplet. Dikenal dengan Kabupaten Pesisir Selatan atau disingkat Pessel. Dengan penerbangan pagi dari Bandara Internasional Minangkabau, Anda bisa langsung melaju ke kota ini.

HARI PERTAMA

Jembatan Akar

Merupakan jembatan alami dari jalinan akar-akar pohon beringin yang berada di dua sisi sungai yang berlawanan. Terletak di Kampung Pulut, Kecamatan Bayang Utara, Pesisir Selatan, sekitar 65 kilometer dari Padang. Jembatan ini dibuat pada 1916. Di bawahnya mengalir air sungai yang jernih dan sejuk, juga menyegarkan.

Air Terjun Bayang Sani

Dua buah air terjun bisa ditemukan di Kampung Koto Baru, Kecamatan Bayang Utara, hanya berjarak 5 kilometer dari jembatan akar. Air Terjun Bayang Sani tidak jauh dari area parkir. Bagian bawah berbentuk kolam, sehingga pengunjung bisa berenang. Satu lagi berada di posisi lebih tinggi, harus dicapai dengan jalan mendaki sekitar 15 menit, dikenal dengan nama Palangai Gadang.

Sulaman Bayangan

Seperti kota lain, Pesisir Selatan memiliki sulaman khas, yakni sulaman bayangan. Anda bisa menemukan beragam produk dengan sulaman bayangan, seperti kerudung dan mukena, di beberapa toko di Barung-Barung Belantai, Kecamatan Koto XI Tarusan, ini. Jaraknya sekitar 23 kilometer sebelum masuk ke Kota Painan, Ibu Kota Kabupaten Pesisir Selatan.

Senja di Bukit Langkisau

Painan bisa dijejaki di sore hari. Anda bisa langsung menuju Bukit Langkisau untuk menikmati mentari membenamkan diri. Ada deretan pantai yang menghadap Samudra Indonesia terlihat dari ketinggian. Di akhir pekan biasanya ada para penggemar paragliding dan kegiatan outbound di sini.

HARI KE DUA

Air Terjun Timbulun

Obyek wisata ini hanya 3 kilometer dari pusat kota, mengarah ke perbukitan di utara. Saya pun langsung menangkap kesegaran khas hutan dan perbukitan. Tepatnya di Kampung Painan Timur, Nagari Painan, Kecamatan IV Jurai. Dicapai dengan nyaman karena ada jalan setapak yang tertata sepanjang 500 meter di tengah pepohonan. Hingga tiba di sungai berair jernih dengan bebatuan cokelat, kuning, dan kehijauan. Terlihat di bagian ujung Air Terjun Timbulun yang memiliki tujuh tingkatan, sehingga disebut juga Pincuran Tujuh Tingkat.

Gulai Lokan

Obyek selanjutnya adalah Pantai Sungai Nipah. Meski bisa menikmati debur ombak, tujuan utama saya adalah rumah makan yang berada di tepian pantai. Hanya berjarak 5 kilometer dari pusat Kota Painan, di sini Anda bisa mencicipi hidangan Minang yang berbeda. Bahan utamanya kebanyakan dari laut, selain siput darat yang menjadi ciri khas dan dikenal dengan nama gulai lokan.

Pinukuik

Camilan khas dari kota ini adalah pinukuik Batang Kapas. Dari Sungai Nipah, perjalanan berlanjut ke arah selatan menuju perbukitan. Dalam waktu sekitar 15 menit, Anda akan tiba di depan tumpukan sajian kue putih kecokelatan dengan aroma kelapa yang harum. Bahan utamanya tepung dan kelapa. Adapun kedai kue berada di Jalan Raya Pasar Kuok, Batang Kapas.

Pantai Carocok & Pulau Batu Kereta

Pantai Carocok dan Pulau Batu Kereta yang menjadi tujuan selanjutnya berada di pusat kota. Pulau yang satu ini bisa dicapai dengan berjalan kaki melalui jembatan yang dibuat memanjang dari Pantai Carocok.

Pulau Cingkuak

Pulau yang satu ini dapat dicapai dengan mudah dari Pantai Carocok, hanya sekitar 10-15 menit berperahu. Tak hanya ada pantai berpasir putih, yang di hari libur banyak dipenuhi pelancong yang bermain, sekadar berenang-renang, juga menaiki banana boat atau snorkeling. Di bagian tengah pulau, terdapat sisa-sisa benteng Portugis.

HERI KE TIGA

Semangki Besar & Semangki Kecil

Pesisir Selatan tak hanya punya Pulau Batu Kereta dan Cingkuak, tapi juga sejumlah pulau. Yang tergolong tak jauh adalah Pulau Semangki Besar dan Semangki Kecil. Terlihat dari Pantai Carocok. Memiliki pasir putih dan pantai yang landai.

Aur Ketek & Aur Gadang

Ingin menikmati pasir pantai yang halus sembari memancing, cobalah berperahu lebih jauh. Dalam satu jam, Anda bisa menemukan Pulau Aur Ketek dan Aur Gadang. Di depan pantai pasir putih dengan air biru tosca, sedangkan di belakang batu karang terdengar terhantam ombak berkali-kali.

Karabak & Penyu

Bila mempunyai waktu panjang, sebenarnya bisa melaju lagi sekitar satu jam lagi untuk melihat penyu di Pulau Penyu. Di sini memang tempat penyu bertelur. Selain itu, ada Pulau Karabak yang memiliki ciri mercusuar. Kedua pulau ini bisa dicapai sekitar dua jam perjalanan dari Pantai Carocok.

Puncak Mandeh

Bila Anda hanya melaju hingga Pulau Aur, tampaknya Anda masih bisa mengejar keindahan sang surya tenggelam di Mandeh, Tarusan. Lokasinya sekitar 56 kilometer dari Padang. Melalui jalur menanjak di perbukitan, sebuah tontonan alam menanti. Laut yang tenang dengan pulau-pulau. Ketika mentari tenggelam, keindahan itu sempurna. l

Rita N./Wisnu AP/Dok. TL

Desa Zaman Megalitikum, 6 Yang Unik

Desa zaman megalitikum ada dari Sumatera hingga ujung timur Indonesia. Foto: shutterstock

Desa zaman megalitikum ternyata masih tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Mulai dari Sumatera Utara, Jawa, hingga kawasan Nusa Tenggara Timur. Semuanya unik dan layak untuk dukunjungi. Enam di antaranya sudah menjadi desa wisata.

Desa Zaman Megalitikum

Desa wisata menjadi salah satu destinasi yang memegang peranan penting dalam kebangkitan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia pasca pandemi. Pasalnya, kehadiran desa wisata turut membuka peluang usaha baru bagi para pelaku industri kreatif lokal.

Selain unsur alam, desa wisata di Indonesia juga menonjolkan unsur budaya khas wilayah tersebut. Bahkan, tidak sedikit desa wisata yang memiliki situs peninggalan kuno dari era megalitikum yang menjadi salah satu daya tarik wisata.

Desa Megalitihkum shutterstock
Batu-batu besar umumnya menjadi ciri peninggalan zaman megalitikum. Foto: dok kemenparekraf

Salah satu peninggalan kuno yang banyak ditemui di desa wisata adalah peninggalan zaman megalitikum, yakni berupa batu-batu besar.  Hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, berikut ini adalah enam desa wisata dengan situs peninggalan megalitikum yang layak dikunjungi.

Desa Adat Bena Bajawa di Flores

Desa zaman megalitikum yang memiliki suasana asri dan eksotis di antaranya adalah Kampung Adat Bena Bajawa di Flores, Nusa Tenggara Timur. Mempertahankan konsep tata wilayah khas megalitikum, rumah-rumah di Kampung Adat Bena Bajawa dibangun mengikuti kontur tanah. Sehingga ketika dilihat dari kejauhan desa wisata ini tampak berundak.

Masyarakat setempat percaya jika Kampung Adat Bena telah ada sejak 1.200 tahun silam. Salah satu buktinya terdapat pada peninggalan megalitikum, berupa batu besar berbentuk lonjong yang dinamakan Watu Lewa. Selain itu ada juga batu berbentuk meja yang diberi nama Nabe. Kedua batu ini digunakan dalam ritual adat masyarakat Bajawa.

Desa Kamal di Jember

Berada di Kecamatan Arjasa, Jember, Jawa Timur desa wisata ini terdapat beragam jenis batu peninggalan megalitikum yang tersebar di berbagai tempat. Mulai dari persawahan, rumah warga, hingga halaman kantor desa.

Peninggalan megalitikum di Desa Kamal berupa batu kenong, tugu batu, hingga menhir. Batu kenong merupakan jenis peninggalan yang paling unik dari Desa Kamal. Sebutan batu kenong muncul karena tonjolan di bagian atas batu, yang sekilas menyerupai kenong (alat musik gamelan). Hingga saat ini telah ditemukan 59 batu kenong di Desa Kamal.

Masing-masing batuan memiliki satu hingga dua tonjolan. Jumlah tonjolan pada batu kenong punya makna tersendiri pada zaman megalitikum. Batu dengan satu tonjolan melambangkan lokasi penguburan, sedangkan batu dengan dua tonjolan digunakan sebagai alas bangunan rumah.

Kampung Praiyawang di Sumba

Di Sumba terdapat satu desa zaman megalitikum yang sangat menarik untuk dikunjungi, yakni Kampung Praiyawang yang berada di Desa Rindi, Kecamatan Rindi, Sumba Timur. Letaknya sekitar 69 km ke sebelah timur Kota Waingapu.

Jika berkunjung ke desa wisata ini, wisatawan tidak hanya bisa melihat peninggalan megalitikum, namun juga menemukan suasana desa yang kental dengan adat istiadat perkampungan Sumba.

Kesan kuno nan magis di Kampung Praiyawang terlihat dari arsitektur rumahnya dan barisan kuburan tua megalitikum untuk kalangan bangsawan. Pada kuburan batu tersebut terdapat pahatan-pahatan yang menjadi simbol filosofi dari si pemilik makam.

Kampung Siallagan di Pulau Samosir

Batu Kurs Raja Sialagan Infobudaya net
Meja dan kursi Raja Siallagan di Samosir menjadi peninggalan era megalitikum. Foto; Dok infobudaya.net

Dalam bahasa Batak, wilayah ini disebut dengan Huta Siallagan, yang berarti Kampung Siallagan. Terletak di salah satu lokasi Destinasi Super Prioritas, Huta Siallagan konon telah ada sejak ratusan tahun silam.

Kampung Siallagan memiliki luas sekitar 2.400 meter persegi, dan dikelilingi tembok batu yang membentuk pagar setinggi 1,5-2 meter. Berdasarkan cerita turun-temurun, fungsi batu-batu tersebut adalah perlindungan desa dari binatang liar dan serangan suku lainnya.

Selain pagar batu, peninggalan desa zaman megalitikum yang ada di Huta Siallagan berupa batu berbentuk kursi dan meja, yang dulunya digunakan sebagai tempat menghukum para pelanggar adat.

Desa Bawomataluo di Pulau Nias

Desa zaman megalitikum yang juga menyandang status sebagai desa budaya warisan dunia UNESCO ini memiliki peninggalan megalitikum yang ikonik. Peninggalan megalitikum di Desa Bawomataluo disatukan dalam Situs Tetegewo.

Situs ini menyimpan berbagai batu peninggalan megalitikum mulai dari berbentuk meja persegi, tugu, hingga meja bundar. Umumnya batu-batu di Situs Tetegewo digunakan sebagai tempat pesta. Peninggalan megalitikum di Desa Bawomataluo diperkirakan telah ada sejak 5.000 tahun silam.

Desa Patemon di Situbondo

Desa Patemon Situbondo Dinas Pariwisata Kabupaten Situbondo
Batu-batu sisa peninggalan zaman megalitikum di Petemon. Foto: Dinas Pariwisata Situbondo.

Situbondo juga memiliki desa wisata megalitikum bernama Desa Patemon. Di desa ini diidentifikasi sedikitnya terdapat 26 peti jenazah dari batu atau sarkofagus. Serta ditemukan juga sisa perburuan liar pada zaman megalitikum yang terletak di dekat sarkofagus.

Lebih unik lagi, tim peneliti juga menemukan berbagai bekal kubur berupa manik-manik, fragmen gerabah, serta fragmen alat pertukangan dari zaman megalitikum di Desa Patemon, Situbondo.

Itulah enam desa yang memiliki peninggalan megalitikum di Indonesia. Selain berlibur, tentunya berkunjung ke desa zaman megalitikum di atas juga dapat menambah wawasan akan sejarah Indonesia di masa lampau.

agendaIndonesia/kemenparekraf

*****

Wisata Kota Tua di 3 Kota

Wisata kota tua di kota Jakarta

Wisata kota tua makin populer di dalam negeri. Apalagi usaha untuk menjaganya mulai digencarkan. Berikut wisata di kota tua di tiga kota.

Wisata Kota Tua

Kota tua bagi turis menjadi daya tarik tersendiri. Kembali mencecap suasana masa silam banyak digandrungi para pelancong yang gemar dengan destinasi berlabel sejarah. Di Pulau Jawa, setidaknya ada tiga kota tua yang menggoda untuk ditelusuri. Sebab, tiga kota itu masih menyimpan peninggalan masa silam, mulai bangunan hingga tradisi. Sediakan waktu di akhir pekan, sekitar 2 atau 3 hari dan Anda bisa memilih mengunjungi satu dari tiga kota di bawah ini. Berikut wisata kota tua di Jakarta; Semarang, Jawa Tengah, dan Surabaya di Jawa Timur.

Kota Tua Jakarta

Bila tidak berencana ke luar kota, menikmati kawasan kota tua bisa dilakoni di Jakarta saja. Meski belum seperti sejumlah kota di dunia yang benar-benar menata kawasan kota tuanya sebagai daya tarik wisata, dengan koleksi gedung-gedung lawas, sebenarnya potensi kawasan Kota Tua Jakarta besar sekali. Sudah ada tur untuk menyusuri jejak-jejak masa silam di wilayah Barat Jakarta itu. Langkah revitalisasi kawasan Kota Tua Jakarta pun terus dilakukan.

Umumnya, peninggalannya berupa bangunan tua warisan Belanda pada abad ke-19 dan ke-20. Bahkan, saat ini, sejumlah acara dipusatkan di Taman Fatahillah, depan Museum Fatahillah. Ada beberapa museum yang bisa ditemukan di kawasaan kota itu, yakni Museum Wayang, Museum Seni Rupa dan Keramik, dan Museum Bank Indonesia. Untuk menikmati ruangan tua dengan nyaman, ada Cafe Batavia, yakni bangunan tua yang telah difungsikan sebagai kafe.

Sedikit ke luar dari lingkaran Taman Fatahillah, ada Toko Merah di Jalan Kali Besar Barat. Bangunan berwarna merah ini adalah rumah dari Baron Van Imhoff, Gubernur Jenderal VOC, yang juga pendiri Istana Bogor. Selain itu, ada sejumlah bangunan lain yang bisa disimak. Saat berada di wilayah Kota Tua Jakarta, jangan lupa juga mampir ke Pelabuhan Sunda Kelapa dan Museum Bahari yang berada di sisi lain. Cobalah menginap di hotel daerah Kota Tua Jakarta sehingga Anda benar-benar bisa meresapi masa silam dan memanfaatkan waktu 2 hari untuk berwisata.

Kota Lama Semarang

Ibu kota Jawa Tengah ini memiliki kawasan kota tua di seputar Jalan Brajangan, Semarang bagian utara, dengan bangunan-bangunan yang masih terpelihara. Karenanya, bangunan-bangunan ini sangat asyik untuk dinikmati. Salah satunya Gereja Blenduk atau Nederlandsch Indische Kerk dengan ciri-ciri terdapat kubah berwarna merah bata. Gedung ini telah berusia 2,5 abad. Di seberangnya, ada gedung kuno yang juga tak kalah menarik. Kawasan kota lama ini masih memiliki koleksi bangunan tua lain, seperti bekas pabrik rokok, yakni Pabrik Rokok Praoe Lajar, serta bangunan Stasiun Tawang yang masih berfungsi.  Di depannya juga ada bangunan tua, Polder Tawang.

Selain itu, ada bangunan tua lain yang tentu menarik disimak, seperti Gedung Marba, Kantor Pos Pusat, Samudera Indonesia, Djakarta Lloyd, dan Titik Nol KM Semarang. Ada pula yang dikenal berbau mistis, yakni Lawang Sewu. Gedung berpintu banyak ini bergaya Art Deco. Dibangun pada 1904, Lawang Sewu dulu adalah kantor pusat perusahaan kereta api milik Belanda. Selanjutnya, Jembatan Berok yang dulunya merupakan pintu masuk ke kawasan Kota Lama Semarang.

Surabaya Heritage Track

Inilah nama tur untuk mengelilingi kawasan kota tua yang terletak di ibu kota Jawa Timur. Tur berdurasi 1-2 jam dan dalam sehari ada tiga jadwal. Tur digelar tiap hari, kecuali Senin. Waktunya pukul 09.00-16.30. Sejumlah bangunan yang dikunjungi sesuai dengan jadwal tur terletak di Surabaya bagian utara. Bangunan-bangunan itu di antaranya Masjid Tua Sunan Ampel sebagai salah satu tempat ziarah Walisongo, Tugu Pahlawan, Masjid Cheng Hoo  yang  bergaya kelenteng, dan Jembatan Merah yang merupakan simbol perlawanan rakyat Surabaya terhadap pendudukan Belanda.

Selain itu, ada beberapa bangunan kuno bergaya Eropa klasik yang masih terawat dengan baik. Bangunan pun masih difungsikan sebagai kantor maupun hotel, seperti  Hotel Ibis Surabaya, Hotel Majapahit, Kantor Gubernur Jawa Timur, kantor Bappeda, Bank Mandiri, Kantor Pos Besar, dan Kantor PTPN. Ada juga Hotel Majapahit, yang dulu merupakan hotel Oranje atau Yamato, tempat para pejuang merobek bagian biru bendera Belanda hingga menjadi bendera merah-putih. Ada pula kawasan Pecinan di Jalan Kembang Jepun atau Kya-kya, yang kemudian difungsikan sebagai destinasi wisata kuliner. 

agendaindonesia.com

Desa-desa Gianyar-Bangli Bali Dalam 2 Hari

Desa-desa Gianyar-Bangli sebagai Tujuan Wisata di Bali

Desa-desa Gianyar-Bangli merupakan desa para perajin di BaliIa menjadi pelangkap dari wsaiata ke Ubud, Bali, yang memang sudah terkenal.

Desa-desa Gianyar-Bangli

Namun, Gianyar tak hanya punya Ubud yang menjadi pusat keramaian kelompok para wisatawan. Di sekeliling kabupaten ini, ada banyak desa perajin yang menarik untuk disimak. Apalagi bagi Anda yang senang mencermati budaya. Sebab, tradisi membuat barang kerajinan di Bali tak lepas kaitannya dengan budaya setempat. Cukup banyak pilihan bila dilakoni dalam perjalanan dua hari atau pada akhir pekan.

HATRI PERTAMA: Desa Perajin & Tari Legong

Desa Celuk 

Begitu masuk ke wilayah Kabupaten Gianyar, turis akan disambut deretan desa perajin. Hasil karya seniman pun digelar di jalan utama sehingga dengan mudah menandai lokasinya. Salah satunya di Desa Celuk, yang terkenal dengan perajin perhiasan perak dan emas. Deretan galeri perak juga bisa ditemukan di sepanjang Jalan Raya Celuk.

Desa Batuan

Berada tidak jauh dari Desa Celuk, masih ada lagi beberapa desa perajin. Di antaranya di Banjar Puaya, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, yang merupakan desa pembuat topeng barong. Saya bertemu dengan I Made Muji, 64 tahun, yang begitu piawai membuat topeng barong. Seniman ini dianugerahi beragam penghargaan berkat hasil karyanya. Di galerinya, saya menemukan barong mini untuk disimpan di rumah, juga ukuran normal atau besar untuk upacara.

Muji mengaku membuat topeng barong hanya enam bulan sekali. “Perlu sabar dan harus mood. Kalau enggak mood, lebih baik diam, kalau tidak, ya … bisa hancur,” katanya. Topeng yang digunakan dalam berbagai upacara ini memang banyak detailnya. Bahkan kayunya pun disebutnya harus khusus karena untuk upacara agama.

Bebek Tepi Sawah, Ayam Kadewatan, atau Hujan Locale

Siang menjelang, ada banyak pilihan untuk bersantap. Ada yang khas dan sudah melegenda, seperti Nasi Ayam Kadewatan Ibu Mangku. Berada di Jalan Kadewatan dan dapat dicapai dalam 30 menit dari Desa Batuan. Di sini Anda bisa mencicipi nasi campur Bali yang rasanya jempolan. Pilihan lain yang tergolong tak jauh adalah Bebek Tepi Sawah, yang berada di Jalan Raya Goa Gajah. Di tengah persawahan, silakan coba bebek goreng yang renyah dengan sayuran khas lokal.

Karena tujuan berikutnya adalah Pasar Ubud, bisa juga Anda masuk ke pusat keramaian dan mencari Jalan Sri Wedari Nomor 5, Ubud. Resto ini kreasi Chef Will Meyrick, yang gemar menjelajah Nusantara dan sejumlah negara Asia untuk mencari resep lokal yang otentik. Berjarak sekitar 11 kilometer dari Desa Batuan atau bisa dicapai dalam 30 menit. Suguhan lokal banyak menjadi pilihan, termasuk goreng bebek yang renyah dengan paduan sambal mangga.

Pasar Ubud

Pasar segala ada. Bila datang pagi hari, masih bisa mencicipi jajanannya, juga ada berbagai kebutuhan rumah. Dan bagi turis, tentu yang menarik segala pernak-pernik kreasi para perajin lokal yang bisa menjadi oleh-oleh.

Puri Saren Agung

Tak jauh dari Pasar Ubud, ada pilihan lain untuk mengenal sejarah kerajaan di Bali, yakni Puri Saren Agung, tempat tinggal Raja Ubud. Dibangun oleh Ida Tjokorda Putu yang memerintah pada 1800-1823. Meski berada di keramaian Ubud, di kompleksnya masih dipertahankan nilai-nilai budaya tradisional.

Tari Legong 

Berlokasi di Puri Saren Ubud di malam hari, tepatnya pukul 19.30, Anda bisa menyaksikan pertunjukan pada Sabtu malam berupa pentas tari Legong. Bila sore hari, Anda bisa mengelilingi istana ini, jadi malam hari kembali lagi untuk menyaksikan pertunjukan yang digelar di halamannya. Tiket masuk per orang dipatok Rp 80 ribu.

Desa-desa Gianyar-Bangli Bali dengan Puranya
Pura Tirta Empul di Gianyar, Bali.

HARI KE DUA

Desa Tegalalang 

Tak hanya memiliki sawah dengan sistem terasering yang menarik untuk santapan mata, tapi juga sebagian warga desa merupakan perajin dengan bahan kayu. Kayu albasia atau sengon dibentuk menjadi patung, topeng, atau hiasan lain. Posisi galeri sederet dengan kafe-kafe yang memenuhi pinggiran persawahan yang berada di tepi jalan. 

Ngopi di Bali Pulina 

Tak jauh dari persawahan, ada satu tempat yang menarik untuk mengenal kopi sekaligus menikmati alam. Memang tak ada desa perajin atau kreasi perajin, tapi sayang jika tak mampir ke Bali Pulina. Jenis agrowisata khusus kopi. Anda bisa meneguk kopi sekaligus mengunyah camilan dari pisang atau ketan. Selain mendapat suguhan kehijauan deretan bukit di depan mata.

Pura Tirta Empul

Bisa dicapai dalam 20 menit dari Tegalalang, Anda bisa menikmati kesejukan yang berbeda di pura yang berada di Tampangsiring ini. Terkenal dengan air sucinya, biasanya orang datang untuk penyucian di kolamnya. Udaranya yang sejuk dan air yang dingin begitu menyegarkan. Puranya sendiri merupakan bangunan lawas karena dibangun pada 962 M.

Desa Kayubihi

Yang satu ini termasuk Kabupaten Bangli, tapi posisinya tidak jauh dari Tirta Empul. Bisa dicapai dalam 35-40 menit. Bila masih penasaran dengan desa kerajinan lagi, bisa mampir ke kampung yang dipenuhi dengan pohon bambu ini. Terkenal dengan perajin besek, atau warga Bali menyebutnya sokasi. Benda yang satu ini lekat juga dengan upacara khas Hindu Bali. Sesajen dan perlengkapannya dibawa dalam wadah yang kreasinya kini dibikin lebih memikat dalam warna-warni. Terbuat dari bambu, yang diserut lebih dulu menjadi seutas tali, lantas dianyam membentuk besek dengan tutupnya. Deretan pohon bambu memang menghiasi salah satu sisi jalan raya di desa ini. 

Desa Panglipuran 

Berada tak jauh dari Desa Kayubihi atau bisa dicapai dalam 20 menit, bisa ditemukan salah satu dari desa adat atau Bali Aga. Desa yang menjadi persinggahan terakhir sebelum kembali ke kota asal ini juga termasuk wilayah Kabupaten Bangli. Merupakan desa dengan konsep lawas. Kondisi lama itu dipertahankan, demikian juga bangunan. Beberapa memang sudah rusak tapi diperbaiki. Ada pula yang membuat bangunan baru di lingkungan rumahnya. Tapi penataan desa tetap dipertahankan.

Rita N./Dok.TL