
Tana Toraja di Sulawesi Selatan adalah daerah dengan kekayaan adat budaya yang luar biasa. Ia adalah salah satu keajaiban yang dimiliki Indonesia dari rangkaian Sabang sampai Merauke. Toraja adalah salah satu tempat yang wajib dikunjungi di negeri ini.
Tana Toraja dan Keajaibannya
Dari Makassar, jika tak membawa kendaraan sendiri, ada bus-bus antarkota yang berangkat hampir sepanjang hari. Sejak pukul 9 pagi, hingga jam 9 malam. Waktu tempuh untuk jarak sekitar 320-an kilometer dibutuhkan sekitar 8 jaman. Harga tiket bus yang berangkat pagi biasanya lebih murah jika dibandingkan yang berangkat malam. Masing-masing dengan kelebihannya.
Untuk menuju Tana Toraja bagi tentu saja kita harus menuju Makassar terlebih dahulu. Tentu, bagi mereka yang tinggal di Palu, Sulawesi Tengah, ada jalur darat yang tak perlu harus ke ibukota Sulawesi Selatan itu dulu.
Jika memilih berangkat pagi, wisatawan bisa menikmati keindahan kota-kota yang dilintasi. Juga pemandangan alam yang mempesona. Biasanya sampai di Toraja wisatawan akan langsung tidur terlebih dahulu sebelum keesokannya menikmati ragam budaya tempat itu. Sementara itu, jika memilih perjalanan malam hari, praktis sepanjang perjalanan akan dipakai untuk tidur.
Sesungguhnya ada penerbangan dari Makassar menuju Tana Toraja. Dari Bandara Hasanuddin mendarat di Bandara Pongtiku yang terletak di Rantepao, sekitar 10 kilometer dari kota Makale. Hanya saja, hingga saat ini, jadwal penerbangannya belum setiap hari. Umumnya Selasa dan Jumat. Itu pun hanya satu penerbangan per hari.
Tana Toraja lazimnya ramai dikunjungi wisatawan antara Juni-Desember. Pada masa itu ada ritual Rambu Solo’, yakni ritual penghormatan bagi mereka yang sudah meninggal diselenggarakan di Desa Ke’te Kesu. Ini merupakan desa tradisional kuno unik yang tersembunyi di wilayah pegunungan TanaToraja, Sulawesi Selatan. Ia terletak di tengah hamparan sawah luas dan merupakan desa tertua di Kecamatan Sanggalangi.
Usia Desa Ke’te kesu diperkirakan sudah mencapai 400 tahun. Uniknya, ia tidak pernah mengalami perubahan sejak pertama kali berdiri. Jika melihat keadaannya saat ini, bisa dibilang desa ini menjadi semacam museum hidup. Orang yang mengunjunginya dapat secara langsung melihat budaya dan tradisi unik dari masyarakat Toraja.
AgendaIndonesia beruntung pernah berkunjung ke TanaToraja. Desa Ke’te Kesu biasanya menerima penghunjung mulai pukul 8 pagi. Ada retribusi masuk yang dikenakan bagi wisatawan lokal sebesar Rp 10 ribu dan dua kali lipat untuk turis asing. Bagi peminat arsitektur permukiman tradisional Indonesia, Ke’te Kesu akan membuat betah. Detail-detail rumah adat Toraja, yang biasa disebut tongkonan, yang berusia ratusan tahun dapat dinikmati detail dan filosofinya, seraya berbincang dengan masyarakat setempat.
Selain tongkonan, di Ke’te Kesu pengunjung dapat melihat beberapa makam adat meski tidak semuanya. Beberapa peti mati tua berbahan kayu atau disebut erong dengan berbagai bentuk segera menyita perhatian di sisi kanan tangga naik.
Selain mengunjungi Ke’te Kesu, masih terkait dengan ritual penghormatan kepada arwah, kita juga bisa mengunjungi Desa Bori, Kecamatan Sesean. Di sini terdapat Rante, yakni lapangan tempat upacara pemakaman untuk kaum bangsawan tertua di Tana Toraja. Lokasinya berjarak sekitar lima kilometer arah utara Rantepao. Mata dipuaskan dengan hamparan batuan menhir tegak yang disusun dan dibentuk sedemikian rupa setiap kali ada jenasah dimakamkan.
Di Bori Kalimbuang, wisatawan bisa melihat 102 menhir yang berasal dari era megalitikum. Batu menhir ini dipasang berdiri tegak sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang. Sebanyak 54 menhir kecil, 24 berukuran sedang, dan 24 lain berukuran lebih tinggi daripada manusia tersebar di Bori Kalimbuang. Tempat ini diperkirakan telah ada sejak 1718, di mana menhir pertama didirikan pada 1657.
Perjalanan ke TanaToraja yang tak kalah penting adalah Lo’ko’ Mata di lereng Gunung Sesean, di ketinggian 1.400 mdpl, di sisian perlintasan Lembang Tonga Riu, berjarak sekitar 30 kilometer dari Rantepao. Bentuknya yang bundar mirip kepala manusia yang menyebabkan dinamai Lo’ko’ Mata. Batu kubur alam berdiameter sekitar 20 meter yang digunakan sebagai makam tersebut lebih dikenal sebagai Dassi Dewata atau Burung Dewa. Sebab, liang-liang yang ada di sana sering ditempati berbagai jenis burung dengan bulu warna-warni dan suara khas. Hingga saat ini, di area seluas kurang-lebih satu hektare itu sudah ada sekitar 60 liang.
Di Lo’ko’ Mata kita bisa memutari sudut-sudut seutuhan batu dan memperhatikan beberapa tau-tau, yakni patung kayu yang mewakili orang yang dimakamkan, serta ornamen-ornamen pada pintu liang dan tongkonan-tongkonan mini yang menarik perhatian.
Kunjungan selanjutnya adalah Londa. Berbeda ketika ke Ke’te Kesu, Londa seperti lemari arsip kisah Toraja yang lain lagi. Ada dua gua di sini. Di gua pertama sebaran erong serta serakan tulang dan tengkorak berpadu dengan kegelapan. Gua kedua lebih dalam, sekitar 1,5 kilometer, di mana di pintu masuknya dihiasi satu erong berhiaskan pa’ barre allo (ukiran matahari bulat utuh) di kanan-kiri. Balkonnya ramai dengan tau-tau pelbagai usia.

Setelah kunjungan ke tempat-tempat perziarahan kuno, sejak 2015 TanaToraja juga memiliki tempat perziarahan baru yang gigantik. Ini khususnya bagi umat kristiani. Di sana juga ada patung Yesus Buntu Burake yang konon disebut tertinggi di dunia.
Patung Yesus Memberkati ini berada di atas puncak bukit Buntu Burake yang berketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut. Tinggi badannya diperkirakan sekitar 45 meter dan dibuat dari perunggu. Patung ini yang dibangun pada Mei 2015 dan memakan biaya sekitar Rp 22 miliar.
Jadi, pernah mengunjungi TanaToraja? Ayo agendakan Indonesia-mu.
*****