Kue Denderam

Camilan kecil Bagansiapiapi bisa menjadi pilihan untuk dinikmati ketika Anda mampir ke kota ini menikmati atraksi budaya Bakar Tongkang tiap tahunnya.

Camilan Kecil Bagansiapiapi

Bagansiapiapi, sebuah kota tua di muara Sungai Rokan, pesisir utara Kabupaten Rokan Hilir, Riau, yang menyimpan berlaksa hikayat, menjadi saksi mata masuknya aktivitas perdagangan dari negeri seberang ke Nusantara. Alkisah, di kota ini pula, akulturasi menjadi sebuah peristiwa yang melahirkan berbagai fenomena kultural. Peninggalan tempo dulu—tak hanya gedung—kuliner pun masih banyak tertinggal.

Si Legit dari Semenanjung Malaysia

Pada 1910-1918, Inggris membawa para pekerja perkebunan karet dan pertambangan timah dari India Selatan menuju Malaysia. Sebuah artikel yang dimuat media The Star menyebut, masuknya kaum buruh ke tanah Melayu pada masa itu meninggalkan beberapa warisan yang masih terlacak sampai sekarang, salah satunya kuliner. Yang populer dan mudah ditemui di berbagai tempat adalah kuih atau kue denderam.

Kue ini bak penganan egalitarian yang umum disantap siapa pun, mulai pekerja akar rumput hingga kaum bangsawan. Pada masa lampau, masyarakat menyebutnya sebagai kuih keling lantaran warnanya tampak cokelat berkilau. Bahkan, penyebutan itu masih digunakan sampai si keling bercita rasa legit ini masuk ke daratan Sumatera bagian tengah melalui sebuah daerah kecil bernama Bagansiapiapi. Lantaran diduga merujuk pada kaum tertentu, penamaan kue keling berangsur-angsur tak lagi digunakan. Maka itu, penamaannya memakai julukan semula, yakni denderam.

Denderam, seperti yang berasal dari tanah asalnya, menjadi penganan wajib yang harus disantap kalau wisatawan datang ke Riau, khususnya Bagansiapiapi. Kue yang terbikin dari gula merah dicampur dengan tepung beras itu adalah bukti nyata terjadinya akulturasi budaya antara Melayu, India, dan Chinese di tanah Bagan. Salah satu penjual denderam yang masih eksis hingga kini, Lisa, menjelaskan, bahan untuk mengolah serta cara memasak denderam tak boleh main-main.

Ia mencoba membikin kue berbentuk bunga lima jari sesuai dengan resep asli. “Harus pas betul komposisi gula dan tepungnya. Gula harus lebih banyak daripada tepung,” katanya kala ditemui Travelounge di Bagansiapiapi beberapa waktu lalu. Bentuk pun tak diubah. Selain karena tak ingin kehilangan keaslian, Lisa pingin pembeli merasakan betul sensasi menyantap kue denderam menyerupai yang dijual di tempat asalnya. Pun, menilik sejarahnya, ia menghormati keberadaan kue yang dulunya dimasak untuk upacara-upacara keagamaan itu. Sebiji kue dihargai Rp 1.000.

Kue Denderam Lisa

Kampung Ramadan (khusus Ramadan), Jalan Merdeka, Bagansiapiapi, Riau

Buka pukul 16.00-19.00

camilan kecil Bagansiapiapi seperti kue KasmaKue Kasma
Kue Kasma khas bagansiapiapi.

Kasma, Kue dari Tanah Si Panda

Tak cuma menjual kue bergaya fusi, Lisa juga menjajakan penganan khas peranakan. Salah satunya kue kasma. Lantaran masyarakat Bagansiapiapi mayoritas dihuni warga Tionghoa, menu-menu camilan ringan pun banyak yang berbau Negeri Bambu, seperti yang mengandung kacang hijau. Begitu juga dengan kasma.

Kue ini komplemen utamanya memang polong-polongan. Hal itu terbukti dari penampilan luarnya. Lisa menjelaskan, kasma, yang berbentuk bulat pipih, terbikin dari pulut yang direbus, lalu dikukus, lantas dilumuri dengan tepung panir dan bubuk kacang hijau. Bagian dalamnya tak kalah. Isinya tak lain tak bukan ialah kacang hijau yang diolah bercampur gula merah. Teksturnya lembut sekaligus kenyal, hampir mirip dengan sagu yang dimasak.

Manisnya kasma, kata Lisa, cocok disantap sambil menyeruput teh kala sarapan atau menikmati sore di beranda. Tentu mirip dengan budaya masyarakat Tionghoa yang gemar meminum teh hijau. Apalagi, suasana di Bagansiapiapi yang kental ciri peranakannya membawa ingatan pada kota lama Taiwan yang lekat dengan romansanya. Kue kasma tak kalah murahnya dengan denderam, yakni Rp 1.000.

Kue Kasma Lisa

Kampung Ramadan (khusus Ramadan), Jalan Merdeka, Bagansiapiapi, Riau

Buka pukul 16.00-19.00

Udang Bagan di Balik Tepung dan Obrolan Hokkien

Lohan Ki tengah mengaduk-aduk adonan tepung berisi kangkung, bawang putih, jeruk nipis, dan udang Bagan kala kami sampai di kedai bergaya arsitektur Tionghoa kuno miliknya. Setumpuk heci yang baru mentas dari penggorengan mendarat di meja sebelah perempuan paruh baya berwajah peranakan itu. “Sebentar, pesanan banyak, antre ya,” tuturnya. “Mau lim (minum) kopi dulu ha?” katanya dengan logat Hokkien. Saya lantas mengiyakan sembari menunggu gorengan yang katanya legendaris ini tersedia.

Kasman, profesor sekaligus pegiat budaya yang mengajak kami berkeliling Bagansiapiapi, mengisahkan betapa kesohornya warung yang sudah belasan tahun itu berdiri. Pantas saja, setiap hari, deretan kursi di kedai selalu penuh oleh warga, yang datang sekadar untuk mengicip heci dan menyesap seseruput kopi Bagan. “Apa bedanya heci di sini dengan bakwan di Jawa Tengah atau ote-ote di Jawa Timur?” tutur Kasman, mengetes. Berbarengan dengan pertanyaan yang membikin bingung itu, sepiring gorengan tepung yang telah dipotong kecil-kecil berbentuk dadu dihidangkan. “Ini jawabannya,” kata Kasman sembari menusuk udang yang terpisah dengan tepung.

 Ya, menurut akademikus itu, yang membikin spesial adalah aroma udang asli Selat Malaka yang gurih bercampur aroma bawang dengan karakternya yang kuat. Belum lagi gorengannya yang kering, namun menyisakan tekstur juicy di bagian dalamnya. Dominasi rasa yang kaya bumbu dan cara masak yang tepat membikin heci terasa tak sia-sia masuk mulut. Sepiring heci bisa disantap beramai-ramai bersama teman nongkrong. Pun harganya sangat murah, yakni Rp 20 ribu. Sembari mengunyah penganan yang renyah itu, obrolan-obrolan dengan irama Hokkien memenuhi ruangan. Suara racikan kopi dengan penyeduhan bergaya tarik dengan teko-teko tradisional turut menjadi irama yang merdu.

Heci Lohan Ki

Jalan Perdagangan, Bagansiapiapi, Riau

Buka pukul 18.00-00.00

F. Rosana

Yuk bagikan...

Rekomendasi