
Jejak bangsa pelaut untuk orang Indonesia ada tersebar di mana-mana, dari Sabang sampai Merauke. Mulai dari jenis-jenis kapal yang dimiliki suku-suku bangsa di Indonesia, hingga jejak peninggalan penjelajahan bangsa Indonesia di banyak tempat.
Jejak Bangsa Pelaut
Salah satu tempat yang juga merupakan jejak bangsa pelaut untuk orang Indonesia adalah Museum Bahari yang ada di Jakarta. Lokasi tepatnya ada di Jalan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara.

Ada yang baru di Museum Bahari ini. Bertepatan dengan hari jadinya yang ke-45 pada 7 Juli 2022 lalu, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta membuka Ruang Pameran Garis Nol (Titik Nol) Meridian Batavia di museum ini. Kepala Unit Pengelola Museum Kebaharian Jakarta, Mis’ari, menjelaskan bahwa ruang pameran ini ditujukan guna meluruskan persepsi masyarakat dan narasi yang selama ini beredar mengenai titik nol kilometer sebagai acuan berlayar.
Pemahaman masyarakat, kata Mis’ari, mengenai titik nol atau garis nol sebagai acuan waktu berlayar itu yang ada di Tugu Nol Kilometer Yogyakarta dan Titik Nol Kilometer Indonesia di Pulau Weh, Sabang, Aceh. Padahal, sebenarnya titik nol atau garis nol yang ada di Museum Bahari inilah yang merupakan acuan waktu yang benar saat berlayar.
Titik nol meridian ini terletak di Menara Sinyal yang dibangun pada 1839 dan berada di kawasan museum ini. Di gedung tersebut tersimpan jam paling akurat beserta kelengkapannya. Di bagian atapnya ada sebuah sinyal waktu yang bisa dilihat dari kejauhan. Dengan mengamati sinyal harian, awak kapal yang berlabuh di teluk Batavia bisa menyesuaikan jam kapal mereka.
Penjaga waktu sangat dibutuhkan pelayar pada masa itu guna menentukan posisi mereka selama pelayaran. Titik nol merididan Batavia ini juga masih digunakan untuk produksi peta Indonesia sampai 1942, meskipun sejak 1883 meridian Greenwich sudah diterima secara universal sebagai meridian utama.
Selain titik Nol Meridien, banyak jejak bangsa pelaut yang ada di museum ini sebagai panduan mengenali kehidupan negeri maritim. Bangunan yang sekarang menjadi Museum Bahari ini didirkan pada 1652-1771. Bangunan ini diambil alih Pemerintah DKI Jakarta di zaman Gubernur Ali Sadikin. Museum Bahari diresmikan pada 7 Juli 1977
Bangunan Museum Bahari berada di muara Sungai Ciliwung dan terdiri atas dua sisi, yakni sisi barat dikenal dengan sebutan “Westzijdsche Pakhuizen” atau Gudang Barat (dibangun secara bertahap mulai 1652-1771). Sedangkan yang disisi timur disebut “Oostzijdsche Pakhuizen” atau Gudang Timur.

Gudang barat terdiri atas empat unit bangunan, dan tiga unit di antaranya yang sekarang digunakan sebagai Museum Bahari. Museum Bahari direnovasi pada 2014. Renovasi dilakukan untuk memperbaiki sekaligus menambah fasilitas museum sehingga lebih menarik pengunjung.
Ruangan di dalam bangunan yang berdiri sejak 1652 ini begitu lapang. Tentu itu sesuai dengan fungsinya sebagai tempat penyimpanan barang. Jendela-jendela kayu besar berjajar, dilengkapi teralis dengan daun jendela dan kusen warna cokelat tua. Ruangannya pun dihiasi tiang-tiang penyangga dari kayu ulin yang memperkuat aksen gudang tua.
Tak ada karung berisi cengkih, pala, kayu manis, atau rempah-rempah lain dalam bangunan panjang tersebut. Yang bisa ditemukan pengunjung adalah model-model perahu yang ditata di bagian tengah ruangan. Mulai yang kecil hingga yang berukuran sebenarnya.
Tidak hanya dari satu daerah, tapi juga dari Sabang sampai Merauke. Jumlahnya mencapai 126 jenis. Dan hanya 19 yang berukuran sesuai dengan aslinya. Phinisi Nusantara dan perahu cadik Papua, yang panjang, merupakan model perahu yang menunjukkan jiwa pelaut bangsa ini.
Koleksi museum bahari ada sebanyak 850 item yang merupakan saksi bisu kejayaan nenek moyang di laut. Ada koleksi perahu yang berupa miniatur (107 buah) dan 19 perahu asli. Selain itu ada alat-alat navigasi, foto-foto, biota laut, dan lain-lainnya.
Ada pula koleksi mancanegara, seperti kapal hadiah dari Negeri Belanda. Dilengkapi juga dengan beragam perlengkapan untuk melaut, seperti jangkar dan teropong. Dengan segala keunikan dan kekhasan di setiap sudut ruangnya, tak mengherankan jika pemotretan dan pengambilan gambar untuk film kerap dilakukan di seputar museum.
Cerita tentang Pelabuhan Sunda Kelapa pun bisa ditemukan di Museum Bahari. Setelah memandangi satu demi satu pajangan di tengah ruangan maupun di dinding, dan mengintip pot-pot kembang besar di luar ruangan, saya meninggalkan bangunan yang menghadap ke Teluk Jakarta itu.
Jika ingin melihat dari dekat deretan kapal yang bersandar di pelabuhan tua. Pelabuhan dapat dicapai dari museum hanya dalam beberapa langkah. Pengunjung bisa membayangkan masa kejayaan pelabuhan ini sebagai pusat perdagangan di wilayah Asia. Kapal-kapal dari berbagai negara datang mengangkut barang dagangan yang berlainan.
Kini, pelabuhan hanya digunakan untuk pelayaran antar-pulau. Masih banyak kuli pikul yang bermandikan keringat disiram terik mentari siang menjelang sore itu. Meski bukan lagi karung rempah-rempah yang diangkutnya seperti di masa silam, pekerjaan mereka sama beratnya.
Jika ingin lebih meresapi suasana negeri maritim, Anda bisa naik perahu mengelilingi pelabuhan. Ada sejumlah perahu nelayan yang disewakan bagi turis yang ingin menikmati suasana pelabuhan. Pilihlah waktu menjelang sore agar nyaman dan dapat menikmati pemandangan nan indah.
Untuk ke Museum Bahari, dan menikmati jejak bangsa pelaut, dapat dicapai dengan menggunakan bus Transjakarta arah Halte Kota. Dari halte itu pelancong dapat menumpang Metromini Kopami ke arah Muara Angke. Pengunjung bisa turun di simpang Pasar Ikan, lalu jalan sedikit ke arah museum.
Ayo sekali-kali agendakan perjalananmu untuk menikmati jejak bangsa pelaut di Museum Bahari.
agendaIndonesia
*****