Green Bowl Bali, Surfing dan 330 Anak Tangga

Surga wisata Bali tak semuanya bisa dicapai dengan mudah. Ada yang butuh hiking terlebih dahulu, seperti green bowl.

Green Bowl, nama pantai di Bali yang semakin sering didengar namun masih jarang disambangi wisatawan. Terutama bagi mereka yang tak terlalu menggemari berselancar atau surfing. Dan, ini yang mungkin menjadi alasan utamanya, untuk mecapainya orang harus menuruni 330 anak tangga. Wow!

Green Bowl Bali

Untuk masyarakat umum, pantai ini sudah punya sebutan lain. Sepuluh atau 20 tahun lalu mungkin orang menyebut pantai ini dengan sebutan pantai Bali Cliff. Ini karena di atas tebing pantai ada hotel berbintang bernama Bali Cliff. Namun, sesungguhnya masyarakat setempat menyebut pantai ini sebagai pantai Ungasan, karena lokasinya di daerah Pura Batu Pageh, Ungasan, Kuta Selatan, Kabupaten Badung.

Bagi penikmat Bali, dan pernah berkunjung ke pantai Pandawa, suasana Green Bowl mirip dengannya. Baik pasir, gelombang, dan pemandangannya. Ini karena keduanya memang berada dalam satu deretan garis pantai Kuta Selatan. Hanya saja, bibir pantai Green Bowl tidak sepanjang Pandawa yang ada di timurnya.

Perubahan nama Bali Cliff atau Ungasan menjadi Green Bowl, yang dalam bahasa Indonesia berarti mangkok hijau, muncul omongan mulut ke mulut para peselancar. Mereka bercerita, di saat air laut surut, karang-karang yang melengkung dan ditumbuhi lumut hijau akan terbentuk menyerupai mangkok. Jika orang mulai menuruni tebing, pemandangan pantai menyerupai mangkok berwarna hijau.

Meski tak jauh dari pantai Pandawa, Green Bowl tidak seramai pantai-pantai lain di Bali. Kebanyakan para peselancar yang memburu lokasi ini karena menyuguhkan ombak yang tinggi dan menantang.  “Ramainya pengunjung di pantai tergantung ombak, kalau ombak lagi jelek, ya sepi,” ujar Wayan, seorang pemilik warung di area pantai ini.

Suasana pantai sebagai surga peselancar mulai kelihatan jika kita berkendara dari Jimbaran, iring-iringan wisatawan asing bersepeda motor. Ciri khasnya: di salah satu sisinya terlihat mereka membawa papan selancar. Wajah mereka menunjukkan kegembiraan.

Tujuan mereka jelas, pantai berpasir putih dengan air yang bergradasi warna biru muda, biru, hingga biru kehijauan. Letaknya di balik tebing yang rimbun ditumbuhi pohon-pohon. Pantai Green Bowl. Pantai yang tidak dicapai dengan mudah. Untuk sebagian orang, jalur ke pantai ini bisa membuat putus asa. Bagaimana tidak, ada 330 anak tangga yang harus dituruni sebelum menjejak di pasir putihnya.

Pantai Green Bowl nigel tadyanehondo unsplash

Tapi jangan khawatir. Jika penasaran ingin melihat pantai ini, ada atraksi penghilang rasa bosan saat menuruni anak tangga. Wisatawan bisa sambil mencermati tingkah lucu monyet-monyet yang melompat dari satu pohon ke pohon lain di kanan-kiri tangga.

Turun 300-an anak tunggu pasti melelahkan, tapi rasa capai itu akan terbayar begitu melihat air laut nan biru, berpadu pasir putih, tebing, dan pepohonan. Wisatawan, jika pun tak ingin berselancar, bisa berjemur atau rebahan di pasir dengan tenang karena pengunjung pantai ini masih minim.

Mengingat omongan Wayan di atas, dan masih jarangnya pengetahuan tentang pantai ini, biasanya para peselancar mencari tahu terlebih dulu sebelum menuju pantai ini. Informasi bahakan sudah diulik sebelum terbang ke Bali. Ini menghindari kekecewaan seandainya tiba di lokasi pada musim dan kondisi yang kurang pas. Begitupun banyak peselancar yang terus datang ke Green Bowl karena ombak di pantai ini tergolong stabil. “Green Bowl jadi salah satu favorit peselancar yang datang ke Bali karena gulungan ombaknya stabil,” ujar Wayan.

Selain berselancar, beberapa wisatawan memilih berjemur dan bermain  air di pinggir pantai. Ada beberapa gua yang bisa dijadikan tempat berteduh kala terik mentari menguat. Beberapa gua yang terjadi karena proses alam menambah eksotisme pantai ini. Di sebuah gua terlihat jejak-jejak upacara umat Hindu.

Garis Pantai Green Bowl tergolong pendek karena dibatasi jajaran karang besar dan tebing yang menjulang tinggi. Kontur alam tersebut menambah gaung nama pantai sebagai salah satu pantai tersembunyi.

Lokasinya di Jalan Raya Bali Cliff, Kuta Selatan, untuk mencapainya masih jarang kendaraan umum dengan rute ke tempat ini. Karenanya, umumnya pengunjung harus menyewa kendaraan roda dua atau empat meski sebenarnya lokasinya cukup mudah. Dari arah Kuta, pengunjung menuju arah Garuda Wisnu Kencana. Tidak jauh akan ditemukan perempatan, wisatawan bisa mengambil belokan ke kiri.

Sebelum turun tebing menuju pantai, ada area parkir yang cukup luas dan warung-warung permanen. Terdapat fasilitas kamar kecil dan kamar mandi untuk membilas tubuh setelah berselancar atau bermain di pantai. Di area parkir ini, seperti biasa, wisatawan akan dikerubungi para pedagang asongan, umumnya ibu-ibu penjual aksesori dan kerajinan tangan. Ada juga yang menawarkan jasa pijat. Nah, yang terakhir ini penting, setelah naik turun 600-an anak tangga, pijat kaki pastilah menyenangkan.

F. Rosana/Dok. TL/nigel tadyanehondo-unsplash

Singgah 1 Hari di Makassar

Rute penerbangan baru Super Jet Air adalah ke Makassar

Singgah 1 hari di Makassar? Jangan khawatir, Anda tetap akan punya pengalaman menarik. Mulai dari wisata sejarah dan kuliner, juga santai menikmati keindahan mentari tenggelam di pantai.

Singgah 1 Hari di Makassar

Saya beberapa kali menikmati transit di kota anging Mamiri ini. Baik perjalanan dari Jakarta ke Jayapura di Papua. Atau, Jakarta ke Manado di Sulawesi Utara. Kadang cuma satu-dua jam. Tapi kadang hingga delapan jam. Itu jika tidak mendapatkan penerbangan langsung. Pernah sekali waktu, harus mendarat pagi sekali karena penerbangan sekitar dua jam dari Jayapura dan karena perbedaan wilayah waktu, jam 6.30 pagi waktu Makassar. Celakanya baru malam hari penerbangan ke Yogyakarta via Surabaya. Menunggu di Bandar Udara Hasanuddin?

Saya memilih ke kota. Dengan taksi atau menyewa mobil yang banyak ditawarkan di bandara, menuju pusat kota memerlukan waktu sekitar 30-an menit jika lancar melalui jalan tol. Pilihannya: sarapan khas Makassar.

Coto Makassar

Di pagi hari, mulailah dengan sarapan coto Makassar. Beberapa kali ke kota ini, saya punya dua kedai coto favorit. Pertama, di rumah makan Coto Nusantara yang berada di Jalan Nusantara. Posisinya berada di depan pelabuhan laut Sukarno Hatta. Buka mulai 06.30, restoran ini menyajikan soto yang menjadi pilihan yang menggoda di pagi hari.

Ruang kedainya tak terlalu besar, namun bisa menampung cukup banyak tamu. Saat makan siang, siap-siaplah mengantri jika mau mengudap coto di sini. Selain antri, jika datang beramai, jangan berpikir harus duduk satu kelompok bersama. Kadang, satu orang duduk di dekat pintu masuk, yang lainnya ada di dalam. Prinsipnya, kosong diisi.

Pilihan coto lainnya adalah Coto Gagak. Jangan salah, ini bukan soto dengan daging gagakm tapi ini karena cotonya berada Jalan Gagak. Di Makassar ini ada yang unik, beberapa tempat makan populer ada di jalan dengan nama yang menimbulkan asosiasi. Misalnya, jika ingin makan palubasa, di sini ada dua yang terkenal: Pallubasa Onta dan Pallubasa Srigala. Itu karena yang satu ada di jalan Onta, dan lainnya di Jalan Srigala.

Dengan perut terisi coto, kita bisa memulai keliling kota. Bisa memulai jalan sehat dengan mengelilingi Fort Rotterdam atau kadang disebut Benteng Ujung Pandang. Lokasinya hanya sekitar satu kiloan dari Coto Nusantara. Benteng ini dibangun pada 1554 oleh Raja Gowa. Tanpa biaya masuk, orang bisa jalan-jalan sembari mengenal sejarah di sini. Di masa lalu, benteng ini menjadi saksi bisu perjuangan Indonesia. Kini dipergunakan sebagai pusat budaya dan seni yang tertata apik dan bersih.

Perjalanan kemudian bisa dilanjutkan ke Museum La Galigo, yang berada dalam Fort Rotterdam. Memiliki koleksi barang-barang dari sejumlah kerajaan di Sulawesi Selatan, juga benda-benda prasejarah. Seusai keliling Fort Rotterdam dan Museum La Galigo, masih ada satu lagi jejak sejarah yang bisa diintip, yakni Benteng Somba Opu, yang berada di perbatasan Makassar dengan Gowa. Benteng yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari Fort Rotterdam ini merupakan peninggalan Kerajaan Gowa.

Setelah menelusuri sejarah, saatnya makan siang. Nah, ini saatnya menyeruput kuah gurih pallubasa— sejenis soto berkuah santan dengan isi daging sapi dan jeroan. Kita bisa memilih, modelnya seperti soto Betawi di Jakarta, kondimen bisa memilih.

Seperti cerita di atas, pallubasa bisa dicicipi di Pallubasa Serigala di Jalan Serigala Nomor 54, Makassar. Atau pallubasa Onta. Tentu saja nama warungnya bukan itu, tapi jika menyebut seperti itu, semua sopir taksi atau mobil persewaan sudah tahu maksudnya.

Pilihan lain untuk makan siang adalah sop konro atau konro bakar. Ini adalah makanan dari iga sapi. Pilihan saya biasanya adalah Konro Karebosi. Lokasinya dekat dengan lapangan olahraga dan mal Karebosi. Tak tepat di sisi lapangan, tapi di jalan sebelahnya, jalan Gunung Lompobatang..

Setelah perut kenyang, saatnya berburu oleh-oleh. Silakan singgah ke Somba Opu Shopping Center. Satu kawasan dengan beragam toko yang menjual barang-barang khas lokal. Semisal, songkok khas Bugis, sarung Makassar, ukiran Toraja, atau beragam camilan, juga obat gosok, seperti minyak akar lawang dan kayu putih.

Ketika sore hari, cobalah bersantai di Pantai Losari sembari menikmati keindahan mentari tenggelam. Ada deretan kafe tenda dengan jajanan khas. Salah satunya tentu pisang epe, pisang bakar yang dipenyet dan diguyur gula merah cair. Sajian ini kini tampil dengan berbagai variasi, seperti cokelat, keju, dan lain-lain. Minumannya bisa pilihan yang hangat, seperti saraba atau kopi Toraja.

Hmmm… semua ini bisa melengkapi satu hari Anda yang tak terlupakan, di Makassar. Jadwalkan kembali untuk datang ke Makassar dan melaju ke Tana Toraja, atau menyusuri Pantai Bira di Bulukumba, juga menyeberang ke pulau-pulau di sekitar dengan waktu lebih panjang. Untuk saat ini, acaranya cukup icip-icip, melihat obyek bersejarah dan pantai, tentunya juga berbelanja.

*****

3 Pantai Di Jember Dengan Aura Mistis

3 pantai di Jember dikenal memiliki aura mistis. Masyarakat setempat sering mengadakan ritual khusus di sana.

3 pantai di Jember, Jawa Timur, mungkin kalah terkenal dibandingkan pantai-pantai di Banyuwangi. Yang membedakan adalah, ketiga pantai di Jember ini lekat dengan kesan mistis. 3 pantai di Jember ini ramai dikunjungi pada hari-hari tertentu.

3 Pantai di Jember

Siang itu terik mentari benar-benar memanggang kulit. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan pasir hitam. Gulungan ombak yang mencoba memberikan alunan alam dan hijaunya deretan pohon pandan seakan tak mampu mengusir hawa panas di Pantai Puger, Jember, Jawa Timur, yang kian terasa gersang pada tengah hari itu. Ini tujuan pertama dari 3 pantai di Jember kali ini.

3 pantai di Jember memberi kesan mistis karena masih adanya ritual-ritual dari masyarakat setempat.
Pantai Puger Jember yang menjadi bagian dari Cagar Alam Watangan Puger. Foto: Anditya H/Dok. TL

Dua pemancing di bibir pantai —hanya mereka manusia yang kami temui siang itu, juga tak kalah dirundung sunyi. Sedari pagi tak ada satu pun umpan mereka yang disambar ikan. Toh, keduanya masih menaruh harapan.

Mereka menunggu sembari membakar umpan mereka sendiri berupa ikan mungil yang seukuran dua jari dewasa untuk teman nasi. Lumayan untuk mengganjal perut yang sudah lapar.

Tak ada kata indah bagi sebuah wisata bernama pantai. Meski begitu, pantai yang terletak 40 kilometer di sebelah barat daya dari Kota Jember ini sangat terkenal. Ya, pantai di ujung selatan Jember itu dikenal sebagai salah satu tujuan wisata mistis.

“Biasanya pengunjung ramai pada Kamis atau malam Jumat untuk melakukan ritual. Apalagi saat malam 1 Suro,” kata Mahat, petugas loket pintu masuk pantai tersebut.

Lantas kami diajak menyusuri kawasan Cagar Alam Watangan yang letaknya tak jauh dari pantai. Menurut dia, di tempat itu terdapat Kolam Penampungan Mata Air Kucur, Mata Air Seribu, dan Petilasan Mbah Kucur.

Menurut Mahat, dinamai Kucur karena terdapat petilasan bekas pertapaan Mbah Kucur, seorang prajurit yang tugasnya mengawal Pangeran Puger dari Kerajaan Mataram. “Pangeran Puger mengakhiri tapanya dan kembali ke Mataram, tapi pengawalnya tidak ikut dan menetap di Puger Kucur,” ia memaparkan.

Untuk mencapai ke kawasan tersebut, pengunjung harus menyeberangi muara dengan menumpang perahu motor. Kolam Penampungan Mata Air Kucur langsung terlihat sesaat setelah perahu ditambatkan. Kolam buatan ini merupakan penampungan air yang keluar dari mata air. Beberapa remaja lokal terlihat asyik berenang di kolam yang berukuran tak terlalu besar itu.

Tak jauh dari kolam terdapat sebuah saung tertutup. Saung ini, kata Mahat, merupakan petilasan Mbah Kucur. Sedangkan lokasi Mata Air Seribu relatif jauh dari tempat itu. Pengunjung harus melalui jalan setapak dengan mendaki.

Setibanya di lokasi, terlihat beberapa mata air yang keluar dari dinding bukit. Sulit menghitung jumlah mata air, tapi memang banyak. Mungkin karena itu dinamakan Mata Air Seribu atau Mata Air Sewu.

Di sebelah mata air terdapat gua kecil. Tempat itu, ucap Mahat, dijadikan tempat bertapa. Memang terlihat bekas jejak manusia dengan alas tikar serta puntung rokok berserakan. Tak ingin berlama-lama di tempat itu, kami segera bergegas menuju Pantai Watu Ulo.

Untuk menuju pantai ini dibutuhkan waktu tempuh hanya sekitar 30 menit dari Pantai Puger. Tempat tersebut lebih layak disebut pantai karena tidak gersang dan terdapat banyak warung. Lebih ”hidup” ketimbang Pantai Puger. Meski lebih layak disebut wisata pantai, tohtetap saja pantai ini menyimpan kesan mistis. Betapa tidak, bekas sesaji berupa kembang tujuh rupa berserakan di susunan batu panjang.

Konon susunan batu panjang itu dianggap menyerupai tubuh ular. Menurut kisah yang beredar, pemuda desa bernama Raden Mursodo berhasil mengait ikan ajaib bernama Mina yang bisa berbicara.

Mina meminta agar dilepaskan dan tidak dibunuh untuk dijadikan makanan. Sebagai gantinya, ikan tersebut akan memberikan sisik yang bisa berubah menjadi emas untuk Raden Mursodo. Raden Mursodo menyetujuinya dan melepas ikan mina itu kembali ke laut.

Namun sayang, tak berapa lama kemudian, seekor ular besar bernama Nogo Rojo langsung memakan Mina. Raden Mursodo yang geram segera melawan sang ular raksasa dan membelah tubuhnya menjadi tiga bagian. Legenda inilah yang menjadi salah satu versi mengenai asal-muasal terbentuknya Watu Ulo di pantai Jember.

Senja mulai jatuh. Pengunjung bergegas meninggalkan pantai mistis kedua itu dan kemudian menuju Pantai Papuma. Lokasinya tidak terlalu jauh. Tepatnya di Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, Jember. Kira-kira hanya sekitar 1 km dari Pantai Watu Ulo.

 Papuma merupakan singkatan dari Pasir Putih Malikan. Disebut Malikan karena ada batu-batu yang bisa berbunyi khas saat terkena ombak. Batu Malikan merupakan karang-karang pipih yang mirip seperti sebuah kerang besar yang menjadi dasar sebuah batu karang besar.

Pemandangan pantainya sangat eksotis. Pasir putihnya terhampar bak permadani. Sedangkan di area setelah parkir yang teduh, berderet warung-warung sederhana siap dengan ikan bakar dan es kelapa muda.

Pantai seluas sekitar 50 hektare dan dikelilingi hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani ini terlihat lebih menarik. Sayangnya, wisatawan dilarang keras berenang di pantai ini karena gelombangnya sangat kuat. Meski begitu, wisatawan tetap bisa menikmati keindahan pantai ini sembari berjalan atau duduk di tepi pantai.

Senja benar-benar telah jatuh. Semburat jingganya muncul dari balik bukit. Bias sinarnya menerpa pasir putih dan kapal-kapal yang tertambat di pinggir pantai. Semakin menambah semangat para pemancing cumi sore itu.

Sementara di ujung pantai, tak jauh dari tanjung, tampak dua orang sedang melakukan ritual. Mereka, hanya dengan menggunakan kemban, dimandikan oleh seseorang secara bergantian. Entah ritual untuk apa. Namun yang pasti, keindahan pantai selatan di Jawa Timur ini semakin lengkap karena ada pesona mistis di dalamnya.

Kunjungan ke 3 pantai di Jember ini: Pantai Puger, Pantai Watu Ulo, dan Pantai Papuma sebenarnya bisa dilakukan dalam satu hari. Namun harus memulai perjalanan pada pagi hari. Sebaiknya, setelah tiba di Bandara Notohadinegoro, Jember, hari pertama digunakan untuk berkeliling kota dan beristirahat. Baru esok paginya dapat melakukan penelusuran di tiga pantai tersebut.

agendaIndonesia/TL/Andry T./Anditya H

*****

Warkop Di New York, 1 Lokal Warna Global

Warkop di New York, milik orang Indonesia. Menjual kopi gula aren dan Indomie telur kornet rasa Amerika.

Warkop di New York, rasanya ini biasa saja. Banyak tempat ngopi di kota tersibuk di dunia itu. Coffe Shop bertebaran di hamper tiap sudut kota. Tapi, warung kopi Indonesia dengan segala menu lokal Indonesia di New York?

Warkop Di New York

Awal tahun 2022 ini, masyarakat di Indonesia karena pemberitaan di media konvensional juga pesan di media sosial, heboh dengan informasi pembukaan Warkop di New York atau Warkop NYC yang berada di jantung kota New York, Amerika Serikat. Tepatnya di Kawasan Hell’s Kitchen, Manhattan, New York.

Yang membuat ‘heboh’ karena mereka mengusung konsep warung kopi dan warmindo (warung Indomie) ala Indonesia. Jadi Warkop NYC ini menyajikan berbagai makanan dan minuman khas Indonesia. Kopi dari merek-merek di Indonesia, juga mie instan.

Segera saja Warkop ini berhasil mencuri perhatian warganet. Terlebih untuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di New York, mereka menyambut baik warkop di New York tersebut. Ada harapan rasa kangen tanah air yang terobati.

Warkop di New York menjadi semacam destinasi baru orang Indonesia yang mampir ke New York.
Omar Karim di depan Warkop NYC miliknya. Foto: Instagram Warkop NYC


“Kami merasa, warkop ini merupakan everyday place for everyone di Indonesia. Ini cocok dengan karakter kota New York yang punya fast pace dan juga melting point,” kata Omar Karim Prawiranegara, founder sekaligus owner dan pengelola Warkop New York ini.
Selain soal peluang usaha, Omar dan sejumlah temannya melihat ada hal lain: memperkenalkan kuliner dan budaya Indonesia. Dan ini bisa dilakukan di mana saja.

Mereka memilih dari sebuah tempat “kecil” di sebuah sudut kota besar di Amerika Serikat pada 3 Maret 2022 lalu. Tiga orang berkawan, Omar Karim Prawiranegara, Teguh Chandra, dan Cut Lakeisha, serta Ditto “Percussion” dan istrinya yang bergabung sebagai investor, menyuarakan tentang kopi Indonesia.

Warkop NYC sukses merepresentasikan warung kopi khas Indonesia yang sederhana, tapi kental dengan kearifan lokal. “Kami merasa, warkop itu everyone’s place,” kata Omar sambal berverita konsep yang mereka usung cocok dengan gaya hidup warga kota New York.

Awalnya, kata Omar, ketika berniat membuat Warkop NYC, ia mengaku tidak mengenal siapa-siapa dan benar-benar mulai dari nol. Dirinya lantas bercerita, mencari tempat dan mengurus proses izin adalah hal yang tersulit. Meski begitu, Omar berhasil menghadirkan Warkop NYC secara mandiri, berdiri sendiri, dan belum ada sentuhan bantuan dari lembaga Indonesia waktu itu.

“Kami sangat senang, karena respons yang kami dapatkan sangat baik. Bahkan, sebulan setelah pembukaan Warkop NYC, masih banyak orang yang mengantre. Semua orang penasaran dan mau mencoba menu yang kami sediakan,” ucap Omar.

Ketika Warkop NYC buka pertama kali, pengunjung yang datang hampir 80 persen adalah orang Indonesia. Kini, variasi pengunjung sudah berimbang 50:50, antara Diaspora dengan warga lokal.

Ini tentu tidak luput dari liputan media lokal New York, seperti eater dan NY Times. Hal tersebut membuat warga lokal datang dan mencoba. Rata-rata per hari warkop ini bida didatangi 8-100 pengunjung. Jumlahnya bisa naik dua kali lipat saat akhir pekan.

Lalu menu apa yang menarik warga lokal dari Warkop New York ini? Salah satu menu terlaris di Warkop NYC adalah internet. Orang Indonesia sudah tahu dong menu ini singkatan mi instan yang disajikan dengan telur dan kornet. Mereka biasanya makan sambal menyeruput es kopi susu aren.  Selain dua produk itu, Omar dan timnya juga menambah variasi menu baru seperti bubur kacang ijo.

Warkop di New York menyediakan minuman-minuman siap konsumsi yang disukai warga lokal.
Produk ready to drink dari Warkop NYC. Foto: instagram warkop NYC

Meski baru berdiri beberapa bulan, kehadiran Warkop NYC cukup menyita perhatian warga lokal dan menjadi viral di Indonesia. Salah satu keunikan dari Warkop NYC adalah dengan menghadirkan “kearifan lokal” Indonesia, seperti bungkus sachet bubuk minuman yang digantung dan ruangan dengan warna khas warkop pada umumnya.

Tidak ada kursi nyaman khas kafe-kafe modern, pelanggan duduk di kursi plastik yang sering disediakan di warkop-warkop di Indonesia. Praktis dan khas.

Mendapatkan begitu banyak perhatian, Omar ingin apa yang dia capai juga bisa menular kepada pelaku industri kuliner lainnya, khususnya yang ingin membuka restoran di luar negeri. Untuk itu, Omar juga berharap pemerintah Indonesia bisa memberikan dukungan yang lebih baik lagi untuk pelaku bisnis kuliner Indonesia agar semakin berkembang.

Bagi beberapa orang indonesia yang berkunjung kebetulan berkunjung ke kota New York, Warkop NYC kini justru menjadikan lokasi tersebut sebagai tempat destinasi wisata. Nongkrong di warkop di Big Apple.

agendaIndonesia

*****

Desa Lerep Ungaran, Buka 35 Hari Sekali

Pasar Lerep Ungaran menawarkan pariwisata tradisional alternatif. Foto: dok. Kemenparekraf

Desa Lerep Ungaran, Jawa Tengah, bisa menjadi contoh memberdayakan masyarakat sekaligus memberi alternatif wisata untuk publik. Berwisata di desa wisata memang menyenangkan. Tak sekadar berlibur, namun sekaligus mengenal budaya dan ciri khas setiap desa yang dikunjungi.

Desa Lerep Ungaran

Setelah pandemi, ada kemungkinan wisatawan memilih destinasi kunjungan yang mengedepankan rasa aman, nyaman, bersih, dan sehat seiring keberlanjutan lingkungan.

Oleh karena itu, tak heran jika saat ini desa wisata menjadi salah satu program unggulan pemerintah. Selain sebagai alternatif tempat berwisata, ia juga sebagai penggerak dan kebangkitan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif di Indonesia.

Ada banyak desa wisata yang bisa dikunjungi, salah satunya Desa Lerep di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Desa wisata ini telah mendapatkan sertifikasi sebagai desa wisata berkelanjutan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf), tentu tidak heran jika Desa Lerep Ungaran menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan.

Desa Lerep Ungaran pasarnya hanya buka setiap 35 hari, yakni pada hari Minggu Pon.
Desa Wisata Lerep di Ungaran menawarrkan alternatif liburan. Foto: dok. Kemenparekraf

Salah satu keunikan yang ditawarkan Desa Lerep Ungaran adalah pasar kuliner jaman dulu, atau biasa dikenal sebagai Pasar Djadjanan Ndeso Tempo Doeloe Lerep yang telah ada sejak tiga tahun lalu.

Sesuai dengan namanya, “Pasar Jadul Lerep” menghadirkan makanan lokal tradisional, namun dengan konsep yang unik dan berbeda dengan pasar pada umumnya. Seperti apa itu?

Pasar yang berlokasi di Kompleks Embung Sebligo Desa Lerep ini seakan akan membawa pengunjung masuk ke zaman dahulu. Berbeda dengan pasar pada umumnya, penjual di Pasar Jadul Lerep Ungaran menggunakan kostum tradisional khas masyarakat Jawa

Seperti mengenakan atasan lurik berwarna cokelat atau hijau, dan dilengkapi dengan bawahan batik. Ada pula penjual yang menggunakan kebaya saat melayani pembeli.

Kuliner Tradisional Pasar Lerep Ungaran Dok. Kemenparekraf
Jajanan tradisional di Pasar Desa Lerep Ungaran. Foto; DOk. Kemenparekraf

Keunikan lain yang menambah kekhasan Pasar Lerep Ungaran adalah jadwal dibukanya pasar yang hanya pada Minggu Pon saja. Itu artinya, pasar ini hanya buka setiap 35 hari sekali, sesuai hari pasaran Jawa.

Dari sajian yang dijajakan di Pasar Lerep juga unik. Bahkan mungkin sulit kita temui di pasar biasa. Seperti pecel, bubur tumpang, krupuk gendar, nasi iriban, dawet nganten, bubur suwek, lodheh, serabi caonan, serta masih banyak makanan dan minuman yang memanjakan lidah sejak suapan pertama.

Menariknya, semua makan dan minuman yang dijual di Pasar Lerep menggunakan bahan-bahan organik. Selain itu, uang yang dipakai untuk bertransaksi menggunakan semacam koin dari kayu.

Untuk mendapatkannya, kita hanya perlu menukarkan uang kertas dengan koin yang disediakan di area pintu masuk Pasar Lerep. Setiap uang koin kayu yang disediakan nominalnya sama dengan nilai rupiah. Mulai dari pecahan Rp 1.000, Rp 5 ribu, hingga Rp 10 ribu.

Sama dengan transaksi bayar membayar pada umumnya, pengunjung juga akan mendapatkan uang kembalian dengan koin kayu. Jangan khawatir, jika uang koin kayu masih tersisa, kita bisa menukarkannya dengan uang Rupiah saat keluar dari pasar.

Desa Wisata Lerep mengembangkan konsep wisata berwawasan lingkungan. Salah satu keunggulan dari Pasar Lerep, yaitu meniadakan kemasan plastik.

Sebagai gantinya, warga Desa Lerep Ungaran menggunakan daun jati, daun pisang, daun aren, batok kelapa, anyaman bambu, atau mangkok dari tanah liat sebagai wadah makanan dan minuman. Bahkan, sendok yang digunakan pun menggunakan sendok kayu.

Untuk pelengkap, suasana kuliner dengan konsep zaman dulunya juga dilengkapi dengan iringan musik gamelan. Perpaduan iringan musik gamelan, makanan tradisional yang lezat, sekaligus pemandangan embung berlatar Gunung Ungaran pastinya memberikan pengalaman liburan yang berbeda dari biasanya.

Jajanan Pasar Lerep Ungaran Diskominfo Ungaran
Minuman yang dijajakan juga jenis tradisional. Foto: DOk. Diskominfo Kab. Semarang

Di pasar jajanan ndeso pengunjung betul-betul akan disuguhi gaya hidup yang go green. Berbagai makanan dan minuman tradisional berbahan serba alami, kemasan go green berupa pembungkus dari daun pisang serta daun jati dan anyaman daun kelapa hijau sebagai pengikat seperti tas. 

Makanan dan minuman yang dijual di pasar jajanan ndeso sangat bervariasi jenisnya seperti sego iriban, sego jagung goreng, lontong sayur, soto, dawet brokohan, dawet nganten, ndok gluduk, cetil, gatot, tiwul, dan lain sebagainya. Ada pula nasi gudangan dan nasi gudeg a la Desa Lerep

Kepala Desa Lerep Sumariyadi menjelaskan bahwa pasar jajanan tradisional digelar untuk mendukung pengembangan desa wisata. Selain itu juga untuk memberdayakan perekonomian warga. “Selain ada homestay, warga juga berperan mendukung pengembangan desa wisata itu dengan membuat aneka kuliner tradisional seperti ini,” katanya.


Pihak pengelola desa wisata, menurutnya, memfasilitasi usaha ekonomi produktif warga dengan menggelar pasar jajanan tradisional setiap Minggu Pon.

agendaIndonesia/kemenparekraf

*****

Gunung Rinjani, Keindahan Gunung Bintang 5

Gunung Rinjani jonas verstuyft unsplash 1

Gunung Rinjani, bagi pecinta dan anak gunung, dikenal sebagai gunung dengan keindahan alam bintang lima. Untuk Indonesia, konon, ia cuma kalah dengan Gunung Semeru di Jawa Timur. Meskipun punya potensi gempa dan erupsi, daya tarik Rinjani memang luar biasa. Gunung ini sejak 2018 telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai geopark global, setelah sebelumnya pada 2013 diusulkan menjadi geopark oleh Ikatan ditetapkan sebagai geopark nasional.

Gunung Rinjani, Gunung Bintang Lima

Lima tahun terakhir ini Rinjani di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, pernah ditutup dua kali untuk pendakian. Pertama pada 2018 lalu, karena gempa besar yang menghantam Lombok. Sempat dibuka kembali menjelang akhir 2019, namun kemudian ditutup kembali karena adanya pandemi Covid-19.

Saat ini, pendakian ke gunung ini perlahan mulai dibuka kembali dengan mengedapankan protokol kesehatan. Jumlah pendaki pun masih dibatasi, itu pun tak sampai puncak atau turun ke danau Segara Anak. Namun, bagi para penggila gunung, pembukaan ini sudah membuat mereka menarik nafas lega. Umumnya, pendaki gunung memiliki kesan mendalam tentang pendakian Gunung Rinjani.

Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Dedy Asriadi mengatakan, gunung Rinjani oleh pendaki gunung sering dijuluki sebagai gunung di atas gunung. Karena,“Gunung ini berdiri di atas Gunung Batu Raji,” katanya.

Di atas puncak Rinjani setinggi 3.726 meter di atas permukaan laut (mdpl), pendaki bahkan menyaksikan panorama alam yang komplet. Ada Danau Segara Anak alias danau maar yang tampak dari puncak. Dan, “Di tengah danau itu berdiam Gunung Batu Raji yang masih aktif,” katanya.

Suhu harian air permukaan danau Segara Anak, cerita Dedy, berkisar 20-22 derajat celcius. Menurutnya, inilah salah satu keajaiban Segara Anak yang merupakan salah satu danau vulkanik terbesar di dunia.

Sementara itu, bagi mereka yang menggemari fotografi, memotret matahari terbit di puncak Gunung Rinjani merupakan momen yang sempurna. Ia bukan hanya memperoleh pemandangan cahaya muncul di antara gumpalan awan, tapi juga lanskap Nusa Tenggara Barat yang tampil jelas di depan mata. Kadang, jika cuaca terang, “Bahkan dari puncak Rinjani kita bisa menyaksikan Gunung Tambora,” kata seorang pendaki yang dtemui di Sembalun, salah satu desa rute menuju Rinjani.

Gunung Tambora sendiri berlokasi di Bima, Pulau Sumbawa, sebelah timur Lombok. Jaraknya dari Lombok berkisar 416 kilometer. Semu-semu kaldera Tambora membikin kemolekan pemandangan di puncak Rinjani tak tergantikan. 

Rinjani merupakan gunung dengan lanskap terkomplet dengan panorama tercantik. “Di sepanjang jalur pendakian, kita bisa menemui air terjun,” ujar sang pendaki lagi.

Pemandangan samping kanan dan kiri selama menempuh perjalanan ke puncak pun tak membuatnya bosan. Sebab, ia dapat menjumpai hamparan savana, hutan, dan danau di tengah jalur pendakian yang bakal menjadi obat letih. “Treknya pun lengkap, mulai yang landai sampai menyusuri tebing,” ujarnya.

Saat ini para pendaki hanya diperbolehkan naik ke Rinjani melalui empat pintu pendakian, yaitu desa Senaru di Kabupaten Lombok Utara, Sembalun dan Timbanuh di Kabupaten Lombok Timur, dan Aik Berik di Kabupaten Lombok Tengah. “Selain itu tidak diperkenankan,” kata Dedy.

Gunung Rinjani merupakan surga bagi pendaki Indonesia karena keindahan pemandangannya. Menurut Dedy, dari jalur yang sering digunakan oleh pendaki, “Jalur Senaru merupakan jalur pendakian paling ramai,” ujarnya.

Ramainya jalur tersebut disebabkan selain sebagai jalur wisata trekking, juga kerap dipergunakan sebagai jalur pendakian masyarakat adat. Mereka mendaki Rinjani untuk ritual adat atau keagamaan di puncak Rinjani atau danau Segara Anak.

Ada beberapa tradisi yang masih kerap dilaksanakan masyarakat adat, yaitu upacara Roah Asuhan Gunung. Tradisi ini dilakukan Kampung Adat Senaru pada akhir musim kemarau sebagai permohonan agar gunung dan kehidupan di bawahnya kembali hidup. Ada pula di Kampung Adat Sembalun Bumbung, Lombok Timur, tiap tiga tahun sekali juga terdapat upacara Ngayu-ayu (rahayu, selamat), yang merupakan ajakan untuk melestarikan alam.

Di Desa Bayan, Lombok Utara, juga terdapat pesta Gawe Alip. Dulunya tradisi ini dilakukan setiap delapan tahun sekali bertepatan dengan tahun Alip. Namun, Pesta Gawe Alip kini dilakukan setiap ada musibah, seperti banjir bandang, tanah longsor, atau kebakaran hutan. Tujuannya, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar dunia aman, damai, dan sejahtera.

Untuk pendaki, jalur Senaru rute pendakiannya adalah Senaru-Pelawangan Senaru-Danau Segara Anak dengan berjalan kaki. Bagi pendaki, untuk naik ke Rinjani, “Waktu tempuhnya sekitar 10 – 12 jam melalui jalur wisata di dalam hutan primer,” katanya. 

Sepanjang jalan trail telah disediakan sarana peristirahatan pada setiap pos. Dari pintu gerbang Senaru sampai Segara Anak terdapat tiga pos. Sejak dari Senaru jalur yang ditempuh langsung mendaki hingga dinding kaldera Rinjani. Setelah itu baru turun ke danau Segara Anak. Pendakian ke puncak Rinjani, umumnya dilakukan pada pukul 2 dini hari, agar dapat menikmati matahari terbit dari puncak gunung, sekaligus bila cuaca cerah bisa menikmati lanskap Pulau Lombok dan Bali. 

Sementara itu, Jalur Sembalun digemari wisatawan yang ingin trekking. Rute yang dilalui adalah gerbang Sembalun Lawang-Pelawangan- Sembalun-Puncak Rinjani. Jalur Sembalun merupakan rute panjang, yang membutuhkan waktu 9-10 jam. Jalur ini sangat dramatis karena melintasi padang savana dan punggung gunung yang berliku-liku dengan jurang di sebelah kiri dan kanan.

Tiba di Plawangan Sembalun, pendaki akan menghadapi dua pilihan, yaitu mendaki ke puncak Rinjani atau turun ke Segara Anak. Dari Plawangan ke puncak Rinjani dapat ditempuh sekitar 3 jam dengan kondisi jalan yang terus menanjak dan gersang. Apabila memilih ke Segara Anak dapat ditempuh selama 2,5 jam dengan menuruni tebing. Di tepi danau para pendaki dapat menyaksikan kerucut gunung Barujari dan Gunung Mas. Untuk mencapai Barujari dari tepi danau dapat di tempuh selama 1,5 jam.

Dibandingkan jalur Senaru, jalur Sembalun ini tidak terlalu curam. Pemandangan savananya yang membuat para pendaki menggemari jalur ini. Jalur ini memamerkan lembah yang menghijau di sebelah timur Rinjani, dan indahnya Selat Alas dan Pulau Sumbawa di kejauhan.

Pilihan lain, melalui jalur Torean. Desa Torean menawarkan pemandangan ladang, padang pengembalaan, perkebunan, dan merupakan kawasan hutan produksi. Sepanjang perjalanan, pendaki melintasi jalanan yang diapit dua gunung dan menemui aliran Sungai Kokok Putih.

F. Rosana

*****

3 Pantai di Karangasem Dengan Pasir Putihnya

3 pantai di Karangasem salah satunya Blue Lagoon

3 Pantai di Karangasem, Bali, ini seakan tersembunyi dari jangkauan orang. Tapi sesungguhnya, ia menjadi oase bagi banyak wisatawan pecinta pantai.

3 Pantai di Karangasem

Melancong tak selalu berharap bertemu dengan suasana yang ramai, bahkan saat memilih Bali sebagai destinasi wisata. Saya lebih dulu mencari lokasi yang terbilang tenang. Hasilnya, ditemukan tiga pantai yang dibilang nyempil. Petunjuk jalan menuju pantai pun jarang. Paling tidak, itulah yang dialami ketika saya menelusuri Karangasem untuk mencari Virgin Beach.

Pantai yang terletak di Desa Perasi, Karangasem, ini tak cukup terkenal, termasuk oleh sopir sekaligus pemandu yang menemani saya. Ketut, pria asal Sanur, mengaku belum pernah menginjakkan kaki di Virgin Beach. Walhasil, setelah melewati Jalan Raya Candidasa menuju Jalan Raya Bugbug, yang kiri dan kanannya penuh pemandangan hijau, kendaraan dikendarai perlahan.

Papan nama cukup jelas bertuliskan Virgin Beach pun di depan mata. “Waktu saya lewat beberapa waktu lalu, rasanya tak ada plang pantai itu,” ucap Ketut. Saya tersenyum. Bisa jadi pantai ini memang tersembunyi. Dari jalan utama menuju Amlapura, kendaraan berbelok ke kanan, masuk ke Jalan Pantai Perasi, mengikuti anak panah. Pantai masih sekitar 2 kilometer.  Setelah melalui jalan kampung, tibalah saya di area parkir. Saat kendaraan berhenti, giliran kaki pengunjung yang harus melangkah. Jalan menurun dan berbatu sepanjang 500 meter pun saya tapaki.

3 pantai di karangasem, Bali, salah satunya Virgin Beach

Saya menemukan jalan berujung gang sempit di antara dua kios. Suara debur ombak kian kencang terdengar. Mulanya tidak berharap menemui keindahan. Namun, begitu  melayangkan pandangan ke pantai sepanjang 600 meter itu, senyum saya langsung melebar. Meski terbilang pendek, pantai itu benar-benar menggoda. Wow, pasirnya lembut dan putih. Gradasi warna airnya biru menantang tubuh menceburkan diri ke dalamnya. Warga setempat menyebutnya Pantai Pasir Putih. Karena berada di Desa Perasi, dikenal pula dengan Pantai Perasi.

Belasan kafe sederhana menjadi pilihan untuk melepas dahaga. Kursi-kursi menjadi tempat untuk berleha-leha. Saya berjalan menyusuri pantai. Ada deretan perahu nelayan di bagian ujung. Para nelayan pun menyediakan jasa untuk mengantar saya ke lokasi penyelaman atau snorkeling. Tak lama setelahnya, sebuah perahu dengan empat turis perempuan menepi. Puluhan turis asing, dibalut bikini dan busana santai, menerjang ombak. Seperti saya, mereka menelusuri pantai. Saat gelap, tak ada pilihan selain meninggalkan pantai. Tidak ada penerangan, terutama di jalan, karena kiri dan kanan tanah kosong. Hanya gerombolan sapi yang asik memamah biak.

Perjalanan pulang cukup menanjak, membuat saya terengah-engah. Tentu dua pantai lain tak saya kunjungi hari ini. Saya menuju ke Candidasa, menginap di sebuah hotel. Esok pagi giliran Blue Lagoon yang akan dicapai dengan perahu. Cuaca yang cerah di April membuat saya bisa langsung menatap langit biru dengan awan putih kala pagi. Blue Lagoon berada tak jauh dari Padang Bai. Bisa dicapai via darat, tapi bila menginap, ditempuh dengan perahu menjadi pilihan yang lebih tepat.

Saya tiba pukul 09.00 di teluk tersebut. Kapal hilir mudik di Padang Bai. Belum ada perahu datang membawa turis untuk snorkeling atau menyelam.  Di depan tampak sebuah pantai yang juga pendek dan terlihat sepi. Tak jauh dari jungkung yang mengantar saya, ada sebuah area mengapung, lengkap dengan sejumlah permainan, di antaranya seluncuran yang langsung ke laut.

Tak lama, jungkung atau perahu kayu lain berdatangan. Perahu cepat pun tampaknya membawa turis-turis dari Cina. Rombongan orang itu menaiki area terapung. Sebagian meluncur dan menikmati air laut, sebagian melaju kencang dibawa banana boat dan jenis permainan lain. Sebagian lagi tampak mencoba mencermati ikan dengan snorkeling. Ramai lah pagi itu.

Tak terasa terik sinar mentari mulai terasa di kulit. Saatnya melepas keindahan di bawah laut dengan rangkaian bukit di sekeliling teluk. Masih ada satu pantai lagi hari ini yang akan disinggahi. Namun, saya memilih melalui jalur darat. Letaknya tak jauh dari Pelabuhan Padang Bai. Dari arah Candidasa, Blue Lagoon berada sebelum Pelabuhan Padang Bai, sementara Pantai Bias Tugel, yang menjadi sasaran selanjutnya, berada setelah pelabuhan tersebut.

Siang hari, saya meninggalkan Candidasa. Entahlah, kali ini adalah waktu yang tepat untuk kembali ke pantai. Bagaimana pun, paling asik menikmati pesisir saat pagi atau sore. Namun tak ada pilihan. Sebab, hari ini saya harus meninggalkan Pulau Dewata. Dari Candidasa, saya ke Padang Bai sebelum pintu pelabuhan kendaraan berbelok ke kanan, sebuah jalan kecil dengan beberapa homestay. Namanya Gang Mumbul.

Sekitar 600 meter, jalan kecil itu berujung di jalan yang diapit dua tembok. Terlihat deretan mobil di sisi kanan. Ruang parkir yang sempit membuat kendaraan yang keluar harus mundur. Gerbang itu dijaga beberapa pemuda setempat. Mereka menariki uang retribusi. Saya menembus panas di antara dua dinding tembok, menuruni tangga, hingga bertemu dengan lubang di dinding kiri. Di sinilah saya harus berbelok karena di ujung jalan tebing langsung ke samudera.

Berikutnya, saya harus menyusuri jalan setapak di antara pepohonan. Hingga kembali, saya disuguhi pantai pendek yang menawan. Panjang pantainya hanya sekitar 400 meter. Di situ pun hanya ada beberapa warung. Namun justru jadi pilihan sejumlah turis asing. Payung warna-warni menjadi tempat berteduh kala sinar surya menyengat kuat. Saya memilih duduk manis, sebab teriknya terlalu menyakiti kulit. Lain halnya dengan para pemilik kulit pucat yang terlihat asik bergumul dengan ombak. Mungkin lain kali saya harus datang lebih sore agar butiran pasir yang lembut bisa lebih lama merendam kaki.

Tak lengkap melaut tanpa mencicipi hidangan khasnya. Selepas Padang Bai, Ketut membawa saya singgah ke Lesehan Sari Baruna, tak jauh dari Goa Lawah, Klungkung, sebelum mengantarkan saya ke bandara. Satu paket sate ikan, sop ikan,  dengan nasi seharga Rp 23 ribu pun melepas rasa lapar. Saya siap terbang ke Jakarta.

Dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta

Pilihan terbang ke Bali memang begitu banyak. Setiap maskapai nasional menawarkan beberapa kali penerbangan dalam sehari. Penerbangan dari negara tetangga pun langsung mencapai Bandara Ngurah Rai. Dari bandara, Anda bisa langsung mengarah ke Karangasem. Pilihannya bisa menginap di Padang Bai, Manggis, atau Candidasa.

Rita N./B. Rahmanita/Dok. TL

Masjid Gelgel Bali, Masjid Tertua Sejak Abad 13

Masjid Gelgel Bali merupakan masjid tertua di Pulau Dewata itu dan berada di Kabupaten Klungkung. Suasana kota Klungkung.

Masjid Gelgel Bali menjadi saksi harmoni kehidupan masyarakat di Bali. Sebagai daerah dengan mayoritas penduduknya penganut agama Hindu, masjid tertua di Bali ini hidup lengkap dengan kampung Islam di sekitarnya.

Masjid Gelgel Bali

Jika melihat sepintas, tidak ada hal atau petunjuk yang menunjukkan tempat ibadah ini berbeda dari masjid yang ada di Indonesia pada umumnya. Berdiri megah dan nyata sekali merupakan bangunan baru. Hanya, menara masjid Nurul Huda, Desa Gelgel, Klungkung, Bali, yang setinggi 17 meter masih merupakan peninggalan bangunan lama dengan ciri arsitektur lama.

Selain manara, masjid juga masih lengkap dengan pintu kayu berukir lama. Soal bangunan yang tampak baru, “baru direnovasi dan nyaris tidak ada bangunan lama yang tersisa,” kata penjaga masjid, Aminuddin.

Suasana sekitar dan di area masjid sendiri juga memperlihatkan kondisi yang umum dijumpai di tempat-tempat ibadah umat muslim di banyak tempat. Seperti sore itu, saat adzan asar menjelang bergema, beberapa anak dengan pakaian koko dan bercelana panjang sudah duduk-duduk di tangga. Mereka bersiap untuk belajar mengaji.

Masjid tertua di Bali ini berada di kampung muslim desa Gelgel, Klungkung, berbatasan dengan Desa Kamasan yang merupakan desa pengrajin lukisan wayang klasik dan perajin uang kepeng. Terletak sekitar 3 kilometer sebelah selatan Klungkung, dan jarak dari Denpasar sekitar 30 kilometer melalui jalan By Pass Ida Bagus Mantra.

Masjid Nurul Huda di Gelgel ini berada di tengah-tengah perkampungan penduduk Hindu Bali. Dan di sekitarnya terdapat banyak pura-pura besar penyungsungan warga umat Hindu seperti kahyangan jagat pura Dasar Bhuana, pura Kawitan Pasek Gelgel, dan pura Dalem Prajurit. Kehidupan masyarakatnya terlihat tenang dan hidup dalam harmoni.

Sesungguhnya bangunan masjid ini pertama kali dibangun pada akhir abad ke-13 dan merupakan jejak masuknya Islam ke pulau Dewata. Seiring waktu bangunan mulai terlihat kuno dan perlu diperbaiki. Karena itu, sejak 1970-an, renovasi terus dilakukan hingga kini dan menjelma menjadi sebuah masjid nan megah. “Yang tertinggal (dari zaman dulu) hanya mimbarnya,” ujar salah seorang imam masjid. Di dalam masjid itu memang ada sebuah mimbar dari kayu berukir, yang berdiri di depan tempat pemberi khotbah.

Masjid Gelgel Bali sebagai masjid tertua di pulau Dewata, didirikan sejak abad 13.
Menara Masjid Nurul Huda di Kampung Islam Gelgel, Klungkung, Bali. Foto: Dok TL/Charisma A

Itulah bukti satu-satunya dari pasukan Majapahit yang tiba di Gelgel saat mengiringi Raja Gelgel, Dalem Ketut Klesir (1380-1460 M), setelah melakukan pertemuan di Kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-13.  Kala itu, Prabu Hayam Wuruk (1350-1389 M) mengadakan konferensi kerajaan-kerajaan seluruh Nusantara. Ketika hendak kembali ke Bali, Raja Gelgel dikawal 40 prajurit Kerajaan Majapahit. Pasukan tersebut beragama Islam. Selain menetap, dengan seizin raja, mereka mendirikan tempat ibadah dan menyebarkan agama Islam.

Menurut Aminuddin, di sekitar masjid pun menjadi kampung Islam. Ada sekitar 300 kepala keluarga. Kini, bahkan, tidak terbatas pada warga Bali, tapi juga kaum pendatang yang kebanyakan beragama Islam tinggal di kampung tersebut. Karena itu, anak-anak yang sore itu mengaji ketika ditanya, kebanyakan mengaku bukan dari suku Bali. “Aku orang Jawa,” ujar Adi, salah satu anak yang ditemui sore itu. Jawaban yang sama juga dilontarkan dua anak lain. Anak-anak mengaji hampir setiap sore. Setelah asar hingga magrib, masjid selalu dipenuhi anak-anak. 

Kampung Islam berada di sekitar masjid, terutama di bagian belakang. Tepat di gang sebelah gerbang tempat ibadah, saya melihat orang wira-wiri dengan mengenakan peci dan sarung. Anak-anak bersepeda dengan baju koko dan peci juga. Masjid berada di jalan raya. Di ujung jalan, berdiri pura lengkap dengan penjor di bagian depannya. Kehidupan pemeluk Islam dan Hindu berjalan dengan harmonis.

Aminuddin, sang penjaga masjid, mengaku asli dari Bali. Hingga cucunya pun masih beragama Islam. Ia mengatakan, meski orang Bali, tidak memiliki embel-embel seperti pada umumnya. Pada namanya tidak ada tambahan wayan, made, dan lain-lain. “Ada juga yang seperti itu, tapi di banjar lain,” ucapnya.

Di samping dan di seberang masjid berdiri kedai-kedai dengan label halal. Tetap dengan makanan khas Bali, seperti nasi campur, tapi dijamin aman dikonsumsi kaum muslim. Sore itu, saya meninggalkan Gelgel. Namun tepat azan magrib berkumandang, saya sudah kembali ke masjid Nurul Huda untuk menunaikan salat dan menikmati senja di sekitar masjid. Ruangan ibadah lebih ramai. Sebelum beranjak, lagi-lagi, saya mengamati satu per satu warga keluar masjid dan memasuki gang untuk kembali ke rumahnya.

Rita N./Charisma A./TL/agendaIndonesia

*****

Ngopi Luwak di Tegallalang Nomor 1

Ngopi luwak di Tegallalang Bali

Ngopi luwak di Tegallang adalah sebuah kemewahan menikmati Bali. Bagaimana rasanya menikmati kopi di kedai kopi yang menyuguhkan pemandangan saah terasering, deretan cangkir dan keindahan alam.

Ngopi Luwak di Tegallalang

Di Tegallalang, Gianyar, tak hanya hamparan sawah yang banyak diburu para turis. Tak jauh dari daerah Ceking, tempat undakan sawah menjadi pemikat wisatawan, bercangkir-cangkir kopi dan teh turut menggoda untuk dicicipi. Saya pun dibikin penasaran. Salah satu kedainya hanya berjarak 5 menit dari pesawahan tersebut, yakni Bali Pulina Agrotourism. Di halamannya sudah berderet kendaraan. Beruntung masih ada ruang.

Hujan belum lama mengguyur Banjar Pujung Kelod, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang. Memasuki gerbang Bali Pulina, daun-daun pohon kopi dan cokelat pun terlihat begitu segar. Kesejukan amat terasa. Para tamu, termasuk saya, langsung disambut seorang staf. Dengan tenang, staf bernama Budi itu menerangkan proses pembuatan kopi luwak. Sore hari, luwak-luwak sebesar kucing itu asik tidur .

Sawah Terasering di Tegallala ngpatrick craig unsplash

Agrowisata ini mempunyai 20 ekor luwak dengan pakan berupa kopi, mangga, dan pisang. “Diberi jenis kopi arabika yang sudah matang dan seterusnya, binatangnya sendiri yang pilih kopi mana yang mau dimakan,” ujar pria muda tersebut. Tak hanya diajak menonton luwak yang tengah tidur, saya dibawa ke area tempat kopi hasil fermentasi kopi luwak dicuci dan dijemur selama 6-7 hari. “Jika langit mendung, perlu waktu lebih lama,” ucapnya.

Proses selanjutnya mirip kulit ari yang dibuang, kemudian disangrai, yang menjadi sebuah atraksi menarik. Apalagi proses ini dilakukan secara tradisional. Penyangraian dengan penggorengan dari gerabah di atas tumpukan kayu bakar itu berlangsung sekitar 45  menit untuk kopi 1 kilogram. Saat masih hangat, biji kopi langsung ditumbuk dan disaring agar didapat bubuk kopi terbaik.

Perjalanan di agrowisata yang didirikan pada 19 Januari 2011 ini berakhir di ruang santap yang dibuat sederhana seperti warung zaman dulu. Para pengunjung akan mendapatkan delapan cangkir mini yang disajikan di atas nampan kayu. Setiap cangkir berisi teh atau kopi dengan rasa berbeda. Semisal lemon tea, teh jahe, kopi Bali, kopi ginseng, kopi jahe, cokelat, kopi cokelat, dan kopi vanila. Disajikan cuma-Cuma. Hanya, bila ingin mencicipi kopi luwak, secangkirnya dipatok Rp 50 ribu. Selain itu, Anda bisa memesan kopi Bali. Tentu saya tak ingin melewatkan secangkir kopi luwak yang pekat, setelah tubuh disiram hujan sepanjang jalan.

Menyeruput kopi pun ditemani camilan khas Bali, seperti pisang rai dan jaje lukis atau kue lupis. Ada juga pisang goreng. Uniknya, Bali Pulina membuat suasana semakin nyaman. Bukan hanya bangunan dan mebel sederhana model lawas, deck dari kayu pun membuat tamu menikmati alam lebih leluasa.  Deck berbentuk daun itu berada di tiga level yang berbeda. Di sana, para turis berfoto sebelum mencicip kopi dan camilan lain.

Sore itu, Bali Pulina, yang buka pukul 08.00-19.00, benar-benar dipenuhi turis, baik lokal maupun mancanegara, dari berbagai daerah. Sebelum beranjak pulang, saya sempat singgah di kedai khusus oleh-oleh yang menawarkan beragam kopi.  Saya penasaran dengan suguhan dan keberadaan kedai kopi lain saat melanjutkan perajalan ke arah Kintamani. Setelah melewati berbagai agrowisata, akhirnya saya memutuskan singgah di Bhuana Asri Luwak yang baru beroperasi 4 bulan.

Saya disambut Wayan, yang sore itu sudah bersiap pulang. Sebab, kedai kopi yang satu ini hanya buka hingga pukul 5 sore. Namun, dengan sabar, ia mencoba menerangkan agrowisata yang berada di Banjar Tegal Suci, Desa Sebatu, Tegallalang, tersebut.

Seperti halnya di Bali Pulina, di Bhuana Asri saya langsung disuguhin bercangkir-cangkir kecil beragam minuman teh dan kopi. Ada beberapa hal yang berbeda, yang membuat saya kembali mencoba kopi satu per satu. Yang tergolong unik adalah coconut coffee. “Parutan kelapa yang dikeringkan, lalu dicampur gula dan krim,” tutur Wayan, menjelaskan. Rasa kelapa cukup kental membuat kopi tersebut benar-benar berbeda dan unik. Selain itu, ada teh rasa manggis.

Ehmmm…. dengan hawa Kintamani yang semakin sejuk, saya duduk di bangku bambu panjang. Suguhan lain di depan mata adalah bukit hijau. Area untuk duduk dan bersantai tak terlalu luas. Belum disediakan camilan untuk menemani aneka minuman tersebut. Maklum,  pemain baru. Masih ada pilihan kedai lain, seperti Alam Bali Agrowisata dan Alas Harum Agrotourism. l

Rita N./B. Rahmanita/Dok. TL

Jajanan Indonesia, Ini 13 Yang Lezat

Jajanan Indonesia ada beraneka macam, dari yang manis, asin hingga pedas. Foto: shutterstock

Jajanan Indonesia selalu menjadi teman masyarakat Indonesia menikmati hari-harinya. Ada yang sehari-hari ada dan banyak dijual di kedai-kedai kudapan, ada yang khusus tersedia di momen-momen khusus, Imlek, Lebaran, atau Natal.

Jajanan Indonesia

Hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki jajanan, makanan kecil atau kudapan khas. Jenis jajanan Indonesia tidak hanya asin, manis, atau pedas, banyak yang menawarkan cita rasa luar biasa memanjakan lidah, juga dilengkapi dengan berbagai varian rasa khas Indonesia yang menggugah selera.

Di negara-negara Barat, jajanan identik dengan makanan penutup. Sementara jajanan Indonesia makanan-makanan ini lebih dikenal dengan kudapan yang bisa dikonsumsi kapan saja, termasuk sebagai camilan.

Jajanan Indonesia bisa ditemui dari Sabang sampai Merauke.
Aneka Jajanan Idonesia yang mengudang selera Foto: shutterstock

Apa saja jajanan Indonesia yang banyak digemari masyarakatnya? Berikut pilihannya:

Klepon

Kudapan khas Nusantara satu ini merupakan kuliner warisan leluhur. Klepon adalah Jajanan Indonesia manis khas Jawa yang terbuat dari tepung beras, pandan, dan juga gula merah di bagian dalamnya. Bentuknya yang bulat kecil diselimuti parutan kelapa memberikan cita rasa gurih di lidah. Kejutannya ada saat kita menggigit klepon, cairan gula Jawa langsung lumer di dalam mulut.

Di Jawa Tegah dan Yogyakarta, makanan ini banyak ditemukan di pasar-pasar tradisional.

Onde-onde

Onde-onde terkenal sebagai camilan klasik khas peranakan. Kue yang sudah dianggap sebagai jajanan Idonesia ini bentunya menyerupai bola, dengan taburan wijen yang rata di permukaan. Isian onde-onde klasik adalah kacang hijau yang dihaluskan. Namun, kita bisa berkreasi membuat onde-onde isi keju, cokelat, bahkan ubi.

Di Indonesia umumnya onde-onde berbentuk bulat, berwarna coklat dan berlapis wijen. Sedangkan di Padang, Sumatera Barat, onde-onde disajikan dalam bentuk bulat, berwarna hijau, kenyal, ditaburi kelapa, dan di dalamnya ada gula merah cair.

Timpan Pisang Kudapan Aceh shutterstock
Timphan Aceh biasa disajikan saat hari raya. Foto: shutterstock

Kue Timpan Aceh

Kue timphan atau timpan adalah kue tradisional khas Aceh. Kue ini jadi jajanan pasar yang dinikmati orang Aceh sambil minum kopi. Bentuk kue ini pipih, panjang dan dibungkus daun pisang muda.

Di Aceh, timphan umumnya disajikan saat lebaran atau hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Timphan dibuat 1 atau 2 hari sebelum lebaran dan daya tahannya bisa mencapai lebih kurang seminggu. Timphan adalah menu hidangan utama buat tamu yang berkunjung ke rumah saat lebaran. Kini timphan dapat dijumpai di setiap warung kopi Aceh di banyak daerah di Indonesia.

Lemper Ayam

lemper ayam jajanan Indonesia shutterstock
Ketan dengan isian daging mirip dengan bakcang. Foto: shutterstock

Lemper adalah makanan ringan yang terbuat dari  ketan, biasanya berisi cincangan daging ayam dan dibungkus dengan daun pisang. Lemper terkenal di Indonesia dan disantap sebagai pengganjal lapar sebelum memakan makanan utama. Lemper sering dijadikan menu favorit dalam kotak kudapan di antara kue-kue tradisional lainnya.

Jadah Tempe Bacem

Jadah tempe adalah salah satu makanan tradisional khas yang berasal dari Sleman, Yogyakarta. Belum lengkap rasanya datang ke Kaliurang tidak mencicipi makanan ini. Makanan ini tidak akan anda temui di sembarang tempat di kota Yogyakarta karena makanan ini khas Kaliurang dan sangat terkenal hanya ada di sekitar tempat wisata yang berada di lereng Gunung Merapi ini.

jadah tempe mbah carik
Jadah tempe bacem Mbah Cari khas Yogyakarta.

Kue Cucur

Makanan berwarna cokelat dengan bentuk bulat pipih ini merupakan makanan khas Betawi. Perpaduan tepung beras, tepung terigu, dan gula merah merah menghasilkan tekstur padat dan empuk, pinggiran yang renyah, serta rasa yang manis. Agar semakin komplet, kue cucur paling nikmat disantap sambil menyeruput secangkir teh hangat.

Serabi atau Surabi

Di antara jajan Indonesia ada serabi atau beberapa kalangan menyebutnya surabi. Kue serabi merupakan salah satu makanan tradisional yang sangat eksis sampai saat ini. Banyak orang melakukan pengembangan makanan ini dengan beraneka bahan baru. Serabi di Indonesia yang terkenal yaitu serabi Bandung dan serabi Solo.

Ada beberapa hal yang membuat kue serabi dari keduanya berbeda, salah satunya ketebalan kuenya. Serabi bandung lebih tebal daripada serabi solo tetapi serabi solo tidak kalah dari serabi bandung dalam hal rasa.

Bika Ambon

Meskipun ada kata “Ambon”, namun ini bukan berasal dari Ambon atau Maluku melainkan dari Medan, Sumatera Utara. Nama bika ambon muncul karena kudapan ini pertama kali dijual di Jalan Ambon, Medan.

Termasuk kategori kue basah, bika ambon memiliki tekstur kenyal, empuk, dan memiliki pori-pori di bagian dalamnya. Perpaduan antara gula, telur, tepung, dan santan menghasilkan aroma harum yang khas, serta rasa manis yang bikin ketagihan.

Amparan Tatak

Tidak hanya Jawa dan Sumatera, Kalimantan juga punya jajanan khas yang harus dicicipi yaitu amparan tatak. Makanan ini terbuat dari tepung beras, santan, dan pisang yang dikukus selama satu jam. Uniknya, amparan tatak memiliki tekstur lembut dan tidak mudah hancur. Kombinasi rasa gurih dari santan dengan rasa manis dari pisang menghasilkan rasa yang lezat.

Bubur Kampiun

Kudapan khas Indonesia ini agak sedikit berat, yakni bubur kampiun dari Sumatera Barat. Sesuai dengan namanya, kuliner Nusantara satu ini merupakan perpaduan berbagai jenis bubur yang disajikan di dalam mangkuk.

Seporsi bubur kampiun terdiri dari ketan, bubur sumsum, pisang, hingga kacang hijau yang disiram dengan kuah santan. Untuk rasa tidak perlu diragukan, pasalnya bubur kampiun memiliki cita rasa manis nan gurih. Cocok sebagai menu sarapan maupun makanan penutup.

Selendang Mayang

Selendang mayang merupakan minuman. Ini merupakan kuliner khas Betawi yang terdiri dari kue lapis: terbuat dari tepung kanji, gula, dan pewarna makanan.

Kue tersebut dipotong tipis melebar dengan tekstur kenyal saat disantap. Uniknya, potongan kue tersebut akan dicampur dengan gula merah, es batu, lalu disiram kuah santan. Perpaduan tersebutlah yang akan menghasilkan rasa manis, gurih, dan menyegarkan.

Es Goyobod

Varian jajanan menyegarkan khas Indonesia selanjutnya adalah es goyobod. Keunikan dari minuman khas Jawa Barat ini adalah isiannya yang terbuat dari adonan tepung hunkwe, yang dipotong kecil-kecil layaknya jelly bertekstur kenyal.

Secara keseluruhan es goyobod terdiri dari potongan roti tawar, pacar cina, tapai singkong, dan daging buah kelapa, yang disiram dengan kuah santan serta susu kental manis. Saat dicampur perpaduan tersebut menghasilkan rasa gurih, manis, dan menyegarkan ketika disantap.

Es Palu Butung

Bukan hanya di Pulau Jawa, Makassar juga memiliki kudapan khas yang harus dicicipi, yaitu es palu butung. Meskipun terlihat mirip dengan es pisang hijau, namun ada perbedaan yang cukup signifikan dari keduanya.

Buah pisang di es palu butung tidak dibalut tepung, namun pisang hanya dikukus dan langsung disajikan menjadi beberapa potong. Es palu butung biasanya disajikan dengan bubur sumsum, sirup merah, dan es batu.

agendaIndonesia

*****