Getuk Trio Magelang, Manis 5 Lapis

Getuk Trio Magelang menjadi oleh-oleh khas kota di lereng Bukit Tidar ini.

Getuk Trio Magelang senantiasa tampil unik dan manis dalam lima lapis dan tiga warna khasnya. Aslinya ini adalah ragam jenis getuk lindri. Makanan tradisional berbahan dasar singkong ini sudah umum dikenal sebagai salah satu penganan dan oleh-oleh khas kota Magelang dan telah lama menjadi bagian penting dari budaya warga kota sejuta bunga ini.

Getuk Trio Magelang

Getuk umumnya terbuat dari singkong yang direbus dan dihaluskan dengan cara digiling atau ditumbuk, kemudian diberi gula dan pewarna makanan. Terkadang getuk juga diberi tambahan parutan kelapa sebagai pelengkap. Konon makanan ini tercipta pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1940-an.

Getuk Trio Magelang kemasannya tak pernah berubah sejak puluhan tahun lalu.
Getuk Trio Magelang terdiri dari lima lapis yang manis. Foto: Dok. Getuk Trio

Kala itu, bahan pangan pokok seperti beras sangat langka dan tidak terjangkau oleh masyarakat kelas bawah. Kemudian sebagai substitusi beras, banyak warga Magelang yang membuat, membeli dan mengonsumsi getuk, karena saat itu singkong lebih murah dan mudah ditemui.

Cerita Getuk Trio sendiri dimulai pada 1958. Hendra Samadhana, sang pendiri, sebelumnya bekerja sebagai pemilik bengkel. Namun melihat popularitas getuk sebagai penganan khas warga Magelang, Jawa Tengah, yang terus naik, terbersit niatnya untuk membuat produk getuk yang tak hanya diminati kalangan kelas bawah, tapi juga menengah ke atas.

Lantas bersama istrinya, Setiawati, ia mulai berkreasi membuat getuk yang unik dan spesial dari getuk lain yang sudah ada. Menggunakan perkakas dan komponen yang ada di bengkel, ia membuat mesin penggiling singkong agar hasilnya getuk bisa lebih halus dan lembut.

Selain itu, Hendra dan Setiawati  juga memberikan satu ciri khas pada getuk buatannya: tiga warna berbeda berupa coklat, putih dan merah muda. Ciri ini pula yang terus dipertahankan hingga kini.

Pemilihan ciri khas tiga warna tersebut bukan tanpa sebab. Ketiga warna itu melambangkan ketiga anak mereka, serta usaha bengkel dan toko kelontong milik keluarga mereka yang kebetulan sama-sama bernamakan ‘Trio’. Dari situlah pula nama Getuk Trio lahir.

Mulanya, sang istri menjajakan getuknya kepada orang tua teman anak-anaknya di sekolah. Mulai mendapat respon bagus dan minat yang tinggi, Getuk Trio mulai dititipkan lewat beberapa toko roti di Magelang. Secara kebetulan, salah satu toko roti tersebut merupakan langganan dari Akademi Militer (Akmil) Magelang, sehingga getuk mereka pun mulai populer di kalangan Akmil, utamanya jika sedang ada perhelatan tertentu.

Pada 1960, Ratu Thailand pada saat itu, Ratu Sirikit, tengah melakukan kunjungan ke Akmil. Toko roti tersebut pun seperti biasanya didaulat untuk menyediakan konsumsi makanan pada acara mereka.

Salah satu makanan yang dihidangkan adalah Getuk Trio, dan ketika Ratu Sirikit mencobanya, ia berdecak kagum dan mengaku sangat menyukai penganan tersebut. Sampai-sampai, Getuk Trio Magelang pernah dijuluki ‘getuk Sirikit’ kala itu.

Publisitas tersebut mengangkat pamor produk Hendra itu sebagai salah satu getuk terpopuler di Magelang. Lebih hebatnya lagi, getuk lainnya secara umum juga ikut terangkat kodratnya dari pengganti makanan pokok warga kelas bawah menjadi kudapan masyarakat menengah ke atas. Getuk tak lagi hanya identik sebagai makanan ‘murahan’ dan mulai diminati banyak kalangan, bahkan semakin banyak merek-merek baru penjual getuk bermunculan.

Menghadapi persaingan yang semakin marak, Getuk Trio Magelang dapat terus bertahan sampai sekarang dengan kualitasnya yang selalu terjaga. Beberapa upaya mempertahankan kualitas tersebut terlihat dari pemilihan singkong yang digunakan selalu berumur maksimal satu tahun. Selain itu, singkong yang digunakan juga khusus jenis Singkong Kinanti yang diklaim punya cita rasa manis secara alami.

Satu hal yang juga perlu diperhatikan, khususnya bagi yang ingin membeli untuk oleh-oleh, Getuk Trio tidak menggunakan bahan pengawet, agar tidak mengganggu cita rasa aslinya. Karena itu orang harus maklum jika makanan ini biasanya hanya awet sekitar dua sampai tiga hari.

Sangat dianjurkan untuk dikonsumsi segera atau dibawa dalam perjalanan tak lebih dari sehari. Ini juga membuat pengiriman ke luar kota dan terlebih ke luar negeri menjadi agak sulit. Pada kemasan, bisanya tertempel tanggal produksinya. Alias tanggal saat dijual. Mereka selalu mengingatkan getuknya harus habis sebisa mungkin 24 jam setelah pembelian.

Saat ini, bisnis Getuk Trio dijalankan oleh sang anak, Herry Wiyanto, selepas wafatnya sang ayah. Sentra penjualannya kini terdapat di Jalan Mataram, Magelang, dengan satu cabang di Jalan Tentara Pelajar. Selain itu, mereka juga masih menjaga kemitraan dengan toko roti dan penganan lainnya seperti toko Mekar; toko Sari Rasa; toko Lezat; toko Endang Jaya; toko Barokah Agung; toko 88; toko Tape Ketan Muntilan, dan beberapa lainnya.

Getuk Trio biasanya dikemas dalam kotak karton, dengan harga bergantung dari berapa isi di dalamnya. Kotaknya sendiri masih berdesain sama dari ketika dulu produk ini mulai dijual untuk umum. Alasannya demi melestarikan jati diri dan sejarahnya sebagai salah satu merk top getuk Magelang. Yang cukup umum dibeli oleh konsumen adalah satu kotak isi 12 atau 16 buah yang harganya sekitar Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu.

Berita baiknya, toko-toko resmi Getuk Trio kini juga menjadi pusat oleh-oleh dan turut menjajakan berbagai jenis penganan lainnya, seperti wajik, tape ketan, ledre pisang, roti jahe, dan lain lainnya. Semakin memudahkan bagi wisatawan yang sedang mencari oleh-oleh, bisa langsung datang dan mendapatkan segala macam produk penganan di satu tempat.

Toko di Jalan Mataram buka dari jam 08.00 hingga jam 17.30, sementara cabang Jalan Tentara Pelajar buka dari jam 08.30 sampai jam 18.00. Dalam seminggu, mereka selalu buka kecuali pada hari Selasa. Untuk pemesanan atau info lebih lanjut dapat menghubungi mereka, atau mengunjungi situs resmi getuktrio.co.id dan laman Instagram resmi @getuktrio58.

Getuk Trio Magelang

Jl. Mataram no. 47, telp. (0293) 363536

Jl. Tentara Pelajar no. 58, telp. (0293) 364538

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

3 Hari Seputar Medan: Sejarah, Belanja dan Kuliner

Istana Maimu Medan nizar kauzar unsplash

3 Hari seputar Medan kita bisa menikmati paket lengkap sebuah liburan. Mulai dari mengenal sejarah, hewan liar, tempat ibadah, serta tentunya menikmati sajian laut.

3 Hari Seputar Medan

Luas Sumatera Utara memang luar biasa, yaitu 72.981,23 kilometer persegi. Itu mencakup 33 kota dan kabupaten. Untuk mengenal semua obyek wisata di provinsi ini memang diperlukan waktu panjang dan tekad bulat. Selain luas, wilayahnya dipenuhi kelokan dan perbukitan, membuat perjalanan berlangsung lebih lama dibanding dengan kota-kota yang lebih memiliki jalan rata dan lurus.

Bila hanya memiliki waktu sehari, pilihan Anda adalah mengunjungi obyek wisata di dalam Kota Medan. Jika mempunyai waktu hingga dua hari, pada hari kedua Anda bisa meluncur ke Berastagi. Sebelum kembali ke kota asal di hari ketiga, bila menggunakan kendaraan roda empat, Anda juga bisa menikmati pantai-pantai yang berada tidak jauh dari bandara baru, Kuala Namu, di Deli Serdang.

Hari Pertama: Tjong A Fie, Satwa Liar, dan Belawan

Anda sebaiknya memilih penerbangan pagi dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, semisal pukul 7 pagi. Jadi, kegiatan melancong bisa langsung dimulai di hari pertama. Setelah menaruh koper atau ransel di penginapan di Medan, mulailah perjalanan dengan menuju obyek wisata dalam kota, yakni Rumah Tjong A Fie.

Terletak di pusat kota, atau tepatnya di Jalan Ahmad Yani, Kesawan, Medan, rumah milik pengusaha asal Cina ini masih berdiri kokoh dan terawat di lingkungan bangunan tua. Sebagian besar bangunan bisa dicermati turis dengan membayar tiket masuk Rp 35 ribu per orang. Masih ada bangunan yang ditinggali cucu-cucu dari bankir yang hidup antara 1860 dan 1911 itu. Mengelilingi rumah tersebut, kita seperti mempelajari sejarah awal perkembangan Kota Medan.

Berkeliling selama satu jam rasanya cukup. Kemudian, Anda bisa singgah di resto untuk makan siang. Tujuan berikutnya adalah Rahmat International Wildlife Museum & Gallery di Jalan S. Parman Nomor 309, yang menampilkan beragam jenis satwa dari berbagai negara. Tercatat ada sekitar 1.000 spesies serangga dan hewan liar di tempat ini. Galeri tersebut dimiliki pengusaha Rahmat Shah, yang gemar berburu. Untuk mengamati hewan-hewan yang ditempatkan di tiga lantai itu, pengunjung harus mengeluarkan uang Rp 25 ribu.

Jika masih ingin bertemu dengan hewan liar, silakan langsung melaju ke Taman Buaya di Kelurahan Asam Kumbang, Kecamatan Medan Selayang. Dengan membayar tiket masuk seharga Rp 6 ribu, wisatawan bisa menemukan berbagai buaya, dari yang kecil hingga yang berusia 40 tahunan, dalam bak khusus. Selain itu, ada kumpulan buaya yang berendam dalam sebuah danau. Taman Buaya ini didirikan oleh Lo Than Mok pada 1959. Sebelum sore menjelang, Anda perlu beranjak dari sana agar bisa menikmati wisata belanja di Belawan.

Ada deretan toko di Jalan Simalungun dan Jalan Veteran Belawan yang sering diburu para turis penggemar barang bermerek. Yang paling menonjol tentu saja kerajinan keramik, terutama guci yang tingginya mencapai 2 meter dengan harga berkisar Rp 15 juta rupiah. Selain itu, ada produk keramik mini senilai Rp 35 ribu. Pelancong yang gemar tampil wah, biasanya mencari aksesori, seperti tas, sepatu, dan ikat pinggang. Puas berbelanja, saatnya untuk menyantap ikan laut yang memang menjadi hidangan khas Belawan. Anda bisa mencicipi kepiting, kerang, dan sejenisnya. Setelah perut kenyang, tinggal kembali ke hotel untuk beristirahat.

Hari Kedua: Berastagi, Pagoda, dan Wihara

Setelah menikmati sarapan, wisatawan sebaiknya langsung melaju ke Berastagi untuk menikmati kesejukan kota yang berada pada ketinggian 1.220 meter di atas permukaan laut itu. Ada gunung cantik di sekitarnya, yakni Gunung Sibayak. Sejatinya ada dua, satunya adalah Guung Sinabung. Sayangnya beberapa tahun terakhir Sinabung dalam situasi waspada setelah erupsi. Jika situasi aman, bisa juga meluncur ke

 Danau Lau Kawar di kaki Gunung Sinabung. Dalam perjalanan menuju danau ini, Anda akan melintasi kebun-kebun sayur.

Terdapat arena berkemah di Lau Kawar. Bila ingin mengelilingi danau, pengunjung bisa menyewa perahu dengan tarif Rp 10 ribu. Obyek wisata ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Karo, yang biasanya ramai di akhir pekan atau masa libur. Jika masih ingin menikmati pemandangan serba hijau, saat kembali ke arah Berastagi, mampirlah ke Bukit Gundaling. Bukit itu berjarak sekitar 3 kilometer dari pusat kota. Sebenarnya, paling tepat Bukit Gundaling disinggahi pada malam hari. Sebab, dari lokasi inilah bisa dilihat kerlap-kerlip Kota Berastagi dan Karo.

Melaju ke arah Medan, masih ada satu lokasi lagi yang menarik dikunjungi, yakni Taman Alam Lumbini. Di taman tersebut, replika Pagoda Shwedagon menyeruak di antara kebun sayur dan tampak mencolok dalam warna keemasan. Replika pagoda itu benar-benar mempesona karena warna dan bentuk bangunan yang khas. Untuk mencermati tempat ibadah umat Buddha dan taman di sekelilingnya, yang berada di Desa Tongkeh Kecamatan Dolat Rakyat, Kabupaten Karo, tidak dipungut biaya.

Puas dengan kesegaran udara di Berastagi dan beres mengisi perut, waktunya kembali ke Medan. Masih ada yang bisa ditengok di kota ini, seperti Istana Maimun, gedung-gedung tua, dan klenteng. Pengunjung pun bisa menghabiskan sore hari di sekitar Maha Vihara Maitreya, yang terletak di Perumahan Cemara Asri, Jalan Boulevard Utara, Medan.

Sebagai salah satu wihara terbesar di Asia Tenggara, Maha Vihara Maitreya ramai dikunjungi tidak hanya oleh umat Buddha, tapi juga penganut agama lain. Apalagi wihara yang berdiri di atas lahan 4,5 hektare itu berada di lingkungan yang asri, yang dipenuhi pepohonan dan taman sebagai tempat persinggahan burung bangau pada sore hari. Di salah satu sisi taman itu, bisa ditemukan aneka jajanan.

Ketika langit mulai gelap, saatnya untuk beranjak. Wisatawan memiliki pilihan bersantap di resto yang berada tidak jauh dari wihara. Berbagai warung makan berderet, menyediakan beragam hidangan laut. Atau, pengunjung bisa menuju pusat kuliner di Jalan Wajir atau Jalan Kolonel Sugiono di tengah Kota Medan. Rata-rata warung di kawasan ini pun menawarkan hidangan laut yang segar dengan bumbu melimpah. Berada di emperan toko, warung-warung ini hanya buka di malam hari.

Hari Ketiga: Wisata Kuliner dan Pantai Sekitar Kuala Namu

Untuk mencapai Bandara Kuala Namu dari Medan, sebaiknya wisatawan menggunakan kereta api. Namun bila memiliki waktu luang di hari ketiga, sebelum kembali terbang ke Jakarta atau kota lain, pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat serta mampir menjajal wisata kuliner dan bahari. Setelah membeli aneka oleh-oleh di pusat kota, dapat singgah untuk melahap makan siang di rumah makan Wong Rame, Jalan Raya Tanjung Morawa. Tidak hanya dikenal dengan hidangan ikan bakar, seperti ikan patin, gurame, ataupun bawal, tapi ada juga minuman spesial, yakni jus durian. Bila tidak sedang musim durian, harga per gelas jus spesial itu dipatok Rp 25 ribu.

Jika ingin menikmati pantai, ada dua pilihan yang bisa disinggahi, yakni Pantai Pondok Permai dan Pantai Cermin, yang bersisian. Masuk dalam wilayah Serdang Bedagai, yang bersebelahan dengan Deli Serdang, kedua pantai itu memiliki fasilitas liburan yang lengkap berupa wahana bermain dan resor.

Atau di hari terakhir, bagi para pencinta kopi, dijadikan kesempatan untuk menikmati kopi Sidikalang yang menjadi ciri khas Sumut. Bisa menjajal seduhan kopi di kedai kopi lawas di Jalan Hindu.

Rita N./Dhemas R./Dok. TL

Kerajinan Kulit Manding, Besar Sejak 1958

Kerajinan kulit Manding, Bantul, Yogyakarta, dengan ikon patungnya. Foto: Kemenparekraf

Kerajinan kulit Manding di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, adalah salah satu yang legendaris serta sarat sejarah. Di seluruh desa ini penduduknya bekerja dalam industry kreatif kerajinan kulit. Lokasinya tepatnya di Dusun Manding, Desa Sabdodadi, Bantul.

Kerajinan Kulit Manding

Di jalan Parangtritis sebuah gerbang menyambut wisatawan yang hendak berkunjung ke dusun ini. Sepajang jalan sejak gerbang di kanan kiri terhampar gerai-gerai yang menawarkan produk kulit.

Kerajinan kulit Manding di Bantul, menjadi sentra kerajinan kulit terbesar di Yogyakarta.
Gerbang masuk ke Sentra Kerjainan Kulit Manding di Bantul. Foto: Dok. Kabupaten Bantul

Sentra kerajinan kulit Manding ini disebut sarat sejarah karena industri kulit ini sudah eksis sejak tahun 1950-an. Semua bermula dari tiga orang pemuda dusun Manding bernama Prapto Sudarmo, Ratno Suharjo dan Wardi Utomo yang pada tahun 1947 pergi ke pusat kota Yogyakarta. Mereka melihat perajin yang membuat pelana dari kulit di kawasan Rotowijayan, yang kini menjadi Museum Kereta Keraton.

Merasa tertarik dengan seni kerajinan kulit tersebut, mereka lantas melamar bekerja di tempat itu. Setelah 11 tahun lamanya mereka bekerja di sana, akhirnya dengan pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan, mereka kemudian memberanikan diri untuk membuka usaha kerajinan kulit sendiri di dusun mereka pada 1958.

Berbekal bahan kain bekas, mereka mulai membuat sendiri produk kerajinan kulit seperti sepatu, tas, ikat pinggang, dompet, jaket dan lain-lainnya. Dari tiga serangkai tersebut, semakin banyak warga dusun Manding yang ikut tertarik dengan usaha kerajinan kulit ini. Puncaknya, pada 1970-an bisnis ini mulai mengemuka dan karya kerajinan kulit Manding mulai dikenal banyak orang.

Barang-barang hasil produksi warga dusun Manding tersebut awalnya diperjualbelikan di Pasar Ngasem, tetapi karena semakin diminatinya produk-produk ini oleh wisatawan dalam dan luar negeri, serta terus bertambahnya perajin dari dusun tersebut yang membuka usahanya, akhirnya pada tahun 1980-an mereka mulai membuka toko-toko sendiri di dusun Manding.

Pada perkembangannya, industri rumahan ini bukannya tanpa tantangan zaman. Seiring maraknya barang-barang sejenis dengan bahan serupa atau berbeda-beda seperti kain, plastik dan sebagainya yang menyerbu pasaran, tentu tidak mudah menarik perhatian lebih banyak konsumen.

Begitupun mereka menjawabnya dengan menyajikan produk yang punya kualitas dan keunikan tersendiri dibanding pesaingnya, misalnya dengan penggunaan kulit sapi, kambing dan domba yang berkualitas, untuk menjamin keawetan produk.

Salah satu karakteristik lain yang dimiliki produk kulit Manding yaitu penggunaan teknik ‘tatah timbul’ yang memberikan efek timbul pada bagian kulit yang diukir para perajinnya. Ini kemudian menjadi salah satu ciri khas produk kerajinan kulit Manding.

Ditambah lagi dengan jahitannya yang menggunakan tangan, serta bagaimana mereka memadukan kulit dengan bahan-bahan lainnya seperti serat pandan, lidi, eceng gondok dan lain-lain. Alhasil, dengan kualitas dan kreatifitas produk yang dapat bersaing dengan produk lain, namun dijajakan dengan harga yang relatif miring, membuat produk kerajinan kulit Manding mempunyai daya tarik sendiri.

Perjalanan mereka tak selamanya mulur. Industri kerajinan kulit Manding juga sempat dilanda musibah ketika gempa bumi menggoyang keras Yogyakarta pada 2006 silam. Utamanya bagian selatan Yogya, termasuk kawasan Bantul, yang membuat dusun Manding turut porak poranda.

Namun berkat banyaknya bantuan donatur, terutama Bank Indonesia yang menjadikan dusun Manding sebagai desa binaan, serta maraknya lahan-lahan yang disewakan di sekitar dusun Manding, tak butuh waktu lama bagi industri ini untuk kembali bangkit. Bahkan dari sebelumnya yang hanya terdapat sekitar 10 toko, kini setidaknya terdapat 40 toko yang menjamur di sepanjang Jalan Dr. Wahidin Sudiro Husodo tersebut.

Kini, selain menjadi sentra produksi dan penjualan kerajinan kulit Manding di Yogyakarta, dusun Manding ini juga sudah didesain menjadi desa wisata yang tidak hanya menjajakan barang-barang hasil produksinya saja kepada para pelancong. Kini dusun ini juga menawarkan kesempatan untuk ikut merasakan pengalaman membuat kerajinan kulit sendiri, termasuk belajar menggunakan teknik khusus seperti ‘tatah timbul’ yang unik itu.

Harga barang-barang produk kerajinan kulit Manding relatif terjangkau. Misalnya sepatu yang harganya berkisar Rp 150 ribu, dompet yang dihargai mulai Rp 90 ribu atau tas yang dijual sekitar Rp 200 ribu, tergantung dari bentuk dan modelnya.

Jika menimbang kualitas produk yang dikenal tahan lama, maka harga tersebut termasuk bersahabat di kantong. Tak heran, produk kerajinan kulit ini pun terus populer hingga ke negara-negara luar seperti Australia, India dan sebagainya.

Tak sulit menemukan lokasi dusun Manding. Seperti disebut di muka, di bagian depan sebelum masuk anda akan menemukan gapura bertuliskan ‘Sentra Industri Kerajinan Kulit Manding’. Dari situ, terlihat deretan toko-toko yang siap menawarkan produk berkualitas dengan harga reasonable. Cocok bagi anda yang sedang mencari oleh-oleh atau yang ingin mencoba pengalaman baru membuat kerajinan tangan secara tradisional, yang kini telah diwariskan dan dilestarikan turun-temurun sejak 65 tahun lalu.

Sentra Industri Kerajinan Kulit Manding

Jl. Dr. Wahidin Sudiro Husodo, dusun Manding, desa Sabdodadi, kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Iket Kepala Pria, 1 Tradisi Unik Nusantara

Iket kepala pria seperti sudah menjadi tradisi bagi laki-laki di Indonesia.

Iket kepala pria seperti menjadi ciri khas yang unik bagi pria di Indonesia. Ini terlihat hampir merata di banyak daerah. Dikembangkan dari iket, misalnya, blangkonbagi laki-laki Jawa terus melekat dalam keseharian masyarakatnya.

Iket Kepala Pria

Penutup kepala yang merupakan paduan busana tradisional untuk lelaki Jawa ini memang unik. Bahkan antara Yogyakarta dan Solo saja, yang bersebelahan, terdapat perbedaan model. Blangkon Yogya dikenal dengan benjolan di bagian belakang. Pada dasarnya blangkon adalah iket, kain batik persegi yang diikatkan di kepala dengan teknik tertentu. Nah, agar lebih efisien dan praktis, para seniman mengembangkannya menjadi blangkon. Hanya dibutuhkan separuh bahan kain iket untuk menghasilkan blangkon. Kini, para pria tinggal memasang blangkon di kepala tanpa perlu repot menyimpulkan ujung-ujung kainnya. Tidak jauh berbeda dengan mengenakan topi.

Jenis penutup kepala tradisional ini memang beragam. Blangkon Yogya dilengkapi mondholan, yakni tonjolan di belakang. Sebenarnya tonjolan tersebut menunjukkan rambut pria pada masa silam yang umumnya panjang. Jadi, ketika mereka menggunakan iket, muncul tonjolan di bagian belakang sebesar telur ayam. Para perajin di Yogyakarta, seperti yang bisa ditemukan di pabrik blangkon Santi, Kampung Bugisan, Kecamatan Wirobrajan, mengisi bagian belakang blangkon dengan serbuk kayu sisa gergajian.

iket kepala pria menjadi ciri khas yang unik bagi pria di Indonesia.
Blangkon dikembangkan dari iket kepala dan menjadi khas iket pria di Jawa. Foto: Dok. shutterstock

Blangkon buatan pabrik yang beroperasi sejak 1975 ini tidak hanya khas Yogya, tapi juga Solo, yang dikenal dengan model trepes. Ini adalah modifikasi dari model Yogya. Dibikin seperti itu karena para pria kemudian lebih banyak berambut pendek. Di perusahaan keluarga tersebut, setiap hari diproduksi sekitar 140 blangkon yang dijual ke berbagai daerah di dalam maupun luar Pulau Jawa.

Kampung Bugisan RT 32 RW 06, Kecamatan Wirobrajan, sejak 1974 memang dikenal sebagai kampung blangkon. Dulu, hampir semua warga di sini berprofesi sebagai pembuat blangkon. Kebanyakan produknya dijual di Pasar Beringharjo dan Jalan Malioboro, Yogyakarta. Kini hanya beberapa yang bertahan, salah satunya pabrik blangkon Santi.

Tidak ada yang memastikan kapan blangkon mulai hadir di Pulau Jawa. Hanya, penutup kepala ini disebut sebagai hasil pengaruh budaya para pendatang, seperti pedagang Gujarat yang umumnya keturunan Arab. Serban penutup kepala khas para pedagang Gujarat menginspirasi orang Yogya mengenakan iket, yang kemudian dikembangkan menjadi blangkon.

Tidak hanya Yogyakarta dan Jawa Tengah yang memiliki penutup kepala khas. Di Jawa Timur dan Jawa Barat pun bisa ditemukan hal serupa. Di Parahyangan aksesori ini dikenal dengan nama bendo atau iket, yang tertutup hingga bagian belakang dan biasa dipadukan dengan busana tradisional. Bentuknya kurang-lebih mirip dengan blangkon Solo. Saat ini, bendo hanya dipakai dalam upacara pernikahan atau pementasan tari tradisional. Tidak seperti di Yogya dan Solo, di mana masyarakatnya, apalagi di lingkungan Keraton, masih lekat dengan penutup kepala yang satu ini.

iket kepala pria memiliki berbagai model, tergantung kebiasaan daerah di mana masyarakat itu tinggal.
Iket kepala pria menjadi ciri khas saat menjalankan kegiatan-kegiatan tradisional masyarakat di daerah. Foto: Dok. shutterstock

Iket Sunda hingga Lombok

Blangkon ataupun bendo terbuat dari iket atau kain persegi yang digunakan untuk menutup kepala. Berbagai model blangkon tersebar di Jawa, Bali, hingga Lombok. Di setiap daerah, penutup kepala ini disebut dengan nama berbeda. Masyarakat Jawa Barat mengenalnya dalam tiga nama, yakni iket, totopong,sertaudeng, sementara orang Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menyebutnya iket. Adapun di Pulau Dewata dikenal sebagai udeng dan di Pulau Lombok disebut sapuk.

Di Jawa Barat, tradisi mengenakan penutup kepala ini dilestarikan dengan membentuk kelompok khusus, yakni Komunitas Iket Sunda (KIS), yang pernah menggelar perhelatan Jambore Iket Sunda internasional di Pangandaran, Ciamis. Di tataran Sunda, totopong dulu dikenal terdiri atas beberapa jenis: barangbang semplak, julang ngapak, kuda ngencar, parekos nangka, parengkos jengkol, maung heuay, porteng, dan kekeongan, yang di daerah Banten disebut borongkos keong.

Iket tetap memiliki model baru karena masyarakat terus berkreasi. Yang tergolong anyar adalah candra sumirat, maung leumpang, dan hanjuang nantung. Penutup kepala ini dikenal masyarakat Jawa Barat pada 1450 atau masa Kerajaan Padjadjaran. Selain dikenakan untuk melindungi kepala dari terik mentari, pada masa kolonial iket muncul sebagai identitas pejuang atau simbol perlawanan terhadap penjajah.

Bentuk iket terbilang unik. Sebab, kain persegi ini tidak sepenuhnya bercorak batik. Sebagian kain yang dipotong secara diagonal berwarna polos, sisanya bercorak. Corak batik yang digunakan biasanya sida mukti, kumeli, katuncar mawur, eurih, kalangkang ayakan, kangkung, kawung ece, dan lain-lain. Jenis ikatannya juga menunjukkan kelas masyarakat, dari bangsawan hingga rakyat biasa. Berarti, di masa lalu totopong menggambarkan status sosial. Dan satu lagi, setiap bentuk ikatan mengandung filosofi sendiri-sendiri.

Ikat kepala pun melekat dalam kehidupan masyarakat Bali. Para pria di pulau ini menggunakan udeng dalam kegiatan sehari-hari, termasuk saat beribadah. Tidak perlu repot untuk mengenakan udeng karena sudah siap pakai. Tersedia dalam beragam ukuran, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Perajin ikat kepala ini bisa ditemukan di Karangasem, salah satunya Desa Sidemen, yang memang warganya dikenal sebagai perajin kain. Udeng tersedia dalam model polos atau bercorak, seperti batik dan metalik. Sisi kanan udeng lebih tinggi daripada yang kiri. Sengaja dibuat asimetris untuk mengingatkan bahwa kita harus melakukan kebajikan, yang biasanya disimbolkan dengan sisi kanan.

Mungkin karena dipengaruhi tradisi Bali, warga Lombok turut mengenakan ikat kepala, yang dikenal dengan nama sapuk. Modelnya hampir serupa dengan di Bali, yang sangat berbeda dari jenis ikat kepala di Pulau Jawa.

Masyarakat Yogya pun tidak lepas dari kreasi dalam soal iket. Agustus tahun lalu, mahasiswa dan dosen Universitas Negeri Yogyakarta membuat jenis iket berbeda. Dibikin lebih praktis, tapi masih mempertahankan gaya khas Yogya. Iket ini fleksibel karena ukurannya bisa disesuaikan dengan sang pemakai, selain terlihat lebih modis dan bisa dipadu dengan beragam busana. Iket hasil modifikasi tersebut menggabungkan corak lurik dan batik. Lurik digunakan di bagian bawah dan pengikat, sedangkan batik di atas serta samping. Sungguh modis.

Rita N./TL/agendaIndonesia

*****

Canting Batik, Ini 5 Jenis dan Fungsinya

Canting batik bukan sekadar alat menulis motif, ada sejarah di belakangnya.

Canting batik dikenal luas di kalangan masyarakat Jawa, khususnya di daerah-daerah yang menghasilkan komoditas kain batik. Canting sendiri diyakini berasal dari bahasa Jawa yang artinya alat untuk menulis atau melukis motif batik.

Canting Batik

Secara umum ini adalah alat pokok dalam membatik secara tradisional yang menentukan apakah hasil pekerjaan tersebut disebut batik tulis atau bukan. Atau bahkan menentukan sebuah kain disebut batik atau bukan batik.

Alat ini memang dipergunakan untuk menulis, atau mungkin lebih tepatnya melukis dengan cairan malam, untuk membuat motif yang diinginkan. Membatik dapat dikatakan sebagai penerapan teknologi, karena proses melekatnya lilin pada kain harus menggunakan canting.

Batik juga dikatakan seni karena gambar motifnya merupakan ekspresi perasaan, keinginan, atau suasana hati seorang pembatik

Pemilihan canting batik dalam membatik sangat menentukan baik dan tidaknya motif yang dihasilkan. Hal ini karena setiap titik dan garis pada batik memiliki ukuran (canting) yang telah ditentukan.

Aneka Batik dari Jawa shutterstock
Aneka motif dan jenis batik dari Jawa. Foto: shutterstock



Sesungguhnya dari mana teknik menciptakan motif kain dengan menggunakan cairan malam ini? Ternyata ceritanya sangat panjang.

Pada awalnya teknik tersebut dikenal di Mesir, yakni sejak abad sebelum masehi. Perkiraan ini muncul karena ditemukannya kain pembungkus mumi yang dilapisi dengan (cairan) malam yang membentuk pola.

Namun Mesir bukan satu-satunya tempat dikenalnya teknik “membatik”. Di Asia, teknik ini digunakan pula oleh bangsa Tiongkok di masa Dinasti Tang (618-907). Ini juga ditemukan di India serta di  Jepang pada periode Nara (645-794). Sedangkan di Afrika sendiri teknik yang menyerupai batik ini dikenal oleh suku Yoruba di Negeria, suku Soninke, dan Wolof di Sinegal.

Sementara itu, di Indonesia seni membatik dikenal sejak zaman Majapahit.  Senin ini semakin populer pada akhir abad XVIII atau awal abd XIX. Pada zaman ini hingga awal abad XX semua jenis batik yang dihasilkan adalah batik tulis. Sedangkan sekitar 1920-an atau setelah Perang Dunia I produk batik dengan teknik cap baru dikenal.

Sejarah awal mulanya batik memang belum memiliki keterangan yang cukup jelas, karena beberapa pakar dan peneliti memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini. Dikutip dari kompas.com, GP Roufaer dalam bukunya De Batik- Kunst, menerangkan bahwa kehadiran batik Jawa sendiri tidak tercatat, namun dimungkinkan bahwa teknik batik diperkenalkan dari India dan Sri Lanka pada abad ke-6 atau ke-7.

Sementara J. L. A. Brandes, seorang arkeolog dari Belanda dan F. A. Sutjipto, sejarawan Indonesia menyimpulkan bahwa tradisi batik merupakan tradisi asli dari daerah Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Daerah-daerah tersebut tidak dipengaruhi oleh Hidhuisme, namun memiliki tradisi kuna membuat batik.

Canting Kecil Cucuk Cecek blibli
Macam-macam jenis canting. Foto: shutterstock

Lalu bagaimana dengan canting batik? Sejak kapan ia dipergunakan untuk membuat motif batik. Soal ini belum ada catatan yang jelas. Belum pula ditemukan dokumentasi soal originalitas canting batik sebagai alat khas batik Indonesia.

Begitupun, dari banyak narasi yang ada, semuanya sama menyebutkan bahwa canting batik adalah alat yang terdiri dari tiga bagian, yaitu cucuk, nyemplung, dan pegangan.

Pertama, cucuk atau carat, berfungsi seperti mata pena sebagai ujung keluarnya cairan malam (lilin). Cucuk terbuat dari tembaga yang merupakan material yang baik untuk mengantarkan panas.

Bagian ke dua disebut nyamplung, ini berfungsi sebagai tempat untuk memasukkan malam atau lilin panas. Seperti halnya cucuk, nyemplung juga terbuat dari tembaga. Sedangkan bagian ke tiga adalah pegangan canting batik yang terbuat dari bambu atau kayu.

Meskipun bentuknya sama atau mirip, canting batik memiliki jenis yang terkait dengan fungsinya ketika membatik. Berikut jenis-jenis canting:

Canting Reng-rengan

Canting Reng-rengan dipergunakan sebagai awal proses membatik, yaitu proses membuat pola. Namun, awalnya pola dibuat terlebih dahulu baru kemudian dilanjutkan dengan menggunakan canting reng-rengan.

Canting Isen. 

Canting Isen merupakan canting yang berfungsi untuk mewarnai atau mengisi pola dari kerangka dasar yang sudah jadi. Canting isen memiliki cucuk tunggal dengan diameter 0,5 mm – 1,5 mm serta digunakan untuk detail yang lebih kecil.

Canting Cecek.

Canting berukuran kecil yang fungsinya untuk memberikan isen-isen pada motif batik.

Canting Klowong. 

Canting ini digunakan untuk membuat pola utama batik dimana membutuhkan detail yang lebih besar. Motif yang dibuat biasanya akan mendominasi batik secara keseluruhan.

Canting Tembok.

Canting ini memiliki cucug yang lebih lebar. Cucuk ini berfungsi agar mempermudah proses membatik untuk mengeblok motif secara keseluruhan. Canting ini biasanya digunakan untuk menutup motif secara keseluruahan.

agendaIndonesia/dari berbagai sumber

*****

Geplak Bantul, Warisan Budaya Sejak 2018

Geplak Bantul kudapan yang menjadi warisan budaya tak benda Yogyakarta. Foto: shutterstock

Geplak Bantul sejak lama menjadi oleh-oleh tradisional dari Yogyakarta. Kudapan ini memang dikenal sebagai salah satu kudapan khas masyarakat kota pelajar itu.

Geplak Bantul

Begitupun, sesungguhnya geplak ternyata juga dimiliki masyarakat Betawi. Belum ada catatan sejarah adakah kaitan antara geplak Bantul dan geplak Betawi. Rasa ke duanya mirip-mirip karena menggunakan bahan yang sama.

Yang membedakan ke duanya adalah, geplak Betawi hanya berasal dari gula tebu dan warnanya biasanya hanya putih keabu-abuan. Kudapan ini pun tak muncul setiap hari, biasanya muncul pada saat ada pernikahan di antara masyarakat Betawi.

Geplak, makanan yang lebih dikenal dari Bantul terbuat dari parutan kelapa dan gula pasir atau gula jawa. Rasanya sudah pasti manis. Cemilan ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.

Geplak Bantul lahir karena daerah itu kaya dengan kelapa dan tanaman tebu.
Geplak dulunya dikemas dengan besek. Foto: shutterstock

Dikutip dari laporan di liputan6.com, disebutkan bahwa dalam naskah Mustikarasa yang ditemukan pada 1967, geplak ini terkait erat dengan Pangeran Pekik, adik ipar Sultan Agung Mataram. Geplak sebagai makanan kreasi dari kelapa disebutkan satu kali dalam Serat Centhini VI.

Jadi ceritanya dalam serat itu, berisi tentang pengembaraan Syech Amongraga, salah satu dari tiga putra-putri Sunan Giri. Dalam perjalanan spiritual setelah mengalami kekalahan dari Pangeran Pekik. Kudapan ini disebut-sebut disajikan sebagai hidangan dalam pernikahan kerajaan Mataram Islam pada ketika itu.

Naskah tersebut juga menyebutkan geplak Bantul sebagai kudapan yang dapat ditemukan di banyak tempat di Yogyakarta beserta cara membuatnya. Khususnya di Bantul.

Secara geografis, wilayah Bantul berada di dataran rendah, sehingga daerah ini sangat cocok untuk tanaman kelapa. Pada saat itu pun lahan di daerah Bantul lebih banyak ditanami Tebu.

Ada sekitar enam pabrik gula yang ada di daerah Bantul saat itu, tapi saat ini hanya satu saja yang masih beroperasi, yaitu pabrik gula Madukismo. Ini merupakan sebuah pabrik gula terbesar di Asia Tenggara pada awal Republik Indonesia ini berdiri.

Karena melimpahnya bahan baku kelapa dan tebu, sehingga terciptalah geplak khas Bantul-Jogja. Pada zaman dahulu masyarakat setempat menjadikan geplak sebagai makanan utama pengganti beras. Pada saat paceklik, warga biasa mengonsumsi geplak sebagai makanan pokok.

Geplak Srihardono Bantul
Tampilan lain geplak yang diserut daging kelapanya. Foto : Pemda Bantul

Waktu berjalan, kini geplak Bantul lebih dikenal sebagai makanan kecil sekaligus oleh-oleh khas Bantul dan Jogja. Produksinya juga semakin banyak. Hal tersebut karena banyaknya bahan pembuat geplak, yaitu daging kelapa serta berlimpahnya lahan tebu yang diolah untuk menjadi gula.

Pada mulanya, geplak Bantul hanya dapat dibuat menggunakan gerabah yang berasal dari Kasongan. Tempat ini hingga sekarang merupakan penghasil gerabah di Yogyakarta.

Namun, karena gerabah yang digunakan dalam suhu tinggi hanya mampu bertahan empat hari, kemudian diganti menggunakan kenceng. Kenceng yang dipilih pun bukan sembarangan, yakni berasal dari tembaga yang diproduksi di Kotagede, Yogyakarta.

Dalam perkembangannnya kemudian, makanan khas Bantul tersebut lebih terkenal sebagai oleh-oleh khas Yogyakarta dengan rasa manis. Konon rasanya lebih nikmat dan lezat ketika menikmati geplak selagi masih panas.

Pada masa awalnya, geplak Bantul hanya memiliki dua warna, yaitu jika menggunakan gula pasir warna geplak akan putih dan jika menggunakan gula jawa maka warnanya akan coklat. Namun sekarang telah banyak variasinya warna antara lain, merah, kuning, coklat, hijau, dan putih.

Geplak Bantul telah mengalami banyak perubahan, sejak pertama dibuat pada abad ke-19 hingga 1960. Pada tahun itu, geplak Srintil disebut-sebut sebagai yang masih autentik dan sama persis dengan kudapan Kerajaan Mataram Islam pada saat itu. Namun, kini geplak Srintil hampir tak lagi dapat dijumpai. Warnanya yang kurang menarik dan kurang variasi membuat geplak autentik ini berangsur-angsur hilang.

Begitupun masyarakat Bantul terus memproduksi geplak. Produksi kelapa dan gula yang melimpah membuat ketika menjadi kudapan gula dan kelapa tersebut mempunyai nilai tambah. Terlebih lagi pembuatannya termasuk sederhana.

Toko Geplak Kelurahan Balbaplang Bantul
Toko Geplak Mbok Tumpuk di Palbaplang, Bantul. Foto: dok. Kelurahan Palbaplang Bantul

Bahan-bahannya terdiri dari tepung ketan, kelapa parut, gula pasir, minyak cengkeh, air putih, dan garam. Untuk membuat geplak diperlukan peralatan berupa baskom (untuk membuat adonan), parutan kelapa, mangkok, panci untuk memasak, sothil untuk mengaduk, cetakan geplak, kompor atau onglo arang, dan tampah atau nyiru yang dipergunakan untuk mengangin-anginkan geplak ketika sudah matang.

Saat ini kabarnya gula yang dipakai bukan lagi gula lokal Madukismo, satu-satunya pabrik gula yang masih tersisa di Bantul. Yang dipakai hanya gula tebu yang warnanya putih bersih. Pasalnya, kalau gula tebunya berwarna kelabu, warna geplaknya pun ikut menjadi kelabu. Sebagai makanan menjadi kurang menarik meskipun enaknya sama saja.

Sesuai perkembangan zaman, kini rasa dari geplak pun tidak hanya gurih dan manis namun sudah bervariasi. Rasanya ada yang durian, strawberi, coklat, juga lainnya. Geplak Bantul sangat mudah mudah diperoleh di pusat kota Bantul, pusat oleh-oleh di kota Jogja, terminal, dan di pasar-pasar.

Meski tampak sederhana, soal rasa tak perlu diragukan. Rasa manis dan legit geplak dapat membuat ketagihan. Geplak ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Yogyakarta pada 2018.

agendaIndonesia/berbagai sumber

*****

Berlian Martapura, Berkilau Sejak Abad 16

Berlian Martapura, Kalimantan Selatan, adalah produk perhiasan terbesar di Indonesia. Foto: dok. BUkalapak

Berlian Martapura adalah salah satu permata kekayaan Indonesia yang moncer hingga ke pelosok dunia. Berjarak sekitar 40 kilometer atau kurang lebih satu jam perjalanan darat dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Martapura kondang sebagai sentra tambang dan penjualan berlian terbesar di Indonesia.

Berlian Martapura

Secara turun temurun, bisnis penambangan dan perdagangan berlian sudah menjadi bagian dari kehidupan banyak warga di sekitar tepi sungai Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, tersebut. Tak heran, kota tersebut juga kerap disebut sebagai ‘kota intan’.

Satu hal yang mungkin masih banyak orang awam belum paham soal perbedaan istilah intan dan berlian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), intan merupakan batu mulia yang berbentuk kristal dari karbon murni. Sedangkan berlian adalah intan yang telah digosok atau diasah sehingga menjadi berkilau. Singkatnya, intan adalah bahan bakunya, sementara berlian adalah yang sudah diolah.

Berlian Martapura dulunya adalah bisnis keluarga raja dan bangsawan Kasultanan Banjar.
Masjid Agung Al Karomah, landmark kota Martapura, Kalimantan Selatan. Foto: DOk. shutterstock

Tradisi penambangan dan perdagangan berlian ini bisa dirunut sejak abad ke-16, atau pada masa kesultanan Banjar. Kebetulan Martapura sempat menjadi ibu kota, dan bisnis berlian yang dikelola oleh raja, bangsawan dan tuan tanah setempat merupakan salah satu mata pencaharian yang banyak membawa kesuksesan, sehingga kesultanan Banjar meraih masa kejayaannya pada masa itu.

Setelah kedatangan Belanda dan runtuhnya kesultanan Banjar pun, warga setempat masih melakukan penambangan berlian, di samping penambangan oleh pihak swasta di masa itu. Ketika memasuki era pasca-kemerdekaan, penambangan berlian mulai berjaya lagi pada era 1950-an.

Pada 1965 ditemukan berlian seberat 166,75 karat, yang kemudian dinamakan Intan Trisakti oleh Presiden Soekarno pada saat itu. Konon katanya, hingga saat ini berlian tersebut masih menjadi salah satu yang terbesar dan termahal yang pernah ditemukan di Indonesia, harganya dengan nilai saat ini ditaksir bisa mencapai Rp 10 triliun.

Bagi warga Martapura, budaya penambangan dan perdagangan berlian ini tidak lagi hanya dipandang sebagai mata pencaharian semata, tetapi juga bagian dari tradisi dan jati diri yang diwariskan leluhur. Oleh karena itu, akhirnya pada 1970-an didirikanlah Pasar Intan Martapura.

Pasar Intan ini untuk mengakomodasi banyaknya para penambang dan pengrajin berlian yang ingin menjual hasil temuan dan kerajinannya. Selain itu juga menjadi tujuan konsumen yang datang tidak hanya dari dalam tapi juga luar negeri.

Penambangan berlian di Martapura sendiri hingga kini masih dilakukan secara tradisional. Para pendulang secara berkelompok -sekitar delapan hingga sepuluh orang, akan berusaha menyedot bagian dasar sungai, sebelum dibersihkan kembali dengan air.

Hasil sedotan tersebut kemudian disaring kembali menggunakan linggang, sebuah alat penyaring yang berbentuk mirip caping berukuran besar. Dari situlah kemudian kemungkinan akan ditemukan intan.

Intan tersebut kemudian akan digosok dan diolah menjadi berlian, yang kemudian dikemas menjadi barang perhiasan seperti cincin, kalung, liontin, anting, gelang dan sebagainya. Sebagian lainnya pun juga dijual secara mentahan.

Tak jarang, pengunjung Pasar Intan Martapura tidak hanya para wisatawan yang singgah mencari cenderamata berua perhiasan jadi, tetapi juga pedagang maupun pengrajin yang mencari berlian utuh untuk kemudian diolah dan dijual kembali lebih mahal.

Memang, di pasar ini harga berlian serta barang kerajinannya berkisar antara ratusan ribu hingga ratusan juta rupiah. Ini tergantung pada keunikan dan kelangkaannya, sehingga produknya tak bisa dikatakan murah.

Namun, harga yang dipatok disebut masih lebih murah ketimbang harga di tempat-tempat lain, apalagi berlian Martapura serta kerajinannya disebut punya kualitas yang bagus dan bahkan mampu bersaing dengan berlian impor buatan Eropa.

Adapun karakteristik berlian buatan Martapura cenderung berbeda dari berlian impor. Ini jika disinari tidak memancar seterang berlian impor yang punya tingkat keterbiasan lebih tinggi. Ini disebabkan proses penggosokan berlian di sini notabene masih dilakukan secara tradisional.

Begitupun, nyatanya hal tersebut justru menjadi daya tarik dan keunikan tersendiri bagi banyak orang. Maka wajar bila berlian Martapura juga diburu oleh pedagang, turis dan kolektor manca negara seperti dari Singapura, Malaysia, Myanmar, India hingga Afrika Selatan.

Pasar Intan Martapura sejak dulu hingga kini berada di Jalan Ahmad Yani. Lokasinya berada persis di pinggir jalan, berdekatan dengan Masjid Agung Al-Karomah, sehingga mudah untuk ditemui. Hingga kini, tercatat setidaknya sekitar 80-an toko berjualan di pasar ini.

Sehari-hari, pasar ini selalu dipadati pengunjung dengan perkiraan 10 ribu orang per hari, namun angka ini bisa melonjak hingga 20 ribu orang per hari pada akhir pekan dan hari libur. Pada perkembangannya, selain menjajakan berlian dan kerajinannya dari hasil olahan sendiri, pasar ini kemudian juga menjual beragam jenis batu mulia lain, bahkan yang datang dari luar negeri, seperti zamrud, ruby, giok, mutiara, safir, opal, topaz dan lain-lain.

Yang juga perlu menjadi catatan, dengan kesadaran dewasa ini akan adanya ancaman pemalsuan batu mulia, kini di Martapura juga terdapat Lembaga Pengembangan dan Sertifikasi Batu Mulia (LPSB). Lembaga ini turut membantu menjaga dan menjamin keabsahan batu berlian serta batu mulia lainnya yang diperjualbelikan. Siapapun konsumen yang hendak membeli barang-barang kerajinan berlian Martapura dapat memeriksa dan memastikan bahwa barang yang dibelinya asli.

Sudah pernah ke Martapura? Ayo agendakan jalan-jalan ke Kalimantan Selatan dan beli berlian Martapura.

agendaIndonesia

*****

2 Hari Berlibur di Jember

Pantai Jember

2 hari berlibur di Jember apa saja yang bisa dikunjungi dan dilakukan? Kota di Jawa Timur ini praktis mulai ramai dibicarakan publik setelah ada penyelenggaraan Jember Fashion Carnaval (JFC). Namun, sebagai kota pariwisata ia belum banyak dilirik.

2 Hari Berlibur di Jember

Dari ukuran kotanya sendiri, Jember termasuk kota yang besar di provinsi ini. Ia dikenal sebagai kota perdagangan. Dan sesungguhnya kota ini mempunyai sederet atraksi untuk dikunjungi, mulai dari kebun kopi, pantai, museum, dan kampung wisata. Tentu, ia akan sangat menarik jika dikunjungi saat berlangsungnya JFC. Namun, di sela-sela menyaksikan karnaval, ada sejumlah spot yang bisa dinikmati pula. Berikut kunjungan yang bisa dilakukan wisatawan jika berkesempatan datang ke sini.

Hari 1: Kebun Kopi dan Pantai

Coffee Cacao Science and Techno Park

Setelah menempuh perjalanan 200 kilometer dari Surabaya, mungkin pagi bisa dimulai dengan menikmati suasana pedesaan sambil belajar tentang kopi dan cokelat. Untuk ini pilihannya adalah ke Desa Kaliwining, Rambipuji, sekitar 18 kilometer dari pusat kota. Nama tempatnya Coffee Cacao Science and Techno Park, atau lebih dikenal dengan institusi yang menaunginya, Puslitkoka atau Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.

Untuk ikut tur ke kebun kopi dan cokelat, juga fasilitas pengolahan kedua komoditas tersebut, setiap pengunjung dikenakan biaya Rp 10 ribu. Berkonsep eduwisata, peserta tur mendapat info tentang bermacam proses dalam pemanfaatan kopi dan kakao, dari hulu sampai hilir. Di pengujung tur, pengunjung dapat menikmati langsung hasil olahan akhir berupa aneka produk kopi dan cokelat yang dijual di kafetaria. Coffee Cacao Science and Techno Park juga menyediakan guest house yang dapat disewa pengunjung untuk menginap dan merasakan hawa segar perkebunan lebih lama.

Pantai Payangan

Puas menikmati perkebunan, wisatawan bisa bergerak ke daerah pantai yang cukup digandrungi, yakni Pantai Payangan. Berlokasi sekitar 36 kilometer dari pusat kota, tepatnya di Desa Sumberrejo, Kecamatan Ambulu. Pantai ini diapit dua bukit sehingga memunculkan perairan yang menyempit. Itulah andalan utama Payangan, atau yang dikenal Teluk Love, karena bentuknya menyerupai hati. Titik terbaik untuk melihat teluk ini berada di bukit sisi timur yang oleh warga sekitar dinamai Bukit Domba. Menyaksikan nelayan melaut di sore atau pulang di pagi hari juga menjadi tontonan yang menarik. Tempat terbaik untuk menyaksikan matahari terbenam ada di bukit sisi barat yang dinamai Bukit Seribu Janji.

Pantai Pancer

Di jajaran Pantai Payangan, ada Pantai Pancer yang tidak boleh dilewatkan. Berada di Kecamatan Puger, sekitar 40 kilometer barat daya dari pusat kota, dari Payangan sekitar 25 kilometer. Di sore hari akan tampak keindahan matahari terbenam, di atas deretan pemecah ombak. Atraksi kapal nelayan melawan ombak saat melaut juga menjadi daya tarik tersendiri.

Tak jauh dari Pantai Pancer, terdapat TPI Puger yang berfungsi sebagai pasar ikan. Kumpulan kapal nelayan yang bersandar juga menjadi obyek yang menarik. Selain itu, di sini terdapat tempat pembuatan kapal nelayan. Tidak ada tiket masuk untuk dua obyek wisata ini.

Hari Kedua: Museum Tembakau dan Kampung Wisata


Museum Tembakau

Hari kedua, dimulai dari pusat kota. Dimulai dengan mengunjungi Museum Tembakau. Jember dikenal sebagai kota tembakau karena si daun emas tersebut telah lama menjadi denyut utama perekonomian setempat. Museum berada di Jalan Kalimantan Nomor 1, menyatu dengan kantor pemiliknya, UPT Pengujian Sertifikasi Mutu Barang dan Lembaga Tembakau. Nama resminya adalah Tobacco Information Center (TIC). Didirikan sebagai sarana edukasi dan wisata bagi masyarakat.

Pengunjung dapat melihat berbagai koleksi museum, seperti aneka peralatan yang dipakai untuk pengolahan pra dan pascapanen, miniatur gudang pengeringan, dan sejumlah dokumentasi industri tembakau Jember di masa lalu. Beberapa contoh produk diversifikasi tembakau selain rokok dan cerutu dihadirkan, seperti parfum, pestisida alami, dan minyak tembakau. Pengunjung tidak dipungut biaya, museum dibuka dari Senin sampai Jumat, pada pukul 09.00-11.00. Namun, jika ada pengunjung yang datang sebelum jam kantor usai, yakni pukul 16.00, masih tetap akan dilayani.

Kampung Wisata Tanoker

Anomali dengan hawa panas Jember yang mendominasi, kampung wisata ini berada di kaki Gunung Raung yang sejuk. Tempat ini berada 46 kilometer arah timur pusat kota, tepatnya di Desa Ledokombo, Kecamatan Ledokombo. Selain menikmati hawa sejuk khas perdesaan, pengunjung bisa mengikuti berbagai kegiatan berbasis permainan tradisional, seperti polo lumpur dan egrang. Bahkan kampung ini telah tujuh kali mengadakan acara tahunan Festival Egrang yang mampu menyedot wisatawan lokal, nasional, bahkan internasional.

Nama Tanoker dicuplik dari bahasa Madura, suku yang banyak tinggal di sini, artinya kepompong. Ini sesuai dengan sasaran utamanya, yaitu anak-anak dan remaja, walaupun dewasa juga bisa ikut menikmati. Pemberdayaan anak-anak sekitar, yang kebanyakan orang tuanya bekerja sebagai TKI atau buruh, juga menjadi ide pengambilan nama kampung wisata ini. Selengkapnya tentang Tanoker bisa dilihat di www.tanoker.org.

Kafe Kolong

Kembali ke pusat kota, mungkin Anda ingin menikmati suasana malam di kota ini. Belum banyak pilihan, tapi bolehlah mampir ke Kafe Kolong di Jalan Mastrip. Sesuai dengan namanya, kafe ini berada di bawah Jembatan Bedadung, dan inilah yang membedakannya dengan tempat nongkrong lain sekaligus menjadi daya tarik utama. Pengunjung Kafe Kolong sebagian besar anak muda Jember, seperti halnya anak muda di kota lain, yang gemar menghabiskan waktu malam bersama teman sebaya.

Kafe ini wujud ide kreatif pemiliknya mengubah kolong jembatan yang identik dengan kesan kumuh dan negatif menjadi destinasi rekreasi. Sebelumnya, tempat ini sering digunakan untuk membuang sampah, mabuk-mabukan, mesum, dan lain-lain. Kini kafe yang berdiri pada 2012 ini setiap malam selalu ramai. Beragam kegiatan nonformal juga sering digelar di Kafe Kolong.

Rita N./Alfian/Dok. TL

******

Wayang Ental Bali, Unik Setinggi 1 Meter

Wayang Ental Bali, wayang kontemporer dari ujian akhir mahasiswa ISI Bali. Foto: Kura Kumara Agung

Wayang Ental Bali pasti belum sepopular wayang kulit, wayang golek atau bahkan wayang potehi. Meskipun sama-sama wayang, wayang ental memang baru muncul belakangan dibanding saudara-saudaranya yang lain.

Wayang Ental Bali

Wayang memang dikenal sebagai salah satu kebudayaan khas Indonesia yang sudah lahir sejak beberapa abad lalu. Setiap daerah bahkan memiliki jenis wayang yang berbeda-beda, seperti wayang kulit dari Yogyakarta dan Solo, wayang golek dari Jawa Barat, hingga wayang orang dari Jawa Tengah.

Dari beberapa jenis wayang di Indonesia, muncul satu wayang kontemporer baru yang cukup unik dari Bali yaitu wayang ental. Bisa dibilang wayang ental merupakan inovasi terbaru dalam dunia pewayangan.

Wayang Ental Orang orangandari Daun Ental Disbud Denpasar
Pertunjukan wayang ental Bali. Foto: Kuta Kumara Agung

Dari segi pembuatannya, wayang ental Bali berbeda dari wayang pada umumnya, yakni yang ini terbuat dari daun lontar. Sedangkan dari segi bentuk, wayang kontemporer dari Bali ini memiliki berbentuk tiga dimensi dan memiliki jenis dan gaya pergelarannya tersendiri.

Wayang ental Bali didesain khusus menampilkan badan fisik wayang secara utuh. Mulai dari tangan, kaki, hingga kepala yang semuanya dapat digerakkan. Sangat berbeda dengan wayang pada umumnya yang hanya menampilkan bentuk mini dan digerakkan pada tangannya saja.

Selain bentuknya yang tiga dimensi, wayang ental Bali juga dibuat berukuran jauh lebih tinggi dibandingkan wayang pada umumnya. Biasanya wayang ental memiliki tinggi 1 meter dengan lebar 30 cm. Salah satu keunikan dari wayang ental terdapat pada ekspresi wajah dari setiap tokoh pewayangan.

Wayang ental lahir dari pemikiran kreatif I Gusti Made Dharma Putra pada 2016. Wayang ental ini sesungguhnya pertama kali dibuat Dharma dalam rangka tugas akhir kelulusannya di Institut Seni Indonesia (ISI) Bali.

Pada awal pembuatannya, wayang ental Bali ini tidak langsung berbentuk tiga dimensi, namun dua dimensi. Barulah pada 2018 wayang ini berubah bentuk menjadi tiga dimensi.

Gusti Made Dharma Putra mengaku bahwa pembuatan wayang ental terinspirasi dari teknik permainan Bunraku dari Jepang. Kemudian teknik tersebut dikombinasikan dengan gaya wayang tradisional Bali, Tetikesan.

Secara desain, wayang ental dibuat dengan menyerupai manusia, yang menggabungkan teknik ulatan sumpe dan ulatan Jepang dalam pembuatannya. Ulatan adalah ekspresi wajah yang digunakan dalam membentuk wayang.

Wayang Ental Bali Antara News
Wayang Ental digerakkan oleh dua orang. Foto: Milik AntaraNews Bali

Selain itu, perbedaan antara bunraku dan wayang ental terletak pada bahan bakunya. Jika bunraku menggunakan tiga helai daun lontar, wayang ental hanya menggunakan dua helai saja

Dalam sekali pagelaran wayang ental dilakukan dengan durasi 45 menit. Kalau wayang pada umumnya dimainkan oleh satu orang dalang dengan pencahayaan khusus, wayang ental tidak demikian. Untuk memainkan wayang ental harus digerakkan oleh dua orang dalang.

Salah seorang dalang bertugas memegang bagian kaki wayang, sedangkan satu lagi menggerakan bagian kepala dan tangan wayang ental. Kedua dalang tersebut harus berkomunikasi selama pertunjukkan berlangsung agar wayang ental bisa bergerak selaras. Selama pertunjukkan dalang juga tidak diperbolehkan untuk bergerak berlebihan agar fokus penonton tetap pada wayangnya saja.

Pembeda wayang ental dari jenis wayang pada umumnya juga terletak pada pagelaran yang berlangsung. Tak seperti wayang kulit yang ditampilkan di belakang kelir, wayang ental sebaliknya. Dalam setiap pagelarannya wayang ental ditunjukkan tampak badan wayang secara utuh, serta bisa bergerak dari tangan, kaki, dan kepala.

Sebagai pelengkap, dalam setiap pagelaran wayang ental biasanya ditambahkan juga tarian pendukung alur cerita. Tarian ini bertujuan untuk menyuguhkan sebuah pementasan wayang yang menarik dan berbeda dari umumnya.

Total, dalam satu pagelaran wayang ental dibawakan oleh 20 seniman, mulai dari penggerak wayang (dalang), penari, hingga pembaca kisah.

Tokoh dan cerita dalam wayang ental juga tidak biasa. Jadi tidak hanya dari bentuk dan cara mainnya yang unik, dari segi penceritaan dan penokohan wayang ental juga memiliki perbedaan dari wayang pada umumnya. Pada pagelaran wayang umumnya nama-nama tokoh yang digunakan merujuk pada cerita Mahabharata.

Sedangkan, pada wayang ental nama tokoh menyesuaikan dari cerita yang akan dimainkan. Sejauh ini total ada delapan tokoh wayang ental yang telah dipentaskan, yakni tokoh Sutasoma, Purusdha, Dasabahu, Mredah, Delem, Sangut, Tualen, serta satu buah kayonan.

Inovasi dalam pagelaran wayang ental ini diharapkan dapat menarik minat para generasi muda pada seni pewayangan. Harapannya pecinta wayang di Indonesia terus bertambah dari hari ke hari.

agendaIndonesia/kemenparekraf

*****

Menikmati Kemacetan Jakarta Dari Lantai 14

Skyloft Jakarta

Menikmati Kemacetan Jakarta? Bagaimana caranya bisa melakukan itu sambil ngobrol santai dengan teman dan makan camilan yang enak? Dari Lantai 14 sebuah hotel, sore hari dengan suguhan pemandangan khas Jakarta dengan menu lokal yang berlimpah.

Menikmati Kemacetan Jakarta

Menikmati Jakarta yang macet di sore hari? Kenapa tidak? Masalah Ibu Kota yang satu ini sesekali bisa dijadikan “teman” menghabiskan sore atau malam hari. Ada banyak pilihan, tapi kali ini saya dan rekan-rekan memilih All Seasons Thamrin, hotel bintang tiga yang berada di Jalan Teluk Betung Nomor 2, Jakarta. Di lantai 14, lantai tertinggi bangunan ini, terdapat Skyloft, resto dan bar dengan pemandangan gedung-gedung tinggi khas kota besar di sekelilingnya. Di depannya ialah Jalan Sudirman-Thamrin yang kental dengan deretan kendaraan setiap harinya. Kala mentari menuju peraduan, tetamu pun mendapat suguhan khas. Mempersembahkan sebuah sore atau malam yang cukup menggoda tentunya!

Rooftop resto & bar ini terbagi menjadi dua bagian, sebagian besar berupa ruang tertutup tapi dengan dinding-dinding kaca, sehingga para tamu pun leluasa memandang langit dan gedung-gedung di sekitar. Bila ingin merasakan kenyamanan khas ruangan dengan mesin pendingin ruangan, tentunya pilih ruang yang tertutup. Suasana luar tetap bertangkap, sedangkan kehangatan dari ruangan dengan dominasi warna cokelat itu tetap bisa diresapi. Saya dan rekan-rekan, karena ingin menikmati sore, memilih di luar.

Bagian luar belum lama ditata ulang. Semula sofa panjang berbentuk L memenuhi tepian ruangan dan di pojok lain ada model kursi bar yang tinggi dengan meja yang mungil. Kini sofa berwarna terang itu tak terlihat lagi, berganti dengan furnitur kayu yang memunculkan kesan rustic. Kursi bar diganti dengan kursi kayu yang simpel dan di langit-langit pun berhiaskan potongan kayu yang dirangkai bak sebuah karya seni.

“Tema desain baru ini back to nature, jadi lebih banyak menggunakan material kayu,” papar Nicodemus Deissen, Digital Marketing Coordinator All Seasons Thamrin. Ia menambahkan, untuk bagian ruang luar tersebut, pihak all seasons menggunakan jasa Larc Studio Bandung dengan desainer Ogi. Lewat konsep kembali ke alam, ruang luar pun terasa lebih hangat.

Menunya pun tak kalah menghangatkan perut di malam hari. Semisal sop buntut dan soto Lamongan. Selain itu, ada bebek lombok ijo dan nasi goreng Skyloft. Atau boleh juga nasi kuning plus udang rendang dengan buncis dan keripik ubi ungu. Menu Indonesia banyak menjadi favorit, bisa jadi karena pihak lembaga pemerintahan kerap menggelar rapat di sini. Acara kumpul-kumpul di sini pun tak kalah sering, termasuk arisan—kegiatan khas kaum perempuan. Paket menu tersebut umumnya dipatok dengan kisaran Rp 125-200 ribu.

Deissen menyebutkan, sebanyak 60 persen tamu Skyloft bukanlah tamu hotel. Pada Jumat malam, tempat duduk banyak dipenuhi kaum muda yang ingin kongko, melepas penat setelah berkutat lima hari kerja. Selain itu, di sini beberapa kali diadakan acara spesial. “Bisa berupa romantic dinner, kadang baby shower, atau wedding shower,” ia memaparkan. Kapasitas Skyloft nyaman sekitar 100 orang, tapi maksimal bisa juga hingga 120 orang.

Buat yang kongko, tentunya ada pula hidangan ringan berupa sandwich. Seperti Rouben sandwich, roti panggang dengan kol, daging sapi, dan keju yang dipadu dengan saus thousand island. Atau bisa juga pilih roti burger ala Hawaii yang dipadu dengan kentang goreng. Selain itu, ada ragam pasta dan piza yang bisa dimakan beramai-ramai. Yang unik di antaranya berupa piza bebek yang dibubuhi keju mozarella. Sedangkan untuk penyuka hidangan internasional, ada beef tenderloin, char grilled granted Australian rib eye. Mau olahan dari ikan? Coba cicipi red snapper pesmol, alias pesmol kakap merah, yang dipadu unik dengan perkedel kental. Hidangan dalam mangkuk besar ini dipatok Rp 165 ribu.

Bila ingin mencicipi buffet, tersedia tema khusus pada hari tertentu, semisal untuk Selasa dan Kamis, giliran suguhan ala Mediterania yang dimunculkan. Tentunya menu tersedia mulai sarapan, karena sebagian tamu adalah yang menginap di hotel. Namun, karena terdapat bar, Skyloft pun beroperasi hingga lewat tengah malam. Jadi tersedia pilihan, bisa menikmatinya di pagi, siang, atau sore hari menjelang malam seperti saya dan kawan-kawan.

  • Liputan sebelum masa Pandemi Covid-19

Rita N./Rully K./Dok. TL