
Sate Gebug Malang tak ada hubungannya dengan perkelahian, meski namanya menyiratkan itu. Ini adalah warung makan dan kulinari legendaris di kota di jawa Timur tersebut. Usianya telah melewati satu abad.
Sate Gebug Malang
Nama tempat makannya Warung Sate Gebug. Di muka warung ada semacam spanduk kain dengan tulisan, salah satunya angka 1920. Rupanya ini merupakan pernyataan bahwa mereka sudah buka sejak tahun tersebut. Sate Gebug di Malang ini memang memiliki usia lebih dari 100 tahun karena berdiri sejak 1920. Mereka mampu bertahan selama berpuluh tahun lamanya, sehingga tempat makan di Malang ini memiliki pelanggan beragam dan datangnya dari berbagai kota di Indonesia. Dari awal buka, Sate Gebug belum pindah tempat sama sekali.
Warung sate legendaris itu berada di Jalan Jenderal Basuki Rahmat 113 A, Malang, Jawa Timur https://www.agendaindonesia.com/bakwan-malang-1-nama-berasosiasi-ke-2-jenis-makanan/. Dilihat dari luar, warung berukuran sekitar 7 X 8 meter itu tidak berbeda jauh dengan warung-warung pada umumnya. Perbedaan baru akan dilihat jika sudah masuk ke dalamnya.
Rupanya bangunan warung ini mengalami sedikit tata letak. Awalnya rumah atau ruang aslinya hanya berukuran 3X3 meter yang posisinya ada di dalam. Itu adalah bekas bangunan peninggalan Belanda. Pada mulanya bangunan “di dalam” warung inilah yang menjadi tempat berjualan.
Seiring berjalannya waktu, warung itu melengkapi dirinya dengan semacam teras untuk pengunjung menikmati makanan yang mereka pesan. Bangunan di dalam warung itu yang dijadikan tempat untuk meracik masakan yang disajikan kepada pengunjung. Belakangan teras itu pun menjadi bangunan tersendiri. Itulah sebabnya bangunan awal warung itu tidak tampak dari luar. Bangunan awal pada warung itu sudah ditetapkan menjadi cagar budaya.
Adalah pasangan suami istri Yahmon dan Karbuwati, keduanya kini sudah meninggal, yang pada 1920 membeli bangunan tersebut dari pemiliknya yang merupakan orang Belanda. Pemilik aslinya menggunakan bangunan itu sebagai tempat penjualan es. Pada akte bangunan yang bertahun 1910, memang disebut itu adalah toko es batu. Setelah dibeli, Yahmon sekeluarga lantas menggunakannya untuk berjualan sate.
Lalu apa yang khas dari warung sate ini? Secara umum mereka berjualan empat menu utama yang semuanya berbahan baku daging sapi, yaitu sop, soto, rawon dan sate gebuk. Semuanya enak, namun yang istimewa adalah sate sapi gebuknya. Cita rasa yang khas dari satenya membuat warung itu terus mendapat banyak pelanggan. Saat ini warung tersebut sudah dikelola oleh generasi ke-3.
Sate di sini tidaklah dibuat dengan cara memotong-motong dadu daging sapinya. Namun daging sapi dipotong agak besar dan diiris agak melebar. Lantas, nah ini istimewanya, dagingnya lantas “digebugi” atau mungkin lebih tepat digepuki dengan kayu ulekan untuk sambel. Digepuki secara perlahan untuk melepaskan jaringan otot yang mungkin terikut di daging. Proses penggepukan inilah yang membuat satenya menjadi lebih empuk.
Setelah digepuki, dagingnya menjadi pipih seperti daging dendeng. Seluruhnya lantas direndam dalam ramuan bumbu. Sesudah beberapa waktu direndam, daging-dagingnya mulai ditusuki dengan lidi bambu. Terlihat besar-besar, sepintas satu tusuk yang sudah selesai mirip sate buntel dari Solo. Satu kilogram daging rata-rata bisa menjadi delapan atau sembilan tusuk saja.
Daging yang dipilih pun bukan dari sembarang bagian, tapi khusus daging has atau lulur dalam, atau sering disebut tenderloin. Bagian daging sapi yang minim lemak. Karena pilihan jenis dagingnya, warung ini konon sampai harus menggunakan empat pemasok. Kabarnya mereka memilih tidak berjualan jika tidak tersedia daging yang sesuai resep aslinya.
Sikap tersebut konon ditanamkan almarhum pak Yahmon kepada anak-cucunya. Kualitas bahan penting untuk mempertahankan mutu dan kelezatan masakan yang sudah diharapkan pelanggan. Sikap inilah yang konon membuat mereka harus mencoret salah satu menu makanan. Menu lodeh yang menggunakan lodeh tewel merah harus dihapus karena bahannya tidak ada.
Dalam sehari, warung sate ini bisa menghabiskan 20 hingga 40 kilogram daging has dalam. Biasanya, mereka buka sejak pukul 8 pagi dan tutup pada jam 4 sore. Sedangkan untuk hari Jumat dan hari besar Islam warung ini tutup.
Melihat ukurannya, sate gebuk yang masih ada lemaknya dijual dengan harga Rp 25 ribu satu tusuknya. Sedangkan sate gebuk yang tanpa lemak harganya Rp 30 ribu per tusuknya. Masakan lainnya, sop, soto dan rawon, harganya dibandrol Rp 15 ribu per mangkok.
Bagaimana, tertarik mencoba menu sate gebuk? Ayo agendakan mencobanya jika punya kesempatan mampir ke Malang.
agendaIndonesia