Liburan 2 Hari di Tanjung Bira

Liburan 2 hari di Tanjung Bira Suawesi Selatan

Liburan 2 hari di Tanjung Bira mungkin bisa menjadi pilihan liburan. Terletak di ujung selatan Sulawesi Selatan, atau tepatnya berada di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Pantai Tanjung Bira menjanjikan pantai dengan pasir putih lembut.

Liburan 2 Hari di Tanjung Bira

Menuju ke Tanjung Bira memang perlu sedikit usaha karena loksinya yang berada sekitar 40 kilometer dari kota Bulukumba, atau 200 kilometer dari Makassar, ibukota Sulawesi Selatan. Butuh waktu sekitar 3-4 jam atau enam jam melalui jalan darat untuk mengunjunginya.

Menghabiskan waktu pada akhir pekan sebenarnya ada banyak pilihan. Terbang ke Makassar pengunjung tak hanya bisa menikmati satu pantai, tapi dua pantai yang berdekatan, Bira dan Bara. Ini bisa membuat liburan dua-tiga hari jadi luar biasa. Keindahan alam, beragam cita rasa, dan bahkan pesona budayanya menjadi pengalaman nan komplet.

Lalu apa saja yang bisa dilakukan selama liburan 2 hari di Tanjung Bira itu? Ini mungkin bisa menjadi alternatif berlibur.

Hari Pertama: Jeneponto, Bantaeng, dan Pantai Bira

Ada pilihan beragam tiba di Makassar untuk liburan 2 hari di Tanjung Bira dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Hanya dalam waktu 2,5 jam, pengunjung sudah menginjakkan kaki di Bandara Internasional Hasanuddin, Makassar. Dengan penerbangan pukul 05.00 pada pukul 08.30 waktu setempat, Anda sudah bisa ke luar dari bandara dan segera meluncur ke Tanjung Bira di Kabupaten Bulukumba.

Dibutuhkan waktu sekitar enam jam dengan kendaraan roda empat untuk melintasi Takalar-Jeneponto-Bantaeng-Bulukumba hingga tiba di Bira. Saran saja, untuk dapat menikmati keindahan warna langit saat matahari terbenam, sebaiknya memang berangkat ke tempat ini sebelum tengah hari.

Jangan khawatir akan mengalami perjalanan panjang yang membosankan. Justru sebaliknya, pengunjung akan menemukan pemandangan yang berlainan di setiap daerah. Saat melintasi Jeneponto, mungkin pengunjung memang akan menemukan nuansa gersang. Sejauh pandang mata hanya hamparan padang rumput menguning, pepohonan meranggas, serta jajaran pohon Tala. Ini dikenal sebagai pohon siwalan atau lontar. Selain itu ada kuda-kuda berkulit gelap, bahkan ladang-ladang garam.

Bila merasa lelah, pengunjung dapat singgah di warung-warung buah-buahan segar. Di lintasan Jeneponto, kita akan dapat menemukan Ballo: sejenis tuak atau arak tradisional khas Sulawesi Selatan. Rasanya manis, harganya dipatok mulai Rp 15 ribu dalam kemasan botol plastik berukuran besar dan sedang. Dulu minuman itu hanya dinikmati di perjamuan-perjamuan kalangan istana.

Jika masih memiliki waktu, terutama bagi petualang kuliner, jangan lewatkan coto kuda khas Bumi Turatea—sebutan untuk Jeneponto. Konon coto tersebut berkhasiat menyembuhkan sejumlah penyakit. Selain itu, bagi yang percaya, coto itu dapat menghilangkan pegal-pegal dan nyeri tulang serta meningkatkan gairah dan vitalitas tubuh. Seporsi coto kuda itu dihargai Rp 20-25 ribu.

Selepas Jeneponto yang gersang, Butta Toa—julukan untuk Kabupaten Bantaeng—menyambut dengan penuh kesejukan. Jalan-jalan terutama di pusat kota kabupaten dipayungi rimbun pepohonan dan diwarnai hijau persawahan. Tampak sekali daerah ini begitu tertata.

Dalam kisaran 60-90 menit perjalanan dari Bantaeng, pengunjung akan memasuki Kawasan Wisata Tanjung Bira. Setiap pengunjung dikenai biaya retribusi sebesar Rp 5.000 untuk anak-anak, Rp 10 ribu untuk dewasa, dan khusus turis mancanegara harganya berbeda. Apabila membawa mobil pribadi, ada biaya tambahan.

Untuk akomodasi tak perlu khawatir, ada beragam jenis penginapan dalam kawasan Wisata Tanjung Bira. Biaya terendah sekitar Rp 200 ribu untuk satu malam dengan kamar berlantai kayu dan berdinding bambu serta dua tempat tidur. Selain itu, dilengkapi kipas angin dan kamar mandi yang berada dalam, namun tanpa sarapan. Untuk yang ingin kenyamanan tinggi bisa memilih resor dan hotel dengan tarif yang bervariasi

Selanjutnya, saatnya menikmati senja pertama dan malam di Pantai Bira. Selama tidak datang pada masa liburan dan akhir pekan, pengunjung tidak akan terganggu oleh keramaian.

Liburan 2 hari di Tanjung Bira bisa dilakukan juga untuk mengunjungi pembuatan kapal Phinisi.
Kapal Phinisi yang merupakan produksi Tanjung Bira dalam sebuah pelayaran. Foto: Dok. Unsplash-Johny Africa

Hari Kedua: Pantai Bara dan Tana Beru

Hanya dalam 15 menit dari Pantai Bira menuju arah barat bisa ditemukan Pantai Bara. Suasana yang ditemukan sungguh berbanding terbalik: bersih, tenang, tak ada deretan panjang warung, dan keramaian orang.  

Belakangan tak sedikit pengunjung, terutama anak muda, memilih bermalam di tepian Bara. Mereka membawa bekal kantong tidur, tenda, hingga makanan dan minuman. Alasannya sederhana saja, mereka ingin tenggelam dalam suasana dari detik-detik terbenamnya matahari, ketenangan pada malam hari dengan musik debur halus ombak, dan keindahan fajar pada pagi harinya. Tentunya tanpa melewatkan sensasi halus pasir putih yang hangat.

Dan tidak sah rasanya apabila telah datang ke Butta Panritta Lopi—tanah para ahli pembuat Perahu Pinisi—namun tidak menyempatkan singgah di Tana Beru yang merupakan sebuah kelurahan di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba.

Tana Beru merupakan pusat pembuatan alat transportasi laut terandal. Jika masyarakat setempat sedang mengerjakan pesanan, beruntunglah pengunjung dapat melihat pembuatan perahu pinisi secara langsung.

Liburan 2 hari di Tanjung Bira bisa dilakukan melalui jalan laut dari Pelabuhan Makassar.
UnsPelabuhan Makassar. FotoL Dok. Arif hidayat-unsplash

Selepas makan siang, saatnya kembali ke Makassar. Bila ingin langsung kembali ke Jakarta bisa pilih penerbangan terakhir pada pukul 21.30 WIT. Solusi alternatif dapat menginap semalam di Makassar dan kembali ke Jakarta esok pagi. Bila harus segera kembali bisa pilih jadwal penerbangan paling pagi pukul 06.00.

agendaIndonesia/TL

*****

Tana Toraja dan Keajaiban 400 Tahun Ke’te kesu

Tana Toraja

Tana Toraja di Sulawesi Selatan adalah daerah dengan kekayaan adat budaya yang luar biasa. Ia adalah salah satu keajaiban yang dimiliki Indonesia dari rangkaian Sabang sampai Merauke. Toraja adalah salah satu tempat yang wajib dikunjungi di negeri ini.

Tana Toraja dan Keajaibannya

Dari Makassar, jika tak membawa kendaraan sendiri, ada bus-bus antarkota yang berangkat hampir sepanjang hari. Sejak pukul 9 pagi, hingga jam 9 malam. Waktu tempuh untuk jarak sekitar 320-an kilometer dibutuhkan sekitar 8 jaman. Harga tiket bus yang berangkat pagi biasanya lebih murah jika dibandingkan yang berangkat malam. Masing-masing dengan kelebihannya.

Untuk menuju Tana Toraja bagi tentu saja kita harus menuju Makassar terlebih dahulu. Tentu, bagi mereka yang tinggal di Palu, Sulawesi Tengah, ada jalur darat yang tak perlu harus ke ibukota Sulawesi Selatan itu dulu. 

Jika memilih berangkat pagi, wisatawan bisa menikmati keindahan kota-kota yang dilintasi. Juga pemandangan alam yang mempesona. Biasanya sampai di Toraja wisatawan akan langsung tidur terlebih dahulu sebelum keesokannya menikmati ragam budaya tempat itu. Sementara itu, jika memilih perjalanan malam hari, praktis sepanjang perjalanan akan dipakai untuk tidur.

Sesungguhnya ada penerbangan dari Makassar menuju Tana Toraja. Dari Bandara Hasanuddin mendarat di Bandara Pongtiku yang terletak di Rantepao, sekitar 10 kilometer dari kota Makale. Hanya saja, hingga saat ini, jadwal penerbangannya belum setiap hari. Umumnya Selasa dan Jumat. Itu pun hanya satu penerbangan per hari.

Tana Toraja lazimnya ramai dikunjungi wisatawan antara Juni-Desember. Pada masa itu ada ritual Rambu Solo’, yakni ritual penghormatan bagi mereka yang sudah meninggal diselenggarakan di Desa Ke’te Kesu. Ini merupakan desa tradisional kuno unik yang tersembunyi di wilayah pegunungan TanaToraja, Sulawesi Selatan. Ia terletak di tengah hamparan sawah luas dan merupakan desa tertua di Kecamatan Sanggalangi.

Usia Desa Ke’te kesu diperkirakan sudah mencapai 400 tahun. Uniknya, ia tidak pernah mengalami perubahan sejak pertama kali berdiri. Jika melihat keadaannya saat ini, bisa dibilang desa ini menjadi semacam museum hidup. Orang yang mengunjunginya dapat secara langsung melihat budaya dan tradisi unik dari masyarakat Toraja.

AgendaIndonesia beruntung pernah berkunjung ke TanaToraja. Desa Ke’te Kesu biasanya menerima penghunjung mulai pukul 8 pagi. Ada retribusi masuk yang dikenakan bagi wisatawan lokal sebesar Rp 10 ribu dan dua kali lipat untuk turis asing. Bagi peminat arsitektur permukiman tradisional Indonesia, Ke’te Kesu akan membuat betah. Detail-detail rumah adat Toraja, yang biasa disebut tongkonan, yang berusia ratusan tahun dapat dinikmati detail dan filosofinya, seraya berbincang dengan masyarakat setempat.

Selain tongkonan, di Ke’te Kesu pengunjung dapat melihat beberapa makam adat meski tidak semuanya. Beberapa peti mati tua berbahan kayu atau disebut erong dengan berbagai bentuk segera menyita perhatian di sisi kanan tangga naik.

Selain mengunjungi Ke’te Kesu, masih terkait dengan ritual penghormatan kepada arwah, kita juga bisa mengunjungi Desa Bori, Kecamatan Sesean. Di sini terdapat Rante, yakni lapangan tempat upacara pemakaman untuk kaum bangsawan tertua di Tana Toraja. Lokasinya berjarak sekitar lima kilometer arah utara Rantepao. Mata dipuaskan dengan hamparan batuan menhir tegak yang disusun dan dibentuk sedemikian rupa setiap kali ada jenasah dimakamkan. 

Di Bori Kalimbuang, wisatawan bisa melihat 102 menhir yang berasal dari era megalitikum. Batu menhir ini dipasang berdiri tegak sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang. Sebanyak 54 menhir kecil, 24 berukuran sedang, dan 24 lain berukuran lebih tinggi daripada manusia tersebar di Bori Kalimbuang. Tempat ini diperkirakan telah ada sejak 1718, di mana menhir pertama didirikan pada 1657.

Perjalanan ke TanaToraja yang tak kalah penting adalah Lo’ko’ Mata di lereng Gunung Sesean, di ketinggian 1.400 mdpl, di sisian perlintasan Lembang Tonga Riu, berjarak sekitar 30 kilometer dari Rantepao. Bentuknya yang bundar mirip kepala manusia yang menyebabkan dinamai Lo’ko’ Mata. Batu kubur alam berdiameter sekitar 20 meter yang digunakan sebagai makam tersebut lebih dikenal sebagai Dassi Dewata atau Burung Dewa. Sebab, liang-liang yang ada di sana sering ditempati berbagai jenis burung dengan bulu warna-warni dan suara khas. Hingga saat ini, di area seluas kurang-lebih satu hektare itu sudah ada sekitar 60 liang.

Di Lo’ko’ Mata kita bisa memutari sudut-sudut seutuhan batu dan memperhatikan beberapa tau-tau, yakni patung kayu yang mewakili orang yang dimakamkan, serta ornamen-ornamen pada pintu liang dan tongkonan-tongkonan mini yang menarik perhatian.

Kunjungan selanjutnya adalah Londa. Berbeda ketika ke Ke’te Kesu, Londa seperti lemari arsip kisah  Toraja yang lain lagi. Ada dua gua di sini. Di gua pertama sebaran erong serta serakan tulang dan tengkorak berpadu dengan kegelapan. Gua kedua lebih dalam, sekitar 1,5 kilometer, di mana di pintu masuknya dihiasi satu erong berhiaskan pa’ barre allo (ukiran matahari bulat utuh) di kanan-kiri. Balkonnya ramai dengan tau-tau pelbagai usia.

tana Toraja dengan Patung Yesusnya

Setelah kunjungan ke tempat-tempat perziarahan kuno, sejak 2015 TanaToraja juga memiliki tempat perziarahan baru yang gigantik. Ini khususnya bagi umat kristiani. Di sana juga ada patung Yesus Buntu Burake yang konon disebut tertinggi di dunia.

Patung Yesus Memberkati ini berada di atas puncak bukit Buntu Burake yang berketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut. Tinggi badannya diperkirakan sekitar 45 meter dan dibuat dari perunggu. Patung ini yang dibangun pada Mei 2015 dan memakan biaya sekitar Rp 22 miliar.

Jadi, pernah mengunjungi TanaToraja? Ayo agendakan Indonesia-mu.

*****