Kelom Geulis Tasik, Keindahan Sejak 1940-an

Kelom geulis Tasik shutterstock

Kelom geulis Tasik diperkenalkan sejak masa kolonial belanda. Lukisan pada sebuah kelom membuatnya tidak sekadar alas kaki, tapi sebuah kerajinan tangan yang bisa menjadi oleh-oleh unik dari ranah Pasundan. Lukisan yang membuatnya tetap bertahan dengan peminat hingga mancanegara.

Kelom Geulis Tasik

Matahari belum sepenggalah pagi, namun suasana sebuah rumah di Dusun Rahayu, Desa Sukahurip, Kecamatan Tamansari, Kota Tasikmalaya, sudah terlihat kesibukan dengan sejumlah bahan kayu. Dua-tiga pemuda setempat terlihat memotong kayu berwarna terang. Mereka tengah membuat alas kelom.

Ya kelom, atau dikenal dengan sebutan kelom Geulis. Ini merupakan salah satu kerajinan khas Tasikmalaya berupa alas kaki perempuan berbahan baku kayu. Kelom diperkirakan diambil dari bahasa Belanda ‘klomp’ yang artinya sandal, atau sandal dari kayu, sedangkan geulis berasal dari bahasa Sunda yang artinya cantik. Orang menyebutnya sandal kayu cantik, karena ia tak cuma sandal dari kayu. Namun tampilan alas kaki dari kayu tersebut tampak indah dengan warna-warni dan ukiran motif yang menarik.

Kelom sendiri, seperti disebut di muka, bukanlah kerajinan asli Indonesia, melainkan dari Belanda. Produk ini diperkirakan diperkenalkan ketika masa kolonial sekitar tahun 1940-1950-an. Kelom sendiri dalam istilah lokal disebut bakiak. Sandal kayu polos dengan pegangan dari bahan karet atau kulit kasar. Saat itu ia hanya berfungsi untuk keperluan sehari-hari di rumah.

Seiring perkembangan zaman dan kreativitas warga lokal, kelompen dimodifikasi dengan penambahan warna dan corak estetik. Kelompen pun “naik derajat” menjadi pelengkap dari sandang untuk bepergian keluar rumah. Ia naik kelas dalam karena punya nilai artistik.

Kelom geulis kemudian tumbuh sebagai produk kerajinan khas Tasikmalaya. Ia dihargai tidak saja karena fungsinya, tapi juga keindahannya sebagai cindera mata. Kelom geulis erat kaitannya dengan satu wilayah yang disebut Gobras, yang menjadi sentra pengrajin kelom geulis sejak dulu. Namun, nama Gobras saat ini tidak lagi tercatat dalam peta administrasi pemerintahan Tasikmalaya karena sudah diganti menjadi Dusun Rahayu. Tidak jelas kapan perubahan nama itu terjadi. Bahkan hingga kini nama Gobras tetap lebih populer dibandingkan nama Dusun Rahayu.

Hingga kini sejumlah rumah di Dusun Rahayu tadi, sejak lama telah menjadi sentra produksi rumahan kelom geulis. Memang tidak seramai awal tahun 1970-an, tapi masyarakat setempat tetap berproduksi.

Seperti pagi itu, selain sejumlah pemuda yang memotong-motong kayu menjadi seukuran batu bata. Bagian lain ada yang bekerja membuat potongan kayu itu berbentuk alas kaki, yang dilanjutkan ke bagian menghaluskannya. Di ruang lain terlihat pula dua tiga orang yang tangannya lincah meliuk-liukkan canting di atas kayu yang sudah berbentuk alas.

Sebut saja Dian, pemuda lokal Tasik, ia tampak asyik melukis pola di atas alas kaki berbahan kayu. Di sudut ruangan lain, beberapa temannya sedang mengerjakan bagian lainnya. Ada yang menggambar pola menggunakan semprotan. Tak lama beberapa pasang alas kaki kayu ini telah terlihat cantik dan siap menjalani proses berikutnya. Tak sampai dua jam, Dian dan teman-temannya menyelesaikan sepasang kelom.

Dian, begitu ia biasa dipanggil, satu di antara sekian banyak pemuda usia produktif di Tasikmalaya yang menghidupi diri sebagai perajin kelom. Saat ini ia menjadi karyawan di salah satu sentra kelom berlabel di di Dusun Rahayu, Tasikmalaya. Sentra kelom ini sesungguhnya belum terlalu lama, baru sekitar 20 tahunan menggeluti usaha pembuatan kelom dengan skala industri rumahan.

Pemiliknya sendiri, sebut namanya Juhana, mulanya sama seperti Dian, berawal dari mendesain dan membuat bagian kelom di sebuah sentra. Kini ia seorang juragan. Sebuah pola yang khas industri rumahan.

Sebagai seorang yang mengerti betul dunia perkeloman, Juhana sangat paham apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan yang terbaik. Soal pemilihan bahan baku, misalnya, ia mengaku selalu berusaha menggunakan kayu mahoni. Kuat tapi mudah dipoles adalah kelebihan nomor satu kayu jenis ini. Hampir seluruh proses pembuatan juga melibatkan manusia karena membutuhkan ketelatenan. Mulai pemotongan kayu, penyerutan, pengeringan, pengecatan, penjahitan, hingga sentuhan akhirnya.

Juhana mengungkapkan ada alasan tertentu kenapa corak kelom pada umumnya cenderung berwarna-warni dan terkesan genit. Mayoritas alas kaki ini memang menyasar kaum hawa yang sangat sensitif dalam urusan penampilan. “Kelom untu perempuan ini bisa mencapai 90 persen dari total produksi,” ucapnya sambil bercerita ada juga produksi untuk pria yang sering disebut sebagai kelom kasep. Ini untuk menyebut “cakep” bagi pria di masyarakat Sunda.

Seperti layaknya industri rumahan lainnya, meskipun sudah menjadi juragan, Juhana kadang masih turun langsung membuat kelom. Selain untuk merawat keahlian, itu ia lakukan untuk menjaga mutu produksi. Usahanya saat ini mampu merambah pasar luar negeri, terutama ke Jepang. Namun, secara umum, kelom Tasik sudah merambah lintas benua, terutama Asia dan Eropa. Jika sedang menerima order ekspor, industri rumahan ini bisa memproduksi sampai 100 pasang kelom per hari dan akan turun setengahnya dalam kondisi normal.

Juhana bercerita bahwa beberapa alas kaki dengan bahan kayu dengan merek terkenal yang banyak dijumpai di pusat perbelanjaan di kota-kota besar Indonesia, sebenarnya hasil karya perajin kelom di Tasikmalaya, termasuk dirinya. Ya, Tasik memang sudah lama kondang sebagai penghasil komoditas seperti alas kaki. Uniknya, bahkan tas tangan wanita pun kadang bagian bawahnya diberi bentuk seperti alas kaki. Ini seakan ingin menunjukkan tas tersebut karya sentra produksi kelom Tasik.

*****

Masyarakat Tengger di Bromo, 2 Abad Kearifan Lokal

Pegunungan Semeru dengan latar depan Gunung Bromo. Foto husniati salma unsplash

Masyarakat Tengger di Bromo, biasa disebut wong Tengger atau wong Brama, adalah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi sekitaran kawasan pegunungan Bromo-Semeru, Jawa Timur.   Penduduk suku ini menempati sebagian wilayah kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Probolinggo, dan Kabupaten Malang.

Masyarakat Tengger di Bromo

Di sebuah pagi yang dingin berkabut segerombolan anak bermain di jalanan Desa Ngadisari, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Beberapa anak di antara bocah cillik yang pipinya bersemu merah terlihat memiliki rambut berbeda. Sekilas seperti potongan rambut yang sengaja dibuat gimbal layaknya gaya anak-anak muda perkotaan yang meniru penyanyi reggae Bob Marley. Bahkan ada yang dibiarkan panjang dibuat buntut. Berlarian di antara rumah-rumah berdinding kayu bercat warna-warni.

Desa Ngadisari merupakan gerbang menuju kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Di desa ini lah masyarakat Tengger menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang. Umumnya mereka beragama Hindu.

Pada 100 tahun sebelum masehi, penganut Hindu Waisya yang beragama Brahma tinggal di daerah pesisir. Seseiring masuknya agama Islam di Jawa pada 1.426 M, mereka terdesak dan mencari tempat yang sulit terjangkau oleh pendatang. Pegunungan Tengger menjadi pilihan mereka yang akhirnya membuat kelompok yang dikenal dengan Tiang Tengger (orang Tengger).

Masyarakat Tenger di Bromo

Mitos lainnya, suku Tengger merupakan keturunan terakhir dari peradaban Majapahit. Mereka adalah keturunan Roro Anteng, putri Raja Brawijaya dan Joko Seger putra seorang Brahmana. Nama Tengger diambil dari akhir nama kedua pasangan itu, yaitu ’Teng’ dari Roro Anteng dan ’Ger’ dari Joko Seger.

Asal muasal upacara Kasodo juga berawal Roro Anteng dan Joko Seger yang berjanji menyerahkan putra terakhir mereka kepada Dewa. Sampai saat ini suku Tengger masih teguh menjunjung tinggi adat-istiadat Hindu lama. Budaya yang ditinggalkan nenek moyang tetap dilestarikan walau  kunjungan wisatawan dari berbagai belahan bumi tidak pernah berhenti setiap harinya.

Kepercayaan yang tinggi terhadap ajaran leluhur menanamkan nilai-nilai luhur dan mengajarkan toleransi dalam memandang keberagaman. Masuknya beragam agama, bagi mereka merupakan konsekuensi bahwa Suku Tengger hidup di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah dan berkembang. Berkembangnya zaman dan semakin beragamnya agama tidak juga melunturkan adat istiadat yang selalu dipegang teguh masyarakat Tengger. Masyarakat tetap melaksanakan ritual adat yang sedari dulu diturunkan leluhur mereka, seperti Pujan, Melasti, Piodalan, Entas-entas, Unan-unan, Karo, hingga yang banyak dikenal yaitu Yadnya Kasada.

Maka tidaklah aneh jika kemudian ada kubah mesjid, salib, mau pun patung Budha terlihat di sebuah desa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Di desa yang di kala menjelang pagi suhunya mencapai 10 derajat Celcius, terlihat sebuah kearifan lokal yang menunjukkan toleransi terhadap keberagaman.

Lalu kapan sebaiknya kita mengadendakan kunjungan ke Bromo? Seharusnya, bulan-bulan Juni-Agustus saat memasuki musim kemarau adalah waktu terbaik datang ke tempat ini. Umumnya saat itu cuaca cukup cerah, sehingga salah satu agenda menikmati atraksi matahari terbit dengan latar pegunungan Bromo-Semeru bisa jelas.

Namun, karena pengaruh pemanasan global, perubahan cuaca kadang kala menjadi tidak pasti. Pagi terang benderang, siang hari hujan turun begitu deras. Atau sebaliknya. Pun, terkadang meskipun curah hujan tidak begitu tinggi, namun cuaca tidak bersahabat. Pemandangan matahari terbit di Penanjakan walapun tetap terlihat indah, tapi bukan sunrise yang terindah.

Selain soal waktu, hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah cara pencapai kawasan Bromo. Ada banyak pilihan, mulai dari jalur udara, jalan darat dengan moda kereta api, atau menggunakan jalan darat. Baik menumpang bus atau kendaraan pribadi.

Bila memilih kereta api, wisatawan bisa memilih menuju kota Malang terlebih dahulu, baru ke Bromo. Atau, pilihan lain, berangkat ke Surabaya lalu dilanjutkan ke Bromo. Beberapa kereta dari Jakarta yang bisa membawa ke Malang antara lain kereta ekonomi Jayabaya maupun Matarmajaya. Untuk kereta dari Jakarta ke Surabaya pilihannya lebih banyak lagi, mulai dari kelas ekonomi hingga kereta eksklusif. Tergantung budget yang disiapkan.

Dari stasiun Malang, perjalanan bisa dilanjutkan dengan angkutan umum ke Bromo dari Terminal Arjosari. Dari terminal ini, wisatawan menuju Terminal Bus Bayuangga di Probolinggo dan berganti angkutan desa ke Cemoro Lawang, Ngadisari.

Jika pilihannya melalui Surabaya, nantinya dari kota ini wisatawan menyambung perjalanan menggunakan kereta ke Probolinggo. Dari Stasiun Probolinggo perjalanan sama seperti dari Malang, bisa naik angkutan kota ke Terminal Bus Bayuangga untuk ganti angkutan desa ke arah Cemoro Lawang, ke arah Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura sebagai titik masuk ke wilayah Gunung Bromo. Ada baiknya, wisatawan tiba di Terminal Bayuangga sebelum sore, karena makin sore jumlah kendaraan umum semakin sedikit.

Di Ngadisari, wisatawan bisa menikmati suasana pegunungan dan bertemu dengan masyarakat Tengger yang umumnya bercocok tanam. Perbincangan umumnya menyenangkan, karena mereka adalah masyarakat yang terbuka.

Kalau ingin sesekali menikmati matahari terbit di Penanjakan, wisatawan bisa memilih menyewa jip atau sepeda motor. Jika perjalanan dilakukan lebih dari 3 orang, lebih murah kalau sewa jip. Tapi bila yang melakukan perjalanan hanya sendiri atau berdua, lebih hemat jika menyewa sepeda motor.

****

10 Kampung Batik, Semua Unik Dan Khas

10- Kampung Batik Andreas Hie shutterstock

10 kampung batik di pulau Jawa ini mungkin bisa menjadi panduan bagi para pelancong ketika jalan-jalan dan mencari oleh-oleh. Kesepuluhnya memiliki keunikan dan kekhasannya masing-masing.

10 Kampung Batik

Batik Indonesia sejak 2 Oktober 2009 telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya. Sejak itu, industri batik Indonesia semakin berkembang pesat. Itu juga membesarkan sentra-sentra dan kampung-kampung batik di berbagai daerah di Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, sentra industri kreatif batik tidak hanya mendatangkan potensi di subsektor fashion saja, banyak potensi lain muncul dengan menjadikan pusat-pusat pengrajin batik sebagai destinasi wisata budaya. Berikut ini adalah 10 kampung batik yang ada di Pulau Jawa.

10 kampung batik di Pulau Jawa bisa menjadi pilihan untuk oleh-oleh.
Aeka batik Indonesia bisa didapat di kampung-kampung batik di Pulau Jawa. Foto: shutterstock

Kampung Batik Palbatu Jakarta

Dimulai dari ujung Barat Pulau Jawa, kampung batik juga terdapat di kawasan ibukota, yakni di Palbatu, Jakarta. Pusat batik ini diberi nama Kampung Batik Palbatu yang berlokasi di Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Meski tergolong masih baru, kampung batik Palbatu telah menorehkan dua rekor MURI, yaitu jalan batik terpanjang dan rumah warga yang paling banyak dilukis motif batik.

Di sentra batik Palbatu terdapat sebuah sanggar yang dijadikan tempat bagi wisatawan belajar membatik. Ciri khas dari sentra batik ini adalah motif batik Betawi. Hal ini pun yang melatarbelakangi berdirinya sentra batik Palbatu, yaitu melestarikan motif batik Betawi.

Kampung Batik Trusmi Cirebon

Selanjutnya 10 kampung batik ada Batik Trusmi Cirebon. Sejak dulu Cirebon dikenal sebagai salah satu pusat pengrajin batik terbaik di Indonesia. Sentra Batik Trusmi terletak di kawasan Plered, atau sekitar empat kilometer sebelah barat Kota Cirebon. Terletak tak jauh dari jalur utama Pantura, membuat sentra batik ini mudah diakses oleh wisatawan.

Berburu batik bisa diawali ke kampung batik Cirebon, tepatnya ke Trusmi.
Batik Trusmi Cirebon, salah satu kampung batik. Foto: shutterstock

Kampung batik Trusmi sendiri merupakan sebuah desa yang dihuni oleh para pengrajin batik di Cirebon. Hingga saat ini, terdapat lebih dari 3.000 pelaku industri kreatif di sana. Motif batik premium di kawasan ini adalah motif Batik Mega Mendung dan Paksi Naga Liman. Wisatawan dapat memasuki daerah sentra batik Trusmi dan belajar membatik langsung dari para pengrajin batik.

Kampung Batik Kauman Pekalongan

Pekalongan merupakan salah satu kota yang tersohor akan kualitas batiknya. Pekalongan telah diresmikan sebagai sentra batik sejak 2007. Selain berhasil membuat berbagai batik berkualitas, Kampung Kauman Pekalongan sukses menjadi desa wisata nasional.

Di kawasan ini ada berbagai macam motif batik, dan dibuat dengan berbagai teknik, mulai dari tulis, cap, maupun kombinasi keduanya. Keunikan batik Pekalongan adalah motifnya yang banyak dipengaruhi oleh budaya Arab, Tionghoa, Melayu, India, Jepang, hingga Belanda.

Kampung Batik Kauman tidak hanya menjadi destinasi wisata budaya, namun juga salah satu 10 kampung batik pusat berbelanja batik Indonesia yang orisinal. Sama seperti pusat batik lain, di kawasan ini wisatawan juga diperbolehkan untuk belajar membuat batik sendiri dengan bimbingan pengrajin.

Kampung Batik Semarang

Masih di wilayah Jawa Tengah, satu dari 10 kampung batik juga terletak di kawasan Semarang. Kawasan Kampung Batik Semarang berlokasi di dekat Kota Lama dan Pasar Johar. Kampung batik ini berfungsi sebagai pusat produksi motif baru yang mencerminkan Kota Semarang.

Selain menjadi pusat pembuatan batik, sentra batik ini juga dibuka untuk kunjungan wisatawan. Untuk menarik wisatawan, sentra batik Semarang dihias menggunakan lukisan dinding bermotif batik yang menambah keindahan dan menarik perhatian.

6 FASHION BATIK shutterstock 1272244444 Khafidmufriyanto df485d6760
Perajin batik tulis di Yogyakarta. Foto: shutterstock

Kampung Batik Giriloyo Yogyakarta

Yogyakarta merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang sangat identik dengan budaya membatik. Satu dari 10 kampung batik tulis khas Keraton Yogyakarta berada di kampung batik tulis Giriloyo. Suasana industri kreatif kriya di daerah ini sangat kental terasa, karena hampir 90 persen penduduknya berprofesi sebagai pengrajin batik.

Lokasi sentra batik ini berada di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Di samping mengembangkan ekonomi kreatif pada subsektor kriya, kampung batik Giriloyo juga menyediakan paket pendidikan pariwisata batik. Paket ini menawarkan perjalanan wisata ke rumah-rumah tradisional dan makam raja-raja Mataram di puncak Bukit Imogiri.

Kampung Batik Laweyan Solo

Sama dengan Yogyakarta, Surakarta juga memiliki beberapa kampung batik yang dapat dikunjungi wisatawan. Sentra batik yang paling banyak menarik minat wisatawan adalah kampung batik Laweyan. Perjalanan industri kriya di Laweyan sudah dimulai sejak abad ke-19. Hingga saat ini kampung batik Laweyan telah memproduksi sekitar 250 motif batik khas dan telah dipatenkan.

Sebagian besar penduduk di Laweyan bekerja sebagai pengrajin batik dan distributor. Selain bergerak dalam industri kriya, masyarakat setempat juga mengembangkan bisnis pariwisata, yakni dengan menyediakan paket wisata lokakarya membatik.

Kampung Batik Girli Kliwonan Sragen

Berlokasi tidak jauh dari Kota Surakarta, wisatawan juga dapat mengunjungi kampung batik Girli Kliwonan di Sragen. Nama Girli diambil dari letak sentra batik ini yang berada di pinggir Sungai Bengawan Solo.

Karya batik yang dihasilkan di lokasi ini identik dengan warna hitam kecokelatan dengan motif geometris, bintang-bintang, bunga, dan corak khas lainnya. Saat ini, masyarakat di kampung batik Girli Kliwonan Sragen tidak hanya berprofesi sebagai pengrajin batik, namun juga mengembangkan bisnis homestay.

Sentra Batik Lasem Rembang

Memiliki motif yang khas, membuat sentra batik Lasem Rembang sangat direkomendasikan untuk dikunjungi. Batik Lasem memiliki ciri khas warna merah, biru, dan hijau tua yang menunjukkan kesan berani. Sedangkan motifnya tergolong sangat kompleks dibandingkan jenis batik lainnya.

Namanya yang kesohor mengantarkan batik Lasem sebagai salah satu komoditi ekspor Indonesia. Wisatawan dapat mengunjungi sentra batik ini untuk sekadar belajar membatik atau membeli batik langsung dari pengrajin.

Kampung Batik Jetis Sidoarjo

Beranjak ke Jawa Timur, ada pusat industri kreatif batik Indonesia, yakni kampung batik Jetis Sidoarjo. Sentra batik ini berlokasi di Desa Lemahputro, Sidoarjo. Masyarakat setempat sudah bergelut dengan industri kriya batik sejak 1970-an.

Batik Jetis memiliki kekhasan dari warna yang berani, seperti merah, biru, kuning, dan hijau. Sedangkan motif yang terkenal dari batik Jetis ini adalah motif burung merak. Serupa dengan sentra batik lainnya, wisatawan dapat berkunjung ke wilayah ini untuk belajar mengenai batik, sekaligus berbelanja langsung dari tangan pengrajin.

Kampung Batik Putat Jaya Surabaya

Kawasan yang dahulu terkenal sebagai pusat hiburan malam di Surabaya kini beralih fungsi sebagai kampung batik populer. Karena sempat terkenal dengan nama Gang Jarak, motif yang dikembangkan di sentra batik ini juga bertemakan nama tersebut, yakni daun dan buah jarak.

Lokasi kampung batik ini berada di Gang 8B, Putat Jaya, Surabaya. Jenis industri kreatif yang dikembangkan di area ini selain membuat seni kriya adalah paket wisata dan workshop.

agendaIndonesia/kemenparekraf

*****

Getuk Trio Magelang, Manis 5 Lapis

Getuk Trio Magelang menjadi oleh-oleh khas kota di lereng Bukit Tidar ini.

Getuk Trio Magelang senantiasa tampil unik dan manis dalam lima lapis dan tiga warna khasnya. Aslinya ini adalah ragam jenis getuk lindri. Makanan tradisional berbahan dasar singkong ini sudah umum dikenal sebagai salah satu penganan dan oleh-oleh khas kota Magelang dan telah lama menjadi bagian penting dari budaya warga kota sejuta bunga ini.

Getuk Trio Magelang

Getuk umumnya terbuat dari singkong yang direbus dan dihaluskan dengan cara digiling atau ditumbuk, kemudian diberi gula dan pewarna makanan. Terkadang getuk juga diberi tambahan parutan kelapa sebagai pelengkap. Konon makanan ini tercipta pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1940-an.

Getuk Trio Magelang kemasannya tak pernah berubah sejak puluhan tahun lalu.
Getuk Trio Magelang terdiri dari lima lapis yang manis. Foto: Dok. Getuk Trio

Kala itu, bahan pangan pokok seperti beras sangat langka dan tidak terjangkau oleh masyarakat kelas bawah. Kemudian sebagai substitusi beras, banyak warga Magelang yang membuat, membeli dan mengonsumsi getuk, karena saat itu singkong lebih murah dan mudah ditemui.

Cerita Getuk Trio sendiri dimulai pada 1958. Hendra Samadhana, sang pendiri, sebelumnya bekerja sebagai pemilik bengkel. Namun melihat popularitas getuk sebagai penganan khas warga Magelang, Jawa Tengah, yang terus naik, terbersit niatnya untuk membuat produk getuk yang tak hanya diminati kalangan kelas bawah, tapi juga menengah ke atas.

Lantas bersama istrinya, Setiawati, ia mulai berkreasi membuat getuk yang unik dan spesial dari getuk lain yang sudah ada. Menggunakan perkakas dan komponen yang ada di bengkel, ia membuat mesin penggiling singkong agar hasilnya getuk bisa lebih halus dan lembut.

Selain itu, Hendra dan Setiawati  juga memberikan satu ciri khas pada getuk buatannya: tiga warna berbeda berupa coklat, putih dan merah muda. Ciri ini pula yang terus dipertahankan hingga kini.

Pemilihan ciri khas tiga warna tersebut bukan tanpa sebab. Ketiga warna itu melambangkan ketiga anak mereka, serta usaha bengkel dan toko kelontong milik keluarga mereka yang kebetulan sama-sama bernamakan ‘Trio’. Dari situlah pula nama Getuk Trio lahir.

Mulanya, sang istri menjajakan getuknya kepada orang tua teman anak-anaknya di sekolah. Mulai mendapat respon bagus dan minat yang tinggi, Getuk Trio mulai dititipkan lewat beberapa toko roti di Magelang. Secara kebetulan, salah satu toko roti tersebut merupakan langganan dari Akademi Militer (Akmil) Magelang, sehingga getuk mereka pun mulai populer di kalangan Akmil, utamanya jika sedang ada perhelatan tertentu.

Pada 1960, Ratu Thailand pada saat itu, Ratu Sirikit, tengah melakukan kunjungan ke Akmil. Toko roti tersebut pun seperti biasanya didaulat untuk menyediakan konsumsi makanan pada acara mereka.

Salah satu makanan yang dihidangkan adalah Getuk Trio, dan ketika Ratu Sirikit mencobanya, ia berdecak kagum dan mengaku sangat menyukai penganan tersebut. Sampai-sampai, Getuk Trio Magelang pernah dijuluki ‘getuk Sirikit’ kala itu.

Publisitas tersebut mengangkat pamor produk Hendra itu sebagai salah satu getuk terpopuler di Magelang. Lebih hebatnya lagi, getuk lainnya secara umum juga ikut terangkat kodratnya dari pengganti makanan pokok warga kelas bawah menjadi kudapan masyarakat menengah ke atas. Getuk tak lagi hanya identik sebagai makanan ‘murahan’ dan mulai diminati banyak kalangan, bahkan semakin banyak merek-merek baru penjual getuk bermunculan.

Menghadapi persaingan yang semakin marak, Getuk Trio Magelang dapat terus bertahan sampai sekarang dengan kualitasnya yang selalu terjaga. Beberapa upaya mempertahankan kualitas tersebut terlihat dari pemilihan singkong yang digunakan selalu berumur maksimal satu tahun. Selain itu, singkong yang digunakan juga khusus jenis Singkong Kinanti yang diklaim punya cita rasa manis secara alami.

Satu hal yang juga perlu diperhatikan, khususnya bagi yang ingin membeli untuk oleh-oleh, Getuk Trio tidak menggunakan bahan pengawet, agar tidak mengganggu cita rasa aslinya. Karena itu orang harus maklum jika makanan ini biasanya hanya awet sekitar dua sampai tiga hari.

Sangat dianjurkan untuk dikonsumsi segera atau dibawa dalam perjalanan tak lebih dari sehari. Ini juga membuat pengiriman ke luar kota dan terlebih ke luar negeri menjadi agak sulit. Pada kemasan, bisanya tertempel tanggal produksinya. Alias tanggal saat dijual. Mereka selalu mengingatkan getuknya harus habis sebisa mungkin 24 jam setelah pembelian.

Saat ini, bisnis Getuk Trio dijalankan oleh sang anak, Herry Wiyanto, selepas wafatnya sang ayah. Sentra penjualannya kini terdapat di Jalan Mataram, Magelang, dengan satu cabang di Jalan Tentara Pelajar. Selain itu, mereka juga masih menjaga kemitraan dengan toko roti dan penganan lainnya seperti toko Mekar; toko Sari Rasa; toko Lezat; toko Endang Jaya; toko Barokah Agung; toko 88; toko Tape Ketan Muntilan, dan beberapa lainnya.

Getuk Trio biasanya dikemas dalam kotak karton, dengan harga bergantung dari berapa isi di dalamnya. Kotaknya sendiri masih berdesain sama dari ketika dulu produk ini mulai dijual untuk umum. Alasannya demi melestarikan jati diri dan sejarahnya sebagai salah satu merk top getuk Magelang. Yang cukup umum dibeli oleh konsumen adalah satu kotak isi 12 atau 16 buah yang harganya sekitar Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu.

Berita baiknya, toko-toko resmi Getuk Trio kini juga menjadi pusat oleh-oleh dan turut menjajakan berbagai jenis penganan lainnya, seperti wajik, tape ketan, ledre pisang, roti jahe, dan lain lainnya. Semakin memudahkan bagi wisatawan yang sedang mencari oleh-oleh, bisa langsung datang dan mendapatkan segala macam produk penganan di satu tempat.

Toko di Jalan Mataram buka dari jam 08.00 hingga jam 17.30, sementara cabang Jalan Tentara Pelajar buka dari jam 08.30 sampai jam 18.00. Dalam seminggu, mereka selalu buka kecuali pada hari Selasa. Untuk pemesanan atau info lebih lanjut dapat menghubungi mereka, atau mengunjungi situs resmi getuktrio.co.id dan laman Instagram resmi @getuktrio58.

Getuk Trio Magelang

Jl. Mataram no. 47, telp. (0293) 363536

Jl. Tentara Pelajar no. 58, telp. (0293) 364538

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

3 Hari Seputar Medan: Sejarah, Belanja dan Kuliner

Istana Maimu Medan nizar kauzar unsplash

3 Hari seputar Medan kita bisa menikmati paket lengkap sebuah liburan. Mulai dari mengenal sejarah, hewan liar, tempat ibadah, serta tentunya menikmati sajian laut.

3 Hari Seputar Medan

Luas Sumatera Utara memang luar biasa, yaitu 72.981,23 kilometer persegi. Itu mencakup 33 kota dan kabupaten. Untuk mengenal semua obyek wisata di provinsi ini memang diperlukan waktu panjang dan tekad bulat. Selain luas, wilayahnya dipenuhi kelokan dan perbukitan, membuat perjalanan berlangsung lebih lama dibanding dengan kota-kota yang lebih memiliki jalan rata dan lurus.

Bila hanya memiliki waktu sehari, pilihan Anda adalah mengunjungi obyek wisata di dalam Kota Medan. Jika mempunyai waktu hingga dua hari, pada hari kedua Anda bisa meluncur ke Berastagi. Sebelum kembali ke kota asal di hari ketiga, bila menggunakan kendaraan roda empat, Anda juga bisa menikmati pantai-pantai yang berada tidak jauh dari bandara baru, Kuala Namu, di Deli Serdang.

Hari Pertama: Tjong A Fie, Satwa Liar, dan Belawan

Anda sebaiknya memilih penerbangan pagi dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, semisal pukul 7 pagi. Jadi, kegiatan melancong bisa langsung dimulai di hari pertama. Setelah menaruh koper atau ransel di penginapan di Medan, mulailah perjalanan dengan menuju obyek wisata dalam kota, yakni Rumah Tjong A Fie.

Terletak di pusat kota, atau tepatnya di Jalan Ahmad Yani, Kesawan, Medan, rumah milik pengusaha asal Cina ini masih berdiri kokoh dan terawat di lingkungan bangunan tua. Sebagian besar bangunan bisa dicermati turis dengan membayar tiket masuk Rp 35 ribu per orang. Masih ada bangunan yang ditinggali cucu-cucu dari bankir yang hidup antara 1860 dan 1911 itu. Mengelilingi rumah tersebut, kita seperti mempelajari sejarah awal perkembangan Kota Medan.

Berkeliling selama satu jam rasanya cukup. Kemudian, Anda bisa singgah di resto untuk makan siang. Tujuan berikutnya adalah Rahmat International Wildlife Museum & Gallery di Jalan S. Parman Nomor 309, yang menampilkan beragam jenis satwa dari berbagai negara. Tercatat ada sekitar 1.000 spesies serangga dan hewan liar di tempat ini. Galeri tersebut dimiliki pengusaha Rahmat Shah, yang gemar berburu. Untuk mengamati hewan-hewan yang ditempatkan di tiga lantai itu, pengunjung harus mengeluarkan uang Rp 25 ribu.

Jika masih ingin bertemu dengan hewan liar, silakan langsung melaju ke Taman Buaya di Kelurahan Asam Kumbang, Kecamatan Medan Selayang. Dengan membayar tiket masuk seharga Rp 6 ribu, wisatawan bisa menemukan berbagai buaya, dari yang kecil hingga yang berusia 40 tahunan, dalam bak khusus. Selain itu, ada kumpulan buaya yang berendam dalam sebuah danau. Taman Buaya ini didirikan oleh Lo Than Mok pada 1959. Sebelum sore menjelang, Anda perlu beranjak dari sana agar bisa menikmati wisata belanja di Belawan.

Ada deretan toko di Jalan Simalungun dan Jalan Veteran Belawan yang sering diburu para turis penggemar barang bermerek. Yang paling menonjol tentu saja kerajinan keramik, terutama guci yang tingginya mencapai 2 meter dengan harga berkisar Rp 15 juta rupiah. Selain itu, ada produk keramik mini senilai Rp 35 ribu. Pelancong yang gemar tampil wah, biasanya mencari aksesori, seperti tas, sepatu, dan ikat pinggang. Puas berbelanja, saatnya untuk menyantap ikan laut yang memang menjadi hidangan khas Belawan. Anda bisa mencicipi kepiting, kerang, dan sejenisnya. Setelah perut kenyang, tinggal kembali ke hotel untuk beristirahat.

Hari Kedua: Berastagi, Pagoda, dan Wihara

Setelah menikmati sarapan, wisatawan sebaiknya langsung melaju ke Berastagi untuk menikmati kesejukan kota yang berada pada ketinggian 1.220 meter di atas permukaan laut itu. Ada gunung cantik di sekitarnya, yakni Gunung Sibayak. Sejatinya ada dua, satunya adalah Guung Sinabung. Sayangnya beberapa tahun terakhir Sinabung dalam situasi waspada setelah erupsi. Jika situasi aman, bisa juga meluncur ke

 Danau Lau Kawar di kaki Gunung Sinabung. Dalam perjalanan menuju danau ini, Anda akan melintasi kebun-kebun sayur.

Terdapat arena berkemah di Lau Kawar. Bila ingin mengelilingi danau, pengunjung bisa menyewa perahu dengan tarif Rp 10 ribu. Obyek wisata ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Karo, yang biasanya ramai di akhir pekan atau masa libur. Jika masih ingin menikmati pemandangan serba hijau, saat kembali ke arah Berastagi, mampirlah ke Bukit Gundaling. Bukit itu berjarak sekitar 3 kilometer dari pusat kota. Sebenarnya, paling tepat Bukit Gundaling disinggahi pada malam hari. Sebab, dari lokasi inilah bisa dilihat kerlap-kerlip Kota Berastagi dan Karo.

Melaju ke arah Medan, masih ada satu lokasi lagi yang menarik dikunjungi, yakni Taman Alam Lumbini. Di taman tersebut, replika Pagoda Shwedagon menyeruak di antara kebun sayur dan tampak mencolok dalam warna keemasan. Replika pagoda itu benar-benar mempesona karena warna dan bentuk bangunan yang khas. Untuk mencermati tempat ibadah umat Buddha dan taman di sekelilingnya, yang berada di Desa Tongkeh Kecamatan Dolat Rakyat, Kabupaten Karo, tidak dipungut biaya.

Puas dengan kesegaran udara di Berastagi dan beres mengisi perut, waktunya kembali ke Medan. Masih ada yang bisa ditengok di kota ini, seperti Istana Maimun, gedung-gedung tua, dan klenteng. Pengunjung pun bisa menghabiskan sore hari di sekitar Maha Vihara Maitreya, yang terletak di Perumahan Cemara Asri, Jalan Boulevard Utara, Medan.

Sebagai salah satu wihara terbesar di Asia Tenggara, Maha Vihara Maitreya ramai dikunjungi tidak hanya oleh umat Buddha, tapi juga penganut agama lain. Apalagi wihara yang berdiri di atas lahan 4,5 hektare itu berada di lingkungan yang asri, yang dipenuhi pepohonan dan taman sebagai tempat persinggahan burung bangau pada sore hari. Di salah satu sisi taman itu, bisa ditemukan aneka jajanan.

Ketika langit mulai gelap, saatnya untuk beranjak. Wisatawan memiliki pilihan bersantap di resto yang berada tidak jauh dari wihara. Berbagai warung makan berderet, menyediakan beragam hidangan laut. Atau, pengunjung bisa menuju pusat kuliner di Jalan Wajir atau Jalan Kolonel Sugiono di tengah Kota Medan. Rata-rata warung di kawasan ini pun menawarkan hidangan laut yang segar dengan bumbu melimpah. Berada di emperan toko, warung-warung ini hanya buka di malam hari.

Hari Ketiga: Wisata Kuliner dan Pantai Sekitar Kuala Namu

Untuk mencapai Bandara Kuala Namu dari Medan, sebaiknya wisatawan menggunakan kereta api. Namun bila memiliki waktu luang di hari ketiga, sebelum kembali terbang ke Jakarta atau kota lain, pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat serta mampir menjajal wisata kuliner dan bahari. Setelah membeli aneka oleh-oleh di pusat kota, dapat singgah untuk melahap makan siang di rumah makan Wong Rame, Jalan Raya Tanjung Morawa. Tidak hanya dikenal dengan hidangan ikan bakar, seperti ikan patin, gurame, ataupun bawal, tapi ada juga minuman spesial, yakni jus durian. Bila tidak sedang musim durian, harga per gelas jus spesial itu dipatok Rp 25 ribu.

Jika ingin menikmati pantai, ada dua pilihan yang bisa disinggahi, yakni Pantai Pondok Permai dan Pantai Cermin, yang bersisian. Masuk dalam wilayah Serdang Bedagai, yang bersebelahan dengan Deli Serdang, kedua pantai itu memiliki fasilitas liburan yang lengkap berupa wahana bermain dan resor.

Atau di hari terakhir, bagi para pencinta kopi, dijadikan kesempatan untuk menikmati kopi Sidikalang yang menjadi ciri khas Sumut. Bisa menjajal seduhan kopi di kedai kopi lawas di Jalan Hindu.

Rita N./Dhemas R./Dok. TL

Kerajinan Kulit Manding, Besar Sejak 1958

Kerajinan kulit Manding, Bantul, Yogyakarta, dengan ikon patungnya. Foto: Kemenparekraf

Kerajinan kulit Manding di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, adalah salah satu yang legendaris serta sarat sejarah. Di seluruh desa ini penduduknya bekerja dalam industry kreatif kerajinan kulit. Lokasinya tepatnya di Dusun Manding, Desa Sabdodadi, Bantul.

Kerajinan Kulit Manding

Di jalan Parangtritis sebuah gerbang menyambut wisatawan yang hendak berkunjung ke dusun ini. Sepajang jalan sejak gerbang di kanan kiri terhampar gerai-gerai yang menawarkan produk kulit.

Kerajinan kulit Manding di Bantul, menjadi sentra kerajinan kulit terbesar di Yogyakarta.
Gerbang masuk ke Sentra Kerjainan Kulit Manding di Bantul. Foto: Dok. Kabupaten Bantul

Sentra kerajinan kulit Manding ini disebut sarat sejarah karena industri kulit ini sudah eksis sejak tahun 1950-an. Semua bermula dari tiga orang pemuda dusun Manding bernama Prapto Sudarmo, Ratno Suharjo dan Wardi Utomo yang pada tahun 1947 pergi ke pusat kota Yogyakarta. Mereka melihat perajin yang membuat pelana dari kulit di kawasan Rotowijayan, yang kini menjadi Museum Kereta Keraton.

Merasa tertarik dengan seni kerajinan kulit tersebut, mereka lantas melamar bekerja di tempat itu. Setelah 11 tahun lamanya mereka bekerja di sana, akhirnya dengan pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan, mereka kemudian memberanikan diri untuk membuka usaha kerajinan kulit sendiri di dusun mereka pada 1958.

Berbekal bahan kain bekas, mereka mulai membuat sendiri produk kerajinan kulit seperti sepatu, tas, ikat pinggang, dompet, jaket dan lain-lainnya. Dari tiga serangkai tersebut, semakin banyak warga dusun Manding yang ikut tertarik dengan usaha kerajinan kulit ini. Puncaknya, pada 1970-an bisnis ini mulai mengemuka dan karya kerajinan kulit Manding mulai dikenal banyak orang.

Barang-barang hasil produksi warga dusun Manding tersebut awalnya diperjualbelikan di Pasar Ngasem, tetapi karena semakin diminatinya produk-produk ini oleh wisatawan dalam dan luar negeri, serta terus bertambahnya perajin dari dusun tersebut yang membuka usahanya, akhirnya pada tahun 1980-an mereka mulai membuka toko-toko sendiri di dusun Manding.

Pada perkembangannya, industri rumahan ini bukannya tanpa tantangan zaman. Seiring maraknya barang-barang sejenis dengan bahan serupa atau berbeda-beda seperti kain, plastik dan sebagainya yang menyerbu pasaran, tentu tidak mudah menarik perhatian lebih banyak konsumen.

Begitupun mereka menjawabnya dengan menyajikan produk yang punya kualitas dan keunikan tersendiri dibanding pesaingnya, misalnya dengan penggunaan kulit sapi, kambing dan domba yang berkualitas, untuk menjamin keawetan produk.

Salah satu karakteristik lain yang dimiliki produk kulit Manding yaitu penggunaan teknik ‘tatah timbul’ yang memberikan efek timbul pada bagian kulit yang diukir para perajinnya. Ini kemudian menjadi salah satu ciri khas produk kerajinan kulit Manding.

Ditambah lagi dengan jahitannya yang menggunakan tangan, serta bagaimana mereka memadukan kulit dengan bahan-bahan lainnya seperti serat pandan, lidi, eceng gondok dan lain-lain. Alhasil, dengan kualitas dan kreatifitas produk yang dapat bersaing dengan produk lain, namun dijajakan dengan harga yang relatif miring, membuat produk kerajinan kulit Manding mempunyai daya tarik sendiri.

Perjalanan mereka tak selamanya mulur. Industri kerajinan kulit Manding juga sempat dilanda musibah ketika gempa bumi menggoyang keras Yogyakarta pada 2006 silam. Utamanya bagian selatan Yogya, termasuk kawasan Bantul, yang membuat dusun Manding turut porak poranda.

Namun berkat banyaknya bantuan donatur, terutama Bank Indonesia yang menjadikan dusun Manding sebagai desa binaan, serta maraknya lahan-lahan yang disewakan di sekitar dusun Manding, tak butuh waktu lama bagi industri ini untuk kembali bangkit. Bahkan dari sebelumnya yang hanya terdapat sekitar 10 toko, kini setidaknya terdapat 40 toko yang menjamur di sepanjang Jalan Dr. Wahidin Sudiro Husodo tersebut.

Kini, selain menjadi sentra produksi dan penjualan kerajinan kulit Manding di Yogyakarta, dusun Manding ini juga sudah didesain menjadi desa wisata yang tidak hanya menjajakan barang-barang hasil produksinya saja kepada para pelancong. Kini dusun ini juga menawarkan kesempatan untuk ikut merasakan pengalaman membuat kerajinan kulit sendiri, termasuk belajar menggunakan teknik khusus seperti ‘tatah timbul’ yang unik itu.

Harga barang-barang produk kerajinan kulit Manding relatif terjangkau. Misalnya sepatu yang harganya berkisar Rp 150 ribu, dompet yang dihargai mulai Rp 90 ribu atau tas yang dijual sekitar Rp 200 ribu, tergantung dari bentuk dan modelnya.

Jika menimbang kualitas produk yang dikenal tahan lama, maka harga tersebut termasuk bersahabat di kantong. Tak heran, produk kerajinan kulit ini pun terus populer hingga ke negara-negara luar seperti Australia, India dan sebagainya.

Tak sulit menemukan lokasi dusun Manding. Seperti disebut di muka, di bagian depan sebelum masuk anda akan menemukan gapura bertuliskan ‘Sentra Industri Kerajinan Kulit Manding’. Dari situ, terlihat deretan toko-toko yang siap menawarkan produk berkualitas dengan harga reasonable. Cocok bagi anda yang sedang mencari oleh-oleh atau yang ingin mencoba pengalaman baru membuat kerajinan tangan secara tradisional, yang kini telah diwariskan dan dilestarikan turun-temurun sejak 65 tahun lalu.

Sentra Industri Kerajinan Kulit Manding

Jl. Dr. Wahidin Sudiro Husodo, dusun Manding, desa Sabdodadi, kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Iket Kepala Pria, 1 Tradisi Unik Nusantara

Iket kepala pria seperti sudah menjadi tradisi bagi laki-laki di Indonesia.

Iket kepala pria seperti menjadi ciri khas yang unik bagi pria di Indonesia. Ini terlihat hampir merata di banyak daerah. Dikembangkan dari iket, misalnya, blangkonbagi laki-laki Jawa terus melekat dalam keseharian masyarakatnya.

Iket Kepala Pria

Penutup kepala yang merupakan paduan busana tradisional untuk lelaki Jawa ini memang unik. Bahkan antara Yogyakarta dan Solo saja, yang bersebelahan, terdapat perbedaan model. Blangkon Yogya dikenal dengan benjolan di bagian belakang. Pada dasarnya blangkon adalah iket, kain batik persegi yang diikatkan di kepala dengan teknik tertentu. Nah, agar lebih efisien dan praktis, para seniman mengembangkannya menjadi blangkon. Hanya dibutuhkan separuh bahan kain iket untuk menghasilkan blangkon. Kini, para pria tinggal memasang blangkon di kepala tanpa perlu repot menyimpulkan ujung-ujung kainnya. Tidak jauh berbeda dengan mengenakan topi.

Jenis penutup kepala tradisional ini memang beragam. Blangkon Yogya dilengkapi mondholan, yakni tonjolan di belakang. Sebenarnya tonjolan tersebut menunjukkan rambut pria pada masa silam yang umumnya panjang. Jadi, ketika mereka menggunakan iket, muncul tonjolan di bagian belakang sebesar telur ayam. Para perajin di Yogyakarta, seperti yang bisa ditemukan di pabrik blangkon Santi, Kampung Bugisan, Kecamatan Wirobrajan, mengisi bagian belakang blangkon dengan serbuk kayu sisa gergajian.

iket kepala pria menjadi ciri khas yang unik bagi pria di Indonesia.
Blangkon dikembangkan dari iket kepala dan menjadi khas iket pria di Jawa. Foto: Dok. shutterstock

Blangkon buatan pabrik yang beroperasi sejak 1975 ini tidak hanya khas Yogya, tapi juga Solo, yang dikenal dengan model trepes. Ini adalah modifikasi dari model Yogya. Dibikin seperti itu karena para pria kemudian lebih banyak berambut pendek. Di perusahaan keluarga tersebut, setiap hari diproduksi sekitar 140 blangkon yang dijual ke berbagai daerah di dalam maupun luar Pulau Jawa.

Kampung Bugisan RT 32 RW 06, Kecamatan Wirobrajan, sejak 1974 memang dikenal sebagai kampung blangkon. Dulu, hampir semua warga di sini berprofesi sebagai pembuat blangkon. Kebanyakan produknya dijual di Pasar Beringharjo dan Jalan Malioboro, Yogyakarta. Kini hanya beberapa yang bertahan, salah satunya pabrik blangkon Santi.

Tidak ada yang memastikan kapan blangkon mulai hadir di Pulau Jawa. Hanya, penutup kepala ini disebut sebagai hasil pengaruh budaya para pendatang, seperti pedagang Gujarat yang umumnya keturunan Arab. Serban penutup kepala khas para pedagang Gujarat menginspirasi orang Yogya mengenakan iket, yang kemudian dikembangkan menjadi blangkon.

Tidak hanya Yogyakarta dan Jawa Tengah yang memiliki penutup kepala khas. Di Jawa Timur dan Jawa Barat pun bisa ditemukan hal serupa. Di Parahyangan aksesori ini dikenal dengan nama bendo atau iket, yang tertutup hingga bagian belakang dan biasa dipadukan dengan busana tradisional. Bentuknya kurang-lebih mirip dengan blangkon Solo. Saat ini, bendo hanya dipakai dalam upacara pernikahan atau pementasan tari tradisional. Tidak seperti di Yogya dan Solo, di mana masyarakatnya, apalagi di lingkungan Keraton, masih lekat dengan penutup kepala yang satu ini.

iket kepala pria memiliki berbagai model, tergantung kebiasaan daerah di mana masyarakat itu tinggal.
Iket kepala pria menjadi ciri khas saat menjalankan kegiatan-kegiatan tradisional masyarakat di daerah. Foto: Dok. shutterstock

Iket Sunda hingga Lombok

Blangkon ataupun bendo terbuat dari iket atau kain persegi yang digunakan untuk menutup kepala. Berbagai model blangkon tersebar di Jawa, Bali, hingga Lombok. Di setiap daerah, penutup kepala ini disebut dengan nama berbeda. Masyarakat Jawa Barat mengenalnya dalam tiga nama, yakni iket, totopong,sertaudeng, sementara orang Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menyebutnya iket. Adapun di Pulau Dewata dikenal sebagai udeng dan di Pulau Lombok disebut sapuk.

Di Jawa Barat, tradisi mengenakan penutup kepala ini dilestarikan dengan membentuk kelompok khusus, yakni Komunitas Iket Sunda (KIS), yang pernah menggelar perhelatan Jambore Iket Sunda internasional di Pangandaran, Ciamis. Di tataran Sunda, totopong dulu dikenal terdiri atas beberapa jenis: barangbang semplak, julang ngapak, kuda ngencar, parekos nangka, parengkos jengkol, maung heuay, porteng, dan kekeongan, yang di daerah Banten disebut borongkos keong.

Iket tetap memiliki model baru karena masyarakat terus berkreasi. Yang tergolong anyar adalah candra sumirat, maung leumpang, dan hanjuang nantung. Penutup kepala ini dikenal masyarakat Jawa Barat pada 1450 atau masa Kerajaan Padjadjaran. Selain dikenakan untuk melindungi kepala dari terik mentari, pada masa kolonial iket muncul sebagai identitas pejuang atau simbol perlawanan terhadap penjajah.

Bentuk iket terbilang unik. Sebab, kain persegi ini tidak sepenuhnya bercorak batik. Sebagian kain yang dipotong secara diagonal berwarna polos, sisanya bercorak. Corak batik yang digunakan biasanya sida mukti, kumeli, katuncar mawur, eurih, kalangkang ayakan, kangkung, kawung ece, dan lain-lain. Jenis ikatannya juga menunjukkan kelas masyarakat, dari bangsawan hingga rakyat biasa. Berarti, di masa lalu totopong menggambarkan status sosial. Dan satu lagi, setiap bentuk ikatan mengandung filosofi sendiri-sendiri.

Ikat kepala pun melekat dalam kehidupan masyarakat Bali. Para pria di pulau ini menggunakan udeng dalam kegiatan sehari-hari, termasuk saat beribadah. Tidak perlu repot untuk mengenakan udeng karena sudah siap pakai. Tersedia dalam beragam ukuran, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Perajin ikat kepala ini bisa ditemukan di Karangasem, salah satunya Desa Sidemen, yang memang warganya dikenal sebagai perajin kain. Udeng tersedia dalam model polos atau bercorak, seperti batik dan metalik. Sisi kanan udeng lebih tinggi daripada yang kiri. Sengaja dibuat asimetris untuk mengingatkan bahwa kita harus melakukan kebajikan, yang biasanya disimbolkan dengan sisi kanan.

Mungkin karena dipengaruhi tradisi Bali, warga Lombok turut mengenakan ikat kepala, yang dikenal dengan nama sapuk. Modelnya hampir serupa dengan di Bali, yang sangat berbeda dari jenis ikat kepala di Pulau Jawa.

Masyarakat Yogya pun tidak lepas dari kreasi dalam soal iket. Agustus tahun lalu, mahasiswa dan dosen Universitas Negeri Yogyakarta membuat jenis iket berbeda. Dibikin lebih praktis, tapi masih mempertahankan gaya khas Yogya. Iket ini fleksibel karena ukurannya bisa disesuaikan dengan sang pemakai, selain terlihat lebih modis dan bisa dipadu dengan beragam busana. Iket hasil modifikasi tersebut menggabungkan corak lurik dan batik. Lurik digunakan di bagian bawah dan pengikat, sedangkan batik di atas serta samping. Sungguh modis.

Rita N./TL/agendaIndonesia

*****

Canting Batik, Ini 5 Jenis dan Fungsinya

Canting batik bukan sekadar alat menulis motif, ada sejarah di belakangnya.

Canting batik dikenal luas di kalangan masyarakat Jawa, khususnya di daerah-daerah yang menghasilkan komoditas kain batik. Canting sendiri diyakini berasal dari bahasa Jawa yang artinya alat untuk menulis atau melukis motif batik.

Canting Batik

Secara umum ini adalah alat pokok dalam membatik secara tradisional yang menentukan apakah hasil pekerjaan tersebut disebut batik tulis atau bukan. Atau bahkan menentukan sebuah kain disebut batik atau bukan batik.

Alat ini memang dipergunakan untuk menulis, atau mungkin lebih tepatnya melukis dengan cairan malam, untuk membuat motif yang diinginkan. Membatik dapat dikatakan sebagai penerapan teknologi, karena proses melekatnya lilin pada kain harus menggunakan canting.

Batik juga dikatakan seni karena gambar motifnya merupakan ekspresi perasaan, keinginan, atau suasana hati seorang pembatik

Pemilihan canting batik dalam membatik sangat menentukan baik dan tidaknya motif yang dihasilkan. Hal ini karena setiap titik dan garis pada batik memiliki ukuran (canting) yang telah ditentukan.

Aneka Batik dari Jawa shutterstock
Aneka motif dan jenis batik dari Jawa. Foto: shutterstock



Sesungguhnya dari mana teknik menciptakan motif kain dengan menggunakan cairan malam ini? Ternyata ceritanya sangat panjang.

Pada awalnya teknik tersebut dikenal di Mesir, yakni sejak abad sebelum masehi. Perkiraan ini muncul karena ditemukannya kain pembungkus mumi yang dilapisi dengan (cairan) malam yang membentuk pola.

Namun Mesir bukan satu-satunya tempat dikenalnya teknik “membatik”. Di Asia, teknik ini digunakan pula oleh bangsa Tiongkok di masa Dinasti Tang (618-907). Ini juga ditemukan di India serta di  Jepang pada periode Nara (645-794). Sedangkan di Afrika sendiri teknik yang menyerupai batik ini dikenal oleh suku Yoruba di Negeria, suku Soninke, dan Wolof di Sinegal.

Sementara itu, di Indonesia seni membatik dikenal sejak zaman Majapahit.  Senin ini semakin populer pada akhir abad XVIII atau awal abd XIX. Pada zaman ini hingga awal abad XX semua jenis batik yang dihasilkan adalah batik tulis. Sedangkan sekitar 1920-an atau setelah Perang Dunia I produk batik dengan teknik cap baru dikenal.

Sejarah awal mulanya batik memang belum memiliki keterangan yang cukup jelas, karena beberapa pakar dan peneliti memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini. Dikutip dari kompas.com, GP Roufaer dalam bukunya De Batik- Kunst, menerangkan bahwa kehadiran batik Jawa sendiri tidak tercatat, namun dimungkinkan bahwa teknik batik diperkenalkan dari India dan Sri Lanka pada abad ke-6 atau ke-7.

Sementara J. L. A. Brandes, seorang arkeolog dari Belanda dan F. A. Sutjipto, sejarawan Indonesia menyimpulkan bahwa tradisi batik merupakan tradisi asli dari daerah Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Daerah-daerah tersebut tidak dipengaruhi oleh Hidhuisme, namun memiliki tradisi kuna membuat batik.

Canting Kecil Cucuk Cecek blibli
Macam-macam jenis canting. Foto: shutterstock

Lalu bagaimana dengan canting batik? Sejak kapan ia dipergunakan untuk membuat motif batik. Soal ini belum ada catatan yang jelas. Belum pula ditemukan dokumentasi soal originalitas canting batik sebagai alat khas batik Indonesia.

Begitupun, dari banyak narasi yang ada, semuanya sama menyebutkan bahwa canting batik adalah alat yang terdiri dari tiga bagian, yaitu cucuk, nyemplung, dan pegangan.

Pertama, cucuk atau carat, berfungsi seperti mata pena sebagai ujung keluarnya cairan malam (lilin). Cucuk terbuat dari tembaga yang merupakan material yang baik untuk mengantarkan panas.

Bagian ke dua disebut nyamplung, ini berfungsi sebagai tempat untuk memasukkan malam atau lilin panas. Seperti halnya cucuk, nyemplung juga terbuat dari tembaga. Sedangkan bagian ke tiga adalah pegangan canting batik yang terbuat dari bambu atau kayu.

Meskipun bentuknya sama atau mirip, canting batik memiliki jenis yang terkait dengan fungsinya ketika membatik. Berikut jenis-jenis canting:

Canting Reng-rengan

Canting Reng-rengan dipergunakan sebagai awal proses membatik, yaitu proses membuat pola. Namun, awalnya pola dibuat terlebih dahulu baru kemudian dilanjutkan dengan menggunakan canting reng-rengan.

Canting Isen. 

Canting Isen merupakan canting yang berfungsi untuk mewarnai atau mengisi pola dari kerangka dasar yang sudah jadi. Canting isen memiliki cucuk tunggal dengan diameter 0,5 mm – 1,5 mm serta digunakan untuk detail yang lebih kecil.

Canting Cecek.

Canting berukuran kecil yang fungsinya untuk memberikan isen-isen pada motif batik.

Canting Klowong. 

Canting ini digunakan untuk membuat pola utama batik dimana membutuhkan detail yang lebih besar. Motif yang dibuat biasanya akan mendominasi batik secara keseluruhan.

Canting Tembok.

Canting ini memiliki cucug yang lebih lebar. Cucuk ini berfungsi agar mempermudah proses membatik untuk mengeblok motif secara keseluruhan. Canting ini biasanya digunakan untuk menutup motif secara keseluruahan.

agendaIndonesia/dari berbagai sumber

*****

Geplak Bantul, Warisan Budaya Sejak 2018

Geplak Bantul kudapan yang menjadi warisan budaya tak benda Yogyakarta. Foto: shutterstock

Geplak Bantul sejak lama menjadi oleh-oleh tradisional dari Yogyakarta. Kudapan ini memang dikenal sebagai salah satu kudapan khas masyarakat kota pelajar itu.

Geplak Bantul

Begitupun, sesungguhnya geplak ternyata juga dimiliki masyarakat Betawi. Belum ada catatan sejarah adakah kaitan antara geplak Bantul dan geplak Betawi. Rasa ke duanya mirip-mirip karena menggunakan bahan yang sama.

Yang membedakan ke duanya adalah, geplak Betawi hanya berasal dari gula tebu dan warnanya biasanya hanya putih keabu-abuan. Kudapan ini pun tak muncul setiap hari, biasanya muncul pada saat ada pernikahan di antara masyarakat Betawi.

Geplak, makanan yang lebih dikenal dari Bantul terbuat dari parutan kelapa dan gula pasir atau gula jawa. Rasanya sudah pasti manis. Cemilan ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.

Geplak Bantul lahir karena daerah itu kaya dengan kelapa dan tanaman tebu.
Geplak dulunya dikemas dengan besek. Foto: shutterstock

Dikutip dari laporan di liputan6.com, disebutkan bahwa dalam naskah Mustikarasa yang ditemukan pada 1967, geplak ini terkait erat dengan Pangeran Pekik, adik ipar Sultan Agung Mataram. Geplak sebagai makanan kreasi dari kelapa disebutkan satu kali dalam Serat Centhini VI.

Jadi ceritanya dalam serat itu, berisi tentang pengembaraan Syech Amongraga, salah satu dari tiga putra-putri Sunan Giri. Dalam perjalanan spiritual setelah mengalami kekalahan dari Pangeran Pekik. Kudapan ini disebut-sebut disajikan sebagai hidangan dalam pernikahan kerajaan Mataram Islam pada ketika itu.

Naskah tersebut juga menyebutkan geplak Bantul sebagai kudapan yang dapat ditemukan di banyak tempat di Yogyakarta beserta cara membuatnya. Khususnya di Bantul.

Secara geografis, wilayah Bantul berada di dataran rendah, sehingga daerah ini sangat cocok untuk tanaman kelapa. Pada saat itu pun lahan di daerah Bantul lebih banyak ditanami Tebu.

Ada sekitar enam pabrik gula yang ada di daerah Bantul saat itu, tapi saat ini hanya satu saja yang masih beroperasi, yaitu pabrik gula Madukismo. Ini merupakan sebuah pabrik gula terbesar di Asia Tenggara pada awal Republik Indonesia ini berdiri.

Karena melimpahnya bahan baku kelapa dan tebu, sehingga terciptalah geplak khas Bantul-Jogja. Pada zaman dahulu masyarakat setempat menjadikan geplak sebagai makanan utama pengganti beras. Pada saat paceklik, warga biasa mengonsumsi geplak sebagai makanan pokok.

Geplak Srihardono Bantul
Tampilan lain geplak yang diserut daging kelapanya. Foto : Pemda Bantul

Waktu berjalan, kini geplak Bantul lebih dikenal sebagai makanan kecil sekaligus oleh-oleh khas Bantul dan Jogja. Produksinya juga semakin banyak. Hal tersebut karena banyaknya bahan pembuat geplak, yaitu daging kelapa serta berlimpahnya lahan tebu yang diolah untuk menjadi gula.

Pada mulanya, geplak Bantul hanya dapat dibuat menggunakan gerabah yang berasal dari Kasongan. Tempat ini hingga sekarang merupakan penghasil gerabah di Yogyakarta.

Namun, karena gerabah yang digunakan dalam suhu tinggi hanya mampu bertahan empat hari, kemudian diganti menggunakan kenceng. Kenceng yang dipilih pun bukan sembarangan, yakni berasal dari tembaga yang diproduksi di Kotagede, Yogyakarta.

Dalam perkembangannnya kemudian, makanan khas Bantul tersebut lebih terkenal sebagai oleh-oleh khas Yogyakarta dengan rasa manis. Konon rasanya lebih nikmat dan lezat ketika menikmati geplak selagi masih panas.

Pada masa awalnya, geplak Bantul hanya memiliki dua warna, yaitu jika menggunakan gula pasir warna geplak akan putih dan jika menggunakan gula jawa maka warnanya akan coklat. Namun sekarang telah banyak variasinya warna antara lain, merah, kuning, coklat, hijau, dan putih.

Geplak Bantul telah mengalami banyak perubahan, sejak pertama dibuat pada abad ke-19 hingga 1960. Pada tahun itu, geplak Srintil disebut-sebut sebagai yang masih autentik dan sama persis dengan kudapan Kerajaan Mataram Islam pada saat itu. Namun, kini geplak Srintil hampir tak lagi dapat dijumpai. Warnanya yang kurang menarik dan kurang variasi membuat geplak autentik ini berangsur-angsur hilang.

Begitupun masyarakat Bantul terus memproduksi geplak. Produksi kelapa dan gula yang melimpah membuat ketika menjadi kudapan gula dan kelapa tersebut mempunyai nilai tambah. Terlebih lagi pembuatannya termasuk sederhana.

Toko Geplak Kelurahan Balbaplang Bantul
Toko Geplak Mbok Tumpuk di Palbaplang, Bantul. Foto: dok. Kelurahan Palbaplang Bantul

Bahan-bahannya terdiri dari tepung ketan, kelapa parut, gula pasir, minyak cengkeh, air putih, dan garam. Untuk membuat geplak diperlukan peralatan berupa baskom (untuk membuat adonan), parutan kelapa, mangkok, panci untuk memasak, sothil untuk mengaduk, cetakan geplak, kompor atau onglo arang, dan tampah atau nyiru yang dipergunakan untuk mengangin-anginkan geplak ketika sudah matang.

Saat ini kabarnya gula yang dipakai bukan lagi gula lokal Madukismo, satu-satunya pabrik gula yang masih tersisa di Bantul. Yang dipakai hanya gula tebu yang warnanya putih bersih. Pasalnya, kalau gula tebunya berwarna kelabu, warna geplaknya pun ikut menjadi kelabu. Sebagai makanan menjadi kurang menarik meskipun enaknya sama saja.

Sesuai perkembangan zaman, kini rasa dari geplak pun tidak hanya gurih dan manis namun sudah bervariasi. Rasanya ada yang durian, strawberi, coklat, juga lainnya. Geplak Bantul sangat mudah mudah diperoleh di pusat kota Bantul, pusat oleh-oleh di kota Jogja, terminal, dan di pasar-pasar.

Meski tampak sederhana, soal rasa tak perlu diragukan. Rasa manis dan legit geplak dapat membuat ketagihan. Geplak ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Yogyakarta pada 2018.

agendaIndonesia/berbagai sumber

*****

Berlian Martapura, Berkilau Sejak Abad 16

Berlian Martapura, Kalimantan Selatan, adalah produk perhiasan terbesar di Indonesia. Foto: dok. BUkalapak

Berlian Martapura adalah salah satu permata kekayaan Indonesia yang moncer hingga ke pelosok dunia. Berjarak sekitar 40 kilometer atau kurang lebih satu jam perjalanan darat dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Martapura kondang sebagai sentra tambang dan penjualan berlian terbesar di Indonesia.

Berlian Martapura

Secara turun temurun, bisnis penambangan dan perdagangan berlian sudah menjadi bagian dari kehidupan banyak warga di sekitar tepi sungai Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, tersebut. Tak heran, kota tersebut juga kerap disebut sebagai ‘kota intan’.

Satu hal yang mungkin masih banyak orang awam belum paham soal perbedaan istilah intan dan berlian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), intan merupakan batu mulia yang berbentuk kristal dari karbon murni. Sedangkan berlian adalah intan yang telah digosok atau diasah sehingga menjadi berkilau. Singkatnya, intan adalah bahan bakunya, sementara berlian adalah yang sudah diolah.

Berlian Martapura dulunya adalah bisnis keluarga raja dan bangsawan Kasultanan Banjar.
Masjid Agung Al Karomah, landmark kota Martapura, Kalimantan Selatan. Foto: DOk. shutterstock

Tradisi penambangan dan perdagangan berlian ini bisa dirunut sejak abad ke-16, atau pada masa kesultanan Banjar. Kebetulan Martapura sempat menjadi ibu kota, dan bisnis berlian yang dikelola oleh raja, bangsawan dan tuan tanah setempat merupakan salah satu mata pencaharian yang banyak membawa kesuksesan, sehingga kesultanan Banjar meraih masa kejayaannya pada masa itu.

Setelah kedatangan Belanda dan runtuhnya kesultanan Banjar pun, warga setempat masih melakukan penambangan berlian, di samping penambangan oleh pihak swasta di masa itu. Ketika memasuki era pasca-kemerdekaan, penambangan berlian mulai berjaya lagi pada era 1950-an.

Pada 1965 ditemukan berlian seberat 166,75 karat, yang kemudian dinamakan Intan Trisakti oleh Presiden Soekarno pada saat itu. Konon katanya, hingga saat ini berlian tersebut masih menjadi salah satu yang terbesar dan termahal yang pernah ditemukan di Indonesia, harganya dengan nilai saat ini ditaksir bisa mencapai Rp 10 triliun.

Bagi warga Martapura, budaya penambangan dan perdagangan berlian ini tidak lagi hanya dipandang sebagai mata pencaharian semata, tetapi juga bagian dari tradisi dan jati diri yang diwariskan leluhur. Oleh karena itu, akhirnya pada 1970-an didirikanlah Pasar Intan Martapura.

Pasar Intan ini untuk mengakomodasi banyaknya para penambang dan pengrajin berlian yang ingin menjual hasil temuan dan kerajinannya. Selain itu juga menjadi tujuan konsumen yang datang tidak hanya dari dalam tapi juga luar negeri.

Penambangan berlian di Martapura sendiri hingga kini masih dilakukan secara tradisional. Para pendulang secara berkelompok -sekitar delapan hingga sepuluh orang, akan berusaha menyedot bagian dasar sungai, sebelum dibersihkan kembali dengan air.

Hasil sedotan tersebut kemudian disaring kembali menggunakan linggang, sebuah alat penyaring yang berbentuk mirip caping berukuran besar. Dari situlah kemudian kemungkinan akan ditemukan intan.

Intan tersebut kemudian akan digosok dan diolah menjadi berlian, yang kemudian dikemas menjadi barang perhiasan seperti cincin, kalung, liontin, anting, gelang dan sebagainya. Sebagian lainnya pun juga dijual secara mentahan.

Tak jarang, pengunjung Pasar Intan Martapura tidak hanya para wisatawan yang singgah mencari cenderamata berua perhiasan jadi, tetapi juga pedagang maupun pengrajin yang mencari berlian utuh untuk kemudian diolah dan dijual kembali lebih mahal.

Memang, di pasar ini harga berlian serta barang kerajinannya berkisar antara ratusan ribu hingga ratusan juta rupiah. Ini tergantung pada keunikan dan kelangkaannya, sehingga produknya tak bisa dikatakan murah.

Namun, harga yang dipatok disebut masih lebih murah ketimbang harga di tempat-tempat lain, apalagi berlian Martapura serta kerajinannya disebut punya kualitas yang bagus dan bahkan mampu bersaing dengan berlian impor buatan Eropa.

Adapun karakteristik berlian buatan Martapura cenderung berbeda dari berlian impor. Ini jika disinari tidak memancar seterang berlian impor yang punya tingkat keterbiasan lebih tinggi. Ini disebabkan proses penggosokan berlian di sini notabene masih dilakukan secara tradisional.

Begitupun, nyatanya hal tersebut justru menjadi daya tarik dan keunikan tersendiri bagi banyak orang. Maka wajar bila berlian Martapura juga diburu oleh pedagang, turis dan kolektor manca negara seperti dari Singapura, Malaysia, Myanmar, India hingga Afrika Selatan.

Pasar Intan Martapura sejak dulu hingga kini berada di Jalan Ahmad Yani. Lokasinya berada persis di pinggir jalan, berdekatan dengan Masjid Agung Al-Karomah, sehingga mudah untuk ditemui. Hingga kini, tercatat setidaknya sekitar 80-an toko berjualan di pasar ini.

Sehari-hari, pasar ini selalu dipadati pengunjung dengan perkiraan 10 ribu orang per hari, namun angka ini bisa melonjak hingga 20 ribu orang per hari pada akhir pekan dan hari libur. Pada perkembangannya, selain menjajakan berlian dan kerajinannya dari hasil olahan sendiri, pasar ini kemudian juga menjual beragam jenis batu mulia lain, bahkan yang datang dari luar negeri, seperti zamrud, ruby, giok, mutiara, safir, opal, topaz dan lain-lain.

Yang juga perlu menjadi catatan, dengan kesadaran dewasa ini akan adanya ancaman pemalsuan batu mulia, kini di Martapura juga terdapat Lembaga Pengembangan dan Sertifikasi Batu Mulia (LPSB). Lembaga ini turut membantu menjaga dan menjamin keabsahan batu berlian serta batu mulia lainnya yang diperjualbelikan. Siapapun konsumen yang hendak membeli barang-barang kerajinan berlian Martapura dapat memeriksa dan memastikan bahwa barang yang dibelinya asli.

Sudah pernah ke Martapura? Ayo agendakan jalan-jalan ke Kalimantan Selatan dan beli berlian Martapura.

agendaIndonesia

*****