
Eksotisme Kepulauan Selayar jarang dirambah traveler Indonesia. Mungkin karena jaraknya yang cukup jauh dari Makassar, 157 kilometer, dan melewati laut. Menikmati udara sejuk, laut jernih, dan sajian daging ikan yang manis, adalah pesona yang dijanjikan pulau ini.
Eksotisme Kepulauan Selayar
Langit terlihat sembuat jingga di Pelabuhan Pamatata, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Dua jam perjalanan dengan Kapal Motor Feri Bontoharu dari Pelabuhan Bira, Kabupaten Bulukumba, terasa sangat menyenangkan. Berteduh di bawah langit biru yang dihiasi titik-titik awan putih, dengan sesekali ada atraksi lumba-lumba dan ikan terbang yang melompat ke permukaan air. Wow, menyenangkan.
Begitu kapal sandar di pelabuhan, perjalanan dilajutkan dengan bus sekitar 1,5 jam menuju Benteng, ibu kota Kabupaten Selayar. Malam sudah menyelimuti Benteng saat bus tiba di kota kecil itu. Sepiring nasi santan, sambal belimbing, dan ikan bakar kikang, yang menjadi salah satu sajian khas daerah kepulauan ini, menjadi hal pertama yang menyambut perjalanan kami malam itu. Tampilan kikangsebenarnya biasa saja, tak tercium bau amis sama sekali. Dagingnya putih, bersih, dan empuk. Rasanya manis.
Setelah urusan perut selesai, dua rekan di sana, kami sempat menjelajahi sudut-sudut kota di malam hari sebelum akhirnya beristirahat. Ini kegiatan yang layak dilakukan jika perjalanan ke tempat baru. Benteng kotanya tak terlalu besar, sehingga tak lama menikmatinya di malam hari
Agenda pertama keesokan harinya adalah perjalanan ke Pulau Gusung. Pulau ini membentang di depan Kota Benteng. Jalan-jalan ke pulau ini untuk melihat “tabungan ikan” dalam keramba tancap dan keramba apung milik warga Desa Bontolebang, Kecamatan Bontoharu. Seperti namanya, tiang-tiang keramba tancap itu ditancapkan ke laut dengan kedalaman sekitar 5 meter. Jaring yang digunakan berbentuk persegi, setiap bagian ujungnya terpaut pada sebuah pancang.
Di dalam kotak inilah terperangkap ikan kerapu jenis sunu yang dibudidayakan warga. Menurut warga Desa Bontolebang, bibit ikan ditangkap dari alam. Warna-warni ikan sunu dengan tubuh berbintik-bintik ini sungguh menyajikan pemandangan menakjubkan. “Akuarium alam,” begitu orang biasa menyebutnya.
Pelayaran menuju Desa Bontolebang dilakukan dengan perahu jo’lloro bermesin motor milik Kepala Desa. Tampak tiang-tiang keramba dihinggapi bangau. Mendekati Pulau Gusung, air laut terlihat hijau karena tanaman lamun, senada dengan pohon-pohon kelapa yang berjejer rapi di tepian pulau. Sambutan warga seramah lambaian nyiur. Rumah-rumah berdiri dengan begitu teratur di antara rimbunan pohon kelapa, berjejer menghadap jalan kecil yang terbuat dari paving block. Suguhan kelapa muda dari warga melengkapi perjalanan kali ini.
Sebelum kembali ke Benteng, pengunjung diajak lagi melihat bagaimana ikan-ikan dalam “akuarium alam” diberi makan. Saharuddin alias Opa, seorang petugas, menenteng ember berisi potongan ikan segar. Begitu suguhan itu dimasukkan, seketika ikan-ikan berkerumun dan berebutan pakan. Jangan coba-coba Anda menurunkan tangan maupun kaki ke keramba, bisa-bisa menjadi sasaran ikan karena dianggap pakan.
Perjalanan di hari yang gerah dan melelahkan itu ditutup dengan menikmati ketenangan sore di Pantai Baloiya, Desa Patikarya, Kecamatan Bontosikuyu. Obyek wisata yang disebut-sebut mirip Tanah Lot di Bali ini berjarak sekitar 10 kilometer dari Benteng. Saat menuju Pantai Baloiya, pengunjung akan melewati museum tempat penyimpanan Gong Nekara. Gong ini memiliki luas lingkaran 396 sentimeter persegi, luas lingkar pinggang 340 sentimeter persegi, dan tinggi 95 meter. Konon, ini adalah gong terbesar di Asia Tenggara dan tertua di dunia.
Dari cerita penduduk setempat, Gong Nekara tidak sengaja ditemukan oleh Sabuna dari Kampung Rea-rea pada 1686 di sawah Raja Putabangun, Papaniohea. Gong bercorak unik ini lantas dipindahkan ke Bontobangun dan menjadi kalompoang atau arajang—benda yang dikeramatkan setelah berakhirnya pemerintahan Dinasti Putabangun pada 1760.
Setelah melewati Bontobangun, kami memasuki kawasan Bontosikuyu. Hanya sekitar 15 menit berkendaraan roda empat pemandangan pantai yang eksotis dengan keindahan hamparan pasir putih menyambut ramah. Panjang pantai mencapai 300 meter. Sebuah batu besar di tengah pantai tampak bagian atasnya ditumbuhi tanaman asoka.

Tak jauh dari tempat itu, terdapat gua alam Baloiya, jaraknya sekitar 500 meter. Di Desa Patikarya ada beberapa gua yang saling berhubungan. Jika waktu kunjungan cukup, pengunjung bisa menjelajahi goa-goa tersebut. Sayang, kunjungan kali ini waktu kami terbatas, sehingga perjalanan ke Baloiya terpaksa disudahi. Kami bergegas kembali ke Benteng untuk makan malam dan istirahat. Tentu tak lupa mencari sedikit buah tangan, selain olahan serba ikan, Selayar terkenal sebagai penghasil emping, kenari, dan jeruk Selayar. Jangan sungkan membawanya, sebab Selayar tak setiap hari kita kunjungi. Dari Benteng kita harus naik feri ke Pelabuhan Bira, Bulukumba. Lalu, disambung perjalanan sekitar 5 jam via darat menuju Makassar.
Taman Nasional Takabonerate
Selayar juga terkenal dengan Taman Nasional Takabonerate—taman laut yang mempunyai kawasan atol terbesar ketiga di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshalla dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa. Luasnya mencapai 220 ribu hektare dengan sebaran terumbu karang mencapai 500 kilometer persegi.
Rasanya perlu waktu sekitar sepekan untuk menikmati secara lengkap pesona Selayar karena infrastruktur yang belum lengkap. Jika perjalanan dilakukan mulai dari Jakarta, maka pengunjung harus terbang dulu ke Makassar di Sulawesi Selatan, baru ke Kepulauan Selayar. Bila beruntung, kadang ada jadwal penerbangan dari Makassar langsung ke Selayar dengan waktu tempuh kurang dari satu jam. Ini akan membantu menghemat waktu perjalanan.
Irma/TL/agendaIndonesia
*****