Seven Wonders of Bali, 7 Keajaiban Bali Lama (Bagian 1)

Seven Wonders of Bali

Seven Wonders of Bali atau tujuh keindahan Bali adalah tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata utama Bali ketika pulau ini belum semeriah saat ini. Pulau Bali memiliki banyak objek wisata menarik untuk dikunjungi, namun sejak dahulu ada tujuh tempat wisata yang selalu menjadi barometer pariwisata pulau Dewata ini. Ada lokasi atau atraksi yang senantiasa menjadi wajib kunjung.

Agar tak lupa dengan tujuh pesona tujuan wisata tradisional Bali ini, AgendaIndonesia menurunkan kisahnya dalam 2 artikel. Berikut Tulisan pertama.

Seven Wonders of Bali

Seven Wonders of Bali, salah satunya adalah Tanah Lot

TANAH LOT

Pulau Bali telah lama menjadi salah satu destinasi wisata populer di dunia. Destinasi wisata ini pulau ini tidak hanya terletak pada keindahaan alamnya, tetapi juga banyak keindahaan arsitektur serta keunikan budaya. Salah satu keindahaan arsitektur yang dapat anda temukan di pulau Bali adalah pura Tanah Lot di desa Braban, Kabupaten Tabanan.

Keindahan tempat wisata pura Tanah Lot terdapat pada perpaduan keindahan alam yang berpadu dengan keindahan budaya. Di saat liburan ke Tanah Lot, wisatawan akan melihat deruan ombak menerjang tebing batu karang. Menjelang matahari terbenam, sedikit demi sedikit warna langit berubah dramatis dan langit dipenuhi beraneka ragam warna. Keindahan Tanah Lot saat matahari terbenam menjadi daya tarik utama wisatawan berlibur ke sini.

Sejarah Tanah Lot Bali Indonesia berdasarkan legenda. Salah satu legenda mengisahkan pada abad ke -15, Bhagawan Dang Hyang Nirartha atau dikenal dengan nama Dang Hyang Dwijendra melakukan misi penyebaran agama Hindu dari pulau Jawa ke pulau Bali. Menurut kisahnya Dang Hyang Nirartha memindahkan batu karang (tempat bermeditasinya) ke tengah pantai dengan kekuatan spiritual. Batu karang tersebut diberi nama Tanah Lot yang artinya batu karang yang berada di tengah lautan.

Tanah di artikan dataran/tanah, Lot artinya laut, jadi Tanah Lot berarti dataran yang berada di tengah laut. Sebuah bangunan pura Hindu berdiri di atas batu karang besar pada bibir pantai. Sesuai dengan nama tempatnya, pura tersebut diberi nama pura Tanah Lot.

Pura Tanah Lot terletak di atas batu karang, berjarak sekitar 300 meter dari garis pantai. Lokasinya berada di lepas pantai, karenanya untuk dapat mengakses pura pengunjung harus melewati jalan batu pada saat air laut surut. Dari lokasi batu karang, untuk mencapai pura, pengunjung harus menaiki anak tangga dari batu.

Di dalam area batu karang terdapat beberapa goa kecil yang di dalamnya dihuni beberapa ular berwarna belang putih hitam. Ular belang putih hitam ini bagi masyarakat lokal disebut sebagai ular suci Tanah Lot Bali.

Satu pura dibangun diatas batu karang hitam dengan ukuran sangat besar dan berada ditepi pantai sebelah kiri. Pura ini lebih dikenal dengan nama pura Tanah Lot. Pada saat pasang, air laut akan menutup area pantai dan membuat lokasi pura Tanah Lot terlihat seperti berada di tengah lautan. Momen air laut pasang ini juga terlihat seperti sebuah kapal yang terbuat dari batu besar berwarna hitam terapung dipermukaan air laut.

Pura ke dua berada dipinggir tebing karang, yang juga berada di tengah laut di sisi kanan kawasan pantai Tanah Lot. Di bawah tebing karang pada lokasi pura kedua terdapat lubang besar, yang selalu dilewati oleh gelombang ombak besar

Untuk menuju Tanah Lot, jika pengunjung berangkat dari kawasan Kuta, akan memerlukan waktu 1 jam 10 menit untuk mencapai lokasi Tanah Lot. Perkiraan jarak tempuh dari area pantai Kuta ke Tanah Lot sekitar 23 kilometer.

Objek wisata Tanah Lot Bali buka setiap hari dari pukul 7 hingga 19 sore. Mengenai waktu terbaik berkunjung ke pura Tanah Lot, setiap wisatawan akan memiliki kriteria berbeda akan tujuan liburan. Ada yang menyukai liburan ke Tanah Lot saat kawasan belum ramai dengan kunjungan wisatawan. Ada juga wisatawan yang memprioritaskan untuk dapat melihat pemandangan matahari terbenam.

BESAKIH

Terletak di lereng selatan Gunung Agung, Pura Kahyangan Jagad Besakih menjulang indah di desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Desa Besakih yang namanya berasal dari kata “Basuki”, dalam Bahasa Sansakerta berarti “keselamatan”, terpilih menjadi lokasi pembangunan tempat ibadah yang menjadi pura induk di Bali tersebut karena merupakan desa tertinggi di kaki gunung terbesar di pulau itu. Bangunan yang konon dibangun pada abad ke-14 ini terdiri dari 22 pura yang berjajar di kaki pegunungan, dengan teras yang bertingkat dan anak tangga yang kian menanjak, sesuai dengan filosofi spiritual  untuk terus meningkatkan perjalanan menuju puncak gunung dan Sang Pencipta.

Dari gerbang masuk,  pengunjung akan menuju pada struktur Meru puncak menara utama, Pura Penataran Agung, yang menjadi pura terbesar di dalam kompleks Pura Besakih. Sebagai pura induk, Pura Besakih merupakan jantung kegiatan persembahyangan Agama Hindu Dharma yang menjadi kepercayaan utama warga Bali dimana terdapat lebih dari 70 upacara keagamaan yang dilangsungkan disana setiap tahunnya.

Pura Besakih dapat dicapai dengan satu jam bermobil dari bandar udara Ngurah Rai.

Dari tempat parkir menuju pura,  wisatawan harus melewati deretan pedagang makanan dan suvenir yang cukup panjang dan menjadi penguji rasa sabar karena beberapa diantaranya bersikap berlebihan, memaksakan diri untuk menawarkan dagangannya.

Gunakan sepatu yang nyaman untuk menjelajah pura yang sangat luas dengan ratusan undak anak tangga dan akan sedikit licin pada waktu musim hujan.

Pura Besakih adalah tempat ibadah agama Hindu Dharma, sehingga wisatawan diharap bersikap sopan, tidak bertingkah iseng mengutak-atik benda apa pun di dalam pura, serta mengenakan busana adat berupa sarung dan ikat yang telah disediakan di pintu masuk.

Pengunjung bisa mencapai pura terbesar, namun hanya umat yang hendak bersembahyang yang diperbolehkan memasuki pura lainnya.

Terdapat jasa guide dengan tarif bervariasi yang disediakan di gerbang masuk untuk membantu pengunjung memahami kompleks pura yang luas tersebut, misalnya mengenai ukiran penghias arsitektur pura yang menceritakan fragmen kisah Ramayana dan Mahabrata hingga lukisan-lukisan tua yang bergaya Kamasan.

Seven Wonders of Bali, di antaranya adalah Gunung Agung

GUNUNG AGUNG

Cincin api yang mengelilingi Indonesia mencuatkan gunung berapi tertinggi kelimanya di Pulau Bali dan kita kenal sebagai Gunung Agung. Menjulang setinggi 3,142 meter, Gunung tertinggi di pulau dewata ini terletak di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali.  Menjulang dengan dikitari hutan lebat, dimana babi hutan, kera ekor panjang dan aneka burung liar, termasuk Elang Bali yang langka, bersarang. Terdapat tiga jalur untuk mencapai puncak Gunung Agung, namun medan ketiganya cukup berat dan hanya wisatawan yang benar-benar fit saja yang bisa disarankan untuk mendaki. Mengingat pentingnya peran Gunung Agung sebagai salah satu pusat ritual warga Bali, terutama melalui gerbang utamanya di Pura Besakih , maka sangat disarankan untuk menggunakan jasa pemandu jika ingin mengunjungi Gunung Agung. Para pemandu dapat ditemukan pada lokasi pendakian, antara lain Gung Bawa Trekking  dari pos pendakian jalur Besakih dan MG Trekking di Candidasa.

Puncak Gunung Agung dapat dicapai dari berbagai arah. Jalur selatan pendakian melalui Klungkung dan Candidasa, Jalur  Barat melalui Pura Besakih, Timur melalui Tirta Gangga dan Karangasem. Jalur yang sedang digemari adalah dari arah pantai timur, melalui sebelah utara Amed menuju Tulamben dan Singaraja . Sisi timur Gunung Agung cenderung kerontang sedangkan pemandangan dari sisi barat jauh lebih menghijau. Keelokan puncak gunung Agung adalah pemandangan sekelilingnya, yang berliku dikelilingi  Gunung dan Danau Batur serta mencapai puncaknya ketika di seberang lautan terlihat matahari pagi muncul dari balik Gunung Rinjani di Pulau Lombok.

Para pendaki dianjurkan mendaki pada musim kemarau (April – Oktober) sedangkan Januari sangat dihindari mengingat tingginya curah hujan yang berakibat pada jalur pendakian yang licin dan berbahaya.  Pada bulan Januari dan Februari dianggap paling berbahaya karena adanya kemungkinan jalur yang longsor. Pada bulan April terdapat banyak upacara keagamaan sehingga tidak leluasa untuk melakukan pendakian.

Para pendaki mengincar sunrise di puncak gunung sehingga berangkat pada tengah malam. Lantaran cahaya bulan yang temaram, disarankan membawa senter, atau head lamp yang terang.

Pendakian pada umumnya dimulai pada pukul 23.00 WITa, selama sekitar enam jam untuk mencapai puncak.Tak lama setelah matahari terbit, kabut akan kembali muncul, menghalangi pemandangan.

Pendaki pemula disarankan melalui jalur utara, melalui Duku Bujangga Sakti dan membawa peralatan camping. Meski memutar dan menghabiskan waktu dua kali lebih banyak, jalur  ini lebih landai dan memungkinkan untuk beristirahat.

BEDUGUL

Kawasan wisata Bedugul terletak sekitar 50 km di sisi utara kota Denpasar, atau sekitar satu hingga dua jam perjalanan bermobil, tergantung tingkat kemacetan hari itu, dari kawasan turis di Kuta.  Wisatawan yang berkunjung ke Bedugul biasanya menyempatkan diri mengunjungi Pura Ulun Danu di pinggir Danau Bratan yang sangat unik. Pura yang seolah menyembul dari tengah danau itu dikelilingi taman yang sangat asri dan hijau, tak heran Ulun Danu menjadi salah satu pura yang paling banyak menjadi obyek pemotretan.

Di Danau Bratan terdapat banyak aktivitas olahraga air untuk seluruh keluarga, dari parasailing, jetsky, berperahu hingga sekadar memancing. Selain olahraga air, Bedugul juga memiliki lapangan golf yakni pada Bali Handara Kosaido Golf and Country Club. Terdapat juga jalur yang cukup sohor untuk melakukan trekking melalui dua danau yang berdampingan; Danau Buyan dan Danau Tamblingan, menuju Gua Jepang dan Pura Puncak Mangu. Trekking dan bersepeda melalui persawahan Jatiluwih juga menjadi rute yang disukai para pelancong.  Jika lelah, pengunjung bisa mampir ke Restoran Batukaru di Jatiluwih yang menyajikan masakan kontemporer di hadapan hamparan sawah bersubak yang menawan. Jika ingin menu yang berbeda bisa mencoba Restoran Bukit Hexon, di Wanagiri, yang menawarkan hidangan organik atau Strawberry Stop, kebun strawberry di antara Danau Buyan dan Danau Bratan yang menyediakan tak hanya menyediakan strawberry melainkan juga milkshake dan aneka jajanan.

Bedugul juga memiliki kebun raya yaitu Kebun Raya Eka Karya yang terletak di kawasan Candi Kuning. Kebun raya yang lebih dikenal sebagai Bedugul Botanical Garden ini sohor  dengan koleksi anggreknya yang memukau. Untuk menghibur keluarga, terdapat juga Bali Tree Top yang menyediakan arena permainan di alam bebas seperti flying-fox dan jembatan a la Indiana Jones. Tak seberapa jauh ke timur juga terdapat lokasi wisata alam yang menakjubkan seperti air terjun Gitgit,  Munduk dan Air Terjun Kembar.  hingga pemandian air panas Angseri serta Penatahan.

…(Bagian 2)…

*****

Dolan ke Lombok, Ini 5 Atraksi Kerennya

Dolan ke Lombok salah satunya bisa snoekeling di Gili gili Lombok, Foto: unsplash

Dolan ke Lombok di Nusa Tenggara Barat cocok dilakukan para pelancong di Maret ini. Banyak atraksi yang unik dan keren berlangsung di tempat ini. Yang utama tentu ajang balap motor kelas dunia.

Dolan ke Lombok

Indonesia kembali dipercaya menjadi tuan rumah ajang balap motor kelas dunia, World Superbike 2023 (WSBK 2023). Sama seperti tahun lalu, World Superbike 2023 bakal digelar di Pertamina Mandalika International Street Circuit, atau Sirkuit Mandalika, pada 3-5 Maret 2023.

Sirkuit Mandalika merupakan sirkuit balap kelas dunia yang terletak di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika di Desa Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dengan panjang 4,31 kilometer, Sirkuit Mandalika memiliki total 17 tikungan yang siap ditaklukan oleh pembalap dunia dalam ajang perlombaan World Superbike 2023. 

Dola ke Lombok harus main ke  rumah adat Sasak.
Rumah adat Sasak. Foto: shutterstock

Dolan ke Lombok di Nusa Tenggara Barat (NTB) sangat disarakan karena tempat ini disebut-sebut akan menjadi destinasi tujuan wisatawan minat khusus dalam bidang olahraga atau sport tourism. Pertama karena NTB mempunyai sirkuit berskala internasional, yakni Sirkuit Mandalika.

Selain sirkuit berskala internasional tersebut sebagai salah satu daya tarik sport tourism, dolan ke Lombok juga terkenal akan bentang alam yang sangat indah. Nusa Tenggara Barat memiliki pantai-pantai yang indah, sejumlah kawasan selam, gunung Rinjani yang asyik didaki dan budaya yang masih terjaga dengan baik, hingga desa wisata yang menyimpan sejuta pesona.

Bagi para pelancong yang ingin merasakan sensasi berlibur yang berbeda di Nusa Tenggara Barat, bisa berkunjung antara Februari atau Maret. Pada saat ini akan ada berbagai event internasional dan festival budaya yang digelar di bulan-bulan tersebut.

Lalu tempat dan atrakasi apa sajakah yang layak didatangi saat dolan ke Lombok? Berikut setidaknya lima destinasi wisata andalan di NTB yang bisa wisatawan kunjungi. 

Peonton MotoGp di Sirkuit Mandalika.
Penonton balapan MotoGP.

Kawasan Mandalika 

Dolan ke Lombok kurang lengkap kalau tidak singgah di Mandalika. Sebagai salah satu Destinasi Super Prioritas (DSP), Mandalika menyimpan banyak pesona. Salah satu yang sudah disinggung di muka sebelumnya adalah Sirkuit Mandalika. 

Sirkuit Mandalika akan kembali menggelar ajang balap motor kelas dunia, yakni World SuperBike 2023 (WSBK) pada 3-5 Maret 2023, dan akan masuk kalender balap MotoGP 2023 pada Oktober mendatang. Ada satu keunikan dari Sirkuit Mandalika. Pada tikungan ke-15 dan 16, terdapat motif tenun Suku Sasak yang menjadi ciri khas dari sirkuit di dekat pantai ini.

Bukit Merese

Destinasi wisata alam di NTB yang menawarkan keindahan perbukitan hijau, bentang pasir putih, dan gradasi warna air laut yang memesona, Bukit Merese. Berlokasi di Lombok Tengah, untuk menuju puncak bukit dan melihat langsung keindahan alam yang dimiliki Nusa Tenggara Barat, para pelancong hanya perlu berjalan kaki selama 15 menit.

Waktu yang tepat untuk mengunjungi Bukit Merese adalah pagi hari atau menjelang matahari tenggelam. Karena tempat ini menawarkan bentang alam yang tak berujung, lengkap dengan sunset yang indah dan memanjakan mata.

Dolan ke Lombok belum lengkap kalau belum main ke Gili-Gili
Main ke Lombok belum lengkap kalau belum main ke Gili-Gili. Foto: unsplash

Gili Nanggu

Seperti yang kita ketahui, Nusa Tenggara Barat terkenal akan Gili-gili yang indah. Gili atau pulau kecil ini tersebar hampir di beberapa perairan Lombok. Salah satu gili yang wajib wisatawan kunjungi adalah Gili Nanggu. 

Lokasinya berada di Selat Lombok atau di pesisir barat Pulau Lombok. Gili Nanggu merupakan pulau tak berpenghuni yang berada di wilayah Kecamatan Sekotong, Lombok Barat.

Di sini pengunjung bisa menikmati keindahan alam bawah laut dengan aktivitas snorkeling maupun menyelam. Ikan-ikan dan terumbu karang yang masih terjaga dengan baik akan menyambut kita di bawah perairannya.

Desa Adat Sade

Bagi wisatawan yang menyukai budaya lokal, tak ada salahnya mengunjungi Desa Adat Sade saat dolan ke Lombok. Salah satu desa wisata di NTB ini berada di Rembitan, Lombok Tengah.

Di desa ini kita bisa melihat langsung keseharian dari masyarakat Suku Sasak. Salah satunya menenun kain yang menjadi cenderamata khas dari Desa Sade.

Menariknya lagi, kita juga bisa melihat langsung rumah adat Suku Sasak yang tergolong unik. Karena dindingnya terbuat dari anyaman dengan atap alang-alang kering. Sementara bagian lantai rumahnya terbuat dari campuran kotoran kerbau, tanah liat, dan jerami.

Festival Bau Nyale

Selain mengunjungi desa wisata di NTB, tak ada salahnya para wisatawan mencoba tradisi menangkap cacing di sekitar Pantai Kuta dan Pantai Seger. Tradisi ini dikenal dengan istilah Bau Nyale, yang biasanya diadakan setiap tanggal 20 bulan 10 menurut penanggalan Suku Sasak. 

Masyarakat Sasak percaya, tradisi berburu nyale ini dapat mendatangkan kesejahteraan. Nantinya cacing yang didapat dalam perburuan akan ditaburkan di sawah-sawah, atau diolah menjadi makanan. Bagi para pelancong yang ingin menyaksikan atau ikut langsung Festival Bau Nyale, biasanya festival ini akan digelar sekitar bulan Februari atau Maret.

agendaIndonesia/kemenparekraf

*****

Kota Batu Dan Apel, 2 Hal Tak Terpisahkan

Kota batu dan Apel, wisata sambil memetik apel

Kota Batu dan apel rasanya seperti dua hal yang tak terpisahkan. Anggapan ini tidaklah berlebihan jika melihat tumbuhnya parwisata di kota Batu, yang secara administratif ditetapkan pada 6 Maret 1993 lalu menjadi kota otonom yang terpisah dari Kabupaten Malang pada 17 Oktober 2001.

Kota Batu dan Apel

Batu, selain memiliki potensi keindahan alam tersendiri, sejak lama menjadi ikon buah apel di Indonesia. Kota Batu sendiri adalah sebuah kota di Jawa Timur, Indonesia. Kota ini terletak 90 kilometer sebelah barat daya Surabaya atau 15 kilometer sebelah barat laut kota Malang.


Buah ini baru muncul di sekitar Malang pada sekitar 1934.  Ini seiring dengan dibawa masuknya bibit apel ke Indonesia pada sekitar 1930-an oleh Belanda. Sesungguhnya, wilayah pertama yang menjadi tempat penanaman apel justru bukan daerah Malang Raya, tapi di Nongko Jajar di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.


Di Malang, apel pertama kali masuk pada tahun 1929 dan pertama ditanam di desa Nglebo, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Terdapat 20 varietas apel yang dibawa dan semuanya berasal dari Australia. Dekade sekitar tahun 50-an dan 60-an merupakan masa-masa apel mulai banyak dikenal dan ditanam petani di wilayah ini.

Pada awal persebarannya, petani dan penanamnya hanya terbatas pada orang-orang Belanda yang menjadi tuan tanah. Pada tahun 1934 mulai ada petani etnis Tionghoa di Batu yang juga menanam apel walaupun dengan varian yang berbeda.

Tanaman apel mulai banyak dibudidayakan di wilayah Batu sejak sekitar 1950-an sebagai pengganti jeruk yang banyak mati diserang penyakit. Mulai saat itulah wilayah Malang semakin identik dengan apel terutama ketika tanaman ini juga mulai dikembangkan di daerah Poncokusumo.


Tahun 1970-an merupakan saat-saat produksi apel Malang mulai jauh meningkat baik dari segi kualitas dan kuantitas. Sejak tahun 70-an hingga 90-an, apel menjadi produk andalan wilayah sekitar Malang, terutama Batu dan Poncokusumo. Kerena jumlah yang banyak serta buah yang lezat dari apel Malang ini, sampai muncul sebutan Malang kota apel. Meskipun aslinya sentra apel ada di Batu.

Sejak akhir tahun 80-an di Batu tumbuh semangat mengembangkan perkebunan apel tidak sekedar produksi buah, namun juga sebagai pusat wisata. Di sejumlah perkebunan pengunjung bisa berwisata sambil memetik apel langsung dari pohonnya. Di sana juga ada banyak pilihan tempat wisata petik apel yang bisa dikunjungi.


Jenis apel yang ditanam di Malang dan Batu, ada lima jenis, yaitu Apel Manalagi, Apel Rome Beauty, Apel Granny Smith, Apel Anna, dan Apel Wanglin. Tiap jenis apel memiliki rasa dan tekstur daging buah yang berbeda.

Jika ingin main ke Batu dan mampir ke perkebunan apel yang menyediakan kesempatan memetik buahnya langsung dari pohonnya, berikut ada tiga perkebunan yang bisa dijadikan referensi.

Pertama Wisata Petik Apel Agro Rakyat. Letaknya di Jalan raya Sidomulyo, Kecamatan Batu dan buka setiap hari antara jam 7 pagi hingga 6 sore. Tempat wisata petik apel ini hanya memiliki 4 dari 5 jenis apel yang umumnya ada di Batu.


Wisata Petik Apel Agro Rakyat ini menawarkan harga tiket masuk kebun apel malang sekitar Rp 25 ribu per orang dan bila ingin membungkus hasil petikan apel kamu harus mengeluarkan uang sekitar Rp 12 ribu per kilonya. Umumnya, dalam berwisata petik apel ini wisatawan bisa makan apel sepuasnya di tempat dan hanya boleh memetik apel sesuai area yang telah ditentukan petugas kebun.


Pilihan ke dua adalah Agro Wisata Petik Apel Kelompok Tani Makmur Abadi atau KTMA. Di sini pengunjung bisa datang kapan sepanjang tahun alias tidak memiliki musim. Ini karena mereka menyediakan area lahan pohon apel yang dikhususkan untuk menjaga ketersediaan buah apel bagi para pengunjung.


Terletak di Jalan Pangeran Diponegoro kawasan Tulungrejo, Bumiaji, Batu. Mereka mengenakan tiket masuk Rp 20 ribu per orang saat hari-hari biasa dan Rp 25 ribu per orang di akhir pekan. Dengan harga segitu, selain bebas makan di kebun, pengunjung juga mendapatkan

welcome drink. Untuk membawa hasil petikan apel, pengunjung harus menebusnya sebesar Rp 20 ribu per kilogramnya. Selain itu, pengunjung bisa menikmati beberapa fasilitas berbayar, seperti memeras susu sapi, permainan anak dan outbond.


Pilihan lainnya untuk memetik apel ada di Kusuma Argowisata. Uniknya, Kusuma tidak hanya menyediakan wisata petik apel ,tetapi juga buah strawberry. Jika pengunjung berencana datang bersama rombongan, sebaiknya mengambil paket yang disediakan pihak pengelola, yaitu paket agro edukasi dan paket study tour yang minimal terdiri dari 30 orang.

Rombongan akan didampingu seorang pemandu wisata saat mengelilingi perkebunan. Di sini pengunjung diwajibkan membeli tiket seharga Rp 85 ribu per orang. Meskipun cukup mahal, tapi pengunjung bisa menikmati berbagai keuntungan, selain memetik dan makan apel, strawberry dan jambu biji di tempat, mereka juga mendapatkan bonus 1 porsi Pancake Strawberry Ice Cream dan 1 botol Yoghurt buah produksi Kusuma Agrowisata yang berada di Jalan Abdul Gani Atas di kawasan Ngaglik, Batu.

Tertarik? Ayo agendakan petik apelmu.

******

Rujak Cingur, 1 Sedap Pedas Dari Surabaya

Rujak cingur berbeda dengan bayangan rujak yang umum dikenal masyarakat. Kuliner tradisional dari Surabaya ini memiliki ciri khas yang membuatnya spesial dari rujak kebanyakan.

Rujak Cingur

Secara umum, rujak merupakan kudapan populer yang agak mirip salad. Biasanya ia terdiri dari beberapa jenis buah dan sayuran seperti mangga, nanas, bengkuang, taoge, timun dan lainnya yang disajikan dengan bumbu campuran kacang tanah, gula merah dan cabe. Sebuah kombinasi rasa manis, segar sekaligus sensasi pedas yang telah menempel di lidah banyak orang Indonesia dari generasi ke generasi.

Pada hakikatnya, rujak cingur tak terlalu jauh berbeda dari rujak kebanyakan, utamanya rujak ulek. Tetapi, rujak ini memiliki beberapa keunikan, utamanya tambahan potongan moncong sapi yang direbus. Kata ‘cingur’ sendiri dalam bahasa Jawa berarti mulut. Hidangan tersebut juga dilengkapi dengan lontong, kacang panjang, kangkung, tahu, tempe, dan bumbu rujak yang diolah menggunakan petis.

Rujak cingur konon aslinya berasal dari Madura yang dibawa sujumlah orang ke Surabaya.
Warna hitam yang mendominasi berasal dari petis. Foto: shutterstock

Asal-usul terciptanya resep masakan ini belum diketahui pasti. Namun ada cerita yang mengatakan bahwa pada 1930-an beberapa orang Madura yang mengadu nasib ke Surabaya membawa resep tersebut untuk dijajakan di kota Pahlawan tersebut.

Karena Surabaya saat itu sudah mulai ramai sebagai kota pusat perdagangan yang disinggahi dan ditinggali banyak orang, makanan ini pun mampu meraih pelanggan dan ketenaran. Sampai akhirnya makanan ini justru menjadi lebih lekat sebagai makanan khas Surabaya.

Pada perkembangannya, rujak ini juga dibedakan atas beberapa versi. Yang pertama adalah versi campur yang isiannya lengkap seperti biasa. Versi lainnya adalah ‘matengan’ yang tidak memakai buah-buahan.

Di Surabaya, pelancong bisa menemukan beberapa kedai-kedai penjual kuliner ini yang terbilang populer, baik di kalangan warga lokal dan wisatawan. Beberapa bahkan sudah bisa dikatakan legendaris lantaran sudah berjualan sejak puluhan tahun lalu.

Rujak cingur ada yang versi matengan yang artinya tidak memakai buah-buahan,
Menu lengkap menggunakan buah-buahan. Foto: dok. shutterstock

Salah satunya adalah Rujak Cingur Achmad Jais, yang terletak di jalan Achmad Jais. Kedai satu ini boleh jadi salah satu yang paling populer. Kendati harganya cukup mahal dibanding kedai lain, nyatanya animo pengunjung tak pernah surut.

Kedai ini sudah berdiri sejak 1970. Sang pendiri, Lim Sian Neo, adalah ibu rumah tangga yang kerap membantu pedagang cingur keliling yang tunanetra dengan membeli dagangannya. Dari situ, ia terinspirasi untuk mengolah cingur tersebut menjadi rujak cingur dan menjualnya.

Ia kemudian membuka kedai di rumahnya, menjajakan rujak cingur dengan dibantu oleh anaknya, Ng Giok Cu. Hingga kini, kedai tersebut masih bertahan dan usaha dijalankan oleh sang cucu, Sioe Sin.

Seperti disebutkan di atas, harganya tergolong premium, berkisar antara Rp 60 ribu hingga Rp 80 ribu. Tetapi anda juga mendapatkan porsi yang besar, begitu pula dengan bumbunya yang unik karena tidak dibuat dengan kacang tanah, melainkan kacang mede. Petisnya pun berkualitas tinggi, sehingga bertekstur halus di lidah.

Rujak cingur buatan kedai yang buka dari jam 11.00 hingga 17.00 itu juga disebut lebih awet dan tahan lama, diklaim dapat tahan setidaknya enam jam dalam suhu ruangan. Dengan segala keunikan dan kelebihan tersebut, tak heran banyak yang meminati Rujak Cingur Ahmad Jais, termasuk mantan presiden (alm.) KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri.

Kedai rujak cingur lainnya yang tak kalah legendaris adalah Rujak Cingur Genteng Durasim. Berlokasi di jalan Genteng Durasim, ia berada cukup dekat dengan pusat oleh-oleh pasar Genteng.

Yang menarik, kedai ini bahkan sudah ada sejak 1936. Adalah Maryam dan ibunya yang akrab dipanggil mbah Woro yang mendirikan usaha kedai ini. Banyak yang menyebut kedai ini adalah kedai rujak cingur tertua di Surabaya.

Salah satu saksi sejarah yang terdapat di kedai ini adalah cobek yang digunakan untuk meramu bumbunya. Dulu, cobek ini dibuat oleh seorang teman Maryam dari Magelang pada 1942.

Cobek lalu diantarkan jauh-jauh menggunakan sepeda. Nilai sejarah itulah alasan cobek tersebut terus dipertahankan. wisatawan bahkan bisa melihat langsung cobek tersebut yang sudah kelihatan mencekung karena usia pakai.

Pada perjalanannya, bisnis sempat melesu pada 1980-an karena jumlah pengunjung mulai menurun. Selepas meninggalnya Maryam, bisnis dilanjutkan oleh Hendri Soedikto, sang anak.

Untuk menaikkan kembali animo pengunjung, ia berinovasi dengan memperkenalkan menu sop buntut racikannya sendiri. Selain itu, ia berusaha meningkatkan kualitas rujak cingur buatannya dengan menggunakan petis yang lebih bagus.

Usahanya membuahkan hasil dan kini Rujak Cingur Genteng Durasim masih terus eksis. Tersedia menu biasa yang dihargai Rp 25 ribu, tapi kalau ingin merasakan menu dengan petis ekstra maka harus memesan yang spesial yang harganya Rp 45 ribu. Adapun sop buntut seharga Rp 40 ribu.

Harga yang tidak terlalu mahal, tapi mungkin tidak juga dibilang murah. Tetap saja, nyatanya kedai yang buka dari jam 11.00 hingga 17.30 tersebut masih terus ramai pengunjung. Bahkan salah satu pelanggannya adalah Wakil Presiden ke enam Indonesia, Try Sutrisno.

Selain kedai-kedai tersebut masih ada banyak pilihan lainnya yang menarik untuk anda coba, seperti misalnya Kedai Delta yang viral karena menyajikan rujak cingur dengan tambahan mi kuning.

Ada juga Kedai Joko Dolog yang kondang dengan porsi ekstra besarnya dengan harga hanya Rp 25 ribu. Atau Kedai Sedati Bu Nur Aini yang tak kalah unik dengan racikan bumbunya yang menggunakan pilihan tujuh jenis petis yang berbeda.

Cari rujak cingur porsi besar seukuran tampah untuk acara khusus? Bisa merujuk ke Rujak Cingur Cak No TVRI. Atau cari kedai yang bisa order buah dan sayurannya mentah, direbus atau keduanya? Rujak Cingur BBM pilihannya. Apapun itu, rujak cingur sudah jadi kuliner khas Surabaya yang pantang untuk dilewatkan.

Kedai-kedai Rujak Cingur Surabaya

Achmad Jais; Jl. Achmad Jais Nomor 40, Genteng, Surabaya

Genteng Durasim; Jl. Genteng Durasim Nomor 29, Genteng, Surabaya

Delta; Jl. Kayon Nomor 46D, Genteng, Surabaya

Sedati Bu Nur Aini; Jl. Raya Sedati Gede Nomor 66, Sedati, Sidoarjo

Cak No TVRI; Jl. Raya Dukuh Kupang Nomor 214, Dukuh Pakis, Surabaya

Rujak Cingur BBM; Jl. Tenggilis Timur VII Nomor 1, Mejoyo, Surabaya

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Suguhan Fusion 3 Bangsa di Ebisu Restaurant

Ebisu Mercure Surabaya RK

Suguhan fusion 3 bangsa di Ebisu Restaurant Grand Mecure Mirama Surabaya menyuguhkan hidangan Jepang dengan bumbu Korea dan Cina plus interior hangat khas Negeri Sakura. Ini merupakan alternatif kuliner saat ingin menikmati hidangan internasional selagi berada di Surabaya, Jawa Timur. Berada di dalam hotel berbintang, namun bisa dinikmati tanpa harus menginap.

Suguhan Fusion 3 Bangsa

Senja baru tenggelam. Di luar, Jalan Raya Darmo, Tegalsari, Surabaya, masih dipadati kendaraan. Menepi sejenak ke Mercure Grand Miramar—hotel bintang empat yang memiliki empat restoran—bisa menjadi pilihan untuk mengusir keroncongan perut. Apalagi ada gerai yang tergolong baru dengan sajian olahan dari Negeri Sakura. Doyan akan kehangatan udon, atau ngemil sushi, yang sekali suap ke mulut rasanya tak perlu dipikir panjang.

Berada di bagian perluasan hotel, saya langsung menangkap kehangatan khas Jepang. Tetamu akan dengan mudah mengenali resto ini karena di bagian depan dipasang mon atau gapura khas Jepang yang kerap ditemukan di sejumlah kuil. Dua tiang bulat yang menjadi penyangga dipulas dengan warna merah menyala sehingga begitu kentara. Di tengah gapura ada tulisan Ebisu yang dibikin kaligrafi mirip huruf Kanji.

Sebelum gerbang, ada pula meja bagi staf resto. Uniknya, meja dilapisi kertas dekorasi berupa koran Jepang, demikian juga dinding di dekatnya. Sementara di dinding tengah resto terpampang gambar lebar Dewa Ikan. Ternyata, Ebisu memang nama Dewa Ikan. Tak mengherankan bila di menu bertebaran nama-nama penghuni laut, meski tetap ada olahan dari daging sapi dan ayam.

Warna merah lain muncul di bagian atas dengan hiasan lampu-lampu model lampion. Selebihnya, kehangatan muncul karena penggunaan kayu-kayu dengan warna alami. Tempat duduk dibagi dalam tiga baris. Di bagian pinggir, diisi sofa warna hijau dipadu dengan kursi tunggal di depannya, sementara di bagian tengah tertata meja dan kursi panjang berbahan kayu.

Suguhan fusion 3 bangsa di Ebisu Mercure Surabaya

Belum menikmati kelezatan suguhannya, saya sudah merasakan sambutan hangat dari interiornya. Langkah saya kali ini menuju bagian ujung ruangan. Menuju meja tempat para juru masak beraksi. Ada seorang koki yang menunjukkan kepiawaian membuat sushiCalifornia maki. Aksi menggulung pun terjadi dan hasilnya terlihat begitu menggoda. Di bagian dalam antara lain ada alpukat dan kepiting, sedangkan di bagian luar bertaburan tobiko—telur ikan terbang—yang membuat tampilan sushi seharga Rp 68 ribu itu terlihat kinclong. Selain menyajikan California maki, masih ada pilihan gulungan sushi lain. Semisal ebi tempura maki yang berisi udang goreng tempura, shake maki dengan irisan ikan salem segar, dan lain-lain.

Ingin menambah kehangatan dengan menyantap hidangan berkuah panas? Pilihan bisa berupa udon atau ramen. Ada beragam udon, di antaranya seafood udon senilai Rp 158 ribu. Mi khas Jepang itu dipadu dengan beragam ikan laut, yakni udang, salem, kakap, dan kepiting. Jika ingin yang berasa daging sapi, ada niku udon dan niku sobai. Untuk ramen, pilihannya berupa shoyu ramen. Saat saya datang, ada suguhan spesial di bulan tersebut berupa cheese ramen yang gurih karena rasa keju yang kental. Dipatok seharga Rp 78 ribu, memang suguhan satu itu berbeda dari yang lain.

Masih ada menu khas Jepang lain, seperti yakiniku, tepanyaki set menu, teishoku set, dan yakimono atau hidangan panggang. Ada pula curry rice, bento, dan sejumlah hidangan kuah panas—nabemono. Namun jangan kaget bila dalam daftar menu ada yang beraroma Korea, seperti beef kimchi itame yang tak lain merupakan beef kimchie set. Ebisu Restaurant memang memilih menyuguhkan olahan fusion. Hidangan Jepang pun dipadu dengan bumbu dari Korea dan Cina.

Dewa Ikan Ebisu tanpanya memang tak mau tanggung-tanggung, segala suguhan bisa disajikan di ruang makan yang lokasinya tak jauh dari lobi hotel ini. Dari yang digoreng, kuah panas, dipanggang, sampai yang dingin. Di tengah kehangatan, sushi, ramen, dan tempura pun membuat perut penuh terisi. Jalan sedikit mulai lenggang, saatnya untuk beranjak. Peraduan sudah menunggu, terbayang tidur lelap dengan perut terisi penuh.

Ebisu Japanese Restaurant, Mercure Grand Miramar Surabaya

Rita N./R. Kesuma/Dok. TL

Desa Mas Ubud, Mengukir Patung Sejak 1920

Desa Mas ubud pusat kerajinan ukiran patung Bali. Foto: Dok. Marriot Bonvoy

Desa Mas Ubud seperti tak pernah habis pesonanya. Saat jalan-jalan ke kawasan ini, selain menikmati pemandangan indah nan asri, sempatkan juga mampir ke desa Mas. Desa wisata di Kabupaten Gianyar ini kondang sebagai sentra kerajinan patung ukir dari kayu di Bali.

Desa Mas Ubud

Desa Mas terletak di bagian selatan Ubud, berjarak sekitar 23 kilometer dari Denpasar. Dari ibukota Bali ini waktu tempuhnya kurang lebih 30 menit dengan kendaraan pribadi. Selain bertani, sebagian besar warga desa ini memang berprofesi sebagai pengrajin patung ukir.

Asal-usul desa Mas Ubud disebut berasal dari kisah seorang Brahmana dari kerajaan Majapahit bernama Dang Hyang Nirartha. Ia diundang untuk pindah ke Bali oleh beberapa arya-arya kerajaan Majapahit. Setelah berhasil menduduki wilayah Bali, mereka memutuskan menetap karena merasa kondisi Majapahit sedang menurun dan terancam runtuh.

Dang Hyang Nirartha kemudian memutuskan untuk pindah. Di Bali ia disambut Raden Mas Willis, salah seorang dari arya tersebut. Pada prosesnya, mereka kemudian memiliki hubungan sebagai guru dan murid, utamanya dalam hal agama, sosial dan seni budaya.

Hingga suatu ketika, Dang Hyang Nirartha dinikahkan oleh Raden Mas Willis dengan putrinya. Setelahnya, keturunan mereka disebut sebagai Brahmana Mas, yang hingga saat ini tinggal di desa tersebut.

Raden Mas Willis pun kemudian dinobatkan oleh Dang Hyang Nirartha sebagai Pangeran Manik Mas, pemimpin daerah tersebut. Dari situlah, daerah tersebut kemudian dipanggil sebagai desa Mas.

Masih menurut kisah yang sama, Dang Hyang Nirartha juga diceritakan pernah menancapkan sebatang kayu, yang konon kini menjadi pohon Tangi yang berada di area Pura Taman Pule Mas. Ia kemudian bersabda bahwa warga desa Mas akan sejahtera dari hasil kerajinan kayu.

Desa Mas Ubud Bali kini akrab disebut sebagai Home of the Wood Carvers, rumah para pemahat kayu.
Pelbagai karya ukir patung kayu khas Desa Mas ubud. Foto: DOk. Balitoursclub.net

Namun desa Mas Ubud yang kini akrab disebut sebagai Home of the Wood Carvers atau rumah para pemahat kayu, justru tidak serta merta identik dengan seni patung ukirnya. Dulunya, seni tersebut lebih banyak diperuntukkan sebagai persembahan bagi para raja di Bali.

Adalah maestro seni pahat Ida Putu Taman yang mempopulerkan budaya seni mematung kepada warga desa Mas pada 1920-an. Berkerajinan patung ukir tidak lagi dipandang secara eksklusif, melainkan sesuatu yang datang dari hati.

Seni mematung lantas dipandang sebagai wujud rasa iman dan syukur kepada sang Pencipta. Maka tak heran, ada beberapa hasil patung ukir dari desa Mas Ubud yang juga berfungsi sebagai alat sembahyang, atau terinpirasi dari kisah-kisah pewayangan dan kehidupan warga Bali sehari-hari.

Karya-karya tersebut merupakan representasi dari imajinasi para perajinnya. Mereka menganggap, patung-patung itu menjadi wujud respon mereka terhadap filosofi dan dinamika dalam kehidupan sehari-hari.

Budaya tersebut, yang kemudian disebut dengan istilah ‘ngayah’, berhasil mendorong warga untuk lebih aktif berkarya dan melestarikan seni patung ukir. Oleh karena itulah, desa Mas perlahan mulai dikenal dengan seni patung ukirnya pada era 1930-an.

Desa Mas Ubud kini memeiliki ribuan warga yang berprofesi sebagai pengukir patung.
Seorang pemahat patung dari Desa Mas Ubud, Bali. Foto: DOk. Kemenparekraf

Memasuki era pasca kemerdekaan, seni kerajinan patung ukir kemudian juga berkembang secara komersial. Para perajin mulai memperjualbelikan patung hasil kerajinannya, ini seiring dengan berkembangnya pariwisata di Bali.

Ketenaran desa Mas semakin mencuat karena Presiden Soekarno saat itu beberapa kali datang berkunjung. Kebetulan, lokasi desa tersebut berada di tengah rute antara bandar udara Ngurah Rai dan istana kepresidenan Tampaksiring.

Lewat publisitas tersebut, peluang bisnis patung ukir semakin terbuka karena semakin banyak wisatawan dalam dan luar negeri yang tertarik berkunjung dan membeli kerajinan tersebut sebagai souvenir. Sehingga pada periode 1970-an hingga 1990-an kerajinan patung ukir desa Mas mencapai masa jayanya.

Namun pada perjalanannya bisnis dan kerajinan ini tidak selamanya mulus. Ketika industri pariwisata Bali diguncang tragedi bom Bali pada 2002 dan 2005, merosotnya jumlah wisatawan yang datang turut mencekik perekonomian para perajin patung ukir. Banyak dari mereka terpaksa banting setir mencari pekerjaan lain demi menghidupi keluarganya.

Butuh waktu lama untuk industri kerajinan patung ukir dapat bangkit kembali, terlebih dengan ketatnya persaingan dengan kerajinan serupa dari tempat lainnya. Hingga pada era 2010-an jumlah pengrajin patung ukir mulai naik kembali hingga ribuan.

Di tengah berbagai tantangan berat, para perajin di desa Mas Ubud terus mempertahankan eksistensinya dengan konsistensi dan kualitas. Salah satunya diwujudkan dengan pemilihan jenis kayu berkualitas, dari kayu bonggol jati, suar, meranti, eboni, waru dan sebagainya yang didatangkan dari berbagai wilayah di Indonesia.

Filosofi mereka dalam berkarya juga terus dipertahankan. Ada sebuah paham yang dianut oleh warga setempat, yakni Tri Hita Karana; keharmonisan antara hubungan antar manusia (Pawongan), manusia dengan Tuhan (Parahyangan) serta manusia dengan alam (Palemahan).

Paham tersebut yang senantiasa menjadi konsep berkesenian perajin desa Mas, yang kemudian dituangkan ke dalam karya patung-patung yang memadukan desain modern dan kontemporer.

Secara umum ada dua jenis patung ukir yang dibuat, yaitu realis dan surealis. Realis merupakan jenis patung yang menyerupai bentuk dan postur tubuh manusia atau makhluk hidup lainnya, sementara surealis bentuk dan posturnya bisa lebih hiperbola dan imajiner.

Sekarang di desa tersebut tak sulit untuk menemukan jejeran artshop di sepanjang jalan utama, menawarkan beragam jenis patung ukir. Di desa ini, tiap warganya – terutama yang wanita – sudah diajarkan teknik memahat dan memoles patung kayu sejak anak-anak.

Tak jarang wisatwan bisa melihat secara langsung pengrajin patung ukir yang mengerjakan karyanya. Pengunjung pun juga dapat berkesempatan merasakan belajar membuat patung ukir sendiri.

Harga patung-patung ukiran tersebut sangat bervariasi. Tingkat kerumitan sangat berpengaruh, selain juga lama pengerjaan serta jenis dan kualitas kayu yang digunakan. Ada yang harganya ratusan ribu, ada juga yang sampai menyentuh ratusan juta rupiah.

Hal ini disebabkan proses pengerjaan yang begitu mendetail. Lama pengerjaan setiap patung berkisar antara satu hingga empat bulan lebih. Pengukiran patung dilakukan dalam berbagai tahapan, dimulai dari pembuatan bentuk pahatan secara kasar.

Setelahnya baru dirapikan detail-detailnya dengan sayatan pisau atau pahatan-pahatan kecil. Terakhir, patung yang sudah jadi dihaluskan dengan amplas, terkadang juga dipoles sesuai pesanan.

Yang tak kalah unik, karya satu perajin bisa memiliki ciri khas tertentu dibanding perajin lainnya. Kekhasan itulah yang membuat patung ukir buatan desa Mas begitu diminati. Selain diburu oleh wisatawan domestik dan mancanegara, patung ukir mereka juga diekspor ke berbagai belahan dunia, baik negara-negara di benua Asia, Eropa, maupun Amerika.

Selayaknya sebuah desa wisata, anda juga dapat menemukan beragam kerajinan lainnya seperti topeng dan wayang Bali. Dan lokasinya terhitung strategis karena cukup berdekatan dengan spot wisata lain seperti Kintamani, Gua Gajah dan beberapa museum di sekitar kawasan tersebut.

Tersedia juga beberapa pilihan penginapan, serta pilihan tur wisata di kawasan desa tersebut. Untuk info lebih lanjut dapat menghubungi 081237250266, via email ke info@desawisatamas.com atau kunjungi situs resmi desawisatamas.com.

Desa Wisata Mas

Jl. Raya Mas no. 110, Desa Mas, Ubud, Bali

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Resto J Sparrows, 1 untuk Penghuni Samudra

Resto J. Sparrows untuk hidangan seafood

Resto J Sparrows memunculkan aneka menu berbahan ikan laut. Mulai dari makanan pembuka hingga utama hingga main course.

Resto J Sparrows

Biasanya matahari berada tepat di atas kepala kala jarum panjang-pendek yang terpampang di jam tangan bertubrukan. Namun kali ini tidak. Langit bulan kesepuluh di Ibu Kota ibarat padang guram yang hanya menyimpan mega serta halimun. Sekali ditegur angin, titik-titik air tumpah membasahi tanah.

Di luar gedung-gedung gergasi kawasan Mega Kuningan, orang-orang kantoran bergegas mencari tempat berteduh. Padahal baru beberapa langkah menjamah jalanan. Cuaca demikian membuat pekerja gamang bepergian, apalagi sekadar untuk makan siang. Saya pun begitu. Malas basah-basahan, restoran terdekat dari tempat berjejak lantas menjadi incaran—kala itu saya sedang berada di gedung Noble House.

Kebetulan ada restoran anyar yang belum genap sebulan buka. Dari dekat, nama restoran terpampang jelas: J Sparrow’s. Sekilas mirip-mirip dengan nama tokoh bajak laut dalam film trilogi Pirates of the Caribbean. Namun, alih-alih menemukan properti para perompak kapal, yang saya temukan deretan botol wine tertata apik.

Ruangan berkapasitas lebih dari 100 orang itu tak jua terlihat seperti kapal yang dijarah. Malahan terpandang rapi, klasik, nyaman, dan asri. Kursi-kursi kayu ditata acak di tengah ruangan. Di bagian pinggir, terdapat bar membujur lurus ke counter rum—minuman beralkohol hasil fermentasi dan distilasi molase. Sedangkan di bagian pojok, sejumlah sofa abu-abu disusun berhadapan. Warna cokelat akrab menyapa sejauh mata memandang.

Saya kemudian memilih duduk di sofa agar bisa menikmati pemandangan luar. Namun tak jarang kepala menuruti hasrat untuk tur visual: menengok ke belakang, kanan-kiri, dan atas-bawah. Bila dicermati, bagian atapnya mirip bentuk langit-langit Kapel Sistina karya Michelangelo. Bedanya, tak terdapat lukisan di sini.

“Desainer interiornya Martha dan Andrew, yang juga mendesain Bluegrass Bar and Grill di Bakrie Tower Rasuna Said. Kebetulan Bluegrass dan J Sparrow’s satu manajemen,” tutur staf public relations untuk manajemen tersebut, yang kebetulan mendampingi kala itu. J Sparrow’s memang dibangun dengan konsep Eropa klasik.

Tak lama duduk di salah satu sudut restoran, bau olahan dari penghuni laut menggoda penciuman. Wanginya khas dan memantik hasrat untuk segera memesan makanan. Staf resto begitu tanggap, dan buku menu pun lantas dengan cepat mendarat di hadapan. Ternyata sajian andalan di restoran ini memang berbahan ikan laut. Ada yang berbahan dasar kepiting, cumi-cumi, udang, hingga lobster.
 

Untuk pembuka pilihan saya jatuhkan pada Tuna Tartare. Hadir dalam cetakan bulat. Dari luar tampak seperti puzzle daging tuna berwarna pink segar bercampur mangga kecil-kecil. Di lidah, rasanya amat segar. Perpaduan asam dan manis mendominasi. Bikin selera makan langsung melonjak.

Selanjutnya, giliran Frutti di Mare yang ada di depan mata. Sepintas seperti carbonara, hanya rasanya lebih datar. Pasta yang digunakan dibuat sendiri—disebut pasta signature—rasanya lebih empuk dan tidak terlalu kenyal. Tambah nikmat ketika disantap dengan daging udang yang segar.

Sajian selanjutnya yang mendarat di meja saya adalah Killpatrick. Bahan utamanya kerang dengan cangkang berkapur. Kerang itu dimasak menggunakan saus worcestershire dibubuhi daun peterseli. Yang satu ini, ada yang ditambah bacon atau daging babi asap, ada juga tanpa potongan daging yang satu itu.

Hidangan andalan cukup berlimpah. Satu lagi adalah New York Shower, yang wujudnya seperti menara tiga tingkat. Ada udang segar di atas tumpukan bongkahan-bongkahan es bercampur potongan lemon. Yang satu ini, khusus bagi penyuka hidangan laut mentah.

Setelah itu, datang Cajun Mud Crab. Menelusup daging kepiting yang bersembunyi di balik cangkang jadi kenikmatan sendiri. Asyiknya disantap beramai-ramai jadi seru. Kepiting berukuran jumbo itu dilengkapi dengan sosis ayam dan sapi. Satu lagi yang tak kalah menggoda adalah The Lobster. Daging lobster dibiarkan merekah di balik cangkang yang dibiarkan terbuka. Warnanya keemasan, sedangkan cangkangnya berona merah matang. Harumnya merayu minta segera disantap. Saya mengiris daging itu dengan pisau. Ternyata, daging di bagian dalam berwarna putih bersih. Bumbu yang pas tidak merusak rasa aslinya. Juga teksturnya.

Beragam menu yang mengenyangkan ini enaknya ditutup dengan yang manis. Royal Bermuda Yacht Club jadi pilihan yang tepat, konsepnya seperti kapal karam. Bongkahan cokelat lokal yang manis berbentuk kapal akan cair kala disiram white spicy chocolate sauce. Rasanya nano-nano, manis dan mint bercampur jadi satu. Petualangan kuliner saya kali ini pun diakhiri dengan sajian cocktail yang segar. Rum yang menjadi andalan mengalir dalam kerongkongan, menghangatkan badan dan menyelimuti dari udara yang dingin siang itu. l

J Sparrow’s

Noble House Building, Lantai Dasar

Jalan Mega Kuningan Barat, Kuningan, Jakarta

F. Rosana/Dhemas RA/Dok TL

Bakmi Jawa Pak Rebo, 1 Yang Otentik

Bakmi Jawa Pak Rebo adalah salah saru kuliner bakmi otentik khas Yogyakarta.

Bakmi Jawa Pak Rebo layak jadi pilihan pecinta kuliner yang sedang mencari santapan khas Yogyakarta. Cita rasa dan otentisitasnya tak perlu diragukan lagi, lantaran sudah teruji dan disukai warga kota pelajar tersebut sejak masa pra kemerdekaan.

Bakmi Jawa Pak Rebo

Kalau berbicara soal kuliner khas Yogyakarta, maka sudah pasti salah satu yang disebut adalah gudeg atau bakmi Jawa. Kuliner yang terakhir ini umumnya muncul di kala sore menuju malam hari dan menyajikan masakan mie dan nasi dengan kearifan lokal dan selera khas lidah orang Jawa.

Jenis masakannya pun cukup beragam. Ada mie goreng, mie godog atau rebus, mie nyemek, nasi goreng, serta magelangan, alias masakan mie dan nasi yang dicampur dan digoreng bersamaan. Dalam masakannya terdapat pelengkap seperti ayam kampung, telur bebek, dan sebagainya.

Bakmi Jawa Pak Rebo adlah pilihan ketika akan menikmati bakmi Jawa yang otentik.
Warung Bakmi Pak Rebo di Yogyakarta. Foto: istimewa

Cara memasaknya pun kebanyakan masih menggunakan anglo tua dan arang, ketimbang kompor modern. Alasannya, suhu yang digunakan untuk memasak lebih pas, serta memberikan aroma khas tersendiri setelah masakan jadi dan dihidangkan.

Yang unik, karena metode memasak itu pula, kerap kali setiap pesanan dimasak satu per satu karena wajan yang digunakan pun tidak besar. Maka terkadang menunggu pesanan tiba bisa sedikit lama, tetapi di sisi lain pengunjung bisa memesan detail pesanan secara personal.

Hal itu tak pernah menyurutkan animo warga Yogyakarta pada kuliner yang disinyalir sudah ada sejak masa pra kemerdekaan ini. Bahkan, tak jarang wisatawan yang mampir ke kota gudeg ini hanya untuk sekedar mencicipi dan menyantap sepiring hangat bakmi Jawa.

Tak sulit pula untuk mencari pedagang bakmi Jawa di kota ini, dengan segala resep dan keunikannya masing-masing. Beberapa di antaranya bahkan sudah berjualan sejak sekian dekade lamanya, seperti halnya bakmi Jawa pak Rebo.

Diceritakan bahwa pak Rebo sudah berjualan bakmi Jawa sejak tahun 1940-an. Ia menjajakan dagangannya sambil memikul alat masaknya dan berkeliling kota, khususnya di sekitar jalan Brigjen Katamso, tempat warung bakmi Jawa pak Rebo sekarang berada.

Warung itu sendiri berdiri pada tahun 1960-an. Hingga kini, wujudnya tak banyak berubah. Dari luar terlihat kecil, bahkan hingga tertutupi oleh gerobak masaknya, sehingga mudah untuk terlewatkan kalau tidak hapal atau tidak melihat spanduknya.

Di spanduknya, tertuliskan “Bakmi Jawa Pak Rebo Kintelan”, karena di belakang warung tersebut merupakan sebuah kampung yang bernama Kintelan. Penanda lainnya yang memudahkan, adalah warung ini berdekatan dengan area wisata Purawisata/Mandira Baruga.

bakmi Jawa Sedang dimasak saru per satu.

Tak hanya itu, sejak dulu hingga kini mereka hanya melayani pengunjung dengan dua anglo untuk memasak, itu pun setiap pesanannya dimasak satu per satu. Sehingga jangan heran kalau sejak warung buka pukul 16.00, sudah banyak pengunjung yang mengantri menunggu pesanan.

Kendati begitu, tetap saja pengunjung silih berganti ramai berdatangan, bahkan kadang-kadang dagangan sudah terjual ludes sebelum jam tutup. Salah satu menu andalan mereka yang paling banyak dicari adalah mie nyemek.

Sejatinya, mie nyemek merupakan varian masakan bakmi Jawa yang berwujud seperti perpaduan antara mie goreng dan mie rebus. Nyemek sendiri dalam istilah bahasa Jawa kurang lebih berarti ‘agak basah’, atau tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering.

Mie nyemek dimasak sedemikian rupa sehingga hanya menyisakan sedikit kuah kental di bawahnya, sehingga mie di atasnya cenderung lebih kering. Sebuah kompromi bagi mereka yang ingin mie goreng dengan sedikit kuah, atau yang ingin mie rebus dengan kuah dikurangi.

Satu hal yang cukup unik di bakmi Jawa pak Rebo adalah beragam opsi yang bisa dipilih mengenai bagaimana mie dimasak. Opsi pertama yang bisa dipilih adalah untuk menggunakan atau tidak menggunakan kecap.

Umumnya, bakmi Jawa dimasak menggunakan kecap untuk memadukan rasa manis dengan rasa gurih racikan bumbunya. Tetapi, di warung ini ada opsi mie yang dimasak tanpa kecap dan hanya mengandalkan rasa gurih dari kaldu dan telur bebeknya.

Ini sedikit berbeda dari kebanyakan bakmi Jawa yang lebih umum dengan lidah warga Yogyakarta yang menyenangi penganan bercita rasa manis. Tetapi, keunikan ini justru membuatnya punya banyak pelanggan tersendiri.

Bakmi Jawa Goreng shutterstock
Bakmi Jawa Goreng. Foto: shutterstock

Cita rasa gurih tersebut berpadu apik dengan pelengkap seperti suwiran ayam kampung, sayur sawi dan bawang goreng. Pengunjung juga dapat menambahkan ekstra bawang goreng dan acar untuk menambah sedap rasa.

Opsi lainnya yang bisa diambil adalah memesan mie goreng, rebus atau nyemek spesial. Di pilihan ini, pengunjung dapat memilih tambahan suwiran ayam yang akan ditambahkan ke dalam masakan, seperti paha, dada, sayap, kepala, ati, ampela, brutu dan uritan.

Sepiring porsi bakmi Jawa pak Rebo dihargai Rp 22 ribu, sedangkan untuk yang spesial dengan tambahan potongan ayam dibandrol Rp 29 ribu. Sebagai catatan, pengunjung juga bisa memilih ingin menggunakan mie atau bihun dengan harga yang sama.

Beberapa pilihan minuman di sini juga cukup menarik. Selain teh, jeruk, tape dan secang panas atau dingin seharga Rp 4 ribu hingga Rp 6 ribu, tersedia beragam wedang hangat seperti wedang sere, wedang jahe, dan wedang uwuh dengan kisaran harga Rp 6 ribu sampai 8 ribu.

Bakmi Jawa pak Rebo buka setiap hari dari jam 16.00 hingga jam 22.00. Namun seperti disebutkan di atas, karena warung hampir selalu ramai oleh pengunjung, maka untuk menghindari kehabisan sebaiknya datang lebih awal dari jam makan malam.

Bakmi Jawa Pak Rebo

Jl. Brigjen Katamso, Yogyakarta

agedandaIndonesia/audha alief praditra

*****

Ubud Bali, Keselarasan Hidup di 14 Desa

Desa Tegallalang Bali menjadi tempat untuk menikmati alam.

Ubud Bali adalah keselarasan manusia dan alam, melalui capaian seni dan budaya. Pasti bukan hanya Elizabeth Gilbert, penulis buku Eat, Pray, Love yang mengamini itu.

Ubud Bali

Sempat dinobatkan majalah travel Amerika Condé Nast Traveler sebagai tujuan wisata terbaik di dunia, Ubud memang sangat kuat memberikan harmoni. Baik yang terlihat mata dan telinga, juga yang tertangkap oleh rasa. Ubud adalah pedesaan di Kabupaten Gianyar, Bali, merupakan paduan 14 desa berbalut hutan dan sawah terasering yang teduh menghijau, di mana seni dan laku spiritualitas menjadi denyut nadinya yang sangat kuat.

Begitulah, jauh di masa lampau, tepatnya pada abad ke 8, desa Ubud bahkan diyakini lahir dari kata “ubad” yang berarti “obat” karena di sinilah pusat meditasi dan penyembuhan pada zaman itu. Ada satu kisah, seorang resi terkemuka hijrah dari Jawa ke daerah ini untuk bermeditasi di muara sungai Campuan dan membangun kehidupan baru di Bali.

Warisan sebagai pusat spiritualitas di masa lalu tersebut membuat Ubud kaya dengan balian (para penyembuh tradisional) maupun seniman dengan karya masterpiece-nya. Paduan kearifan dari masa lampau dan kekinian secara unik berpadu di Ubud dengan harmonis, menjadikan daya tarik wisata kawasan ini yang tak akan cukup dijelajahi hanya dengan satu atau dua hari kunjungan.

Ubud bukanlah Kuta yang bising dengan wisatawan “anak pantai”-nya. Kawasan ini rasanya lebih teduh dan kerap turun hujan di sore hari pada sepanjang musim penghujan (Oktober hingga Maret). Itu sebabnya banyak pelancong lebih banyak mencari wisata budaya dan spiritual di sini. Tak heran, kegiatan retreat dengan yoga dan meditasi menjadi salah satu paket wisata yang banyak berkembang di Ubud.

Kegiatan para wisatawan di Ubud biasa dimulai dengan yoga di alam terbuka pada awal hari. Salah satu pusat retreat, yoga serta meditasi di Ubud adalah Yoga Barn. Acara di pagi hari bisa dilanjutkan dengan berjalan-jalan menikmati pertokoan dan butik yang artistik di pusat kota, menikmati Pasar Seni Ubud, atau mengunjungi ratusan monyet yang seolah setia menjaga Pura Dalem Padangtegal di Wanara Wana yang kini lebih dikenal dengan nama Monkey Forest.

 Ubud juga sohor dengan wisata treking dan bersepeda menyusuri sawah dan bukit. Di antara jasa tur sepeda di Ubud yang kerap dicari wisatawan manca negara adalah Bali Baik, Bali on Bike (BoB) dan Banyan Tree. Bersepeda sekitar 5 km dari Ubud menuju Tegal Lalang, suatu pusat seni kerajinan kayu, bisa dilakukan dengan melalui rute Dusun Ceking untuk bisa menikmati panorama sawah yang memesona. Tak jauh dari Tegal Lalang adalah desa Pakudui di Sebatu yang sohor dengan  patung dan ukiran kayu aneka jenis dan harga.

Pada sisi timur Pakudui terdapat Pura Gunung Kawi, Sebatu, yang anggun. Pengunjung dapat memasuki pura dengan memakai busana yang sopan dilengkapi kain kamen (sarung) yang bisa disewa di gerbang.  Pura lain di Ubud yang wajib dikunjungi adalah Pura Taman Saraswati yang dibangun anggun di tengah kolam penuh teratai. Pura ini dapat dinikmati pada pagi hari untuk sekadar berfoto di bibir keindahannya  sedangkan pada malam harinya ada pertunjukan tari. Pengunjung juga bisa menikmati tarian yang selalu dipentaskan kecuali pada Jumat malam.

 Salah satu sumber seni dan budaya di Ubud adalah adanya keraton Puri Agung yang menjadi jantung kehidupan di Ubud. Setiap hari pelancong dapat menyaksikan anak-anak yang berlatih menari dan juga pementasannya di Puri Agung. Bahkan pada Jaba Puri, yang menjadi semacam balairung keraton, setiap tahunnya digunakan untuk membuka pekan sastra internasional Ubud Writers and Readers festival.

Sebagai pusat seni, budaya dan spiritual, Ubud menjadi rumah berbagai kegiatan sejenis, baik untuk tingkat lokal hingga internasional. “Setiap tahun di Ubud diselenggarakan Bali Meditation Festival dan Bali Spirit Festival,” ungkap Noviana Kusumawardhani, warga Ubud. Selain dua festival besar itu  juga terdapat berbagai kegiatan spiritualitas nyaris setiap hari di Ubud. Kegiatan spiritualitas lain yang banyak dicari di Ubud adalah retreat dan melakukan meditasi.

Sejenak meninggalkan dunia spiritualitas, untuk mengagumi keunikan alam bisa dilakukan di di Desa Petulu yang  merupakan habitat burung bangau atau kokokan. Di desa peraih Kalpataru yang berada 2,5 km di sebelah utara Ubud tersebut terdapat ratusan bangau yang bersarang pada pepohonan di sepanjang jalan pedesaan.

Setiap pagi, kokokan berangkat bersama-sama matahari terbit untuk terbang mencari makan dan kembali bersama-sama ke sarang mereka selepas pukul lima petang. Wisatawan, terutama penggemar fotografi telah bersiap pada pukul 5 sore untuk mengabadikan pemandangan bangau yang menjejakkan kaki dari udara untuk hinggap ke sarangnya.

Lukisan seolah menjadi keharusan sebagai oleh-oleh dari Ubud. Pecinta seni akan sangat dimanjakan oleh aneka pilihan lukisan dari berbagai aliran. Adanya lima museum utama di Bali yang juga menyediakan galeri yang memperjual belikan lukisan dan deretan art shop di sepanjang Jalan Raya Ubud dan Jalan Monkey Forest tak akan cukup dijelajahi hanya dalam waktu satu atau dua hari. Selain lukisan, pahatan dan ukiran, Ubud juga sohor dengan karya fashion dan accesories.

Ubud Bali salah satu yang perlu dikunjungi adalah Pasar ubud

Terdapat pula Pasar Ubud yang eksotik bagi para wisatawan manca. Di sini pengunjung dapat menemukan aneka sarung Bali, aneka barang seni dan jajanan dengan seni tawar menawar yang seru. Jika hendak mengunjungi Pasar Ubud disarankan untuk menghindari pasar ini pada tengah hari lantaran menjadi waktu favorit untuk mampirnya bis berisi rombongan turis dari luar kota yang membuat pasar kecil tersebut menjadi sesak.

Jika pengunjung mengikuti tur harian dari Denpasar ke Ubud, biasanya sang pemandu akan mengajak mampir ke berbagai desa seni yang  dilewati. Ubud memang dikelilingi banyak desa seni yang menjual karya langsung dari sang seniman. Desa Batubulan, misalnya, adalah rumah para pemahat batu yang menyediakan aneka rupa stone-carving penghias rumah. Selepas Batubulan, akan tiba di desa Celuk yang sohor dengan kerajinan perak. Wisatawan dari Denpasar ke Ubud biasanya juga menyempatkan diri untuk mampir di Pasar Seni Sukawati, mencari lukisan tradisional di desa Batuan, dan ukiran kayu di desa Mas.

Jika pengunjung  ingin membeli sesuatu yang lebih personal,  terdapat pula para seniman yang membuka workshop dan pelatihan, misalnya di Chez Monique. Pada studio pembuatan perhiasan perak milik I Wayan Sunarta dan istrinya, Monique, di rumah sekaligus bengkel mereka di Jalan Dewi Sita, Ubud, tersebut tersedia pelatihan dasar membuat perhiasan dari perak, selama sekitar 4 jam.

Tertarik? Ayo agendakan perjalananmu ke Ubud.

*****

Resto Da Maria, 1 Sentuhan Naples di Seminyak

Resto Da Maria andi prasetyo

Resto Da Maria menawarkan sejumlah menu Italia. Kesan Osteria menonjol pada ruangan dan menu diolah dengan cara tradisional Italia.

Resto Da Maria

Pesan pendek Joseph Oliver mendarat di ponsel ketika mobil kami terjebak di antrean kemacetan Jalan Raya Seminyak, Bali. “Sudah sampai mana?” tuturnya dalam pesan itu. “Tak usah dibalas dulu, kita sebentar lagi sampai. Lokasi restorannya cuma di muka jalan ini,” ujar Priyo, pria Jawa tulen yang kini berdomisili di Bali, kala mengantar kami menuju Da Maria.

Sekitar 15 menit seusai pesan Joseph terbaca, mobil berpelat DK itu memasuki halaman kecil sebuah gedung bergaya minimalis. Tembok pagarnya dipenuhi tumbuhan merambat. Di ujung kanan dan kiri gedung, terdapat ayunan besi, mirip yang umumnya ditemukan di resor mewah.

Sejurus kemudian, pramusaji membawa kami ke bagian dalam restoran yang sangat luas, bisa menampung lebih dari 200 orang. Kesan Osteria langsung menyapa pandangan. Reinterpretasi kontemporer keramahan Italia klasik menjadi kekuatan yang ditonjolkan. Interior bergaya Eropa modern, mulai besi autentik di kursi, meja yang memberi sentuhan klasik-elegan, hingga penataan sendok-garpu-piring-pisau yang mengesankan konsep formal dinning, dikonsep begitu rapi dalam komposisi dan tatanan yang pas.

Ruangan ini dibagi menjadi dua bagian, yakni dalam dan luar. Di bagian dalam, restoran menyajikan kesan cukup formal—tempat orang-orang bersantap dengan momen yang cukup serius. Sedangkan di luar, orang bisa mengobrol lebih santai. Kursi dan mejanya dibuat berbentuk seperti ayunan.

Di tengah ruang—tempat yang membelah bar, sisi luar dan dalam, ditempatkan air mancur mini. Bila diingat, tatanannya mirip dengan konsep ruang dansa di kastil milik Pangeran Irakus dalam kartun Cinderella. Air mancur ini sederhana, namun klasik. Inspirasinya datang dari biara Santa Chiara di Naples. Tujuannya memberikan ketenangan kala orang tengah bersantap. Di samping air mancur bergaya Romawi itu, Joseph Olive duduk menunggu. Tangannya melambai.

“Naik mobil di Bali memang kurang asyik sekarang. Pasti kena macet di jalanan,” tutur public relations itu membuka perbincangan. Tak banyak basa-basi, pria oriental ini lantas menyodorkan buku menu. Tak hanya bangunan yang bergaya Italia, menu pun begitu. Maurice Terzini dan Adrian Reed, si pemilik Da Maria, juga pesohor di bidang kuliner internasional, terinspirasi gaya restoran Maurice Terzini yang berlokasi di Australia ketika membangun usaha kulinernya di Bali. Karena itu, menu utamanya adalah pizza.

Berlainan dengan pizza Amerika, yang punya daging tebal, pizza di sini dimasak lebih tipis. Cara memanggangnya masih tradisional, menggunakan oven kuno. Tak cuma itu, resepnya khusus memakai komplemen tradisional yang kerap digunakan masyarakat yang tinggal di jantung Laut Mediterania tersebut.

Selain itu, secara alami, pizza difermentasi selama 24 jam. Cara ini terinspirasi gaya memasak Neapolitan yang memanfaatkan oven lava lokal. Ada macam-macam pizza dengan taburan yang berbeda. Semisal, Antica Margherita, berisi fior di latte, basil, dan parmesan. Ada pula Marinara berisi black olive, white anchovy, oregano, juga garlic. Selanjutnya, Capricciosa berisi fior di latte, mushroom, artichoke, dan olive. Yang paling spesial, yakni Gamberetto berisi prawn, zucchini, fior di latte, juga chilli; Salami berisi salami, fior di latte, dan artichoke; serta Da Maria berisi goats cheese, roasted peppers, fior di latte, juga pinenuts. Pizza dibanderol antara Rp 90-150 ribu.

Ada pizza, tentu ada pula pasta. Kala itu, yang direkomendasikan Joseph adalah primi  ber-topping tonnarelli al nero, clams, spicy sausage, dan parsley. Pasta berbentuk spageti ini dimasak dengan gaya aglio olio. Kental dengan kekhasan Italia, spageti diolah dengan bumbu sederhana yang mengandalkan bawang putih dan minyak. Rasanya plain, ringan, juga pedas lantaran dibubuhi cabai kering. Cita rasa semacam ini cocok buat lidah orang Eropa. Primi dibanderol mulai Rp 100-160 ribu per porsi. Ukurannya tak terlalu besar. Hanya bisa disantap satu sampai dua orang. Berbeda dengan pizza yang bisa dikudap empat hingga enam orang.

Tak cukup dengan olahan gandum, pramusaji mendaratkan sepiring la panarda. Orang Indonesia menyebutnya sate. Daging yang digunakan adalah daging domba muda yang masih empuk, segar, dan merah. Orang-orang Italia menyajikan makanan ini umumnya saat menggelar upacara tradisional. Mereka menamainya dengan perayaan mengudap makanan terpanjang sedunia.

Domba itu dipanggang sampai masak, namun tetap tak menghilangkan tekstur dagingnya. Aroma amisnya hilang lantaran dibubuhi rosemary salt dan lemon segar. Sepiring la panarda berisi 10 tusuk daging. Cukup disantap dua hingga tiga orang.

Sembari memburu makanan bergaya Eropa, mata disegarkan dengan desain klasik arsitek Romawi—Lazarini Pickering—yang menyoroti keragaman makanan, anggur, musik, mode, dan seni yang padu. Gemerencing bunyi gelas sparkling wine dengan bowl tinggi dan ramping, bertubrukan dengan botol anggur, turut menjadi pelengkap yang membawa pengunjung serasa bersantap di daratan Eropa. Tawa renyah mayoritas tamu berkulit putih dan bermata biru membuat kami lupa kalau siang itu tengah berada di jantung Dewata, bukan di pesisir Amalfi, Italia. l

Da Maria

Jalan Petitenget Nomor 170, Kerobokan Kelod, Kuta Utara

Denpasar, Bali

Operasional

Buka pukul 12.00–02.00

F. Rosana/Andi P./Dok. TL