Bakar tongkang Bagansiapi-api sebuah tradisi yang makin dilirik sebagai atraksi pariwisata Indonesia. Awalnya tradisi ini hanya menjadi atraksi masyarakat Bagansiapi-api. Namun, beberepa tahun terakhir ia menjadi wisata bakar tongkang yang makin banyak diminati untuk disaksikan. Bahkan pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia, juga wisatawan manca negara.
Bakar Tongkang Bagansiapi-api
Masyarakat Bagasiapiapi, Provinsi Riau, memiliki tradisi unik yang diselenggarakan setiap tahun dan selama beberapa tahun terakhir menjadi atraksi menarik bagi wisatawan. Umumnya agenda ini diselenggarakan pada bulan Juni, dan untuk 2019 ini digelar pada 17 hingga 19 Juni lalu. Ritual turun-temurun dari nenek moyang ini memang dilaksanakan selama tiga hari.
Bakar tongkang Bagansiapi-api sebuah tradisi yang makin dilirik sebagai atraksi pariwisata Indonesia. Awalnya tradisi ini hanya menjadi atraksi masyarakat Bagansiapi-api. Namun, beberepa tahun terakhir ia menjadi wisata bakar tongkang yang makin banyak diminati untuk disaksikan. Bahkan pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia, juga wisatawan manca negara.
Menurut Kepala Dinas Provinsi Riau Fahmizal, puluhan ribu paket wisata yang terkait Bakar Tongkang terjual setiap tahunnya. “Tahun lalu 52 ribu kunjungan,” kata Fahmizal di kantor Kementerian Pariwisata, Jakarta Pusat.
Bakar Tongkang memang berhasil menarik minat kunjungan wisatawan dari tahun ke tahun. Pada 2017, dari 52 ribu kunjungan, 20 ribu di antaranya merupakan kunjungan wisatawan asing atau wisman. “Kebanyakan dari Singapura, Malaysia, Cina,” katanya.
Adapun wisatawan Nusantara yang masuk ke Bagan—sebutan pendek Bagansiapapi—tercatat mencapai 32 ribu. Masuknya wisatawan ke kota bekas persinggahan Cina ini membuat kuota hunian sejumlah homestay dan hotel di kawasan kota Bagan penuh.
Animo turis terhadap agenda budaya pun memacu pemerintah setempat bekerja keras untuk menyiapkan akomodasi. Tak jarang, rumah-rumah warga di sekitar lokasi perayaan dibuka untuk menampung para wisatawan.
Tahun-tahun berikutnya, untuk menyiasati tingginya permintaan terhadap jumlah kamar, pemerintah setempat tengah merancang konsep nomadic tourism. “Bisa dengan konsep nomadic, yaitu dengan tenda atau glamcamp seperti yang tengah dicanangkan Kementerian Pariwisata,” kata Fahmizal.
Bakar tongkang secara turun-temurun diyakini sebagai ritual untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya, yakni dewa pelindung masyarakat setempat. Perayaannya jatuh pada penanggalan lunar di hari ke-16 bulan kelima, dihitung pasca-Imlek. Secara historis, upacara itu merupakan sebuah penanda untuk memperingati hikayat asal-muasal Kota Bagansiapiapi.
Agenda ini tahun lalu dinobatkan sebagai atraksi budaya terpopuler dalam Anugerah Pesona Indonesia (API). Bakar Tongkang juga berkontribusi mendorong Riau meraih juara umum penghargaan pariwisata berstandar nasional tersebut.
Puncak Festival Bakar Tongkang merupakan saat yang selalu dinanti warga setempat dan juga wisatawan. Saat itu dilakukan pembakaran replika tongkang, yang diiringi dengan perasaan penasaran warga. Mereka harap-harap cemas, ke mana tiang utama akan jatuh. Warga percaya bahwa arah jatuhnya tiang akan menentukan nasib mereka di tahun mendatang. Jika tiang jatuh ke laut, mereka percaya keberuntungan sebagian besar akan datang dari laut. Tetapi ketika jatuh di darat, maka keberuntungan untuk tahun itu sebagian besar akan datang dari darat.
Festival bakar tongkang selalu digelar secara meriah. Replika kapal dapat berukuran hingga 8,5 meter, lebar 1,7 meter dan berat mencapai 400 kg. Kapal akan disimpan selama satu malam di Kuil Eng Hok King, diberkati, dan kemudian dibawa dalam prosesi melalui kota ke lokasi tempat pembakaran.
Prosesi Tongkang juga melibatkan atraksi Tan Ki. Sejumlah orang menunjukkan kemampuan fisik mereka dengan menusuk diri dengan pisau atau tombak. Namun, aksi tersebut tidak melukai meskipun senjata yang digunakan tajam. Aksi ini agak mirip dengan tradisi Tatung di Singkawang, Kalimantan Barat.
*****