Kerajaan Sunda Kuno, Jejak Peradaban Nusantara (Bagian 1)

Kerajaan Sundo Kuno merupakan peninggalan jejak peradaban Nusantara

Kerajaan Sunda kuno merupakan sedikit dari kerajaan di Provinsi Jawa Barat yang menorehkan kejayaannya pada catatan peradaban Nusantara. Dari serpihan-serpihan peninggalan yang masih tersisa, para pelancong akan disuguhi keanggunan budaya tradisional dan jejak romantisme masa silam.

Kerajaan Sunda Kuno

Jauh sebelum Kesultanan Cirebon, tersebutlah kerajaan besar yang tak bisa ditaklukkan oleh Majapahit sekalipun. Menurut penulis Portugis, Tome Pires, dalam catatan perjalanannya Summa Oriental, kerajaan ini menguasai separuh Pulau Jawa dan batasnya berada di Sungai Chi Manuk. Itulah Sunda Galuh atau lebih dikenal dengan Kerajaan Pajajaran.

Luasnya meliputi daerah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan sisi barat Jawa Tengah. Hal yang membuatnya begitu besar dikarenakan Sunda Galuh merupakan gabungan dua imperium, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kerajaan Sunda yang terbentuk sejak abad ke-7 berpusat di Pajajaran dan beribukota di Pakuan (Bogor), sedangkan Kerajaan Galuh yang hadir sejak abad ke-8 beribukota di Kawali (Ciamis).

Pada suatu masa, salah satu putra mahkota, Jayadarma menikah dengan keturunan Kerajaan Singasari, yakni Dyah Lembu Tal. Keduanya memiliki anak bernama Raden Wijaya yang kelak mendirikan Kerajaan Majapahit. Namun apa lacur, justru pada pemerintahan cucu Raden Wijaya, yakni Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda berseteru dalam Perang Bubat. Sejak itulah, kerabat keraton Sunda ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit (Jawa).

Perang yang lebih hebat terjadi saat Sunda Galuh didesak oleh kerajaan-kerajaan Islam di sekitarnya, seperti Cirebon, Demak, dan Banten. Untuk memperkuat diri, Sunda Galuh bekerja sama dengan Portugis. Alfonso d’Albouquerque menyambut baik ajakan ini. Namun sayang, Cirebon dan Banten tetap lebih kuat, sehingga Sunda Galuh memasuki era kejatuhannya.

Berikut sejumlah jejak peninggalan Kerajaan Sunda Galuh yang masih ada dan layak dikunjungi.

Candi Cangkuang

Tak banyak peninggalan Kerajaan Sunda Galuh yang tersisa. Namun justru itulah yang membuat perjalanan ke Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut menjadi begitu bermakna. Di sana ada Candi Cangkuang yang telah dibangun pada zaman Kerajaan Galuh pada abad ke delapan.

Dari pintu masuk ke kompleks candi, pengunjung masih harus menyeberangi danau sejauh 250 meter menggunakan rakit yang sudah disediakan. Deretan pepohonan Cangkuang di segala sisi pulau siap memayungi para wisatawan dari terik matahari. Selain itu, ada pemukiman adat Kampung Pulo yang terdiri dari enam rumah yang saling berhadapan.

Ke enam rumah ini mencerminkan jumlah anak dari tokoh pendiri kampung, yaitu Embah Dalem Arief Muhammad. Dia adalah seorang tentara Kerajaan Mataram yang menyebarkan agama Islam pada penduduk Desa Cangkuang. Makamnya pun dapat ditemui di dekat area candi.

Alamat: Leuwigoong, Karanganyar, Cangkuang, Leles, Kabupaten Garut
Tarif sewa rakit
: Rp 5.000 per orang
Akomodasi: Tersedia penginapan dan bungalow dengan tarif mulai Rp 250,000 sampai Rp 300.000 per malam

Situs Ciung Wanara Karangkamulyan

Ciung Wanara adalah tokoh legenda di Jawa Barat. Ia mewarisi kesaktian dari ayahnya, seorang raja yang sudah diambil alih kekuasaannya oleh orang lain. Raja baru dan salah satu permaisuri pun merasa terancam dengan kelahiran Ciung Wanara, sehingga membuangnya ke sungai. Namun bayi itu selamat dan kelak ketika dewasa berjuang menuntut keadilan pada raja dan ratu yang lalim.

Kisah ini berlatar di Kerajaan Galuh. Karenanya, situs Ciung Wanara pun bertempat di Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis yang pernah menjadi pusat aktivitas kerajaan. Begitu menjejakkan kaki di sini, kerimbunan rumpun bambu akan menyambut dengan kesejukannya.

Di balik pepohonan berumur ratusan tahun, terdapat sejumlah bangunan peninggalan Kerajaan Galuh. Di bagian depan ada Pangcalikan, yaitu batuan bertingkat segi empat yang biasanya digunakan sebagai altar pemujaan. Bagian selanjutnya adalah Sahyang Bedil, berupa ruangan batu dengan menhir di dalamnya. Ada pula tempat bernama Lambang Peribadatan dan Panyabungan Hayam, yang digunakan Ciung Wanara untuk menyabung ayam.

Alamat: Jalan Raya Banjar Ciamis, Cijeungjing, Karangkamulyan, Kecamatan Ciamis, Kabupaten Ciamis
Jam buka
: 07.00–20.00

Kerajaan Sunda Kuno dengan peninggalan Prasasti Batutulis. Prasasti ini masih ada di tempat aslinya.
Prasasti Batutulis yang merupakan salah satu bukti adanya Kerajaan Sunda. Foto: Dok. Javalane

Prasasti Batutulis

Luas kompleks Batutulis hanya sekitar 17 x 15 meter, tetapi nilai historisnya sangat penting. Batu berangka tahun 1455 Saka (1533 Masehi) ini merupakan bukti keberadaan Kerajaan Sunda. Statusnya in situ, yaitu masih terletak di lokasi aslinya alias sama sekali tidak dipindahkan.

Pada batu terukir beberapa baris kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuna. Teks tersebut dibuat oleh Prabu Surawisesa untuk mencatatkan jasa dan kebesaran ayahandanya, Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi.

Alamat: Jalan Batutulis Nomor 54, Batutulis, Bogor
Jam buka: 08.00–17.00

agendaIndonesia

*****

Kerajaan Tarumanagara, Jejak Kebudayaan Nusantara (Bagian 2)

Kerajaan Tarumanagara merupakan sedikit dari kerajaan di Provinsi Jawa Barat yang menorehkan kejayaannya pada catatan peradaban Nusantara. Dari serpihan-serpihan peninggalan yang masih tersisa, para pelancong akan disuguhi keanggunan budaya tradisional dan jejak romantisme masa silam.

Kerajaan Tarumanagara

Tarumanagara pada abad keempat hingga ketujuh, geliat kehidupan penduduk di kawasan ini begitu bergelora. Pembangunan kanal dan penemuan karya sastra pada sejumlah prasasti membuktikan majunya peradabanT arumanagara.

Sejarah mengenai Kerajaan Tarumanagara tercatat secara cukup rinci dalam naskah Wangsakerta. Sayangnya, keaslian tulisan ini masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Menurut sumber tersebut, kerajaan didirikan oleh seorang Maharesi sekaligus pengungsi dari India bernama Jayasinghawarman.

Sumber valid mengenai sejarah kerajaan ini hanyalah berasal dari tulisan-tulisan pada prasastinya. Pada Prasasti Ciaruteun misalnya, dibahas mengenai kemiripan kaki Raja Purnawarman dan kaki Dewa Wisnu. Pembandingan dengan sosok dewa menunjukkan kebesaran Sang Raja yang berhasil memimpin rakyat secara bijaksana, baik, dan berani.

Hal itu didukung oleh isi Prasasti Tugu yang mencatat keberhasilan Purnawarman dalam membangun kanal yang menghubungkan Sungai Candrabaga dan Sungai Gomati dengan laut. Beberapa ahli mengkaji infrastruktur ini dibuat untuk menanggulangi banjir. Ada pula yang menduga saluran berguna untuk irigasi pertanian.

Satu hal yang pasti, dari berbagai prasasti, Raja Purnawarman adalah yang paling sering disebut. Dengan begitu pada masa pemerintahannyalah Kerajaan Tarumanagara mencapai masa keemasan.

Isi 7 Prasasti

Tulisan pada prasasti dari era Kerajaan Tarumanagara ditulis menggunakan bahasa Sanskerta dengan huruf Palawa. Terdapat sekitar delapan prasasti yang ditemukan dan dijadikan objek wisata sejarah. Sebagian besar berada di Situs Ciaruteun. Sementara sisanya tersebar di penjuru Kota dan Kabupaten Bogor.

  1. Prasasti Ciaruteun

Prasasti ini memiliki sejumlah gambar, yaitu telapak kaki, laba-laba, umbi, dan sulur-suluran. Teks yang terukir menjelaskan bahwa itu adalah telapak kaki Raja Purnawarman yang mirip dengan kaki Dewa Wisnu. Situs sejarah ini berada di Situs Ciaruteun, Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat sebagai salah satu kerjaan tertua di indonesia merupakan jejak peradaban Nusantara.
Prasasti Tapak Gajah, karena ada jejak sepasang kaki gajah, merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Tarumanagara. Foto: Dok. javalane
  • Prasasti Kebon Kopi

Pada batu besar ini terpahat bentuk sepasang telapak kaki gajah. Di dekatnya terdapat kalimat yang menjelaskan bahwa gambar itu melambangkan Airawata, yaitu gajah penguasa Kerajaan Tarumanagara. Lokasinya berada di seberang jalan masuk ke Prasasti Ciaruteun.

  • Prasasti Muara Cianten

Sampai sekarang teks prasasti belum bisa dibaca atau diartikan oleh para ahli sejarah. Ini karena tulisan tersebut berbentuk ikal atau berupa huruf sangkha. Lokasinya di tepi Sungai Cianten, Desa Ciaruteun dan belum diangkat ke tempat yang lebih aman.

  • Prasasti Tugu

Bentuknya unik, yaitu bulat lonjong seperti telur dengan tinggi kira-kira 1 meter. Isinya pun sangat menarik, yaitu mengenai penggalian sungai sepanjang 6.122 tongkat atau busur agar tersambung ke laut. Proyek berlangsung selama 21 hari. Ada juga penjelasan mengenai pemberian seribu sapi kepada kaum Brahmana. Kini Prasasti Tugu tersimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta.

Kerajaan Tarumanagara meninggalkan banyak prasasti dan candi, salah satunya Prasasti Jambu yang juga dikenal sebagai Prasasti Pasir Koleangkak.
Prasasti Jambu sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Tarumanagara. Foto; Dok. Javalane
  • Prasasti Jambu

Sesuai namanya, prasasti ini ditemukan di perkebunan jambu Bukit Koleangkak, sehingga dikenal juga sebagai Prasasti Pasir Koleangkak. Tulisannya menggambarkan tentang keberanian Raja Purnawarman saat berperang di medan laga.

  • Prasasti Cidanghiyang

Prasasti ini disebut juga Prasasti Lebak karena ditemukan di Desa Lebak, Kabupaten Pandeglang, Banten. Isinya masih menggambarkan tentang keberanian dan kebesaran Raja Purnawarman.

  • Prasasti Pasir Awi

Prasasti Pasir Awi berada di Bukit Pasir Awi, Kawasan Cipamingkis, Kabupaten Bogor. Pada batu tersebut terdapat gambar dahan dan ranting, buah-buahan, dedaunan, serta pahatan sepasang telapak kaki.

Ekspedisi 4 Candi

Sekitar 44 kilometer dari Kota Karawang, jauh dari ingar-bingar aktivitas pabrik, hamparan sawah Kecamatan Batujaya menyimpan romantisme masa silam. Di kompleks tersebut, kurang lebih terdapat 62 candi peninggalan Kerajaan Tarumanagara. Meski identik dengan suhu panas daerah pesisir, Kompleks Percandian Batujaya justru menjadi oasis pariwisata sejarah di sisi utara Jawa Barat.

Dari sekian banyak candi, terdapat empat yang sudah dipugar dan menjadi objek wisata, yakni Candi Jiwa, Blandongan, Serut, dan Telagajaya. Pada proses pemugaran tersebut ditemukan pula benda-benda peninggalan peradaban Hindu-Buddha di Nusantara. Kini warisan sejarah tersebut sudah dipindahkan dan dipajang di Museum Situs Candi Jiwa. Maka selain candi, museum ini juga menjadi daya tarik tersendiri.

Candi Jiwa

Menurut warga sekitar, candi ini diberi nama jiwa karena proses penemuannya cukup mistis. Dulunya, unur atau gundukan tanah yang menutupi candi sering dilewati oleh kambing. Uniknya, beberapa kambing mati tanpa sebab yang jelas. Dari situ masyarakat menganggap tempat itu memiliki jiwa.

Candi Jiwa berbentuk tumpukan lempengan batu yang berukirkan relief Buddha, keramik, serta prasasti berisi mantra Buddha. Ini menunjukkan bahwa bangunan ini merupakan peninggalan agama Buddha. Apalagi bentuk utuhnya mirip bunga teratai yang kemungkinan bagian atasnya terdapat stupa seperti halnya Candi Borobudur.

Kerajaan Tarumanagara meninggalkan sejumlah candi dan prasasi, salah satunya adalah Candi Blandongan.
Candi Blandongan sebagai salah satu jejak peninggalan Kerajaan Tarumanagara. Foto: Dok. Javalane

Candi Blandongan

Berbeda dengan candi lain yang sudah rusak atau terpotong bagian atasnya, Candi Blandongan masih cukup utuh. Bentuknya persegi dengan ukuran 25×25 meter dan anak tangga pada setiap sisinya. Di bagian bawah candi terdapat lorong yang memisahkan antara bangunan dan dinding samping. Di tengah ada bangunan lagi dengan ukuran 12×12 meter. Presisi ukuran ini mencerminkan majunya peradaban saat itu.

Candi Serut

Setelah gundukan tanah diangkat, terlihat beberapa bagian bangunan yang sudah rusak cukup parah. Ada yang tingginya 6 meter, ada juga yang 8 meter. Namun situs ini masih memiliki daya tarik melalui ornamen dan arca yang berbentuk hewan dan manusia. Dilihat dari penampang luar, candi ini mirip dengan pondasi rumah dengan kamar-kamar, sumur, dan lantai papan di dalamnya.

Candi Sumur

Bangunan ini berbentuk persegi panjang dengan panjang sekitar 11 meter dan lebar sekitar 7,5 meter. Dinamakan Candi Sumur karena berupa sebuah kolam dengan kedalaman masih belum diketahui. Tebal dinding sebelah timur mencapai 4 meter dan di dinding lain 1,7 meter.

agendaIndonesia

****

Situs Trowulan, Jejak Sejarah Abad 14

Situs Trowulan merupakan jejak Kerajaan Majapahit dari abad 14

Situs Trowulan dikenal sebagai pertanda dan peninggalan dari kejayaan Kerajaan Majapahit. Kerajaan terbesar dari masa lalu, yang membuat jejak wilayah Nusantara hampir seperti Indonesia saat ini.

Situs Trowulan

Situs ini merupakan kawasan kepurbakalaan dari sejarah Indonesia periode klasik. Lokasinya  berada di Kecamatan Trowulan, Kabupten Mojokerto, Jawa Timur. Jika diperluas dari peninggalan-peninggalan yang ada, sebagian lagi lokasinya masuk Kabupaten Jombang di provinsi yang sama.

Berbagai temuan yang ditemukan di kawasan sini menunjukkan ciri-ciri pemukiman atau peradaban yang cukup maju. Sesungguhnya kaitan situs ini dengan Kerajaan Majapahit masih dugaan berdasarkan prasasti, simbol, dan catatan yang ditemukan di sekitar wilayah tersebut.

Luas situs perkotaan masa klasik Indonesia itu sebesar 11 x 9 kilometer itu sebagian terdapatdi Kecamatan Trowulan dan Sooko, sebagian juga ada di Kecamatan Mojoagung dan Mojowarna, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ada ratusan ribu peninggalan Majapahit terserak di kaki jajaran tiga gunung, yakni Gunung Penanggungan, Gunung Anjasmara, dan Gunung Welirang.

Situs Trowulan bisa membawa kita merasakan keberadaan Kerajaan Majapahit dari abad 14.
Salah satu relief dan patung peninggalan Majapahit di Museum Trowulan. Foto: ist. TL.

Jika mengunjungi Situs Trowulan, kita bisa mencoba merasakan keberadaan Majapahit melalui bangunan batu bata yang terserak, yang terkadang tak utuh. Berdasarkan cerita Empu Prapanca dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Di dekatnya terdapat pos tempat para punggawa berjaga. Gerbang utama menuju keraton atau kompleks istana terletak di sisi utara tembok. 

Dari segi usia peninggalan bisa dilihat dari candi-candi di wilayah itu, Candi Brahu, misalnya. Dari hasil analisis jejak karbon yang dilakukan badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), candi ini berasal dari masa 1410-1646.

Selain itu, dilihat dari gaya bangunan dan profil hiasan pada atap yang diduga berbentuk stupa, candi ini terlihat seperti candi umat Buddha, berbeda dengan candi lain di sekitarnya. Candi tersebut juga berumur lebih tua.

Berdasarkan Prasasti Alsantan yang ditemukan tak jauh dari situsnya, Candi Brahu ini berasal dari kata “waharu
atau warahu” yang difungsikan untuk menyimpan abu jenazah. Candi dengan tinggi 25,7 meter dan lebar 20,7 meter ini terdiri atas kaki, tubuh, dan atap.

Bagian tubuh Candi Brahu sebagian merupakan susunan batu bata baru yang dipasang pada masa pemerintahan Belanda. Bajang Ratu merupakan sebutan bagi candi yang diduga berasal dari abad ke-13 hingga ke-14 itu.

Candi Bajang Ratu memiliki pintu gerbang tipe paduraksa, yaitu gapura beratap. Berbeda dengan candi-candi lain di kawasan Mojokerto yang mempunyai banyak detail. Relief yang dipahat di bagian mahkota candi membuat bangunan terlihat ramping dan feminin.

Relief tersebut bercerita tentang Sri Tanjung dan Sayap Garuda yang mempunyai arti lambang pelepasan Jayanegara kembali ke dunia Wisnu. Candi ini berdiri di atas tanah setinggi 16,5 meter di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.

Pada atap candi ini terdapat hiasan berupa kepala Kala yang diapit singa, relief matahari, naga berkaki, kepala garuda, dan relief bermata satu. Relief tersebut berfungsi sebagai pelindung atau penolak mara bahaya.

Candi lain yang bisa dilihat di situs Trowulan ini adalah Candi Tikus. Ini bukan sekadar candi yang berdiri di atas tanah. Kompleks bangunan ini justru berupa cekungan di bawah tanah di Desa Temon, Kecamatan Trowulan.

Bentuk kompleks candi yang demikian karena dulunya memang berupa tempat pemandian. Menikmati pemandangan di permukaan air yang memantulkan refleksi bangunan setinggi 5,2 meter berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 22,5 x 22 meter itu pasti menyenangkan.

Keberadaan air tersebut masih bisa
 kita saksikan hingga sekarang. Membayangkan pada masa itu, tentu airnya tidak berwarna hijau. Pada dinding bagian bawah serta batur candi terdapat jaladwara (pancuran) yang menurut catatan sejarah berjumlah 49 buah. Saat ini tinggal 19 buah. Sisanya tersimpan di Museum Trowulan.

Bentuk pancuran ada dua macam, yaitu bunga lotus dan makara. Semua pancuran ini dulu mendapatkan pasokan air dari saluran yang ada di bagian selatan candi, tepatnya di belakang candi induk. Sedangkan saluran pembuangan terletak di lantai dasar.

Di atas tubuh candi terdapat menara semu, masing-masing berjumlah 5 buah. Di atas tubuh candi terdapat4 buah menara di setiap sudutnya. Puncak menara ini sudah hilang, sehingga tidak diketahui jelas bentuk aslinya. Namun, menara-menara ini melambangkan Gunung Mahameru sebagai pusat makrokosmos.

Situs Trowulan dinamakan demikian karena berada di Kecamatan Trowulan, Jawa Timur.
Kawasan Kabupaten Mojokerto di Jawa Timur sebagai tempat situs Trowulan. Foto: Dok. unsplash

Menapak sisa-sisa Majapahit di situs Trowulan tak lengkap bila tidak mengunjungi Gapura Wringin Lawang di Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan. Kata Jatipasar digunakan oleh Gubernur jendral Inggris Raffles untuk menamai gapura ini. Ini tercantum dalam buku karyanya, History of Java (1815).

Adapun nama Gapura Wringin Lawang diambil dari catatan Knebel pada 1907. Gapura setinggi 15,5 meter dengan panjang 13 meter dan lebar 11,5 meter ini diyakini merupakan pintu masuk Kerajaan Majapahit. Sisa kerajaannya sendiri belum ditemukan karena diduga terbuat dari bahan yang mudah terbakar sehingga tak bersisa. Wringin Lawang merupakan gapura yang tersusun dari batu bata, kecuali anak tangganya yang terbuat dari batu.

Jika punya waktu, kunjungi situs Trowulan untuk mengenal kebesaran Majapahit pada masa lampau.

agendaIndonesia/TL

*****

Benteng Vredeburg, Wisata Ke Peninggalan Dari 1767

Benteng Vredeburg sudah banyak yang tahu ada di Yogyakarta. Tapi berapa banyak dari kita yang pernah menyempatkan diri mampir dan menikmati tempat yang bersejarah ini? Rasanya tak banyak, meskipun wisatawan yang berkunjung ke kota pelajar ini sudah mondar-mandir di kawasan Malioboro.

Beteng Vredeburg

Malioboro memang sering kali menjadi tempat tujuan utama wisatawan saat berlibur ke Yogyakarta. Banyak wisatawan mengaku telah bolak-balik ke kawasan belanja ini tanpa merasa bosan. Di musim liburan, tak jarang jalan ini mengalami kemacetan luar biasa karena wisatawan tumpah-ruah di sana.

Benteng Vredeburg merupakan peninggalan Belanda pada tahun 1767 di kawasan Malioboro, Yogyakarta.
Kawasan Malioboro Yogyakarta, tempat Benteng Vredeburg berada. Foto: Dok. unsplash

Mereka memenuhi kawasan ini, tidak saja karena godaan wisata belanja, seperti di Pasar Beringharjo dan toko Mirota Batik, jalan ini juga dikepung sejumlah obyek wisata menarik. Ada kompleks Keraton Yogyakarta, Taman Pintar, dan benteng tua bernama Vredeburg. Namun, seperti disebut di muka, yang terakhir ini rasanya yang paling jarang disambangi.

Mungkin karena kesannya kuno. Mungkin pula dulu tempat ini belum mendapat sentuhan konservasi dan membuatnya lebih “bunyi” sebagai tempat bersejarah. Beberapa tahun terakhir ini, Vredeburg terus mempercantik diri sehingga makin menarik untuk dilirik.

Pagi itu, seorang teman yang pernah bersekolah di Yogya bernostalgia ke kawasan Malioboro. Ia sengaja berjalan kaki menyusuri Jalan Malioboro setelah sarapan di hotelnya di ujung utara jalan ini. Tujuan awalnya adalah ke keraton. Tapi menjelang ujung Maliooro, ia tertarik dengan Vredeburg—benteng peninggalan pemerintah kolonial yang terletak tak jauh dari Pasar Beringharjo.

Meskipun sudah pernah tinggal di Yogyakarta, hari itu adalah kunjungan pertamanya ke Vredeburg. Bagian depan benteng ini dijadikan tempat parkir kendaraan bermotor, sehingga pintu masuk yang kecil tersamarkan oleh deretan mobil dan minibus. Mungkin itu salah satu penyebab orang sering tidak tergoda untuk mampir.

Melintasi pintu gerbangnya, sekilas Vredeburg mengingatkan orang apada Benteng atau Fort Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. Ke duanya sama-sama benteng peninggalan Belanda dengan deretan bangunan tua berjendela besar dan halaman yang luas. Perbedaannya, Vredeburg lebih didominasi warna abu-abu, sedangkan Fort Rotterdam tampak ceria dengan warna bangunan merah dan kuning. Namun, yang menyenangkan, keduanya masih terawat dengan baik sampai sekarang, sehingga bisa menjadi sarana pendidikan sejarah bagi generasi muda.

Di kawasan Benteng Vredeburg, tadinya terdapat kafe yang didesain cantik dengan atmosfer tempo dulu. Indische Koffie, namanya. Beroperasi sejak pertengahan 2012 di salah satu bangunan pada benteng tersebut, kafe ini memiliki ruangan indoor dan outdoor. Bagian luar cocok untuk meneguk secangkir kopi pagi hari sembari menikmati suasana benteng yang masih sepi. Sayangnya oase yang menarik ini kini sudah tutup.

Menurut catatan sejarah, sebelum dibangun benteng dengan bentuk arsitekturnya yang sekarang, pada tahun 1760 atas permintaan Belanda, Sultan Hamengku Buwono I, di lokasi tersebut membangun sebuah benteng yang sangat sederhana. Bentuknya bujur sangkar. Pada ke empat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh Sultan, ke empat sudut tersebut diberi nama masing-masing Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).

Menurut penuturan Nicolas Hartingh, Gubernur Jendral VOC untuk Jawa saat itu, benteng tersebut keadaannya masih sangat sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bambu dan kayu dengan atap ilalang. Sewaktu W.H.Ossenberch menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, pada tahun 1765, diusulkan kepada sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih menjamin kemanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan di bawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak.

Pada awal pembangunannya, status tanah tempat berdirinya benteng Vredeburg merupakan milik kasultanan. Tetapi dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC).

Lucunya, menurut penjelasan ahli sejarah, dahulu kala benteng yang awalnya bernama Rusternburg pada 1760-an, dibangun oleh Belanda justru untuk menghindari serangan dadakan dari pemimpin Keraton Yogyakarta saat itu. Letaknya yang memang tak jauh dari kompleks Keraton, hanya satu tembakan meriam, memudahkan Belanda mengawasi gerak-gerik lawan yang membahayakan posisi mereka. Itu sebabnya bangunan benteng ini berbentuk persegi dengan empat pos penjagaan atau bastion.

Selama kurun waktu dari 1770-an hingga saat ini, Vredeburg kerap kali berganti fungsi. Dari menjadi benteng pertahanan, markas militer untuk penjajah asing maupun tentara Republik Indonesia, hingga museum sejarah seperti saat ini. Beberapa bagian memang sempat dipugar, tapi kemudian dibangun kembali sesuai dengan bentuk aslinya.

Benteng Vredeburg kini menjadi museum dengan gambaran perjuangan bangsa Indonesia.
Ruang Diorama di dalam Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Foto: dok. unsplash

Di dalam Museum Benteng Vredeburg, terdapat beberapa diorama dengan total 1.200 patung diorama yang menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan. Selain itu, dipajang pula koleksi benda bersejarah, foto-foto, patung, dan lukisan tentang perjuangan.

Teman yang bercerita kunjungannya ke Vredeburg ini menilai, benteng ini sesungguhnya aset wisata yang luar biasa. Tentu semakin menarik jika ditambahi dengan atraksi-atraksi keren yang cocok dengan anak muda.

agendaIndonesia

*****