Tradisi Sekaten menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa. Foto: Dok. Dinas Pariwisata Yogyakarta

Tradisi Sekaten bagi masyarakat Jawa adalah saat di mana kegembiraan dan rasa syukur dirayakan. Dalam budaya Jawa, tradisi ini merupakan kegembiraan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Acara ini biasanya dilakukan setahun sekali, merunut pada kalender Jawa dari tanggal 5 hingga 11 Mulud, atau Rabiul Awal dalam kalender Hijriyah.

Tradisi Sekaten

Tahun ini perayaan tersebut tengah berlangsung dan diselenggarakan antara 16 September hingga 16 Oktober. Dengan puncaknya saat Maulid Nabi Muhammad SAW pada 7-8 Oktober.

Ada beberapa versi mengapa perayaan ini disebut Sekaten. Yang paling populer adalah nama ini menyadur dari sebuah kata dari bahasa Arab ‘syahadatain’ yang bisa diartikan sebagai persaksian, sebagaimana umat Islam bersaksi akan kepercayaan mereka terhadap Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW dalam kalimat syahadat.

Tradisi Sekaten merupakan kegembiraan menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW.
Tradisi Sekaten Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Foto: dok. shutterstock

Versi lainnya menyebutkan bahwa Sekaten berasal dari gabungan kata ‘suka’ dan ‘ati’ dalam pelafalan Jawa. Artinya, Sekaten dimaknai sebagai rasa suka cita masyarakat Jawa dalam merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Ada pula versi yang mengatakan bahwa tradisi Sekaten terinspirasi dari nama salah satu gamelan pusaka milik keraton Yogyakarta, yang dinamai Kanjeng Nyai Sekati. Gamelan pusaka ini biasanya akan digunakan dalam rangkaian perayaan tradisi tersebut.

Asal-usul acara perayaan ini sendiri diyakini bermula dari jaman kerajaan Demak. Kala itu, salah seorang anggota Wali Songo, yakni Sunan Kalijaga, menyelenggarakan acara ini sebagai media berdakwah dan menyebarkan ajaran Islam.

Acara tersebut biasanya berupa pentas seni karawitan atau musik gamelan yang dilaksanakan di halaman Masjid Agung Demak pada saat itu. Menurutnya, mayoritas masyarakat Jawa ketika itu menggemari acara karawitan, sehingga banyak yang kemudian akan berbondong-bondong datang.

Lewat seni karawitan tersebut, ia lantas memanfaatkan momen itu untuk berkhotbah dan membacakan ayat-ayat suci Al-Quran. Dari situlah, banyak orang yang kemudian ikut tertarik untuk belajar dan memeluk agama Islam.

Budaya tersebut kemudian dicampur dengan adat kerajaan Majapahit yang melakukan arak-arakan dengan menggunakan sesajen. Hal ini sebagai wujud penghormatan pada arwah leluhur, dalam konteks tradisi Sekaten sebagai penghormatan bagi Nabi Muhammad SAW sekaligus doa agar rakyat senantiasa sejahtera dan berkehidupan seperti sang suri teladan.

Upacara adat ini kemudian lazim dilaksanakan oleh dua keraton kesultanan Mataram Jawa, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Yogyakarta dan di Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Solo. Secara umum kedua acara dilaksanakan dengan adat yang mirip, walaupun ada juga beberapa perbedaannya.

Di Yogyakarta dulunya acara ini diadakan di halaman Masjid Gede Kauman Yogyakarta, yang terletak di area alun-alun utara. Acara biasanya dimulai dari jam 16.00 hingga 24.00, selama sepekan kecuali pada malam Jumat atau Kamis malam. Gamelan pusaka tak boleh dimainkan pada periode tersebut sampai setelah sholat Jumat.

Sebelum acara dimulai, tiga gamelan pusaka keraton yakni Kanjeng Nyai Sekati, Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nagawilaga dikeluarkan dari keraton dan diletakkan di halaman masjid. Prosesi ini menandakan bahwa upacara adat siap dilaksanakan.

Para Abdi Dalem keraton yang bertugas memainkan gamelan pusaka juga diminta melakukan ritual tertentu sebelum pergelaran dimulai. Mereka diharuskan berpuasa sambil melakukan siram jamas (mandi sambil keramas) sebelum dibolehkan berpartisipasi.

Gamelan pusaka tersebut konon dibuat oleh Sunan Giri yang pandai berkesenian karawitan. Alat pemukulnya terbuat dari tanduk kerbau, yang dapat menghasilkan bunyi yang jernih dan nyaring. Cara memukulnya pun harus diangkat setinggi dahi sebelum dipukul.

Daftar lagu-lagu yang dimainkan juga khusus untuk acara ini, dan dinamakan Gendhing Sekaten. Beberapa lagu ini dulunya disebut menjadi lagu yang dimainkan pada acara karawitan di jaman kerajaan Demak.

Di sela-sela pementasan tersebut, akan diselipkan beberapa kegiatan yang melengkapi rangkaian acara, seperti tari tradisional dan pembacaan ayat suci Al-Quran. Ketika acara dimulai ada pula budaya mengunyah sirih di sekitar halaman masjid. Budaya ini diyakini sebagai wujud doa agar sehat selalu dan awet muda.

Lalu, pada malam hari, ketika Sri Sultan Hamengkubuwono hadir di tempat, ia akan melakukan Udhik-Udhik atau menyebarkan koin logam kepada guru besar masjid, Abdi Dalem dan warga yang hadir. Koin-koin tersebut dipercaya sebagai simbol meraih keberuntungan dan kesejahteraan.

Sri Sultan biasanya akan hadir pada saat pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW. Pada momen itu, beliau akan dipasangkan bunga cempaka pada telinga sebelah kanan. Biasanya ini terjadi pada malam terakhir perayaan Sekaten.

Di luar masjid, akan terdapat banyak penjual nasi gurih beserta lauk pauknya yang dinamakan nasi wudug, yaitu nasi yang dibuat dengan minyak samin. Nasi ini konon disebut sebagai salah satu makanan kesukaan Nabi Muhammad SAW.

Biasanya akan terdapat pula pasar malam Sekaten yang diselenggarakan di area alun-alun. Walaupun akhir-akhir ini, acara tidak lagi diadakan di sana untuk menjaga kebersihan dan ketertiban di area alun-alun.

Secara teknis pasar malam bukan bagian utama dari acara. Tetapi gelaran ini tetap dilaksanakan selama sebulan penuh dalam kurun waktu bersamaan dengan tradisi Sekaten, agar warga dapat turut andil dalam meramaikan perayaan tersebut.

Antara hari keempat hingga keenam perayaan, akan dilakukan adat tradisional yang disebut Numplak Wajik. Pada momen ini, kentongan dan lumpang akan dibunyikan. Kegiatan ini juga biasa disebut ‘kotekan’, yang menandai dimulainya persiapan pembuatan gunungan yang akan diarak pada acara puncak.

Pada akhir acara di hari terakhir, akan ada prosesi pengembalian gamelan pusaka kembali ke tempatnya di keraton, yang dinamakan Kondur Gongso. Prosesi ini sekaligus menandai berakhirnya rangkaian perayaan tradisi Sekaten.

Tradisi Sekaten diselenggarakan dua kraton di Jawa, Yogyakarta dan Surakarta. Walaupun semangatnya sama, ada sejumlah perbedaan di natara ke duanya.
Gunungan Sekaten yang terdiri dari hasil bumi sebagai simbol kesejahteraan. Foto: DOk. shutterstock

Namun puncak acara akan berlangsung pada keesokan harinya, persis pada hari Maulid Nabi, yang lazim disebut Grebeg Maulud. Ini merupakan acara arak-arakan gunungan oleh seluruh brigade pasukan keraton. Acara ini biasanya berlangsung dari jam 08.00 sampai 11.00.

Gunungan yang dimaksud di sini adalah makanan dan bahan bakunya seperti beras ketan, sayuran dan buah-buahan yang disusun menggunung. Gunungan tersebut melambangkan rasa syukur atas kemakmuran hasil bumi.

Biasanya, gunungan dibagi menjadi beberapa jenis dan simbolnya, seperti gunungan kakung, putri, dharat, gepak dan pawuhan. Gunungan kakung memiliki simbol sebagai sang baginda raja, gunungan putri sebagai permaisuri, gunungan dharat dan gepak sebagai para pangeran dan putri, serta gunungan pawuhan sebagai cucu-cucunya.

Gunungan-gunungan tersebut kemudian dibawa ke Masjid Gede untuk didoakan. Setelah selesai, gunungan lantas dibawa ke area alun-alun untuk diperebutkan warga. Lazimnya, beberapa di antara mereka adalah petani. DI masa kini tentu saja semua warga masyarakat.

Mereka percaya gunungan yang telah didoakan bernilai sakral, sehingga bagian dari gunungan yang mereka dapatkan akan ditanam di sawah dan ladang mereka. Harapannya, sawah dan ladang mereka akan senantiasa subur, bebas bencana dan dapat dipanen hasil yang terbaik.

Namun secara mendasar Grebeg Maulud ini menjadi simbol kepedulian Sri Sultan dan keraton kepada warganya, agar mereka dapat turut hidup dalam keberkahan dan kesejahteraan. Sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW untuk senantiasa murah hati, bersedekah dan membantu mereka yang membutuhkan.

(Bersambung ke Bagian 2)

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi