Rumah Jenderal Nasution masih jarang dikunjungi orang, baik warga Jakarta, maupun pengunjung dari daerah lain. Padaal museum kecil ini menjadi saksi peristiwa malam 30 September, di mana seorang anak kecil menjadi korban. Jadi saksi bisu perjalanan sejarah bangsa.
Rumah Jenderal Nasution
Matahari sudah meninggi. Rumah besar dan berhalaman luas di Jalan Teuku Umar No. 40, Menteng, Jakarta Pusat, itu terlihat sepi. Dari balik pagar, patung Jenderal Abdul Haris Nasution kokoh berdiri. Bagi yang sering atau setidaknya pernah melintasi jalan ini mungkin tak mengira bahwa di rumah ini sebuah peristiwa tragis pernah terjadi.
Ya, tepatnya pada 1 Oktober 1965. Saat hari masih terlalu pagi, sekitar pukul 04.00 WIB, sejumlah tentara Cakrabirawa merangsek ke kediaman Abdul Haris Nasution, yang akrab disapa Pak Nas.
“Mereka melepaskan enam kali tembakan tepat ke kamar Pak Nas,” kata Sersan Mayor Afrianto, yang menemani kami siang itu. Empat peluru mengenai tubuh Irma Suryani Nasution, anak bungsu Pak Nas. Sedangkan dua peluru lagi melukai tangan Mardiah, adik Pak Nas, yang saat itu tengah menggendong untuk menyelamatkan Ade—panggilan akrab Irma Suryani Nasution. Ade memang sempat dirawat di RSPA Gatot Subroto, Jakarta, selama 6 hari. Namun sayang, nyawanya tidak tertolong. Pada 6 Oktober 1965, Ade Irma Suryani Nasution, yang masih berusia sekitar 5 tahun, mengembuskan napas terakhir.
Peristiwa mengerikan yang terjadi pada 55 tahun silam itu sepertinya masih terlihat jelas di kamar Pak Nas. Kamar tempat Ade sering tidur bersama kedua orang tuanya. Lubang tembakan peluru di daun pintu dan dinding kamar pun masih membekas. Letak tempat tidur, meja, kursi, serta lemari masih dibiarkan pada posisi awal. Hanya ada tambahan diorama Pak Nas yang berkemeja putih dan kain sarung.
“Sejak 3 Desember 2008, kediaman Pak Nas ini resmi menjadi museum,” ucap Kepala Museum Jenderal Besar A.H. Nasution, Kapten ARH Dwi Prasetianto. Bentuk bangunan utama tidak mengalami perubahan. “Dibiarkan sama sejak peristiwa 1 Oktober 1965.”
Pintu utama merupakan pintu masuk menuju ruang tamu tempat Pak Nas biasa menerima tamu, baik dari kalangan militer, kerabat, maupun masyarakat. Di ruang tamu ini terpampang beberapa foto Pak Nas saat menjabat Panglima Divisi Siliwangi, KSAD, dan Menkonhankam.
Lebih dalam lagi, terdapat ruang kerja lengkap dengan rak buku di belakangnya. Terlihat diorama Pak Nas sedang menulis di ruangan ini. Di ruangan ini pula, konon, ide dan buah pikiran Pak Nas dituangkan ke dalam bentuk buku yang tersimpan di etalase ruangan.
Sementara itu, di seberang ruang kerja, terdapat satu ruangan berwarna serba kuning, yang disebut sebagai “ruang kuning”. Ruangan memang didominasi warna kuning. Entah itu meja, sofa, gorden, ataupun dindingnya, semua memakai warna kuning. Ruangan ini digunakan Pak Nas untuk menerima tamu-tamu VVIP (very very important person).
Di samping ruang kuning, terdapat kamar yang dijadikan ruang senjata yang menyimpan koleksi senjata sang pemilik. Sejatinya, kamar ini dulu merupakan kamar putri sulung Pak Nas yang bernama Hedrianti Sahara Nasution. Di seberang ruang itu terdapat kamar tidur Pak Nas yang menjadi saksi bisu tertembaknya Ade Irma.
Di kamar ini terhubung kamar yang biasa diisi tamu. Namun kamar itu kini berisikan diorama Pak Nas saat melompati tembok ke Kedutaan Besar Irak untuk menyelamatkan diri dari usaha pembunuhan. Pintu luar kamar ini memang menuju tembok samping yang berbatasan dengan Kedutaan Irak.
Menurut Afrianto, Pak Nas, yang sudah berada di atas tembok, berniat hendak turun lagi untuk memberi pertolongan dan perlawanan setelah melihat Ade Irma tertembak. Tapi Johana Sunarti Nasution, istri Pak Nas, melarangnya dan memohon kepada Pak Nas untuk segera menyelamatkan diri.
Di samping kamar Pak Nas inilah sebenarnya kamar tidur Ade. Dalam kamar itu terdapat sebuah lemari kaca yang memuat gaun dan seragam tentara milik Ade. Di sebelah lemari terpampang sebuah foto Ade Irma dengan tulisan yang digoreskan oleh ibunya. Di sana tertera kata-kata yang diucapkan Ade sebelum akhirnya meninggal. “Ade sayang Mama. Ade sayang Papa. Tapi kenapa Ade ditembak? Salah Ade apa, Ma?”
Di depan kamar Ade terdapat ruang makan. Di ruangan ini ada patung Johana atau Bu Nas sedang menggendong Ade yang terluka parah karena tembakan di hadapan lima tentara bersenjata lengkap. Tangan Ade terlihat melingkari leher ibunya. Adegan ini membuat bulu kuduk saya berdiri. Membayangkan betapa kuatnya Bu Nas menghadapi para tentara yang sudah siap membunuh suaminya.
Di samping kanan bangunan utama terdapat semacam paviliun. Dulunya merupakan kamar ajudan yang salah satunya ditempati Letnan Satu Czi Pierre Tendean. Sang ajudan inilah yang kemudian diangkut ke Lubang Buaya dan gugur sebagai perisai bangsa. Kini bangunan itu berisikan diorama Pierre Tendean ketika menghadapi todongan senjata para tentara Cakrabirawa.
Kisah tragis ini berhasil membawa saya tenggelam pada masa 50 tahun lalu. Di rumah 1 Oktober ini pula lagu Ade Irma karya A.T. Mahmud melayang-layang dalam ingatan.
Akan kuingat selalu Ade Irma Suryani
Waktu dipeluk dipangku ibu
Dengan segala kasih
Kini ia terbaring di pangkuan Tuhan
Senang dan bahagia hatinya
Kini ia terlena tertidur terbaring
Nyenyak di pelukan Tuhannya
Andry T./Subekti/TL/agendaIndonesia
*****