Pasar Triwindu Solo berdiri sejak tahun 1939.

Pasar Triwindu Solo, Jawa Tengah, menjadi salah satu tujuan khusus wisatawan yang mengunjungi kota ini. Ia seakan menjadi surga bagi pecinta barang antik atau tiruannya, ya pasar ini memang dikenal sebagai pusatnya penjualan barang-barang antik dan kuno.

Pasar Triwindu Solo

Pasar Triwindu Solo berada di sisi selatan Pura Mangkunegaran, ia hanya berjarak sekitar 350 meter dari kraton itu. Kedekatan lokasi itu karena memang Triwindu merupakan peninggalan Raja Pura Mangkunegaran. Pasar ini dibangun di selatan kompleks Kraton Mangkunegaran, tepatnya di sisi timur kalan raya yang mengarah ke gapura istana. Secara administratif berada di wilayah kelurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta atau Solo.

Pasar Triwindu Solo dibangun untuk memperingati 24 tahun masa bertahta KGPAA Mangkunegara VII.
Pasar Triwindu Solo yang terletak di Jalan Diponegoro. Foto: dok. shutterstock

Ia disebut Triwindu karena dibangun pada 1939 oleh KGPAA Mangkunegara VII sebagai peringatan 24 tahun (atau tiga windu) masa pemerintahannya. Pada 5 Juli 2008, pasar ini dipugar dan dibuat bangunan baru yang disesuaikan dengan arsitektur budaya Solo. Awalnya, tempat ini bernama Windujenar lantas seiring perkembangan berubah menjadi Pasar Triwindu.

Pasar Triwindhu Ngarsapura adalah pasar barang antik, tiruannya, serta onderdil khusus (klithikan). Barang klithikan ini, misalnya, tuts mesin ketik kuno. Atau lampu sepeda onthel lawas yang sudah tak ada di toko-toko sepeda.

Bagi kolektor barang antik, Solo menjadi surga yang menyediakan beragam benda bernilai sejarah dan suvenir jaman dulu. Pasar Windujenar atau yang lebih dikenal sebagai Pasar Triwindu menjadi sentranya. Terletak di kawasan Ngarsopura di Jalan Diponegoro, pasar ini menawarkan keunikan bertransaksi: berbagai barang antik yang boleh ditawar.

Pasar ini ketika dipugar dibuat menjadi dua lantai, sehingga kios-kios yang awalnya berhimpitan menjadi agak longgar. Pada lantai satu digelar barang-barang lawas dan antik. Sementara itu di lantai dua, mayoritas barang yang ditawarkan adalah onderdil kendaraan tua.

Di lantai satu dagangan yang digelar mulai gramofon buatan Eropa, senjata pusaka, kamera tua, ukiran, peralatan rumah tangga lawas hingga mainan antik. Ada juga mata uang kuno, baik yang berbentuk koin atau kertas, misalnya yang dikeluarkan pada 1800-an; topeng, piring kuno buatan 1960, aneka kain batik lawas, dan perkakas rumah tangga. Kemudian ada radio kuno, jam tangan bekas, patung, lampu hias kuno, hingga mainan tradisional tempo dulu, seperti dakon dan lainnya.

Seperti disebut di muka, keunikan penjualan barang-barang antik dan kuno yang dijual di pasar ini harganya bervariasi. Mulai harga yang termurah dari ribuan rupiah saja, ratusan ribu hingga puluhan juga rupiah. Para pembeli yang datang ke pasar ini sebagian besar para pelancong yang hobi mengkoleksi barang-barang antik dan kuno. Mereka tidak saja dari segala penjuru daerah di Indonesia, tetapi juga kolektor dari mancanegara (luar negeri). Seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan lainnya.

Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Triwindu Sudarsono bercerita bahwa lahan yang digunakan sebagai pasar tersebut awalnya difungsikan sebagai alun-alun Mangkunegaran. Pembangunan sebagai Pasar Triwindu menurutnya memiliki dua versi. Versi pertama adalah ketika pada 1939, ketika Pura Mangkunegaran dipimpin KGPAA Mangkunegara VII, ia membangunnya sebagai ulang tahun jumeneng yang ke 24.

Sedangkan versi kedua, menurut Sudarsono, adalah KGPAA Mangkunegara VII berniat memberi hadiah ulang tahun ke 24 untuk putrinya, Gusti Putri Mangkunegara VII yang bernama Noeroel Kamaril.

iNamun bisa jadi kebaradaan pasar ini merupakan gabungan kedua versi tersebut, yakni membangun pasar sebagai perayaan bertahta selama tiga windu dan kemudian pasar itu kemudian dihadiahkan kepada Gusti Noeroel bertepatan dengan ulang tahunnya ke 24. Nama Triwindu berasal dari kata ‘Tri’, dalam bahasa Jawa yang berarti tiga. Sedang ‘windu’ artinya delapan. Kemudian diterjemahkan dalam bilangan angka 24 yang berarti tiga kali delapan.

“Nama Pasar Windujenar pada Juni 2011 berubah nama jadi Pasar Triwindu hingga sekarang,” kata pria tersebut.

Pasar Triwindu dimanfaatkan sekitar 200an pedagang menjajakan koleksinya. Selain tujuan kdiriolektor barang antik dan kuno, Pasar Triwindu juga menjadi tujuan wisata. Menurutnya, pengunjung pasar Triwindu ada tiga kategori. “Wisatwan dari Solo sendiri, dari luar kota, dan mancanegara. Tetapi kebanyakan yang belanja di sini dari luar kota,” katanya.

Seorang pedagang Pasar Triwindu mengaku sudah lama berjualan barang antik sejak pasar itu masih bernama Windujenar. Menurutnya, banyak pembeli datang membeli barang antik dan kuno selain untuk koleksi pribadinya, namun tak sedikit untuk dijual kembali di kota asalnya.

Menurutnya, ada perbedaan antara pembeli kolektor dengan pembeli pedagang atau setengah kolektor-pedagang. Kolektor umumnya tak banyak menawar harga barang jika sudah cocok dengan barang yang diinginkannya. Sementara yang berpikir untuk menjual kembali biasanya melakukan tawar menawar.

Pasar Triwindu Solo dengan koleksi dagangannya menjadi incaran para kolektor barang antik
Salah satu sudut Pasar Triwindu Solo dengan koleksi dagangannya. Foto: dok. shuterstock

Tren barang antik yang dicari para pembeli rupanya juga selalu berganti sesuai jamannya. Periode 1970-1990, misalnya, banyak pembeli dari mancanegara yang datang membeli barang antik dan kuno. Barang antik atau kuno yang dibeli kebanyakan keris, patung, dan arca. Pembelinya adalah kolektor dari Belanda, Inggris dan Australia. Kemudian pada era 1990-2000-an para pembeli yang datang ke Pasar Triwindu mencari lampu kristal kuno atau perabotan rumah tangga.

Triwindu, yang sampai sekarang muka sejak pukul sembilan pagi dan tutup kadang sampai malam menjadi primadona dan pilihan bagi para kolektor yang ingin mencari barang-barang antik dan kuno.

Jika pandemi sudah mereda dan ada rencana ke Solo, tak ada salahnya agendakan kunjungan ke Triwindu.

agendaIndonesia

Yuk bagikan...

Rekomendasi