Nasi Bali selalu menarik untuk sarapan hingga makan malam.

Nasi Bali, siapa yang tak meneteskan air liur jika mengingatnya. Setiap kali ada tawaran liburan lagi ke Bali? Ehmmm… pikiran rasanya langsung berpikir, saatnya memanjakan perut. Bisa menikmatinya sambal tetap sembari leyeh-leyeh di tepi pantai atau di tengah kesejukan. Bisa ketika blusukan ke pasar.

Nasi Bali

Banyak pilihan yang halal sehingga siapa pun bisa menjajal. Bila tiba di Bali masih pagi atau sebelum pukul 12.00 waktu setempat, dari Bandara Ngurah Rai wisatawan bisa langsung menuju kawasan wisata Sanur.

Ada dua pilihan, tapi di jalan yang berbeda. Salah satunya ialah tidak jauh dari titik keberangkatan speedboat menuju Nusa Lembongan, Ceningan atau Penida. Tepatnya di Jalan Hang Tuah.

Plang Rumah Makan Mak Beng tampak jelas. Buka pukul 08.00 hingga pukul 21.00, tapi keramaian terjadi saat makan siang. Jadi sebaiknya pilih di luar waktu tersebut. Hanya dua menu yang disodorkan oleh Mak Beng yang memulai usahanya pada 1941. Ikan goreng dengan sambal dan sup ikan.

Hanya dua, tapi tidak pernah membosankan. Buktinya, antrian selalu terlihat, apalagi pada musim liburan. Satu paket sup ikan yang cukup bening dan segar serta ikan goreng plus nasi dan sambal dipatok Rp 55 ribu. Supnya saja sekitar Rp 35 ribu. Demikian juga ikan gorengnya. Belum termasuk minuman.

Pesanan biasanya akan datang dengan cepat: sup ikan, ikan goreng, nasi, dan sambal plus es jeruk. Beberapa kali terdengar teriakan orang meminta tambahan ikan goreng dan nasi. Saya melihat para pria dengan keringat bercucuran.

Dengan penuh semangat mereka menyuap ikan goreng yang garing plus sambal dan disusul menyeruput sup ikannya. Ehmmm… kenikmatan luar biasa yang mereka rasakan tentunya! Bayangkan ikan segar hasil tangkapan teranyar para nelayan ditambah sambal yang pedas.

Kawasan Sanur yang terkenal dengan keindahan mentari terbitnya tak hanya menawarkan olahan ikan ala Mak Beng. Di Jalan Segara Ayu ada warung sederhana lain yang juga diburu turis.

Nasi Bali bisa ditemui di Men (Ibu) Weti di sekitaran Sanur.

Berlokasi tak jauh dari pantai, warung Men (Ibu) Weti hanya terdiri atas satu meja yang penuh dengan beberapa baskom besar. Isinya tak lain ialah sayuran, telur, sambal, ayam suwir, dan lain-lain yang merupakan perpaduan sajian nasi campur Bali.

Hati-hati jika saat mampir ke sana terlalu siang. Biasanya sebagian baskom sudah kosong. “Tapi masih ada sambalnya, jadi masih enak lah,” ucap seorang bapak yang rupanya juga harus menerima nasib hanya kebagian sisa sajian hari itu.

Padahal, sejatinya, menunya berlimpah, seperti ayam betutu, ayam goreng, urap, sate lilit, kerupuk kulit ayam, ikan laut, dan telur. Tentunya semua jenis menu itu ditambahkan sambal khas Bali. Satu porsi cukup ditebus dengan kisaran Rp 15 ribu. Harga juga bergantung pada pilihan lauknya.

Meski Men Weti dengan usia 60-70- an tahun masih hadir di warungnya, ia tak lagi melayani pembeli karena sudah digantikan anaknya. Namun ia tetap membuat olahannya sendiri.

Sebaiknya datang sebelum pukul 12 karena banyak diburu untuk menu sarapan. Lagi pula warung dibuka mulai pukul 6 pagi. Jadi, sebaiknya, bila berada di Sanur, pilih sarapan di warung Men Wati, kemudian makan siang nasi Bali di Mak Beng.

Setelah bersantai, saat mulai gelap, terbit keinginan melaju ke Denpasar. Terbayang pada nasi jinggo. Awalnya disebut “jenggo” karena harganya Rp 1.500. Dalam bahasa Hokkien memang “jeng go” berarti 1.500. Kini harganya dua kali lipat alias pada kisaran Rp 3 sampai 5 ribu. Bungkusannya kecil, karena isinya sekepal nasi ditemani mi, suwiran ayam, dan sambal.

Nasi Bali ada yang dijual model bungkusan seperti sego kucing di Yogya, namanya sego Jenggo.

Paling tidak begitulah yang ditemukan di Jalan Gajah Mada. Pengunjung bisa bersua dengan sang penjaja, Lengkong. “Ibu saya mulai berjualan pada 1980-an,” ucap pria berumur 30-an. Lokasi dagangnya tidak berpindah, yakni di ujung Gang VI/BEJ. Yang ditawarkan sebenarnya merupakan hasil olahan orang lain.

Awalnya, sang ibu hanya menjual 25 bungkus hingga masa puncaknya 250 bungkus. Pria kurus itu menyebutkan buka mulai pukul 19 hingga pagi. Bermodal meja dan dua wadah besar dari bambu untuk memisahkan yang pedas dan yang tidak pedas.

Dua porsi nasi campur super sederhana akhirnya membuat perut saya terasa penuh. Kebanyakan pelanggan membawanya pulang. Namun tidak jauh dari ujung gang tempat Lengkong berdiri ada pula nasi jinggo dengan gaya lesehan bagi para pembeli yang ingin makan di tempat.

Hari berikutnya petualangan mencicipi sajian kuliner masih berlanjut. Berniat menikmati kesejukan, pilihan berikutnya adalah Ubud. Sengaja berangkat sedari pagi, memang berniat sarapan nasi kadewatan Ibu Mangku.

Berada tepat di depan Pura Kadewatan, di Jalan Raya Kadewatan, pengunjung akan  disambut dengan gamelan khas Bali. Ada pilihan sajian berderet di balik kaca. Cobalah memilih nasi campur seharga Rp 20 ribu dan makan lesehan di balai-balai di tengah taman.

Sambil menunggu hidangan, pengunjung bisa menelusuri taman hingga menemukan dapur terbuka dengan kuali superbesar dengan aroma cabai yang benar-benar menggoda. Dua wanita sibuk membuat olahan sambal dan ayam suwir.

Pada awal usaha pak Mengku berjualan berkeliling bersama dengan istrinya pada masa penjajahan. Ia tetap mempertahankan rasa dan tidak berniat menjual tambahan di luar yang berbahan ayam dan sayuran. Hanya karena banyak wisatawan asing yang tak terlalu suka masakan pedas, tingkat kepedasannya yang diturunkan.

Nah, kapan ke Bali lagi? Ayo agendakan buat sarapan nasi Bali yang enak.

agendaIndonesia

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi