Mengejar awan Mahameru adalah impian para petualang alam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Selain curam, medannya juga berpasir yang membuat setiap selangkah mendaki, kaki malah bisa merosot mundur lima langkah.
Mengejar Awan Mahameru
Perjalanan ini sendiri sudah jauh saya lakukan. Bahkan sebelum masa pandemi, namun tetap saja menarik buat saya kenang. Saya ingat, saat itu hampir menjelang tengah malam saat sampai di pos Kalimati. Hawa dingin sudah menyerbu badan bahkan saat sebelum sampai pos ini.
Sambil duduk di atas sebuah batu, berulangkali saya mencoba merapatkan jaket yang menempel di tubuh. Tapi nyaris tak ada gunanya. Di ketinggian 2.700 meter di atas permukaan laut menuju puncak Semeru, sia-sia saja melawan dinginnya udara yang mendekati nol derajat.
Danau Ranukumbolo, tempat para pendaki biasa mendirikan tenda untuk bermalam sebelum menuju puncak Semeru. Foto: Dok. Unsplash
Mencoba mencari hangat, saya berjalan berkeliling. Mendekati sekelompok orang yang tengah duduk mengelilingi api unggun kecil. Mereka penduduk sekitar Semeru yang biasa menawarkan jasa porter. “Kapan akan berangkat muncak?” tanya salah seorang dari mereka. “Tengah malam nanti, pak,” ujar saya.
“Berjalan saja, jangan pikirkan akan sampai atau tidak. Jika berjalan terus, tidak terasa nanti sampai di atas,” ujar laki-laki setengah baya tadi seakan memberi tip sekaligus menguatkan semangat.
Semeru, merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Gunung yang sudah banyak diimpikan para pendaki.
Untuk saya sendiri, angan-angan mengejar awan Mahameru di ketinggian 3.676 mdpl sudah ada sejak remaja, meski saya bukan pendaki. Dan kesempatan itu pun akhirnya datang. Dengan menumpang kereta Matarmaja saya menuju Malang dari Jakarta. Selanjutnya bersama 16 teman menumpang jeep hingga pos Ranu Pane, desa terakhir untuk menuju Semeru.
Malam itu di Kalimati, berarti tinggal sekitar tiga kilometer menuju puncak. Tapi perjuangan justru baru dimulai. Medan yang akan kami tapaki selanjutnya, selain curam, adalah medan berpasir. Satu langkah mendaki, kaki bisa merosot lima langkah.
Tepat pukul 12 malam rombongan memulai perjalanan menuju puncak. Di tengah kegelapan, kami merayapi sela pepohonan dengan penerangan dari headlamp. Semakin tinggi mendaki, saya semakin sulit bernapas. Hidung terasa nyeri ketika menghirup udara. Kepala saya pening. Tampaknya asupan oksigen yang kurang lancar mulai mempengaruhi peredaran darah di kepala.
Saya tetap berjalan. Pikiran saat itu masih normal untuk mengatakan, saya harus terus berjalan. Saya tidak mau menyerah. Apalagi, di sekitar pos Arcopodo, kami menjumpai beberapa batu nisan yang dibuat untuk menandai pendaki yang meninggal saat pendakian. Sambil melangkah, doa semakin deras terucap dalam hati.
Lepas dari pos Kelik, kami mulai menapaki pasir. Meski kondisi gelap gulita, saya dapat merasakan pasir raksasa Mahameru berdiri tegak di depan kami. Saya menyesal tidak menggunakan geiter sebagai penutup kaki. Pasir dan kerikil masuk ke dalam sepatu dan sampai di bawah tapak kaki. Menginjak kerikil-kerikil membuat saya melangkah dengan rasa nyeri. Berulangkali saya melepas sepatu dan mengeluarkan kerikil.
Puncak Semeru terlihat di kejauhan. Foto: Dok. unsplash
Hampir fajar. Rombongan sudah berpencar. Saya menoleh ke belakang. Masih ada dua teman. “Ayoo semangaaat…,” teriak seseorang. Saya masih berada di tengah pasir, saat rona merah matahari dari bawah awan menyajikan pemandangan yang sangat indah. Di Jakarta, matahari terbit sering saya anggap hal biasa. Tapi sini, setiap kejadian alam adalah keajaiban. Terduduk di pasir, saya merasa beruntung dapat menikmati kuasa-Nya.
Hari telah pagi. Suasana hampir terang. Puncak Semeru belum juga terlihat. Saya melangkah dengan sisa-sisa napas. Tenggorokan terasa kering. Persediaan minum sudah habis pula. Seorang pendaki yang berjalan mendahului saya, mencoba memberi semangat. “Puncak sebentar lagi, paling 50 meter,” ujarnya tanpa ditanya.
Duh, bahkan 5 meter menanjak di pasir yang miring sangat jauh berbeda dengan di permukaan datar. Jangankan berjalan, mencari pijakan di pasir saja, kaki harus meraba agar tidak merosot ke bawah lagi.
Di tepian pasir, beberapa pendaki tergolek tidur. Saya mencoba merebahkan diri di pasir Semeru. Luar biasa, lebih nikmat dibanding ketika di spring bed mahal. Kantuk menyerang, hampir saya tertidur. O.. tidak! Saya segera bangkit. Saya bergegas, khawatir kehabisan waktu, karena setelah pukul 9.00 pendaki tidak bisa menuju puncak. Semua harus turun. Angin yang mungkin membawa asap beracun dari kawah Semeru akan bergerak ke jalur pendakian.
Tubuh saya benar-benar lemas, 10 meter menjelang puncak. Dari atas sekelompok pendaki berjalan turun. “Sini, mana tongkatnya, saya tarik,” dia berteriak. Saya mengangsurkan trekking pole saya. Ia menarik tongkat yang saya genggam hingga tubuh saya terangkat naik. Teman di belakangnya melanjutkan menarik tongkat saya.
Saya seperti mendapat semangat baru. Saya tahu, puncak hanya beberapa langkah lagi. Satu…dua…tiga. Hopla!! Dengan sisa tenaga saya mencapai tanah datar Semeru. Saya tersungkur dan meneteskan air mata, tidak percaya akhirnya mencapai harapan mengejar awan Mahameru. Saya bangkit menatap hamparan abu-abu puncak Semeru. Melangkahkan kaki mengitari puncak dengan buncahan rasa yang sulit saya definisikan. Semalaman bergelut dengan pasir dan bebatuan Mahameru, inilah akhir perjalanan. Puncak Mahameru dikelilingi kepingan awan. Saya seperti berada di negeri atas awan puncak tanah Jawa.
Wisata ke Batam pada masanya pernah begitu popular bagi banyak orang Indonesia. Maklum, hingga 31 Desember 2010, orang Indonesia yang hendak bepergian ke luar negeri dulu harus membayar fiskal sebesar Rp 1 juta. Dan, jika berangkat dari Batam, untuk perjalanan satu hari biaya itu bisa dipangkas separuhnya.
Wisata Ke Batam
Soal jalan-jalan dengan menghemat biaya fiskal adalah cerita masa lalu. Kini Batam terus berbenah menjadi spot wisata yang mandiri. Makin banyak pengunjung yang memang mau menikmati Batam itu sendiri. Tentu, tak menutup kemungkinan ada saja ada pengunjung yang selain main ke pulau ini seraya melirik ke negeri Singa. Maklum, jarak antara ke dua pulau ini cuma 15 kilometer. Dengan kapal fery, jarak ini biasanya ditempuh 40-45 menit.
Batam adalah kota sekaligus pulau yang terletak di Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai kota, Batam adalah kota terbesar di provinsi ini. Wilayah Kota Batam terdiri dari Pulau batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang dan pulau-pulau kecil lainnya di kawasanSelat Singapura dan selat Malaka. Pulau Batam, Rempang, dan Galang kini terkoneksi oleh Jembatan Barelang yang sekaligus menjadi ikon kota ini.
Ketika dibangun pada tahun 1970-an oleh Otorita Batam, saat ini bernama BP Batam, kota ini hanya dihuni sekitar 6.000 penduduk. Dalam tempo 40 tahunan penduduk Batam bertumbuh hingga 158 kali lipat. Jumlah penduduk mencapai 1.150.000 jiwa pada sensus 2012.
Kota ini sejatinya terus dikembangkan menjadi kawasan wisata terpadu yang cukup lengkap. Selain memiliki sejulah spot alam yang menarik, punya petilasan sejarah, dan tak kalah penting ia juga dikembangkan untuk wisata belanja. Batam merupakan bagian dari kawasan khusus perdagangan bebas Batam-Bintan-Karimun (BBK).
Untuk ke Batam tentu saja paling mudah menggunakan penerbangan dari Jakarta. Ada banyak jadwal penerbangan ke kota ini, tinggal disesuaikan dengan acara yang disusun selama di Batam.
Jika melakukan perjalanan ke Batam untuk liburan, pulau ini memiliki koleksi pantai yang indah dan beragam. Wisatawan bisa memilih, pemandangan gugusan pulau, Singapura, atau Jembatan Barelang yang megah itu. Salah satu pantai yang memiliki potensi wisata bahari adalah Pantai Tanjung Pinggir.
Pantai ini berada di kawasan Sekupang, Kota Batam. Bila tak sedang musim kabut asap, gedung-gedung di Singapura terlihat jelas, bahkan Marina Bay Sands sekalipun. Tanjungpinggir dikepung bebatuan, namun pantainya yang kecoklatan masih sangat leluasa untuk digunakan bermain atau berjalan-jalan di pinggirnya.
Ada pula Pantai Nongsa yang memiliki pemandangan sangat cantik dan banyak dikunjungi wisatawan karena keindahan pantai dengan pasir putihnya. Pantai ini terletak di Kecamatan Nongsa, hanya sekitar 10 menit jika ditempuh dari bandara. Banyak wisatawan yang datang ke tempat wisata ini untuk menikmati keindahan lautnya, mereka juga dapat menginap di hotel sekitar pantai.
Pilihan kunjungan lainnya adalah ke kampung Vietnam di Pulau Galang. Tempatnya sekitar 50 kilometer dari Kota Batam dengan waktu perjalanan sekitar 1,5 jam. Kampung Vietnam merupakan bekas kamp pengungsian warga Vietnam pada saat Perang Vietnam berlangsung atau setelah berakhir di akahir 60-an hingga 70-an.
Di Kampung Vietnam ada gereja tua, vihara, barak pengungsian, penjara hingga patung Buddha tidur. Beberapa bangunan memang banyak yang telah menjadi puing-puing, seperti rumah sakit dan penjara. Semua bangunan tersebut menjadi saksi bisu tentang kehidupan para pengungsi di masa lalu.
Secara historis Indonesia pernah punya pengalaman ikut menangani pengungsi dari Vietnam atau yang kerap dijuluki sebagai manusia perahu. Pemerintah Indonesia saat itu memilih Pulau Galang untuk menampung para manusia perahu tersebut.
Pemerintah Indonesia mengizinkan mereka mengungsi ke tempat tersebut untuk sementara waktu hingga perang saudara di Vietnam reda. Setelah terjadi perdamaian di Vietnam, para pengungsi mulai kembali ke negaranya dan membiarkan tempat tersebut kosong. Hingga saat ini tempat itu menjadi tempat wisata yang unik karena ada sebuah desa yang tidak berpenghuni namun memiliki suasana yang tidak lazim di Indonesia.
Pilihan selanjutnya, terutama bagi mereka yang memiliki anak kecil adalah bermain ke Ocarina. Orang Jakarta barang kali memiliki Taman Impian Jaya Ancol, nah kalau orang Batam punya yang namanya Ocarina, yaitu wahana permainan seluas sekitar 40 hektare yang dibuka pada 2008. Tempat ini sekarang menjadi wisata hiburan paling populer bagi masyarakat Batam dan sekitarnya.
Dengan lokasi berada di pinggir pantai, bisa dimanfaatkan pengunjung untuk keperluan liburan keluarga. Pada hari libur tempat ini banyak dikunjungi oleh masyarakat baik lokal maupun luar daerah.
Wisata lain yang menarik adalah belanja. Pada masanya, banyak orang dari luar Batam yang pergi ke sini untuk berbelanja barang-barang impor, khususnya barang elektroni. Harganya memang relatif miring. Saat ini, dengan makin terbukanya perdagangan dan transaksi daring, harga murah menjadi relatif. Namun jika ada yang ingin mencoba peruntungan, bisa main ke Batam City Square, Panbil Mall, Nagoya Hill, atau Pasar Aviari. Yang terakhir ini banyak menjual barang bekas dengan kondisi bagus eks negara tetangga.
Pulau Morotai masih jarang diperbincangkan dalam peta pariwisata Indonesia. Sekitar lima tahun lalu, kawasan ini sempat disebut-sebut ketika pemerintah hendak mendorongnya sebagai salah satu sentra industri kelautan. Belakangan rencana ini seperti agak memudar.
Pulau Morotai
Morotai sendiri merupakan nama sebuah pulau di Kepulauan Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Pulau ini adalah salah satu pulau terluar di Indonesia.
Lucunya, meski berada di Kepulauan Halmahera, Morotai sendiri sejatinya adalah gugusan pulau-pulau kecil. Pulau ini merupakan yang terbesar dengan luas 2.400-an kilometer persegi.
Sebagai pulau yang terbesar, Morotai dikelilingi 32 pulau kecil. Sehingga totalnya gugusan ini ada 33 pulau. Dari jumlah tersebut, hanya tujuh pulau yang berpenghuni, sisanya kosong alias tidak berpenghuni. Tujuh pulau yang berpenghuni adalah Morotai, pulau Kolorai, pulau Ngele-ngele Kecil, pulau Ngele-ngele Besar, pulau Golo-golo, pulau Rao, dan pulau Saminyamau.
Nama Morotai berasal dari pemberian nama Kerajaan Moro di Filipina. Kerajaan Morotai sendiri merupakan daerah jajahan Moro pada abad 15-17. Kerajaan Moro menamakan jajahan mereka dengan dua nama, yaitu Morotia yang berarti Moro daratan, dan Morotai yang berarti Moro lautan. Tapi, jauh sebelum itu, Morotai berada di bawah Kesultanan Ternate.
Sebagai pulau yang berbatasan dengan Samudera Pasifik dan Filipina, Morotai pernah digunakan Jepang sebagai basis pertahanan mereka selama Perang Dunia II. Setelah itu, pulau ini diambil alih Sekutu dan digunakan sebagai landasan pesawat untuk menyerang wilayah Filipina dan Borneo Timur.
Karena itu, pulau ini banyak menyimpan sisa-sisa peningggalan Perang Dunia II. Ada gua persembunyian, landasan pesawat, juga kendaraan lapis baja yang masih utuh walaupun berkarat. Salah satu gua yang terkenal bernama Nakamura, yang jadi tempat persembunyian para tentara Jepang setelah Pulau Morotai diambil alih Sekutu. Nama tersebut diambil dari nama tentara Jepang, yang konon bersembunyi di sana selama 30 tahun.
Pada 2018, pemerintah memekarkan Morotai menjadi kabupaten. Pertimbangannya daya tarik pulau-pulaunya, keanekaragaman biota laut, dan pesona sejarah yang kuat. Pulau Morotai diyakini bakal menjelma menjadi salah satu wisata laut terindah. Bahkan tahun 2016 Morotai ditetapkan sebagai salah satu dari 10 destinasi wisata utama di Indonesia untuk jadi 10 ‘Bali Baru’.
Pulau Morotai tidak memiliki penduduk asli yang menetap secara turun temurun. Penduduk yang ada saat ini adalah berasal dari Suku Tobelo dan Suku Galela di Pulau Halmahera, tepatnya di Kabupaten Halmahera Utara. Kedua sub-etnis tersebut mendominasi mayoritas penduduk Morotai hingga kini.
Untuk menuju Morotai dari Jakarta, umumnya menggunakan penerbangan menuju Bandara Sultan Babullah Ternate. Penerbangan yang panjang, karena memakan waktu 3 jam 45 menit. Biasanya pesawat akan terbang tengah malam dari Jakarta dan tiba di Ternate sekitar jam 7 waktu setempat. Dari sini penerbangan dilanjutkan menuju pangkalan AU Leo Wattimena di Galela, Morotai sekitar lewat tengah hari. Penerbangannya sendiri cuma sekitar 45 menit, tapi umumnya harus menunggu, sebab jadwalnya belum cukup sering.
Sejatinya Morotai adalah salah satu surga milik Indonesia. Pulau-pulaunya masih belum banyak terjamah hiruk-pikuk pariwisata. Keindahan alam pulau-pulau di Morotai tak hanya tercermin lewat bawah lautnya, tapi juga daratannya. Hamparan pasir putih yang luas bisa memanjakan siapa pun yang menginjakkan kaki di sana. Panorama matahari terbit dan tenggelam menjadi salah satu momen paling dinanti wisatawan.
Ada setidaknya 28 titik penyelaman yang menyuguhkan keindahan bawah laut. Bisa jadi, ini adalah rangkaian keindahan dari Bunaken ke raja Ampat. Spot-spot penyelaman itu ada Tanjung Wayabula, Dodola Point, Batu Layar Point, Tanjung Sabatai Point, hingga Saminyamau. Semuanya luar biasa indah, dengan perairan jernih berwarna biru tua. Biota lautnya tak terhingga, hidup di antara terumbu karang yang terawat.
Bila cukup punya nyali, cobalah mampir ke Pulau Mitita yang juga menjadi salah satu spot diving. Keistimewaannya, di sini wisatawan bisa berenang bersama hiu pada waktu tertentu.Rupanya sejumlah jenis hiu di sana sudah terbiasa berenang dengan penyelam.
Apa bila tak ingin menyelam dan hanya ingin menikmati keindahan pantainya, berenang pun bisa dilakukan sepuasnya. Bagian pinggir pantai cukup dangkal. Kegiatan snorkeling ataupun berenang sangat direkomendasikan. Atau sekadar menikmati matahari terbit dan matahari tenggelam.
Nah yang terakhir ini mungkin bisa sambil menjelajahi Pulau Dodola. Pulau ini terdiri dari Pulau Dodola Besar dan Dodola Kecil. Uniknya, kedua pulau ini tersambung menjadi satu saat air laut sedang surut dan membantang jalan pasir yang menghubungkan keduanya.
Pulau Dodola terletak di sebelah barat Pulau Morotai. Dari Daruba, ibukota Morotai, perjalanan ditempuh dengan menggunakan seedboat menuju Pulau Dodola yang memakan waktu tempuh sekitar 20 menit. Jaraknya sekitar 12 kilometer. Sayangnya biaya sewa speedboad masih cukup mahal, sekitar Rp 1 juta untuk berangkat dan pulang.
Keindahan kedua Dodola Besar dan Kecil tidak berbeda jauh. Pasir pantainya sangat putih dan halus. Pemandangan lautnya yang hijau, jernih dan kebiruan. Jika sedang surut, kedua pulau ini terhubungkan oleh pasir putih. Ya, pasir putih tersebut seolah jembatan tersembunyi. Panjangnya sekitar 500-an meter. Sungguh luar biasa dan sangat cantik. Wisatawan bisa berjalan di atas pasirnya sekitar 5 menit untuk menyeberang.
Jika pandemi telah lewat, ayo agendakan kunjunganmu ke Morotai.
Salak pondoh Sleman adalah varietas buah salak yang berasal dari Sleman, Yogyakarta, Indonesia. Salak pondoh Sleman memiliki kulit coklat kehitaman dengan duri-duri halus, daging buah yang tebal, dan rasa yang manis.
Salak Pondoh Sleman
Pada wisata Sleman, salak pondoh (Salacca zalacca Gaertner Voss) adalah salah satu buah khas dari daerah ini. Di wilayah Sleman utara seperti di Kecamatan Pakem, Cangkringan, Turi, dan sebagian Tempel, hamparan kebun salak akan banyak ditemui sejauh mata memandang.
Tidak ada catatan pasti mengenai sejarah lahirnya salak Pondoh, namun diyakini bahwa varietas ini sudah ada sejak lama dan telah menjadi salah satu buah andalan daerah Sleman dan sekitarnya. Pada masa lalu, salak merupakan buah yang ditanam sebagai tanaman pekarangan atau sebagai penghasilan sampingan bagi petani.
Di beberapa titik, ada papan petunjuk arah bertuliskan “Agrowisata Salak” mudah ditemui. Bahkan, ada pula sebuah ruas jalan di Turi bernama Jalan Agrowisata.
Salak Pondoh dijajakan di banyak tempat di Yogyakarta. Foto: shutterstock
Berdasarkan informasi di situs resmi Kabupaten Sleman, sejarah salak pondoh dimulai pada sekitar 1917. Saat itu ada seorang jagabaya atau perangkat keamanan desa, di Tempel bernama Partodiredjo mendapatkan oleh-oleh 4 buah salak dari seorang warga Belanda. Salak tersebut lalu ia tanam dan budidayakan. Ternyata menghasilkan buah salak yang manis dan tak kesat. Lalu, sekitar tahun 1948, budidaya buah salak dilanjutkan lagi oleh putranya.
Masyarakat mulai masif menanam salak Pondoh ini ketika pemerintah menjalankan program ABRI Masuk Desa (AMD) pada 1981. Saat itu, para tentara membuatkan saluran irigasi sehingga lahan-lahan bisa mendapatkan pengairan secara lebih baik. Setelah itu warga mulai berbondong-bondong menanam komoditas salak mengikuti petani lainnya yang sudah mulai lebih dulu.
Dalam beberapa tahun terakhir, salak pondoh Sleman semakin dikenal dan diminati oleh pasar lokal dan internasional, sehingga produksi dan penjualan salak pondoh meningkat dengan pesat. Hal ini juga menjadi pendorong bagi para petani untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi salak pondoh dari desa Turi ini.
Kini, salak pondoh Sleman menjadi salah satu buah yang menjadi kebanggaan masyarakat Sleman dan Yogyakarta serta menjadi buah yang banyak diburu oleh wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.
Selain berwisata ke tempat desa agrowisata ini, pengunjung juga bisa belajar cara membudidayakan salaknya. Asal tahu saja, tanaman yang bisa hidup selamanya ini ternyata mempunyai kelamin jantan dan betina. Cara membedakan yang jantan dan betina adalah dengan melihat dari bunganya.
Desa Agrowista Salak, bisa langsung memetik buah salak dri pohonnya. Foto: Dok. sporttourism.id
Adapun perbedaannya adalah bunga jantan hanya mempunyai benang sari tanpa putik sehingga hanya membentuk sel kelamin jantan dengan bentuk bunga bulat memanjang. Saat bunga masak akan berwarna merah yang berlangsung hanya tiga hari dan tidak bisa berbuah.
Lain lagi dengan bunga betina yang hanya mempunyai putik tanpa benang sari. Bentuk bunganya panjang agak bulat dan di bagian tengah lebih besar. Pada saat masak, akan ada seludang atau kulit bunga pecah–pecah dan mahkota bunga nampak merah jambu selama tiga hari.
Jika pelancong punya kesempatan main ke Yogyakarta dan ingin mencicipi kesegaran salak pondoh langsung dari pohonnya, sesekali datanglah ke Desa Wisata Agro Bangunkerto, Sleman.
Desa yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani salak ini berlokasi di Kampung Gadung, Desa Bangunkerto, Kecamatan Turi Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Ketika memasuki kawasan ini, Anda langsung disambut berderet pohon salak dan kesejukan udara khas pedesaan. Untuk menuju ke tempat ini, wisatawan bisa melalui Jalan Kaliurang, bisa pula melalui Jalan Magelang.
Berdiri sejak 1989, Desa Agrowisata Bangunkerto dikelola pertama kali oleh Dr Soebroto Soedibyo. Desa wisata penghasil salak ini pernah mengalami masa-masa keemasan sekitar tahun 2000-an. Luasnya yang mencapai 27 hektare, menjadikan Desa Wisata Agro Bangunkerto mempunyai berbagai jenis salak unggulan yang belum tentu ada di negara lain.
Pintu masuk bagi para pengunjung menuju kawasan budidaya salak di Desa Wisata Agro BangunkertoJalan setapak yang bisa dilalui pengunjung untuk mengelilingi kebun salak di Desa Wisata Agro BangunkertoPeta petunjuk lokasi yang ada di desa wisata penghasil salak. Salak Madu, salah satu salak yang bisa anda temui di Desa Wisata Agro Bangunkerto.
Deretan pohon salak dan kesejukan udara khas pedesaan akan menyambut Anda di Desa Wisata Agro BangunkertoKolam yang disediakan pengelola untuk pengunjung bersantai sambil menikmati salak. Selain melihat aneka salak, Anda juga bisa melihat aneka tanaman obat di Taman Obat yang ada disiniDesa Wisata Agro Bangunkerto berlokasi di Kampung Gadung, Desa Bangunkerto, Kecamatan Turi, Sleman, YogyakartaPara pedagang salak menjajakan salak kepada pengunjung Desa Wisata Agro BangunkertoSalak Gading, salah satu salak hasil budidaya di Desa Wisata Agro Bangunkerto.
Salak pondoh kecil buahnya tapi manis rasanya. Foto: shutterstock
Tercatat sekitar 17 jenis salak terdapat di desa ini. Sebut saja seperti salak super asli Indonesia, salak madu, salak manggala, salak hitam, salak gading, salak klinting, salak gula pasir, dan beberapa salak lainnya.
Jika pun tak sempat mampir ke Desa Agrowisata-nya, wisatawan bisa membeli salak pondoh Sleman di sepanjang Jalan Magelang, jalan yang mengubungkan Yogyakarta dan Magelang, Jawa Tengah.
Gili-gili Lombok adalah kekuatan lain wisata ke pulau di timur Bali ini. Gili, yang artinya pulau dalam bahasa setempat, dengan pantai berpasir putih menjadi pilihan menikmati liburan akhir tahun. Jika Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili air sudah mulai dipenuhi wisatawan, coba alihkan ke kawasan Sekotong.
Gili-gili Lombok
Pantai Senggigi boleh jadi menjadi tujuan utama Anda ketika berlibur ke Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Dari sana, umumnya wisatawan lantas menyebarang ke Gili Trawangan atau Gili Meno. Pilihan yang selalu meyenangkan.
Namun, sesekali, tak ada salahnya jika memilih alternatif pantai lain yang juga tak kalah indahnya. Misalnya pantai-pantai di sejumlah gili di Kecamatan Sekotong di bagian selatan Lombok Barat. Kawasan ini terletak sekitar satu jam perjalanan dari Kota Mataram, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sejumlah pantai berpasir putih dengan panorama menawan menjadi dayatariknya, seperti PantaiMekaki, Pantai Bangko-bangko, dan Pantai Sepi. Di beberapa lokasi ombaknya cukup besar sehingga cocok untuk surfing.
Andalan utama Sekotong sesungguhnya adalah 23 pulau kecil, atau disebut gili, yang berpantai landai dan berpasir putih dengan air laut yang jernih. Perjalanan ke pulau-pulau ini memakan waktu 15 hingga 30 menit menggunakan perahu motor dari Pelabuhan Lembar. Dari Mataram, pelabuhan ini cuma sekitar 2,5 kilometer atau lamanya kira-kira 7 hingga 10 menit. Akses lain adalah melalui Pantai Cemara dan Pantai Tawun.
Berperahu ke gili-gili ini cukup mengasyikkan karena laut cukup tenang. Sepanjang perjalanan terlihat kapal feri Bali-Lombok yang sedang melintas. Setiap minggu, di saat kondisi sebelum pandemi, kapal pesiar dari Australia berkapasitas 1.000-2.000 penumpang juga menepi di Pelabuhan Lembar. Dari Lembar, wisatawan bisa menyewa perahu motor untuk menyeberang ke sejumlah gili-gili. Harga sewa perahu motor berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu. Ini harga perahu dengan kapasitas delapan orang untuk seharian, atau biasanya hitungan untuk main ke tiga gili terdekat.
Jika cuma punya waktu seharian, wisatawan bisa memilih hop in-hop off ke tiga gili, yakni Gili Nangu, Gili Sudak dan Gili Kedis. Gili terdekat adalah Gili Sudak, pulau kecil dengan pantai landai berpasir putih yang lembut. Namun, bisa saja perjalanan dimulai ke Gili Kedis yang tak terlalu besar. Di sini wisatawan bisa berenang atau snorkeling.
Air lautnya yang jernih dan tenang dijamin akan membuat wisatawan betah berlama-lama menikmati alam bawah lautnya. Gugusan terumbu karang yang dihuni beragam flora dan fauna laut menawan akan memancing decak kagum. Gili Kedis luasnya mungkin cuma sekira lapangan bola. Tapi asyik buat dinikmati. Buat yang suka majang foto di akun socmed-nya, gili ini tempatnya.
Kondisi pulau-pulau lain, baik di daratan maupun bawah laut, juga masih sangat terjaga. Alamnya yang tenang sangat cocok untuk menepi, sejenak membebaskan diri dari kesibukan sehari-hari.
Hanya sekitar 10 menit dari Gili Kedis, hop-in selanjutnya adalah Gili Sudak. Biasanya sampai di gili ini pas waktu makan siang, karena di sini dikenal dengan wisata kulinernya. Ada beberapa warung makan pinggir pantai yang menawarkan menu olahan berbagai ikan laut segar, juga udang, cumi, dan kadang juga lobster. Wisatawan juga makan siang ditemani kelapa muda yang segar di sini.
Puas makan siang di tepi pantai, wisatawan bisa melanjutkan hop in-hop off ke pulau ketiga, Gili Nangu. Sama seperti dua gili sebelumnya, Gili Nangu adalah pulau tak berpenghuni. Tapi tempatnya memang asyik. Pasir putih bersih, air yang jernih, dan bawah air yang menarik. Mau ketemu Nemo si ikan badut? Di sini tempatnya.
Dari Nanggu, wisatawan bisa kembali ke daratan Lombok sebelum magrib turun. Tapi jika berminat bermalam, pilihannya adalah mampir ke Gili Gede. Ini gili terbesar di kawasan Sekotong.
Gili Gede memiliki pilihan akomodasi yang lebih baik bagi para wisatawan. Dengan fasilitas dan resor seperti itu, wisatawan ketika ingin dapat menikmati alam dalam jangka waktu yang lebih lama. Meski lokasinya terpencil dan berukuran kecil, wisatawan tidak perlu ragu mengunjungi Gili Gede. Mereka terkesan dengan alam dan fasilitas yang disediakan di sana. Gili Gede termasuk pulau berpenghuni.
Arah pengembangan wisata di pulau-pulau kecil ini akan disesuaikan dengan keunikan dan daya tarik yang ada di masing-masing pulau. Gili Gede, misalnya, dikembangkan sebagai destinasi wisata bahari, khususnya wisatawan pemilik yacht. “Ada kekhasan di masing-masing pulau tersebut,” ujar seorang pemandu wisata di sana.
Wisata Bahari ternyata tak perlu jauh-jauh, ini bisa dilakukan di sekitar Jakarta. Di utara ibu negara ini ada gugusan Kepulauan Seribu yang menyimpan keindahan, sejarah, konservasi, dan petualangan. Jangan melihat lepas pantai di utara Jakarta, tapi pergilah lebih jauh sedikit, maka pesona itu akan muncul.
Wisata Bahari
Hari masih terbilang pagi saat Predator, ini sebutan untuk kapal cepat, membelah perairan Teluk Jakarta dari Dermaga Marina, Kawasan Wisata Ancol, menuju Pulau Pramuka di Kabupaten Kepulauan Seribu.Pulau Pramuka merupakan pusat pemerintahan kabupaten yang masuk dalam Provinsi DKI Jakarta tersebut.
Meski bukan tujuan utama wisatawan yang berkunjung ke Kepulauan Seribu, namun geliat pariwisata di pulau ini cukup terlihat. Setidaknya ini terlihat dari tumbuhnya sarana penginapan yang dikelola masyarakat bisa menjadi indikatornya.
Dari Pulau Pramuka inilah wisatawan kemudian memanfaatkan jasa perahu nelayan untuk berwisata mengunjungi pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu. “Wisatawan yang datang ke Pramuka memang hanya mencari tempat untuk menginap, sementara untuk aktivitas wisata mereka akan menyeberang ke pulau-pulau lain,” kata seorang pengelola Aini The Villa di Pulau Pramuka.
Dengan kondisi geografisnya yang berupa gugusan kepulauan, sudah tentu kekuatan sektor pariwisata kabupaten yang resmi terpisah dari Kota Madya Jakarta Utara pada 2001 ini terdapat wisata bahari. Pulau Pramuka, Tidung, Bidadari, Pari, Harapan, Payung adalah sedikit dari sekian banyak pulau yang menjadi tujuan wisatawan domestik maupun mancanegara.
Tiga aktivitas utama yang umumnya dilakoni wisatawan di sini adalah wisata pantai, snorkeling, dan diving. Keindahan alam Kepulauan Seribu memang terbentang dari daratan hingga taman bawah lautnya. Panorama tersebut membuat tiga aktivitas tersebut menjadi pilihan banyak wisatawan.
Namun di luar tiga aktivitas tesebut, Kepulauan Seribu masih menyimpan banyak potensi wisata, misalnya wisata pengamatan burung di Pulau Rambut, Wisata Sejarah di Pulau Cipir, Kelor, dan Onrust yang masih terdapat bangunan- bangunan peninggalan zaman kolonialisme Belanda.
Satu lagi aktivitas yang terbilang baru dan cukup menarik dilakukan di Kepulauan Seribu adalah wisata edukasi yakni mengunjungi keramba jaring apung tempat pembudayaan ikan laut. Budidaya ikan tersebut merupakan salah satu kegiatan yang sedang gencar dikenalkan pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu.
Dan kedepannya akan dikembangkan agro wisata di Pulau Tidung Kecil. Pariwisata di Kepulauan Seribu terbagi dalam dua sasaran yakni wisata edukasi dan wisata bahari. Banyak obyek wisata yang kental dengan nilai pelajaran terutama untuk kalangan anak. Salah satunya tempat pembudidayaan ikan.
Kegiatan budidaya ini sebenarnya sudah lama dikembangkan oleh pihak swasta. Namun kini kegiatan pembudidayaan tersebut juga gencar disosialisasikan kepada masyarakat Kepulauan Seribu. Kegiatan budidaya tersebut juga dikembangkan sebagai aktivitas wisata.
“Wisata budidaya ikan merupakan potensi yang dapat dikembangkan, salah satu yang bisa dikunjungi ada di PT Nuansa Ayu Karamba di Pulau Pramuka,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta.
Mengunjungi lokasi pembudayaan ikan juga sudah dimasukkan dalam paket wisata beberapa agen wisata Kepulauan Seribu. Di tempat pembudidayaan ikan Nuansa Ayu Karamba ini wisatawan bisa melihat langsung pembudidayaan beberapa ikan seperti kerapu, kakap putih, bandeng, dan napoleon. Wisatawan juga bisa ikut memberikan pakan untuk ikan budi daya disini.
Melihat ikan-ikan yang berebut saat dilempari pakan tentu akan menjadi pengalaman baru, terutama bagi anak-anak. Meski berada diatas laut lokasi pembudidayaan ini sangat aman bagi aktivitas wisata. Mengunjungi keramba pembudidayaan wisatawan akan melewati jembatan kayu yang kemudian disambung dengan jembatan apung.
Selain itu di kawasan ini, di pulau Pramuka, misalnya, juga ada kolam pemancingan yang disediakan untuk pengunjung. Ikan yang dipancing nantinya bisa dimasak di Nusa Resto sebagai teman santap mengisi perut, atau boleh juga dikemas sebagai oleh-oleh perjalanan dari Kepulauan Seribu.
“Di akhir pekan, banyak wisatawan yang sengaja datang ke karamba pembudidayaan ikan yang dikelola masyarakat dibawah binaan pemerintah, maupun ke karamba yang dikelola swasta. Banyak informasi yang bisa didapat pengunjung tentang bagaimana pembudidayaan ikan dilakukan,” kata Kepala Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Seribu.
ilustrasi melihat tukik, atau anak penyu, dilepasliarkan ke lautan tempat habitan mereka. Foto: Dok. shuterstock
Hal lain juga bisa dilakukan adalah menyaksikan konservasi penyu di sejumlah pulau di Kepulauan Seribu. Ini misalnya bisa dilakukan di Pulau Cikaya, pulau Karya, atau pulau Kelapa Dua. Jika menginap dan beruntung, wisatawan bisa menyaksikan proses penyu bertelur, lalu telur-telur itu dipindahkan ke tempat yang aman hingga menetas. Dan, nantinya, dilepaskan kembali ke lautan.
Tidak lengkap rasanya jika berwisata ke suatu daerah tidak membawa oleh-oleh khas buatan masyarakat. Dinas Kelautan dan Pertanian Kepulauan Seribu telah melakukan upaya pembinaan kepada kelompok ibu-ibu di Kepulauan Seribu, baik dalam bentuk olahan hasil perikanan maupun pertanian yang meliputi teknik penanganan pasca panen, termasuk juga packaging-nya. Hal ini dilakukan agar kemasan produk menarik, sehingga meningkatkan nilai jual dan minat beli terhadap produk tersebut. Beberapa makanan ringan produksi masyarakat yang sayang jika dilewatkan, seperti keripik sukun, stik cumi, kerupuk ikan, dan handycraft.
Keripik sukun adalah makanan khas yang dapat diperoleh di semua pulau berpenduduk di Kepulauan Seribu. Pembuatan keripik ini sangat sederhana. Setelah dipetik dan dibersihkan, buah sukun dikupas untuk diiris tipis-tipis. Setelah di potong kemudian digoreng dan proses pemberian bumbu dilakukan pada saat menggoreng, selanjutnya dikemas
Meski bisa di dapat di semua tempat, sentra pembuatan Kripik Sukun ada di Pulau Payung. Ada dua jenis buah sukun yang digunakan untuk kripik, sukun duri dan sukun botak. Rasa yang dihasilkan dari sukun duri lebih renyah dibandingkan sukun botak,” kata Juna ibu yang menekuni usaha pembuatan kripik sukun asal Pulau Payung.
Raja Ampat, rangkaian empat gugusan pulau yang berdekatan di sebalah barat kepala burung Papua, disebut orang dan para traveler sebagai salah satu spot terindah di dunia. ‘The Last Paradise‘ kata wisatawan dari seluruh dunia.
Raja Ampat
Kepulauan Raja Ampat di Papua Barat merupakan daerah tujuan penyelaman terbaik yang dimiliki Indonesia. Keindahan bawah lautnya bahkan bagian dari 10 terbaik di dunia. Birunya air laut, gugusan pulau karang di tengah laut, hard coral yang tumbuh melebihi batas air, hingga gua bawah laut, adalah paket lengkap dari wisata Raja Ampat yang menyuguhkan pemandangan alam menakjubkan.
Menjelang akhir tahun, ada pertanyaan, bisakah mengunjungi Raja Ampat? Pilihan menyambangi Raja Ampat untuk liburan tentu bukan asal-asalan. Di penghujung tahun ketika di bagian Barat Indonesia cuacanya tidak menentu, Raja Ampat justru menghadirkan persahabatan.
Konon, dalam mitos masyarakatnya, nama Raja Ampat berasal dari seorang wanita yang menemukan tujuh telur. Empat butir di antaranya menetas menjadi empat pangeran, kemudian menjadi raja di empat kawasan. Tiga butir telur lainnya menjadi hantu, seorang wanita, dan sebuah batu. Wallahualam. Saya hanya berharap inilah tempat “Raja-nya” situs-situs penyelaman yang ada di negeri ini.
Hasil penelitian LIPI dan lembaga lain pada 2002 mencatat, lebih dari 540 jenis karang keras, yang artinya 75 persen dari jenis total di dunia, ada di Raja Ampat. Juga terdapat 1.000 jenis ikan karang dan 700 jenis Moluska. Tak ada tempat lain di dunia ini yang memiliki kelengkapan biota laut seperti itu.
Berdasar laporan Travelounge beberapa tahun silam, beberapa spesies spesifik Raja Ampat yang bisa dijumpai saat menyelam antara lain Kuda Laut Katai, Wobbegong, dan Pari Manta. Ada sekitar 30 situs penyelaman di kawasan Raja Ampat. Masing-masing memiliki karakteristik. Beberapa yang popular antara lain; Mike’s Point yang merupakan batu karang berbentuk jamur. Di situs ini kita bisa temui soft coral, rombongan sweetlips, dan barracuda. Di kedalaman 25-27 meter terdapat cerukan yang mengeliingi batu karang. Kita menyelam menyusuri cerukan tersebut untuk menghindari arus yang cukup kuat.
Kumpulan Baracuda juga banyak ditemui di tempat lain, seperti di situs penyelaman Sleeping Barracuda, Cape Kry, dan Blue Magic. Berada di tengah kumpulan puluhan Baracuda tentunya merupakan pengalaman yang menakjubkan. Barracuda termasuk jenis yang Agresif, sewaktu-waktu dapat menyerang kita terutama jika ia sedang sendiri.
Situs populer lainnya yang wajib kita selami adalah Manta Point. Ada tiga lokasi di mana kita bisa menyaksikan ikan Pari Manta (Manta birostris). Manta Sandy, Manta High Way, dan Manta Coral. Di tiga lokasi itulah kita bisa menyaksikan kumpulam Pari Manta yang seolah menari dalam jarak yang sangat dekat. Pari Manta adalah salah satu spesies ikan pari terbesar di dunia. Lebar tubuhnya dari ujung sirip ke ujung sirip lainnya bisa mencapai hampir 7 meter, bahkan lebih.
Menikmati kawasan Raja Ampat tak lengkap jika tak singgah ke pulau Wayag. Kepulauan di wilayah distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat, ini menyuguhkan panorama luar biasa. Jika sudah puas menyelam, sisakan sedikit waktu dan tenaga untuk mendaki salah satu puncak dari puluhan pulau karang yang ada di pulau Wayag. Dari ketinggian, kita bisa menyaksikan laguna berair biru kehijauan yang dikelilingi gugusan pulau karang yang menyembul dari dasar laut.
Saat ini, Raja Ampat mulai dibuka kembali setelah sempat ditutup di awal pandemi. Begitupun, untuk mengunjungi tempat ini para wisatawan perlu memperhatikan 10 aturan baru untuk bisa berwisata ke Raja Ampat di masa pandemi.
1. Melakukan registrasi online pada: www.newnormal-rajaampat.com
2. Menyiapkan aplikasi Health Assesment Card (HAC) pada www.inahac.kemkes.go.id
3. Memiliki surat keterangan bebas covid-19, berupa hasil RT-PCR negative atau hasil rapid test nonreaktif, yang berlaku 14 hari, yang diperoleh dari Rumah Sakit/Puskesmas/Klinik resmi.
4. Menyiapkan personal health kit.
5. Memiliki asuransi kecelakaan dan atau asuransi jiwa, terutama yang akan melakukan kegiatan berisiko tinggi dan memerlukan fisik prima, seperti diving, trekking, telusur goa dan lain-lain.
6. Memiliki pemandu/pramuwisata. Lakukan booking online untuk lokasi yang akan anda kunjungi pada situs yang sama.
7. Ketika seluruh kelengkapan anda sudah terpenuhi, silakan lakukan perjalanan, dengan protokol Kesehatan.
8. Untuk perjalanan udara, anda akan tiba di Bandara Dominique Eduard Osok-Sorong dan melanjutkan perjalanan laut/udara menuju Raja Ampat.
9. Lakukan document clearence sebelum memasuki kawasan Raja Ampat pada:
• Check Point I: Pelabuhan Falaya, Waisai Pulau Waigeo.
• Check Point II: Pelabuhan Yelu-Misool.
• Check Point III: Bandara Marinda, Waigeo.
10. Tetap mengikuti prosedur protokol ketertiban tatanan baru di ruang umum. Kalau terjadi reaktif, siap untuk dikarantina dan diproses sesuai protokol (karena sudah menandatangani surat pernyataan bersedia).
Wisata religi Demak bukanlah hal baru. Bagi banyak orang, terutama kaum muslim yang tinggal di pulau Jawa, salah satu hal yang sering diimpikan adalah sholat di masjid Agung Demak.
Wisata Religi Demak
Demak, sebuah kabupaten di pesisir utara Jawa Tengah, dahulunya adalah Kerajaan Islam pertama dan terbesar di pulau Jawa. Kota ini sekitar 31 kilometer di timur Semarang. Dari catatan sejarah, Demak didirikan oleh semacam perserikatan pedagang Islam di utara Jawa yang dipimpin Raden Patah, salah seorang putra Raja Brawijaya V dari kerajaan Majapahit.
Berdirinya kerajaan Demak ini tidak lepas dari peran Wali Songo, sembilan wali yang dikenal sebagai penyebar agama Islam di Jawa. Raden Patah sendiri sewaktu muda belajar ajaran Islam kepada Sunan Ampel, salah satu dari Wali Songo.
Sebelum berdiri sebagai kerajaan sendiri, wilayah Demak merupakan bagian dari Majapahit. Raden Patah, sebagai anak raja Majapahit, ditugaskan sebagai Adipati Bintoro, Demak, pada abad 15. Pengaruh Majapahit saat itu boleh dikatakan berada di ambang keruntuhan. Pada tahun 1500 dengan dukungan para wali, Bintoro menyerang Majapahit dan mengalahkannya.
Kadipaten Demak kemudian termasuk wilayah yang melepaskan diri dari Majapahir dan menjadi kerajaan yang mandiri. Dan Raden patah menjadi raja pertama Demak. Selama memerintah, Raden Patah banyak dibantu oleh Wali Sanga yang berperan sebagai penasihat. Awal pemerintahannya ditandai dengan pembangunan Masjid Agung Demak dan perluasan wilayah.
Raden Patah wafat pada tahun 1518 dan pemerintah dipimpin oleh Pati Unus, putranya. Pati Unus menginginkan Kerajaan Demak menjadi kerajaan dengan kekuatan maritim yang kuat. Hal ini ditandai dengan kuatnya armada laut Kerajaan Demak.
Portugis yang saat itu tengah berusaha menguasai perdagangan di Asia Tenggara, merasa terganggu dengan keberadaan Demak. Hingga beberapa kali Kerajaan Demak melakukan pertempuran dengan Portugis di Selat Malaka.
Serangan-serangan tersebut dipimpin Dipati Unus, yang tak lain merupakan putra Raden Patah. Meskipun pada akhirnya serangan tersebut gagal, tetapi ia mendapat julukan Pangeran Sabrang Lor atau pangeran yang menyeberang ke utara sebagai penghargaan atas keberaniannya. Setelah kematian Pati Unus pada saat pertempuran melawan Portugis, Demak dipimpin Sultan Trenggono (1521-1546) yang membawa Demak ke masa keemasan.
Setelah masa pemerintahan Sultan Trenggono, Demak praktis mulai mengalami kemunduran. Mulai muncul kerajaan-kerajaan di Selatan Jawa. Mulai dari Kerajaan Pajang hingga lahirnya Kasultanan Yogya dan Kasunanan Solo.
Begitupun, Demak masih meninggalkan sejumlah jejak masa lalu yang memperlihatkan mereka sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam. Baik di Jawa, maupun di Indonesia. Karena itu, di masa kini, saat jalan-jalan ke Demak, para wisatawan bisa menikmati suasana religiusitas kota yang sering disebut sebagai Kota Santri ini.
Selain memiliki sejarah yang sangat kuat, Demak memiliki peninggalan tempat bersejarah yang menarik.
Jika punya agenda main ke Demak, tempat pertama yang wajib kunjung tentu saja adalah Masjid Agung Demak. Masjid ini terletak di Desa Kauman, Kecamatan Demak Kota. Jika wisatawan datang dari arah Semarang letak masjid ini persis di sisi timur laut Alun-alun kota Demak.
Masjid yang didirikan pada 1479, ini saat sudah berumur sekitar 6 abad masih berdiri kokoh, meskipun sudah direnovasi beberapa kali. Kala awal dibangun, masjid tersebut masih berupa bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi yang diasuh Sunan Ampel.
Bagi banyak orang yang bepergian dari Jakarta, Cirebon, atau Semarang ke arah Surabaya, biasanya menyempatkan sholat di masjid ini. Kadang mereka rela menunggu beberapa waktu jika saat waktu sholat belum tiba dan cukup punya waktu. Jika tidak, mereka rela untuk sekadar menunaikan sholat sunah di salah satu masjid tertua di Indonesia ini.
Jika sudah sampai masjid Agung Demak, jangan lupa untuk mengunjungi
Museum Masjid Agung Demak yang lokasinya tak jauh dari masjid, tepatnya di sisi utara masjidnya. Mudahnya akses ke museum tersebut memungkinkan wisatawan Masjid Agung senantiasa menyempatkan diri singgah pula ke museumnya.
Museum memiliki sejumlah koleksi menarik terkait sejarah siar Islam di Jawa, seperti serat-serat dan kitab kuno yang ditulis para Wali Songo. Misalnya saja, terdapat kitab tulisan tangan tafsir juz 15-30 Alquran karya Sunan Bonang.
Selain kolekasi pustaka, ada pula di museum itu artefak terkait Masjid Agung Demak seperti beduk dan kentongan wali dari abad XV. Bahkan sakatatal atau saka guru Masjid Agung Demak yang konon dibikin oleh Sunan Kalijaga. Ada pula Pintu Bledeg yang konon dibuat oleh Ki Ageng Sela pada 1466. Ia adalah guru Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya yang mendirikan Kesultanan Pajang.
Masih di seputaran kompleks Masjid Agung Demak, wisatawan juga bisa berziarah ke makam raja-raja Demak. Makam raja-raja Demak, terletak di bagian utara Masjid Agung. Makam raja-raja Demak itu terawat dengan baik, di sana terdapat makam antara lain Raden Patah, Pangeran Trenggono, sampai Arya Penangsang, adipati Jipang yang meninggal dalam pertempuran dengan pasukan Pajang.
Jika punya cukup waktu, sempatkan pula berziarah ke makam Sunan Kalijaga, salah satu dari Walisongo. Sunan Kalijaga wafat pada 1520 lalu dimakamkan di Desa Kadilangu, sebelah timur-tenggara Demak. Makam Sunan Kalijaga sekarang menjadi situs yang sering didatangi peziarah dan wisatawan dari berbagai daerah di tanah air. Sunan Kalijaga dianggap istimewa di antara ke sembilan wali karena kental memanfaatkan tradisi Jawa dalam penyiaran agama Islam di Indonesia.
Danau Toba, danau terluas di Asia Tenggara dengan air terhampar hingga tujuh kabupaten. Tak cuma keindahan alam, tapi juga tradisi budaya adi luhur.
Danau Toba
Mata rasanya masih ingin terpejam, tapi tak ada pilihan selain segera mandi, sarapan, dan duduk manis di mobil. Saatnya meluncur ke Prapat. Salah satu titik untuk menikmati Danau Toba, yang disebut sebagai sijujung baringin di Sumatera Utara alias obyek wisata paling utama di provinsi ini. Danau ini merupakan yang terbesar di Asia Tenggara, dengan luas 1.072,16 kilometer persegi. Terbayang, airnya terhampar luas bak lautan hingga ke tujuh kabupaten. Kali ini kami ingin menatapnya dari berbagai titik. Pukul 07.00 perjalanan dimulai. Pagi yang lengang. Maklum, hari Minggu. Kendaraan kami pun melesat di jalan Kota Medan. Melayang di jalan tol, meninggalkan rumah-rumah beratap seng.
Tak lama, Deli Serdang pun terlewati. Selanjutnya Serdang Bedagai, dengan ciri khas deretan gerai dodol pulut, yang menjadi oleh-oleh khas kota ini. melaju di jalanan nan lurus, dalam sekejap kota dodol itu pun dilalui. Tak lama kami menggelinding di jalanan Kota Pematangsiantar. Jarak Medan-Pematangsiantar sekitar 128 km. Jam menunjukkan pukul 09.00, di kiri-kanan jalan gereja mulai dipenuhi jemaat. Kaum ibu dengan kebaya panjang dan songket serta ulos di pundaknya. Kaum remaja dengan busana rapi dan cantik.
Di kota ini, becak motor (bentor) yang menggunakan motor BSA berseliweran. Motor Inggris itu digunakan tentara negeri kerajaan tersebut di Indonesia manakala Perang Dunia II pada tahun 1940-an. Yang masih banyak digunakan adalah yang berkapasitas 350 cc dan 500 cc karena kota ini berbukit. Di kota ini, kami pun sempat menengok sentra ulos di daerah Parluasan.
Keluar dari Parluasan, jalanan mulai menanjak. Kiri-kanan pohon-pohon besar, tak lagi perkebunan seperti di sepanjang rute Serdang Bedagai ke Pematangsiantar. Saya langsung tak sabar untuk memandang Danau Toba. Ternyata harapan itu datang tak lama kemudian. Ketika jalan mulai menyempit dan semakin tinggi, saya pun dapat memandang danau yang terbentuk akibat letusan gunung berapi 75 ribu tahun silam itu dari kejauhan.
Kami pun menemukan titik pertama untuk menikmati Danau Toba setelah perjalanan selama empat jam dari Medan. Titik itu adalah Prapat, di sebuah warung, dengan pemandangan terdekat Batu Bergantung, yang legendanya melekat dengan masyarakat setempat. Langit biru dan udara masih segar. Saat itu pukul 11.00, sehingga terik mentari belum menyengat. Monyet-monyet kecil berekor panjang melompat di antara dahan di depan saya.
Minuman dan camilan sudah habis, kami pun sepakat untuk langsung menyeberang ke Samosir, sehingga Dermaga Ajibata-lah yang kami tuju. Inilah pelabuhan penyeberangan ke Samosir. Berputar-putar mengamati hotel dan penginapan, kami pun tiba di Ajibata. Butir-butir pasir di dermaga sudah memantulkan sinar nan menyilaukan. Terik menyengat kulit. Kami harus menunggu sekitar satu jam. Sudah ada tiga mobil yang menunggu keberangkatan. Ada tiga pengamen cilik pula yang bernyanyi bergantian. “Mereka nyanyi lagu Batak Toba,” ujar sang sopir. Bahasanya berbeda lagi dengan Batak yang lain. Saya pun hanya mengangguk-angguk sambil menyimak bocah berkulit gelap terbakar mentari itu berdendang. Kadang-kadang diselingi bahasa Indonesia.
Sekitar 30 menit menjelang keberangkatan, lahan parkir sudah penuh. Saya membeli tiket untuk kendaraan roda empat seharga Rp 95 ribu untuk sekali penyeberangan. Akhirnya kami masuk ke perut kapal, dan pukul 13.30 kami meninggalkan dermaga. Langit terang dan sinar mentari yang menyengat menjadi teman selama perjalanan.
Sekitar satu jam menatap air dan pegunungan di sekelilingnya, akhirnya kami pun menginjak Tomok, pelabuhan feri di Samosir. Bila menggunakan perahu penumpang, penyeberangan hanya perlu waktu sekitar 30 menit. Deretan toko suvenir menyambut. Di dekat pelabuhan sudah ada satu obyek wisata bersejarah, pemakaman Raja Sidabutar dan keturunannya, yang berumur ratusan tahun. Terbuat dari batu alam tanpa sambungan. Di situ juga pertunjukan boneka Si Gale-gale digelar, dalam bentuk sederhana, hanya ada boneka dan iringan musik dari kaset. Tentu ada seorang pria menggerakkan boneka. Si Gale-gale dipercayai dulu digerakkan oleh kekuatan magis.
Mumpung belum sore, kami memilih jalan berkeliling, mengarah ke Ambarita dan Simanindo. Menikmati jalan cukup mulus yang tidak terlalu lebar. Suasana sepi, tak banyak kendaraan lewat. Sesekali ada turis dengan sepeda. Tanda lalu lintas yang ada bergambar kerbau, karena jenis hewan ini sering tampak berduyun-duyun. Bisa jadi mereka menyeberang jalan tiba-tiba. Merasa seperti menyusuri jalan tak berujung, kami pun berbalik arah dan menuju Tuk-tuk. Gerbangnya di jalanan menanjak seperti menjulang ke langit. Di sini, keramaian baru terasa. Penginapan dan hotel tampak berderet di pinggir Danau Toba, hingga akhirnya kami memilih salah satunya. Hotel dengan beberapa kamar bercirikan rumah adat.
Ada banyak pilihan obyek wisata di pulau seluas 630 kilometer persegi ini. Dan kami akan mendatanginya esok hari. Setelah puas di pagi hari menikmati danau dengan latar belakang deretan hotel-hotel di Prapat serta bukit-bukit di sisi kiri dan kanannya. Hari ini saatnya belajar adat dan budaya Batak Toba lewat ulos dan rumah adat. Pertama kali, sejarah itu kami gali di obyek wisata Batu Parsidangan Siallagan di Desa Siallagan. Kompleks rumah adat Raja Siallagan, yang terkenal dengan hukuman mati di masa lampau. Dari rumah adat, banyak tradisinya bisa dikorek habis dari pemandu wisata, belum cerita batu persidangan, yang merupakan tempat berkumpul raja, dukun, serta hakim saat membahas satu kasus, dan tentunya menjatuhkan hukuman.
Belajar adat, budaya, dan sejarah Batak Toba memang Samosir tempatnya. Kabupaten ini masih memiliki rumah-rumah adat dalam kondisi terawat. Sepanjang jalan dari Tomok menuju Pangururan–ibu kota kabupaten–rumah adat berdiri tegak di antara rumah-rumah modern. Para perajin ulos tersebar di beberapa desa. Di depan rumah adat sesekali masih ditemukan ibu atau remaja asyik menjalin benang menjadi ulos. Yang paling banyak dikenal tentunya di Desa Lumban Suhi-suhi karena mereka menenun secara berkelompok.
Meski berupa danau, ada pula daerah yang disebut pantai di Samosir. Salah satu yang sempat saya kunjungi adalah pantai pasir putih di Desa Parbaba. Karena bukan hari libur, tempat ini cenderung sepi. Ada juga gerombolan anak sekolah yang baru pulang dan mampir duduk-duduk di bawah pohon dekat pantai. Di sisi kanan, masih ada ibu yang mencuci perlengkapan dapur di bibir danau. Ada trotoar untuk pengunjung jika ingin jalan-jalan.
Esok pagi, baru kami menyaksikan tarian Si Gale-gale di Museum Huta Bolon Simanindo. Rumah adat yang dijadikan museum ini merupakan peninggalan Raja Sidauruk. Pertunjukan berlangsung setiap hari pukul 11.00. Ada beberapa jenis tarian, seperti yang menjadi ciri khas Tor tor, selain Si Gale-gale. Di akhir acara, pengunjung pun menari. Selepas makan siang di Pangururan, kami meninggalkan Samosir melalui jalan darat. Tidak perlu lagi ke Tomok.
Kami seperti menyusuri bibir Danau Toba. Melingkarinya, naik-turun. Mencermati desa di ujung danau dengan lahan sawahnya. Ada pula sebuah masjid–Al Huda, yang berdiri sejak 1940-an. Itu pemandangan di sisi kiri. Di sisi kanan ada perkampungan lain. Ketika rumah tak tampak lagi, jalanan pun semakin sempit, bahkan kemudian berbatuan. Namun tak lama kami disambut dengan jalanan tanah lebar dengan debu berhamburan, hingga akhirnya tiba di jalan penuh kelokan dengan tebing batu di sisi kiri dengan bebatuan yang sepertinya siap-siap berguling, sementara di sisi kanan jurang yang supercuram. Pecahan batu tercecer di jalanan.
Rasa cemas langsung menyergap, teringat akan kecelakaan yang beberapa kali terjadi di jalur ini. Maka sepanjang jalan hanya doa yang bisa saya panjatkan. Terutama ketika merasa terjepit di antara tebing batu dan jurang curam. Dengan jalan yang meliuk-liuk, di setiap belokan, jantung terasa berdetak lebih cepat. Perjalanan terasa panjang.
Namun di sinilah kami menemukan titik-titik terindah memandang Danau Toba. Ke mana mata memandang, yang tampak hanya hamparan air danau, yang kini tengah didengungkan soal ancaman kerusakannya. Bukit di sekelilingnya yang gundul dan airnya yang tercemar karena pengambilan ikan dengan bahan-bahan kimia. Beruntung, masih ada beberapa titik yang menampakkan kehijauan.
Setelah meliuk-liuk hampir dua jam, akhirnya kami tiba di Menara Pandang Tele. Sebuah menara yang terdiri atas empat lantai, yang membuat orang bisa memandang Danau Toba dengan Pulau Samosir yang utuh. Rasa lega pun memuncak di sini, tak hanya karena pemandangan yang terindah danau ini, tapi juga karena saya sudah melewati kelokan-kelokan berbahaya. Perasaan ringan pun bergelayut. Kendaraan melaju ke arah tujuan akhir hari itu: Brastagi.
Belum lama menikmati jalan mulus, kami harus menemui jalan berlubang, yang membuat kendaraan melaju lambat. Kemudian, sebelum mencapai Taman Simalem Resort, ada pula perbaikan jalan akibat longsornya dinding tebing. Hingga akhirnya tiba di resor ketika langit mulai gelap. Beruntung, kami masih bisa memandang lagi keindahan Danau Toba dengan pegunungan di sekelilingnya. Meski harus terusik lagi karena ada bukit yang penampilannya seperti kepala orang tua: botak sebagian besar.
Beranjak dari Bukit Merek, setelah mengelilingi kompleks wisata itu, kami masih menemui jalan berlubang sebesar ban di Simpang Merek. Padahal jalan tersebut merupakan jalur lintas Kota Kabanjahe-Merek-Sidikalang. Akhirnya kami tiba di Kabanjahe sekitar pukul 20.00 dengan perasaan dan badan lelah. Tujuh jam perjalanan dari Pangururan. Kami pun beristirahat di Brastagi, dan tentu tak mungkin lagi mencari titik untuk memandang Danau Toba di sini. l
Tiga Hal tentang Samosir
Penyeberangan. Ada dua pelabuhan yang memiliki rute ke Samosir dari Prapat. Paling tinggi frekuensinya dari Ajibata. Pilihannya, bila membawa kendaraan, harus dengan feri yang melaju lima kali sehari. Bila hanya penumpang, cukup dengan kapal wisata dengan jadwal setiap jam. Bisa juga Anda menyewa kapal. Dari Pasar Tiga Raja, ada juga perahu langsung ke Tuk Tuk sehingga turis bisa langsung mencapai hotel di pinggir danau. Jadwalnya delapan kali sehari.
Hotel. Hotel paling banyak ditemukan di Desa Tuk Tuk dan, untuk kenyamanan, sebaiknya memilih hotel di wilayah ini. Fasilitas untuk turis paling memadai, ada sewa sepeda, dan toko suvenir. Wartel dan warnet pun mudah ditemukan.
Obyek Wisata. Selain menikmati Danau Toba dan adat-istiadat Batak Toba, Kabupaten Samosir memiliki obyek yang berlimpah, terutama yang berunsur air. Di antaranya pemandian air panas di Pangururan, Gunung Pusuk Buhit dengan beberapa mata airnya, Danau Sidihoni–danau di dalam danau–dan mata air Datuk Parngongo. Setiap kecamatan rata-rata memiliki obyek berupa mata air, air terjun, pantai, dan jenis wisata serupa lainnya.
Flobamora, ini mungkin istilah yang belum terlalu dikenal oleh orang awam. Meskipun sesungguhnya ia sudah mondar-mandir liburan ke kawasan ini.
Flobamora
Perhatikanlah peta Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di gugusan pulau itu, setiap pulau besar di daerah ini dipastikan memiliki jagoan tempat wisata. Keindahannya tak hanya dihormati di dalam negeri, masyarakat dunia pun mengakui keunikan dan keanehan. Komodo, contohnya. Masih banyak tempat lain yang memiliki pesona. Sebagian mungkin masih tersembunyi.
Komodo, kadal raksasa dari masa dinosaurus itu, memang sudah sangat melegenda, namun di luar itu ada banyak spot yang unik. Itu sebabnya, NTT dalam Anugerah Pesona Indonesia (API) 2020 lalu merajai perolehan penghargaan.
Untuk NTT, masyarakat mengenal istilah Flobamora. Ini terkait dengan tempat-tempat wisata yang berkilau di empat pulau besar di provinsi ini, yatu Flores, Sumbawa, Timor, dan Alor. Mulai dari peristiwa budaya, keindahan bawah laut, wisata gunung, sampai dengan peristiwa sejarah Indonesia.
Dari yang paling terkenal dulu, yaitu di menyaksikan hewan purba yang masih hidup sampai kini, yaitu Komodo di ujung kiri Pulau Flores. Setelah itu, bergesar ke Timur untuk menikmati Danau Kelimutu. Salah satu yang membuat danau ini terkenal adalah terjadinya perubahan warna di air yang ada di kawahnya. Ada tiga buah kawah yang masing-masing airnya berbeda satu sama lain warnanya.
Danau Kelimutu mempunyai tiga warna di Gunung Kelimutu, Flores, Nusa Tenggara Timur. Foto: Dok. TL
Bila bergeser ke arah timur, silakan menikmati suguhan pemandangan alam bawah laut. Begitu jauhnya jangkauan tangan-tangan jahil membuat tampilan kawasan laut sangat indah. Di Sikka salah satunya. Kalau beruntung Anda bisa menikmati mawar laut saat menyelam.
Lalu terus ke Timur ada Larantuka yang terkenal dengan prosesi keagamaan Perarakan Jumat Agung. Perarakan ini salah satu agenda budaya yang ditunggu oleh para wisatawan karena unik dan penuh kekhusyukan.
Silakan bergerak lagi ke timur ke Timur lagi. Ada pulau kecil bernama Lembata. Sekalipun kecil, salah satu atraksi besar terjadi di tempat ini, yaitu perburuan ikan paus secara tradisional. Masyarakat di tempat ini, dikenal dunia karena kepiawaiannya menaklukan ikan paus. Nah, berikutnya kunjungilah Pulau Alor. Peristiwa budaya unik banyak digelar di sini salah satunya ada di Desa Takpala.
Kemudian, mulailah menjelajahke arah Selatan yaitu Pulau Timor.Di pulau ini peristiwa penting bagi Indonesia terjadi, salah satunya berpisahnya Timor Timur menjadi Negara Timor Leste. Bagi yang tertarik dengan sejarah tentu sangat berguna menyambangi tempat ini untuk melihat jejak-jejak yang tertinggal.
Salah sat sudut kota Kupang, ibukota NTT. Foto: Dok. unsplash
Pulau Timor juga penting karena pelabuhan udara terbesar El Tari ada di sini. Kota Kupang, ibukota Provinsi NTT, jadi wajah pertama yang dilihat oleh pengunjung sekalian. Kalau berada di Kupang dan tak sempat berkelana ke pulau lain, tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi yaitu Pantai Lasiana, Pantai Ketapang, Pantai Paradiso, Pantai Nunsui, Pantai Koepan, Museum Kupang, dan Gua Monyet.
Masih ada satu pulau lagi yang bisa ditengok yaitu Pulau Sumba. Tempat ini banyak beragam keunikan budaya, baik itu patung-patung megalitikum. Rumah adat Praiyawang salah satu yang menyuguhkan susunan batu kokoh dan megah di sebuah kawasan desa. Di tempat ini ada sebuah rumah adat/Uma Dewa yang tidak boleh menyalakan lampu di dalamnya. Hanya boleh lilin, itupun saat ada peristiwa adat.
Untaian keindahan itu seperti kilauan yang berkilat saat melihatnya dari atas. Namun, masih ada tantangan besar untuk menikmati semuanya, yaitu minimnya infrastruktur. Untuk mengaksesnya dibutuhkan transportasi udara. Dan itu harus merogoh kocek yang dalam. Pemerintah Provinsi NTT memang terus membenahi pariwisata. Potensinya besar adan pantas dinikmati. Namun perlu banyak yang dibenahi, yaitu kesiapan masyarakat untuk menerima tamu, siap jadi tuan rumah dan memiliki ketrampilan yang mendukung.
Bila Anda cukup beruntung untuk menikmati keindahan yang ada di NTT, sudah pasti kenangan akan di bawa seumur hidup. Sulitnya mencapai daerah tersebut akan lunas terbayar ketika sampai di tempat yang dituju dan benar-benar mencicipi keindahan yang tersaji. Itulah NTT yang berkilau.
Sekalipun NTT tidak hanya Kupang, namun kota inilah yang paling terjangkau. Paling tidak perlu sebulan untuk bisa mengunjungi seluruh kawasan NTT ini. Selama di Kupang, ada beberapa tempat yang menarik dikunjungi. Salah satunya Lak Garam. Di sinilah Anda bisa melihat, pembuatan garam secara tradisional.
Keunikannya, garam dihasilkan tidak dengan menjemurnya di pinggir pantai, tetapi memasak airnya. Menarik bukan?
Selanjutnya air terjun Oenesu. Tempat ini memang belum begitu terkenal. Namun, letaknya yang tak begitu jauh dari Kota Kupang jadi salah satu alternatif menikmati suguhan alam yang unik. Lekukan bebatuan yang membentuk pola cantik jadi aroma terkuat tempat ini.
Setelah itu, kunjungilah monyet-monyet ekor panjang yang lucu. Gua Monyet Tenau ini jadi habitat asli 300-an monyet ekor panjang. “Salah satu keunikannya, selama 18 tahun dimenjaga tempat ini, belum pernah menemui monyet yang mati. Tak tahu- lah, mungkin mereka mengubur di tempat khusus dan tersembunyi. Bau pun tak ada,” kata Firman Kay, seorang penjaga gua monyet.