Bakar Tongkang Bagansiapi-api

Bakar Tongkang1

Bakar tongkang Bagansiapi-api sebuah tradisi yang makin dilirik sebagai atraksi pariwisata Indonesia. Awalnya tradisi ini hanya menjadi atraksi masyarakat Bagansiapi-api. Namun, beberepa tahun terakhir ia menjadi wisata bakar tongkang yang makin banyak diminati untuk disaksikan. Bahkan pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia, juga wisatawan manca negara.

Bakar Tongkang Bagansiapi-api

Masyarakat Bagasiapiapi, Provinsi Riau, memiliki tradisi unik yang diselenggarakan setiap tahun dan selama beberapa tahun terakhir menjadi atraksi menarik bagi wisatawan. Umumnya agenda ini diselenggarakan pada bulan Juni, dan untuk 2019 ini digelar pada 17 hingga 19 Juni lalu. Ritual turun-temurun dari nenek moyang ini memang dilaksanakan selama tiga hari.

Bakar tongkang Bagansiapi-api sebuah tradisi yang makin dilirik sebagai atraksi pariwisata Indonesia. Awalnya tradisi ini hanya menjadi atraksi masyarakat Bagansiapi-api. Namun, beberepa tahun terakhir ia menjadi wisata bakar tongkang yang makin banyak diminati untuk disaksikan. Bahkan pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia, juga wisatawan manca negara.

Menurut Kepala Dinas Provinsi Riau Fahmizal, puluhan ribu paket wisata yang terkait Bakar Tongkang terjual setiap tahunnya. “Tahun lalu 52 ribu kunjungan,” kata Fahmizal di kantor Kementerian Pariwisata, Jakarta Pusat.

Bakar Tongkang2 1
Ornamen pada tongkang dalam Festival Bakar Tongkang Bagansiapi api. (Rosana)

Bakar Tongkang memang berhasil menarik minat kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun. Pada 2017, dari 52 ribu kunjungan, 20 ribu di antaranya merupakan kunjungan wisatawan asing atau wisman. “Kebanyakan dari Singapura, Malaysia, Cina,” katanya.

Adapun wisatawan Nusantara yang masuk ke Bagan—sebutan pendek Bagansiapapi—tercatat mencapai 32 ribu. Masuknya wisatawan ke kota bekas persinggahan Cina ini membuat kuota hunian sejumlah homestay dan hotel di kawasan kota Bagan penuh.

Animo turis terhadap agenda budaya pun memacu pemerintah setempat bekerja keras untuk menyiapkan akomodasi. Tak jarang, rumah-rumah warga di sekitar lokasi perayaan dibuka untuk menampung para wisatawan.

Tahun-tahun berikutnya, untuk menyiasati tingginya permintaan terhadap jumlah kamar, pemerintah setempat tengah merancang konsep nomadic tourism. “Bisa dengan konsep nomadic, yaitu dengan tenda atau glamcamp seperti yang tengah dicanangkan Kementerian Pariwisata,” kata Fahmizal.

Bakar tongkang secara turun-temurun diyakini sebagai ritual untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya, yakni dewa pelindung masyarakat setempat. Perayaannya jatuh pada penanggalan lunar di hari ke-16 bulan kelima, dihitung pasca-Imlek. Secara historis, upacara itu merupakan sebuah penanda untuk memperingati hikayat asal-muasal Kota Bagansiapiapi.

Agenda ini tahun lalu dinobatkan sebagai atraksi budaya terpopuler dalam Anugerah Pesona Indonesia (API). Bakar Tongkang juga berkontribusi mendorong Riau meraih juara umum penghargaan pariwisata berstandar nasional tersebut.

Puncak Festival  Bakar Tongkang merupakan saat yang selalu dinanti warga setempat dan juga wisatawan. Saat itu dilakukan pembakaran replika tongkang, yang diiringi dengan perasaan penasaran warga. Mereka harap-harap cemas, ke mana tiang utama akan jatuh. Warga percaya bahwa arah jatuhnya tiang akan menentukan nasib mereka di tahun mendatang. Jika tiang jatuh ke laut, mereka percaya keberuntungan sebagian besar akan datang dari laut. Tetapi ketika jatuh di darat, maka keberuntungan untuk tahun itu sebagian besar akan datang dari darat.

Festival bakar tongkang selalu digelar secara meriah. Replika kapal dapat berukuran hingga 8,5 meter, lebar 1,7 meter dan berat mencapai 400 kg. Kapal akan disimpan selama satu malam di Kuil Eng Hok King, diberkati, dan kemudian dibawa dalam prosesi melalui kota ke lokasi tempat pembakaran.

Prosesi Tongkang juga melibatkan atraksi Tan Ki. Sejumlah orang menunjukkan kemampuan fisik mereka dengan menusuk diri dengan pisau atau tombak. Namun, aksi tersebut tidak melukai meskipun senjata yang digunakan tajam. Aksi ini agak mirip dengan tradisi Tatung di Singkawang, Kalimantan Barat.

 

 

 

*****

 

Pulau Kelor Labuan Bajo, Bukan Sekadar Persinggahan

Tarian Komodo, Pulau Kelor di labuan Bajo

Pulau Kelor Labuan Bajo punya banyak keindahan, hanya saja selama ini tidak banyak yang langsung mengunjunginya. Ia hanya “kadang-kadang” ikut dikunjungi jika ada wisatawan yang datang ke Pulau Komodo atau kawasan di sekitar itu.

Pulau Kelor Labuan Bajo

 Pernah mendengar gaung Pulau Kelor di Nusa Tenggara Timur? Tentu namanya tak sekondang Pulau Padar atau Pulau Komodo. Julukannya adalah tempat mampir. Citranya sebagai “pulau persinggahan” melekat dalam daftar trip berlayar atau sailing.

Biasanya, pulau ini disinggahi pelancong sebelum mereka kembali mendarat di kota Labuan Bajo. Atau, malah jadi tempat “pemanasan” sebelum berlayar menuju tujuan utama, yakni Pulau Komodo atau Pulau Padar. “Biasanya, para tamu latihan tracking dulu di Pulau Kelor. Baru setelahnya melanjutkan sailing,” kata Lulang, nakhoda kapal, yang mengantar penulisawal Januari lalu di Labuan Bajo.

Padahal, keindahan Kelor patut bersanding dengan pulau-pulau lainnya. Di pulau itu, terdapat sebuah bukit kecil. Pengunjung bisa mendaki. Tak tinggi-tinggi amat, tapi cukup terjal. Kemiringannya hampir 60 derajat.

Cukup sulit untuk pendaki pemula. Bukitnya licin lantaran ditumbuhi rerumputan. Juga tak ada penampangnya di kanan dan kiri. Namun, kalau sudah sampai puncak, hamparan laut bergradasi jadi obat letih.

Puncak Kelor menghadapkan pendakinya pada gugusan Pulau Menjaga. Bentuknya mirip jajaran kerucut yang berbaris dan berlapis-lapis. Pemandangan kapal yang mendarat di bibir pantai juga tak pelak menyempurnakan eksotisme Pulau Kelor.

Pengunjung tak cuma disajikan keindahan dari puncak bukit. Dengan aktivitas snorkeling pun, penampakan biota laut yang sehat turut menjadi “menu” utama. Ratusan jenis ikan berseliweran dan terumbu karang yang berwarna-warni terlihat seperti lukisan bawah laut yang hidup.

Pulau Kelor 02
Pantai Pulau Kelor tempat mendarat

Untuk menikmati Pulau Kelor lebih lama, pengunjung bisa berkemah semalaman dan menggelar tenda dom. Namun, perlu membawa logistik yang lengkap. Sebab, tak ada warung atau rumah penduduk di sini. Pastikan pula membawa kembali sampah-sampah bekas makanan atau minuman, supaya pulau tak ternoda oleh limbah.

Pulau Kelor letaknya cukup dekat dengan Kota Labuan Bajo. Kalau berlayar, waktu tempuhnya tak sampai 30 menit. Bahkan, bisa naik kapal nelayan kecil. Biaya sewa kapal untuk menuju pulau ini berkisar Rp 600 ribu pergi-pulang. Satu kapal muat untuk enam hingga tujuh orang.

 

Rosana

Barapan Kebo Sumbawa, Memacu 2 Kerbau

Barapan kebo Sumnbawa dilakukan setalah panen.

Barapan kebo Sumbawa memang tidak setenar karapan sapi di Madura, Jawa Timur, atau pacu jawi di Sumatera Barat. Namun, soal keseruannya, balapan ini jelas tak kalah. Sawah berlumpur pun menjadi arena pesta. Kerbau berpacu dan penonton pun duduk di pematang sawah.

Barapan Kebo Sumbawa

Buat yang sekali-kali ingin mengagendakan menonton atraksi ini, bisa memulai perjalanan dari pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dari sana menumpang kapal feri, pengunjung bisa menuju Sumbawa. Sebuah perjalanan yang asyik, sebab di kapal mendekati pulau di timur Lombok ini, terlihat pemandangan yang memukau: Gunung Tambora tampak bagai bayangan tipis, cantik sekaligus penuh misteri.

Gunung jangkung dengan ketinggian hampir mencapai 2.850 meter itu pernah meletus pada 1825, tepatnya dua abad silam. Letusan dengan guncangan penuh abu itu tidak hanya mengubur kerajaan-kerajaan kaya di Sumbawa dan menggelapkan langit Nusantara, tapi juga langit di belahan Barat sana.

Letusan yang membuat sedikitnya satu tahun tanpa sinar matahari di Eropa. Year Without Summer, kata sebuah buku. Letusan yang membuat ribuan ternak mati dan menewaskan hampir 100 ribu jiwa.

Barapan kebo SUmbawa mungkin belum setenar karapan sapi di Madura atau Pacu Jawi di Sumatera Barat. Meskipun atraksinya mirip.
Barapan kebo Sumbawa menjadi atraksi menarik setelah panen. Foto: Dok. shutterstock

Namun kita tak hendak mendaki gunung itu. Panen baru saja selesai di pulau ini dan barapan kebo Sumbawa atau balapan kerbau pun digelar di mana-mana. Atraksi itulah yang mendorong orang berkunjung ke pulau ini.

Dari Poto Tano, pelabuhan di barat Sumbawa, pengunjung bisa menumpang bus melewati jalan berliku serta menyusuri pantai berpasir hitam di barat laut pulau itu. Rumah-rumah beratap tembikar kusam, pohon-pohon bakau tua dengan akar menghunjam ke muara dangkal, serta hamparan sabana luas dipenuhi kerbau dan kuda.

Di petak-petah sawah yang datar karena panen sudah selesai di sebuah desa di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, agendaIndonesia melihat sebuah pesta yang bernama barapan kebo Sumbawa baru usai. Penonton telah bubar.  Rupanya, terlambat datang. Tapi jangan khawatir. Cobalah tanya ke masyarakat sekitar, pasti ada informasi di mana lagi barapan kebo digelar. Saat setelah panen, masih banyak acara seperti ini. Dari sana, ada kota kecil di Bima sebuah pesta akbar akan digelar.

Ketika tiba di sana, di tengah lahan datar, sepanjang mata memandang ini, ratusan lelaki telah berkumpul, bergerombol. Sepertinya pesta ini tidak hanya milik kaum lelaki. Di persawahan yang penuh lumpur, perempuan-perempuan berbondong-bondong datang dengan pakaian warna-warni.

Matahari mulai menyengat ketika mobil-mobil serta truk semakin banyak yang dating. Mereka menurunkan kerbau-kerbau lengkap dengan para joki. Ini bintang utama barapan kebo Sumbawa.

Beberapa anak menarik kerbau mengarah ke tempat tenda-tenda gelanggang dan arena pacu yang telah dipenuhi canda-tawa. Para petani Sumbawa sepertinya tengah bergembira. Dan memang, ini hari mereka berpesta, menyenang-nyenangkan hati setelah panen raya.

Barapan kebo Sumbawa menjadi pesta bagi para petani di pulau tersebut. Ada 8 kelas yang dilombakan.
Dua ekor kerbau berpacu di lahan bekan panen. Foto: Dok. Shutterstock

“Beginilah pesta kami seusai panen,” kata seorang tua tengah mendandani kerbaunya dengan tali kekang berwarna mewah. Dalam pesta barapan kebo ini siapa saja boleh melihat dan ikut serta serta tak tertutup kemungkinan ikut bertaruh. Bertaruh tentunya secara sembunyi-sembunyi. Di Kabupaten Sumbawa Barat dan Sumbawa, pesta adu cepat dan akurat lari kerbau ini digelar tiap selesai panen. 

Seorang sandro (sebutan untuk dukun) mulai memacangkan sebuah tiang setinggi 1 meter ke tengah lumpur sawah. Tiang kayu itu dinamai saka—tiang finish yang harus dilewati dua ekor kerbau yang dikendalikan seorang joki. Pengeras suara berteriak keras dari tenda panitia.

Tak berapa lama, para joki mengambil tempat. Sawah sepanjang hampir 100 meter dan lebar 20 meter ini disulap jadi arena lintasan kerbau untuk bertanding. Beberapa sandro telah berdiri menghadap ke hamparan sawah yang penuh genangan air. Juri atau wasit pertandingan ini juga seorang sandro pilihan.

Pengeras suara sejak dari tadi berseru dalam bahasa Sumbawa. Terkadang memakai bahasa Indonesia dengan dialek setempat yang meledak-ledak penuh dengan lelucon dan olok-olok. Entah kenapa, beberapa penonton melawan olok-olokan dari pengeras suara itu juga dengan berolok-olok. 

Lelaki-lelaki yang memenuhi arena duduk bergelantur seadanya, berkelompok-kelompok mengenakan topi dan sarung untuk menghambat terik yang kian menyengat. Gadis-gadis datang memakai payung. Mereka tidak berteriak dan bersorak. Hanya berbisik-bisik satu dan lainnya serta menunjuk-nunjuk kerbau yang tengah dipacu joki di arena.

Seorang sandro tampak sibuk mengelus kepala dua ekor kerbau yang nanti hendak berlaga di gelanggang pacuan. Dengan jamu dan beberapa ramuan, ia membacakan mantra, menghadap ke selatan, dan kemudian meminumkannya pada dua ekor kerbau. Setelah itu, dipasangkan kayu pengepit yang menghubungkan keduanya.

Balapan dibagi dengan delapan kelas yang ditandai pertama dengan kelas paling bawah dengan anak-anak yang menjadi joki. Kelas berikutnya ialah orang dewasa. Setelah empat kelas turun dan selesai, empat kelas berikutnya adalah kelas serius dan sangat dinantikan. Kelas ini menentukan seberapa kaliber kerbau dan seberapa jago jokinya.

Pengeras suara kembali berujar lantang. Ini kelas yang ditunggu-tunggu. Kelas terakhir. “Ini kelas berat sekali,” ucap seorang pria tua lainnya sembari membenarkan posisi duduk di pematang sawah.

Dua ekor kerbau dan jokinya tengah bersiap dan pengeras suara berkoar lagi. Sebuah ledakan berbunyi sebagai penanda balapan dimulai. Penonton mulai berteriak-teriak keras sekali, kadang mengumpat kencang sekali ketika joki jagoan mereka tergelincir atau terjungkir karena lari kerbau yang tak serempak.

Penonton lain tertawa terbahak-bahak secara serempak. Arena riuh sekali hingga petang menjelang. Siapa yang menang? Tidak penting buat penonton. Yang penting adalah kegembiraan setelah panen.

Pulau yang dihuni petani dan penggembala ini mengadakan pesta sederhana yang penuh tawa. Sebuah agenda acara yang layak dipertimbangkan bukan?

agendaIndonesia/Dok. TL

******

Pulau Berhala, Eksotisme 15 Hektare di Selat Malaka

Pulau Berhala di Selat Malaka adalah pulau terluar di perbatasan Indonesia. Di barat Sumatera dan di timur Semenajung Malaysia, pulau terluar ini menebar pesona.

Pulau Berhala

Sopir menancap pedal gasnya tanpa ragu di pagi-pagi buta itu. Selain jalan yang masih sepi, dia sudah paham betul tujuan saya dan fotografer. Mencapai Pulau Berhala di Serdang Berdagai, Sumatera Utara, memang perlu waktu tak sedikit. Saya memulai perjalanan dari Medan. Setelah melaju hampir dua jam, pukul 08.30 saya menginjakkan kaki di sebuah dermaga mungil. Tepatnya di Tempat Penampungan Ikan (TPI) Tanjung Beringin, Kabupaten Deli, Serdang, Sumatera Utara.

Saya masih harus berlayar sekitar 3 jam 30 menit untuk tiba di daratan rindang seluas 14,75 hektare yang menjadi perbatasan Indonesia dan Malaysia. Diberi nama unik, menurut warga setempat, konon pada zaman dulu pulau ini sering dijadikan lokasi ritual pemujaan. Berbeda dengan TPI yang masuk wilayah Deli Serdang, pulau ini berada dalam lingkup Kabupaten Serdang Bedagai.

Hanya beberapa menit berangkat dari TPI Tanjung Beringin, pemandangan sepanjang sungai membuat saya berdecak kagum. Terutama karena aksi sekawanan burung bangau putih. Beberapa hinggap di pohon bakau siapi-api dan sebagian lagi asyik berada di tepi sungai. Mereka seakan dengan sengaja menemani para nelayan.

Tak lama laut luas terhampar di depan mata. Terlihat di ujung mata, garis horizontal permukaan laut Selat Malaka yang ditaburi siluet deretan kapal-kapal nelayan.  Pada waktu yang bersamaan, ubur-ubur pun menampakkan diri di sekitar kapal. Sekawanan binatang laut itu mengiringi pelayaran kami menuju salah satu pulau yang menjadi titik terluar Indonesia itu. Menakjubkan!

Tepat pukul 12.00, kapal pun berhenti melaju. Pasir putih dan air jernih sontak membuat saya ingin segera turun. Terumbu karang, ikan-ikan cantik, dan benda-benda laut lain di dasar air tampak begitu jelas terlihat dari dermaga. Sebagai pulau terluar, kehadiran sejumlah anggota marinir yang bertugas pun menjadi ciri khas. Menurut salah seorang personelnya, Pulau Berhala mulai dilengkapi Basis Jaga Perbatasan pada 2004.

Dengan ramah, para marinir yang tengah berjaga menyambut saya dan kawan-kawan dengan beberapa gelas kopi Aceh dan obrolan renyah. Mata saya pun dibuat terbuka dan terasa segar kembali. “Meski lokasi Pulau Berhala cukup jauh dari Kota Medan, setiap Sabtu dan Minggu banyak pengunjung yang rekreasi ke sini. Baik pengunjung lokal maupun dari luar kota,” kata Andriansyah, personel peleton Pulau Berhala.

Pulau Berhala di Selat Malaka yang merupakan salah satu pulau terluar ternyata menyimpan eksotisme untuk dikunjungi.
Dermaga Pulau Berhala, pintu masuk ke pulau di sisi terluar Indonesia. Foto: Lourent/Dok TL


Pulau ini, selain menjadi habitat berbagai jenis flora dan fauna, memiliki kekayaan alam berupa keindahan terumbu karang bawah laut dan hutan tropis dengan keanekaragaman hayati tinggi. Sedangkan dari sisi vegetasi, Pulau Berhala terdiri atas hutan lahan basah, hutan lahan kering, serta lahan terbuka yang beberapa bagiannya ditumbuhi pepohonan kelapa. Walhasil, ada banyak kegiatan yang bisa dijajal.

Menyelam, snorkeling, trekking, dan menyimak langkah-langkah penyu karena Pulau Berhala merupakan tempat penangkaran hewan bertempurung itu. Menikmati keindahan mentari tenggelam dan sekadar santai di bibir pantai pun tentu menjadi keasyikan tersendiri.

“Sumber air tawar di sini masih cukup bagus. Yang disayangkan dari pulau ini, enggak bisa meraih sinyal telepon. Jadi, kalau mau komunikasi agak susah. Mesti ke tengah laut dulu, lalu kembali lagi ke sini. Kami selalu bergantian dengan petugas yang lain untuk menelepon,” kata Nababan, bintara peleton yang berjaga di Pulau Berhala.  

Klimaks dari serentetan aktivitas adalah perjalanan menuju mercusuar.

Hutan pun harus saya susuri dan anak tangga sebanyak 770 buah harus dinaiki. Bukan main perjuangannya. Tapi begitu tiba rasa puas dan bangga bergema dalam hati melihat simbol Burung Garuda bertengger gagah di puncak mercusuar Pulau Berhala. 

Masih kuat mendaki terus melangkah 85 anak tangga lagi untuk mencapai puncak menara. Tiba di bagian teratas, sebuah “hadiah” menunggu, tak lain pemandangan  laut luas dan pulau di sekitarnya. Di dekat Pulau Berhala, ada Pulau Sokong Seimbang dan Sokong Kakek yang mengapitnya.  Membikin pilihan untuk menyelam dan snorkeling pun ada di beberapa titik.

Memang tak ada penginapan di pulau ini. Sebab, penghuninya hanya sekelompok marinir, namun turis boleh mendirikan tenda. Hanya, harus terlebih dulu mengurus izin. Kamar mandi tersedia. Cuma, bahan makanan harus dibawa sendiri. Rasanya puas bila bisa semalam di sini, tapi saya tidak bisa berlama-lama.

Menjelang matahari tergelincir, saya bertolak pulang kembali ke Medan. Keindahannya saya cermati sesaat. Saya pun bergumam, berbisik pada alam akan keinginan untuk kembali dan mencecap keindahannya lebih lama. l.

Tips Pejalanan

Kebanyakan wisatawan memulai perjalanan dari Sumatera Utara hingga dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta bisa memilih rute ke Kualanamu, Deli Serdang. Lantas dilanjutkan dengan kendaraan roda empat ke TPI Tanjung Beringin.

Selain dari Tanjung Beringin, Deli Serdang, wisatawan juga bisa menyeberang dari beberapa pelabuhan di pantai timur Sumatera Utara. Misalnya, Pantai Cermin, Serdang Bedagai, dan Pelabuhan Tanjung Tiram di Kabupaten Batubara.

Pengunjung bisa menyewa perahu nelayan untuk mencapai  Pulau Berhala, karena belum ada fasilitas kapal penyeberangan umum. Biaya sewa kapal nelayan berkisar Rp 800 ribu-Rp 1,5 juta per malam. Berangkat dalam rombongan tentu bisa menghemat biaya.

Berbagai jenis terumbu karang (Intertidal Coral Reef dan Karang Tengah) bisa ditemukan dalam radius 200 m dari bibir pantai dengan jumlah tidak kurang dari 22 spesies. Sedangkan jenis ikan karang sekitar 11 spesies.

November-Februari merupakan saatnya penyu-penyu datang dan bertelur di sekitar pantai Pulau Berhala. Bulan-bulan tersebut menjadi waktu yang tepat untuk berkunjung. Aktivitas snorkeling dan menyelam menjadi pilihan aktivitas selain trekking dan memancing.

agendaIndonesia/Sandi/Lourent/TL

*****

Ombak Canggu Bali, 3 Pantai Berpasir Hitam

Ombak Canggu Bali dengan pantai-pantainya yang berpasir hitam.

Ombak Canggu Bali bisa ditemui di tiga pantai di kawasan itu. Pantai-pantai di lokasi ini memiliki pasir hitam yang terkesan biasa. Tidak langsung terlihat indah dibandingkan pantai-pantai dengan pasir putih. Namun, Bali selalu punya aura yang tak bisa ditolak.

Ombak Canggu Bali

Masih pukul 15.30 waktu setempat ketika  saya beranjak dari Jalan Raya Kerobokan, Kuta Utara, Badung, Bali. “Harus cepat-cepat kalau mau lihat sunset di Canggu, jalanan kalau sore suka macet,” ucap seorang teman. Maka saya dan kawan fotografer lantas saja  bergegas. Jalan-jalan di kawasan Seminyak yang sempit memang cukup padat pada sore hari. Beruntung, pengemudi paham rute tersingkat ke lokasi. Penelusuran sederet pantai di kawasan ini pun dengan segera dimulai.

Yang pertama saya singgahi adalah Pantai Batu Beliq yang tidak jauh dari Seminyak. Saya tiba di sana saat langit masih benderang. Menjelang sore, pantai yang masih berada di wilayah administratif Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, ini tidak terlalu ramai. Sebelum menjejak di pasirnya yang hitam, ada beberapa pilihan akomodasi bagi turis. Papan-papan selancar pun berdiri di beberapa titik. Batu Beliq tergolong pantai para peselancar karena ombaknya cukup menggoda. 

Tak berlama-lama di Batu Beliq, pantai di sebelahnya kemudian diburu. Pantai Batu Bolong saya temukan setelah melalui jalan-jalan kecil dan persawahan. Ada deretan hotel dan resor sebelum menginjak pantainya. Lebih tertata dibanding pantai sebelumnya. Cukup landai sehingga lebih nyaman untuk menikmati empasan ombak di tepian. Juga bisa sekadar  berjalan kaki, berlari, atau bermain-main. Bahkan cuma duduk-duduk di tepi pantai seperti yang dilakukan sekelompok turis lokal.

Ombak Canggu Bali bisa ditemui di sejumlah pantai, di antaranya di pantai Batu Belig.
Pantai Batu Belig di kawasan selatan Bali. Foto: unsplash

Saya juga bertemu dengan wanita asing yang tengah menyusuri pantai bersama anjingnya. Jalan sore berdua tak harus dengan kekasih. Dengan hewan kesayangan pun sama-sama mengasyikkan. Pantai juga cenderung lebih bersih dibanding Batu Beliq. Sesuai dengan namanya di bagian ujung, saya menemukan karang yang menjorok ke tengah laut dengan lubang di tengahnya. Rupanya, inilah batu yang bolong itu.

Tepat di sebelah Pantai Karang Bolong bisa ditemukan Pantai Echo yang lebih “hidup”. Sebelumnya, pantai itu dikenal sebagai Pantai Batu Mejan. Ada pilihan kafe-kafe di tepi pantai yang letaknya lebih tinggi daripada pantai. Di sisi lain, pantai bisa ditemukan bangunan non-permanen yang memutar musik keras-keras dengan ritme yang mengentak-entak. Di sanalah tampak para peselancar melepas penat setelah menari-nari di atas ombak.

Bila masuk dari jalan raya, Anda bisa menemukan sebuah pura yang menjadi tanda keberadaan pantai tersebut. Itu tak lain dari Pura Batu Mejan. Pantai berada di sisi bawah, sehingga harus meniti jalur kecil yang menurun. Pantai Echo lebih banyak batu karangnya. Apalagi sore itu ketika pantai surut. Hamparan batu karang pun tampak jelas.

Ombak Canggu Bali di antaranya diburu wisatawan yang menggemari berselancar.
Pantai Echo di kawasan Canggu, Bali, menjadi slah satu tujuan peselancar. Foto: unsplash

Saya mungkin kurang beruntung, setelah menemukan langit yang bersih dan mentari yang bulat oranye, tiba-tiba awan datang. Awan menutup secara perlahan hingga keindahan mentari tenggelam yang bisa ditemukan di Pantai Echo tidak bisa dinikmati seutuhnya. Ketika langit benar-benar gelap, saya masih enggan untuk beranjak.

Akhirnya, saya memilih menikmati debur ombak sembari mencicipi menu hidangan laut yang disuguhkan sebuah kafe. Jimbaran seafood grill yang saya pilih di Dian Cafe. Kafe yang berdiri sejak tujuh tahun lalu ini posisinya paling dekat ke pantai, sehingga ramai dikunjungi turis. Aroma beragam ikan yang dibakar pun menggugah selera untuk singgah. Pada hari libur, menurut seorang warga yang mengaku bernama Billy, lebih ramai lagi. Bisa jadi, saya tidak akan kebagian duduk santai menikmati hidangan kalau datang terlalu malam. “Biasanya turis  bergeser dari Legian dan Kuta, karena di suasana (di sini) yang lebih sepi,” ujarnya.

Pantai Echo sebenarnya bukan akhir dari deretan pantai di sini. Sebab, jika terus melangkah, sejumlah pantai lain masih bisa ditemukan. Yang terindah adalah perjalanan berakhir di Tanah Lot, Tabanan. Sayang sekali, saya terlalu sore untuk memulai penelusuran pantai di sana. Maka cukuplah mencecap senja dan malam di tengah embusan angin kencang di Pantai Echo.

agendaIndonesia/Rita N./TL

*****