
Soto Kadipiro selama puluhan tahun sudah menjadi salah satu ikon khasanah kuliner Yogyakarta. Boleh dibilang, warung soto ini adalah salah satu yang tertua dan paling legendaris di kota pelajar ini.
Soto Kadipiro Yogyakarta
Soto tentu sudah menjadi makanan yang tidak asing lagi di lidah orang Indonesia. Meskipun terbagi menjadi beragam jenis pada tiap daerah di seluruh penjuru negeri, pada dasarnya soto merupakan kuliner berkuah yang dibuat dari rebusan daging bahannya.
Daging bahan baku soto bisa bermacam-macam, dari daging ayam, sapi, kambing, hingga kuda. Daging tersebut kemudian direbus dengan racikan bumbu hingga menjadi kaldu yang gurih. Soto kemudian disajikan dengan potongan dagingnya plus sayuran, seperti taoge dan kubis.
Konon, makanan ini dinamakan soto karena berasal dari istilah dialek Hokkian ‘shao du’, yang secara harafiah kurang lebih artinya ‘jeroan berempah‘. Ini merujuk kepada cara memasak daging atau jeroan dengan bumbu rempah hingga menjadi kaldu harum dan gurih.

Soto sendiri dipercaya merupakan makanan yang dibawa oleh para pendatang dari Tiongkok pada sekitar abad ke-19. Awalnya soto populer di kawasan pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, sebelum menyebar ke daerah lain dan berkembang dengan ciri khasnya masing-masing.
Salah satu soto yang sudah eksis sejak lama, bahkan dari era pra-kemerdekaan adalah soto Kadipiro. Soto ini populer dengan nama demikian karena mengambil nama daerah warung soto ini pertama kali berdiri.
Awal kemunculan soto ini berasal dari seorang penjual soto keliling bernama Karto Wijoyo. Sejak 1921, ia sudah berjualan soto keliling dengan pikulan. Barulah pada 1928 ia mampu mendirikan warung soto yang kini dikenal luas sebagai soto Kadipiro.
Hingga kini, sudah sekitar 100 tahun lebih warung soto ini melayani pembeli dan pecintanya. Setelah Karto berpulang pada 1972, operasional warung soto ini terus dilanjutkan oleh anak-anaknya dan cucu-cucunya. Hingga kini sudah generasi ke tiga bahkan ke empat soto ini menjadi dari bisnis keluarga tersebut.
Beberapa kerabat keluarga mereka pun turut mendirikan warung-warung lain bertajuk soto Kadipiro, dengan resep yang kurang lebih sama. Maka jangan heran, bila terdapat cukup banyak warung soto Kadipiro lainnya yang bertebaran di Yogyakarta.
Mungkin agak sulit bagi orang awam bisa memahami mengapa soto ini bisa begitu legendaris. Secara bahan dan pembuatannya, soto Kadipiro terlihat cukup mirip seperti soto ayam lainnya.

Warungnya yang asli pun juga cenderung tua dan sederhana, dengan papan tulisan penanda warung soto Kadipiro di bagian depan warung yang masih dipertahankan hingga kini. Rumah berarsitektur tua dengan pintu dan tiang kayunya juga sejak dulu tak banyak berubah.
Di dalamnya terdapat jejeran kursi dan meja, namun yang cukup unik adalah meja serta kursi yang menghadap langsung ke tempat penyajian soto tersebut. Karyawan yang bertugas akan menyajikan soto dari gentongnya ke hadapan pengunjung yang duduk di situ.
Berbagai keunikan serta ciri khas itulah yang bisa jadi alasan mengapa warung soto ini terus eksis dan digandrungi hingga kini. Bagi mereka yang sudah berumur banyak, warung soto ini menjadi ajang nostalgia zaman dulu, baik bersama keluarga maupun teman.
Namun, ada lagi satu keunikan soto Kadipiro yang mampu membuat yang tua selalu datang kembali dan yang muda ikut penasaran untuk mencoba. Soto ayam di warung ini beda dengan kebanyakan karena hanya dibuat dari ayam kampung.
Disebutkan bahwa penggunaan ayam kampung ini menjadikan kuah kaldu soto tersebut menjadi begitu gurih dan unik. Bahkan konon semakin banyak daging ayam yang direbus untuk menjadi kaldu, maka semakin lezat pula hasil kuah kaldunya.
Tak hanya itu, ayam yang digunakan untuk bahan baku soto ini juga selalu disembelih dan dipotong setiap pagi untuk memastikan kualitas daging selalu fresh, serta cita rasa kuah kaldu yang selalu gurih dan nikmat.
Untuk memasaknya pun masih menggunakan kuali dari tanah liat dan kayu bakar. Metode tradisional ini masih terus dipertahankan hingga kini, demi menjaga aroma dan cita rasa khas dari soto ini.
Di dalam semangkok soto ini, dapat ditemukan isian berupa potongan daging ayam, taoge, kubis, seledri dan bawang goreng. Pengunjung kemudian bisa memesan sendiri soto yang sudah dicampur atau dipisah dengan nasinya.

Sebagai teman makan soto, biasanya disediakan lauk seperti perkedel kentang, tahu dan tempe bacem, ati ampela goreng, serta sate telur puyuh. Selain itu, bisa juga meminta suwiran ayam kampung goreng dengan bawang goreng serta kecap yang menambah unik cita rasa.
Harganya pun tergolong terjangkau. Satu mangkok soto ayam campur dihargai Rp 15 ribu, sedangkan yang pisah biasanya sedikit lebih mahal sekitar Rp 3-4 ribu. Lauk-lauknya juga hanya sekitar Rp 2 ribu hingga Rp 12 ribu.
Untuk yang ingin potongan ayam kampung, harganya mulai dari Rp 12 ribu sampai Rp 21 ribu, tergantung dari bagian ayam mana yang diinginkan. Tersedia pula ragam minuman seperti teh dan jeruk panas maupun dingin, soda gembira dan es tape hijau, dengan harga mulai dari Rp 3,5 ribu.
Pada hari biasa, warung soto ini bisa menghabiskan 75 hingga 80 ekor ayam. Tetapi di kala akhir pekan, warung tersebut bisa menggunakan 120 hingga 150 ekor ayam. Tak heran, pengunjung di akhir pekan biasanya memang begitu membludak.
Sehari-harinya saja, warung soto ini normalnya buka dari jam 08.00 hingga sekitar jam 14.30. Tetapi dari setelah jam makan siang pun – sekitar jam 13.00 – sering kali soto yang dijajakan sudah laris manis terjual.
Oleh karena minat pengunjung yang tak pernah surut, warung soto Kadipiro ini umumnya selalu buka setiap hari. Terkadang warung akan tutup pada hari besar seperti Idul Fitri, namun biasanya hanya akan tutup sekitar 2-3 hari, dan setelahnya akan buka kembali.
Memang, beberapa warung soto Kadipiro yang lain di sekitar daerah itu ada yang mungkin buka lebih lama dengan stok soto lebih banyak. Tapi kalau mau mencoba nuansa dan cita rasa warung soto Kadipiro yang asli, disarankan untuk datang lebih awal agar tak kehabisan. Jika sotonya habis, biasanya di muka warung ada papan tulis kecil dengan tulisan “Soto Habis”.
Soto Kadipiro (Asli)
Jl. Wates no. 33, Yogyakarta
agendaIndonesia/Audha Alief P.
*****