Kampung Bena Flores, 9 Suku dan 45 Rumah

Kampung Bena Rosana

Kampung Bena Flores, Nusa Tenggara Timur, kampung adat yang lekat mengesankan kehidupan zaman batu atau megalitikum. Kampung ini berada di Ngada, sebuah kabupaten di tengah Pulau Flores, yang pada 1995 diakui UNESCO masuk daftar World Heritage Tentative List sebagai daerah dengan kategori kebudayaan.

Kampung Bena Flores

Di kabupaten Ngada, tradisi dan adat kental dijunjung. Masyarakat dari beragam kelompok masih eksis. Mereka terbagi atas beberapa suku. Anggota-anggota suku hidup di perkampungan adat. Salah satu yang terbesar adalah Kampung Adat Bena.

Pemgunjung jika baru pertama kali menginjakkan kaki di kampung ini, akan merasa memasuki lorong waktu dan menatap kehidupan masa lalu. Sebab, modernisasi minim sekali dirasakan. Orang-orangnya masih mempertahankan budaya lampau, penduduk yang menganut paham matrilineal itu umumnya masih mengunyah sirih pinang, melakoni aktivitas berladang, dan menenun kain tradisional.

AgendaIndonesia pernah menyusuri perkampungan adat tersebut. Inilah catatan perjalanan selama mengunjungi Kampung Bena. Perjalanan dimulai dari Kota Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada.

Perlu perjalanan darat kurang lebih 9 jam dari Labuan Bajo untuk menjangkau lokasi ini. Atau, bisa juga menggunakan jalur udara menuju Bandar Udara Soadi, dilanjutkan perjalanan darat kurang lebih satu jam.

Sepanjang 19 kilometer, hampir tak terlihat kehidupan di jalan yang menghubungkan Kota Bajawa dan Kampung Bena. Selepas perkotaan kecil, hanya hutan dan pegunungan yang tampil di kanan-kiri jalanan.

Medannya pun tak main-main. Tanjakan, turunan, dan kelokan esktrem serta-merta bisa dijumpai. Laurent (37 tahun), warga asli Bajawa, yang memberi tumpangan menuju Kampung Bena, hati-hati betul mengatur gas motornya. “Jalanan licin. Lumpur turun kalau habis hujan,” kata Laurent. Meski sedang kemarau, misalnya, cuaca Bajawa tak bisa ditebak. Wilayahnya yang terletak di dataran tinggi membuat hujan sekonyong-konyong bisa turun.

Kampung Bena Flores dengan gunung Inerie-nya

Kira-kira 30 menit setelah berjibaku dengan medan yang berliku-liku, pemandangan berubah. Kini, yang tampak adalah kantong-kantong perkampungan di lereng gunung. “Itu Gunung Inerie,” kata Laurent. Gunung Inerie tampil menjulang. Ini merupakan gunung api dengan puncak tertinggi di pulau Flores. Ketinggiannya 2.245 meter di atas permukaan laut.

Adapun perkampungan di kaki Gunung Inerie yang tampak dari sisi jalan raya adalah kampung-kampung adat. Salah satunya Kampung Bena, yang terhitung paling besar.

Laurent menghentikan laju motornya di bawah tanah lapang luas dengan pepohonan bambu di sekelilingnya. Di depan tanah lapang itu tampak sebuah permukiman dengan rumah-rumah tradisional berjajar serta berhadapan.

Inilah Kampung Adat Bena. Sebelum masuk ke kampung adat, wisatawan harus membayar tiket masuk. Biayanya Rp 25 ribu untuk turis lokal. Setelah mendapatkan tiket, wisatawan akan dipinjami ikat kepala. Ikat kepala ini wajib dipakai sebagai salah satu syarat masuk perkampungan.

Menyusuri kampung Bena, pengunjung akan merasa diapit rumah-rumah kuno nan unik. Bentuk perkampungan itu berundak-undak, seperti desa di perbukitan. Bangunan rumah penduduknya masih terbuat dari kayu beratap rumbai-rumbai.

Di sana berdiri kira-kira 45 rumah. Uniknya, keluarga yang tinggal di rumah-rumah tersebut berasal dari sembilan suku, yakni suku Bena, Ago, Dizi, Dizi Azi, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Khopa, Wahto, dan Ngada.

Pembedanya, rumah mereka dipisahkan oleh tingkatan-tingkatan. Masing-masing suku menempati satu tingkat. Tingkat paling tengah dihuni oleh suku Bena. Sebab, suku itu dianggap paling tua dan menjadi pionir pendiri kampung. Komunikasi antarsuku tersebut berlangsung menggunakan bahasa setempat, yakni Nga’dha.

Rumah-rumah di perkampungan adat dibangun dengan mempertahankan kontur asli tanah. Itulah sebabnya, bentuk kampung tersebut berundak-undak. Di ujung kampung, ada sebuah bukit kecil. Bukit itu menjadi titik kumpul masyarakat untuk berdoa dan beribadah. Di sana bersemayam patung Bunda Maria.

Patung Bunda Maria berdiri di tengah bebatuan yang ditata seperti gua. Di sekeliling gua juga terdapat batu-batu besar.

Bebatuan tak cuma bisa dijumpai di bukit. Di muka tiap rumah pun terdapat bebatuan besar dengan ujung runcing. Laurent menyebut, keberadaannya merupakan simbol pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang.

Masyarakat Kampung Adat Bena hidup mempertahankan tradisi leluhur mereka sejak zaman batu. Karena itulah kampung ini disebut kampung megalitikum.

Di beranda rumah-rumah, perempuan menggelar alat tenun bukan mesin. Setiap hari para mama—sebutan untuk perempuan sudah beristri—memintal benang dan menenunnya menjadi kain tradisional yang dipasarkan kepada wisatawan.

Tenunan itu alami. Pewarnanya berasal dari akar tumbuh-tumbuhan.

Ritus hidup masyarakat adat Kampung Bena menarik perhatian wisatawan asing. Suzanne van den Beek, warga asli Belanda, yang ditemui di Kampung Bena, mengaku tak menyangka bisa menjumpai perkampungan zaman batu di masa modern. “Ini luar biasa mengagumkan dan saya belum pernah menjumpainya sebelumnya,” tuturnya.

Kampung Bena menjadi salah satu bukti sejarah bahwa peradaban masyarakat adat yang banyak bermukim di Flores masih terus hidup.

F. Rosana

Keindahan Ungaran Dari Ketinggian 1.200 Meter

Candi gedong Songo moto moto sc unsplash

Keindahan Ungaran lebih terasa dinikmati dari ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Menikmati gumpalan awan dan mengejar matahari di dua tempat berbeda.

Keindahan Ungaran

Angin pegunungan bersilir-silir menerpa tubuh. Embusan dinginnya perlahan  mulai menusuki tulang. Namun gumpalan awan kental bak lautan di kaki Gunung Ungaran, Semarang, Jawa Tengah, berhasil mengalihkan perhatian. Bentangannya yang bergumpal-gumpal terhampar alami dan memancarkan pesona keindahan. Apalagi saat mentari pagi sudah hadir menyapa, cahayanya menerobos gumpalan awan dan menyembulkan bias jingga. Wow!

Momen seperti itu memang hanya dapat dinikmati menjelang matahari terbit, tepatnya sebelum matahari memecahkan gumpalan-gumpalan awan yang melayang. Terbayar sudah upaya saya dinihari tadi agar dapat berada di negeri di atas awan ini. Meski saya harus bergegas meninggalkan Kota Semarang jauh sebelum matahari menampakkan batang hidungnya dan ayam jago berkokok.

Mungkin akan makin lengkap rasanya jika secangkir minuman dan penganan hangat turut menemani. Namun sayang warung-warung di area parkir Wisata Alam Sidomukti belum ada yang buka. Dapat dimaklumi karena hari masih terbilang pagi buta. Sepi dan sunyi. Hanya kicau burung dan tonggeret yang terdengar.

Keindahan Ungaran dari ketinggian 1200 meter

Decak kagum tiada berkesudahan. Saya makin memahami betapa kecilnya anak manusia dibanding kemegahan alam ciptaan Sang Khalik. Tak terasa, momen indah itu begitu cepat berlalu. Matahari mulai meninggi. Gumpalan awan pun perlahan melayang dan terpisah satu sama lain. Kini, pemandangan telah berganti, tak kalah indah. Tampak rindangnya pepohonan, lembah yang curam, dan jurang yang memisahkan punggung gunung.

Menurut Fauzy, sopir yang mengantar saya, kawasan Umbul Sidomukti memang telah menjadi wisata alternatif di Bandungan, di samping wisata Candi Gedong Songo dan Bandungan. Salah satu objek yang menarik adalah kolam renang dengan dinding bebatuan alami berbentuk terasering.

Berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, ketiga kolam renang itu diapit jurang di kedua sisinya. Kolam renang terletak menonjol di tepi lereng sehingga siapapun yang sedang berendam dapat menyaksikan pemandangan luas dari kejauhan, awan berarak serta hamparan lembah dataran rendah Kota Ambarawa, Rawapening, dan sekitarnya.

Uniknya lagi, sumber utama air kolam berasal dari mata air di tengah kolam renang paling atas. Airnya jernih, sejuk, dan terasa menyegarkan saat saya menyentuhnya. Jika kolam bagian atas sudah penuh, air akan jatuh ke kolam di bawahnya. Begitu seterusnya hingga mencapai kolam ketiga yang berada paling bawah. Sementara, jika air kolam ketiga sudah penuh, air akan dibiarkan jatuh, mengalir ke kali.

Selain kolam renang, Umbul Sidomukti sebenarnya juga dijadikan sarana outbound. Permainannya terkesan menantang karena terdapat dua pilihan trek, yakni marine bridge di lembah dan rappelling menuruni lembah di sisi kolam. Sementara permainan flying fox memiliki lintasan sekitar110 meter dan menyeberangi lembah di antara dua lereng bukit.

Jalan mencapai lokasi kawasan ini memang berliku dan naik-turun. Jalan pun tidak terlalu lebar. Saat berpapasan, mobil harus saling mengalah, bergantian. Syukur, waktu dan jarak tempuh tidak terlalu lama untuk tiba di Umbul Sidomukti, Desa Sidomukti, Bandungan, Semarang. Hanya sekitar 36 kilometer dari Kota Semarang.

Matahari makin meninggi. Sebenarnya saya masih ingin berlama-lama di tempat ini. Namun keindahan Brown Canyon, yang belakangan populer di Semarang, terus membayangi. Ya, saya harus bergegas. Kini, giliran mengejar matahari tenggelam di Brown Canyon.

Ada banyak rute untuk bisa sampai ke Brown Canyon, seperti lewat Pasar Meteseh via Tembalang dan Kedungmundu atau Rumah Sakit Umum Daerah Klipang. Namun yang perlu diperhatikan adalah kendaraan yang ditumpangi. Sebaiknya, gunakan kendaraan roda empat yang memiliki ground clearance yang lumayan tinggi. Sebab, kontur jalan menuju lokasi ini merupakan jalan pedesaan yang jauh dari kata mulus dan cenderung bergelombang.

Setelah melewati jalan bergelombang yang sempat membuat badan terguncang, akhirnya saya tiba di lokasi. Namun sebelumnya, beberapa warga setempat memungut karcis masuk. Maklum saja, tempat ini memang bukanlah obyek wisata yang dikelola resmi oleh pemerintah daerah atau dinas pariwisata setempat.

Lokasi ini awalnya hanya berupa bukit dan dijadikan proyek galian C untuk ditambang pasir, tanah urug, dan batu padas. Lambat laun, akibat penggalian tersebut, terbentuklah tebing-tebing karena tidak semua bukit menjadi area proyek galian.

Karena bentuknya yang unik, Brown Canyon sering dijadikan latar belakang pemotretan. Tekstur tebingnya unik dan lubang-lubang bekas galian yang telah menampung air hujan menambah kesan eksotis. Banyak pengunjung yang berfoto mengabadikan diri sore itu untuk diunggah ke media sosial atau sekadar menuntaskan rasa penasaran. Sumiyati, misalnya. Perempuan setengah baya asal Jakarta itu mengaku tertarik mengunjungi Brown Canyon setelah menyaksikan tayangan di salah satu televisi swasta.

Karena masih bersifat obyek wisata dadakan, jangan berharap pengunjung mendapati fasilitas seperti toilet, tempat istirahat, atau tempat ibadah di lokasi ini. Yang ada hanya warung kaget yang didirikan oleh warga setempat. Seorang pemilik warung mengungkapkan jika tambang itu sebetulnya sudah ditinggalkan. Tapi, tak semua lahan habis digali. Misalnya, ada dua lahan yang dibiarkan begitu saja sehingga terkesan membentuk bukit ukuran mini. Posisinya berdekatan. Menurutnya, para penggali tidak berani memapas bukit itu karena terdapat makam keramat di atasnya.

Terlepas benar atau tidak, setidaknya kisah itu menjadi mitos yang makin menambah daya tarik Brown Canyon. Kisah itu asyik didengarkan sembari menikmati kopi panas dan sepotong pisang goreng yang masih hangat. Dari kejauhan, mentari mulai jatuh. Bulat merah bagai kuning telur ayam terselip di antara dua bukit mungil. Awan kelabu sempat menutupinya, lalu pergi lagi hingga sang mentari benar-benar tenggelam di ufuk barat. l

Boks

Dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta

Pilih penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Semarang, Jawa Tengah. Waktu tempuh hanya 50 menit. Lanjutkan perjalanan lewat darat sekitar 36 kilometer atau sekitar 1,5 jam karena lalu lintas ramai. Tidak ada bus umum untuk mencapai Umbul Sidomukti atau Brown Canyon. Pastikan Anda menggunakan kendaraan sewa.

Andry T. /N. Dian/Dok. TL/unsplash

Seni Kampung Badud, Warisan Tahun 1868

Senin Kampung Badud

Seni Kampung Badud, rasanya hampir tak ada orang dari luar kawasan Pangandaran yang tahu. Ini memang kampung yang masih agak terisolasi di Kabupaten Panganaran, Jawa Barat, namun ia memiliki tradisi seni sejak ratusan tahun silam. Buat, sebagian orang, kesenian ini mungkin terasa asing. Namun, ia memiliki ragam kesenian Sunda yang cukup lengkap.

Seni Kampung Badud

Hening tadinya membalut Dusun Margajaya, Desa Margacinta, Pangandaran, Jawa Barat. Namun mendadak riuh ketika rombongan pengantin sunat dengan pemain musik, yang mengenakan pangs –pakaian pria tradisional Sunda–melintas jalan dusun, siang itu. Suara musik dog-dog, angklung, gendang, dan gong muncul silih berganti, dan langsung memecah keheningan.

Pemain topeng juga tak kalah semangat. Meski menggunakan topeng lengkap dengan kostum kakek-nenek, macan, babi hutan, kera, dan lutung, mereka tetap bergoyang mengikuti irama dengan enerjik.

Perjalanan rombongan terhenti saat mereka tiba di tempat hajatan. Begitu pula dengan alunan musik. Semua pemain musik menghentikan atraksinya. Suasana kembali sunyi. Namun tak berlangsung lama. Setelah sesaji berupa ayam bakar, minyak kelapa, telur, kopi, teh, dan lainnya digelar, doa-doa dalam bahasa Sunda dipanjatkan, musik pun kembali mengalun. Bau kemenyan menyeruak ke udara. Semua menyatu dalam keriuhan.

Pemain topeng, yang menggunakan kostum kera dan lutung, langsung lincah di tengah arena. Gerakan tubuhnya mirip dengan hewan, merangkak, melompat, terkadang menggaruk-garuk tubuh. Orang yang bertugas sebagai pawang sibuk menenangkan mereka.

Belum selesai, kini muncul pemain topeng yang menggunakan kostum macan dan babi hutan merangsek arena. Gerakan tubuhnya menyerupai hewan yang sama dengan kostumnya. Tak hanya bergerak, sang macan mengambil sesaji dan memakannya.

Lain halnya dengan pemain topeng kakek-nenek. Meski sama-sama kerasukan, keduanya bergerak lebih tenang layaknya orang yang memang sudah lanjut usia. Kendati begitu, sang pawang tetap saja sibuk menyadarkan mereka saat acara mulai berakhir. Kini giliran doa untuk pengantin sunat dipanjatkan. Beras dan permen dilemparkan ke tubuh pengantin sunat oleh orang yang dituakan di dusun tersebut.

“Inilah yang dinamakan kesenian badud,” ujar H. Adwidi, Ketua Badud Rukun Sawargi kepada Traveloungeyang berkesempatan menyaksikan langsung atraksi tersebut. Menurut Adwidi, seni badud diciptakan pada 1868 oleh Ki Ijot dan Ki Ardasim. Dua tokoh petani Dusun Margajaya itu, menurut Adwidi, awalnya menginginkan sebuah hiburan menjelang panen. “Hiburan yang ditujukan sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya. “Dari keinginan itulah dibuat topeng-topeng hewan, ditambah iringan musik agar semakin menghibur,” ucapnya.

Meski awalnya diadakan saat panen tiba,  Adwidi menyebutkan, seni badud belakangan makin berkembang. Tak hanya menjelang panen, seni badud juga digelar saat pernikahan atau khitanan. Sebab, kesenian dinilai memiliki warisan kesenian leluhur tersebut. Dusun Margajaya sampai sekarang dikenal dengan sebagai Kampung Badud. Seiring dengan berjalannya waktu, kesenian ini terus dilestarikan dan diajarkan turun-temurun.

Untuk mencapai kampung yang asri ini tidak mudah. Dari jalan raya Cijulang, Pangandaran, kendaraan yang saya tumpangi memasuki jalan desa sejauh 8 kilometer dengan kontur jalan naik-turun dan berkelok-kelok. Kami melewati ladang, kebun, dan hutan.

Ini adalah jalur yang cocok bagi pengunjung yang senang berpetualang. Namun kendaraan yang saya tumpangi harus berhenti di ujung jembatan gantung. Sebab, jembatan gantung yang dinamakan Jembatan Pongpet oleh warga setempat itu hanya bisa dilalui kendaraan roda dua atau berjalan kaki.

Jembatan sepanjang 63 meter ini menghubungkan Kampung Margajaya dengan Desa Margacinta. Tak jauh dari jembatan, telah berdiri sebuah saung pementasan seni badud. “Desa Margacinta lahir pada 1870, jauh sebelum Indonesia merdeka. Desa ini awalnya merupakan gabungan antara Desa Kolot dan Dusun Balengbeng. Kendati begitu, sampai hari ini Kampung Margajaya masih terisolasi. Margajaya belum bisa dilewati kendaraan roda empat,” ujar Edi Supriadi, Kepala Desa Margacinta, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran.

Namun Edi yakin, jika pemerintah daerah ikut membantu memperbaiki akses jalan, seni badud akan menjadi daya tarik wisata budaya. Tentu akan mendukung Kabupaten Pangandaran yang mencanangkan diri menjadi kabupaten pariwisata. l

Andry T./P. Mulia/Dok. TL

Green Bowl Bali, Surfing dan 330 Anak Tangga

Surga wisata Bali tak semuanya bisa dicapai dengan mudah. Ada yang butuh hiking terlebih dahulu, seperti green bowl.

Green Bowl, nama pantai di Bali yang semakin sering didengar namun masih jarang disambangi wisatawan. Terutama bagi mereka yang tak terlalu menggemari berselancar atau surfing. Dan, ini yang mungkin menjadi alasan utamanya, untuk mecapainya orang harus menuruni 330 anak tangga. Wow!

Green Bowl Bali

Untuk masyarakat umum, pantai ini sudah punya sebutan lain. Sepuluh atau 20 tahun lalu mungkin orang menyebut pantai ini dengan sebutan pantai Bali Cliff. Ini karena di atas tebing pantai ada hotel berbintang bernama Bali Cliff. Namun, sesungguhnya masyarakat setempat menyebut pantai ini sebagai pantai Ungasan, karena lokasinya di daerah Pura Batu Pageh, Ungasan, Kuta Selatan, Kabupaten Badung.

Bagi penikmat Bali, dan pernah berkunjung ke pantai Pandawa, suasana Green Bowl mirip dengannya. Baik pasir, gelombang, dan pemandangannya. Ini karena keduanya memang berada dalam satu deretan garis pantai Kuta Selatan. Hanya saja, bibir pantai Green Bowl tidak sepanjang Pandawa yang ada di timurnya.

Perubahan nama Bali Cliff atau Ungasan menjadi Green Bowl, yang dalam bahasa Indonesia berarti mangkok hijau, muncul omongan mulut ke mulut para peselancar. Mereka bercerita, di saat air laut surut, karang-karang yang melengkung dan ditumbuhi lumut hijau akan terbentuk menyerupai mangkok. Jika orang mulai menuruni tebing, pemandangan pantai menyerupai mangkok berwarna hijau.

Meski tak jauh dari pantai Pandawa, Green Bowl tidak seramai pantai-pantai lain di Bali. Kebanyakan para peselancar yang memburu lokasi ini karena menyuguhkan ombak yang tinggi dan menantang.  “Ramainya pengunjung di pantai tergantung ombak, kalau ombak lagi jelek, ya sepi,” ujar Wayan, seorang pemilik warung di area pantai ini.

Suasana pantai sebagai surga peselancar mulai kelihatan jika kita berkendara dari Jimbaran, iring-iringan wisatawan asing bersepeda motor. Ciri khasnya: di salah satu sisinya terlihat mereka membawa papan selancar. Wajah mereka menunjukkan kegembiraan.

Tujuan mereka jelas, pantai berpasir putih dengan air yang bergradasi warna biru muda, biru, hingga biru kehijauan. Letaknya di balik tebing yang rimbun ditumbuhi pohon-pohon. Pantai Green Bowl. Pantai yang tidak dicapai dengan mudah. Untuk sebagian orang, jalur ke pantai ini bisa membuat putus asa. Bagaimana tidak, ada 330 anak tangga yang harus dituruni sebelum menjejak di pasir putihnya.

Pantai Green Bowl nigel tadyanehondo unsplash

Tapi jangan khawatir. Jika penasaran ingin melihat pantai ini, ada atraksi penghilang rasa bosan saat menuruni anak tangga. Wisatawan bisa sambil mencermati tingkah lucu monyet-monyet yang melompat dari satu pohon ke pohon lain di kanan-kiri tangga.

Turun 300-an anak tunggu pasti melelahkan, tapi rasa capai itu akan terbayar begitu melihat air laut nan biru, berpadu pasir putih, tebing, dan pepohonan. Wisatawan, jika pun tak ingin berselancar, bisa berjemur atau rebahan di pasir dengan tenang karena pengunjung pantai ini masih minim.

Mengingat omongan Wayan di atas, dan masih jarangnya pengetahuan tentang pantai ini, biasanya para peselancar mencari tahu terlebih dulu sebelum menuju pantai ini. Informasi bahakan sudah diulik sebelum terbang ke Bali. Ini menghindari kekecewaan seandainya tiba di lokasi pada musim dan kondisi yang kurang pas. Begitupun banyak peselancar yang terus datang ke Green Bowl karena ombak di pantai ini tergolong stabil. “Green Bowl jadi salah satu favorit peselancar yang datang ke Bali karena gulungan ombaknya stabil,” ujar Wayan.

Selain berselancar, beberapa wisatawan memilih berjemur dan bermain  air di pinggir pantai. Ada beberapa gua yang bisa dijadikan tempat berteduh kala terik mentari menguat. Beberapa gua yang terjadi karena proses alam menambah eksotisme pantai ini. Di sebuah gua terlihat jejak-jejak upacara umat Hindu.

Garis Pantai Green Bowl tergolong pendek karena dibatasi jajaran karang besar dan tebing yang menjulang tinggi. Kontur alam tersebut menambah gaung nama pantai sebagai salah satu pantai tersembunyi.

Lokasinya di Jalan Raya Bali Cliff, Kuta Selatan, untuk mencapainya masih jarang kendaraan umum dengan rute ke tempat ini. Karenanya, umumnya pengunjung harus menyewa kendaraan roda dua atau empat meski sebenarnya lokasinya cukup mudah. Dari arah Kuta, pengunjung menuju arah Garuda Wisnu Kencana. Tidak jauh akan ditemukan perempatan, wisatawan bisa mengambil belokan ke kiri.

Sebelum turun tebing menuju pantai, ada area parkir yang cukup luas dan warung-warung permanen. Terdapat fasilitas kamar kecil dan kamar mandi untuk membilas tubuh setelah berselancar atau bermain di pantai. Di area parkir ini, seperti biasa, wisatawan akan dikerubungi para pedagang asongan, umumnya ibu-ibu penjual aksesori dan kerajinan tangan. Ada juga yang menawarkan jasa pijat. Nah, yang terakhir ini penting, setelah naik turun 600-an anak tangga, pijat kaki pastilah menyenangkan.

F. Rosana/Dok. TL/nigel tadyanehondo-unsplash

Kerajinan Cukli Lombok Beken Sejak 1990

Kerajinan cukli Lombok mulai dari furniture hingga pernik-pernik kecil.

Kerajinan cukli Lombok makin dikenal banyak orang di seluruh dunia. Kerajinan ini sesungguhnya baru mulai diperkenalkan oleh masyarakat Lombok sejak 1990-an. Namun, karena keunikannya, kerajinan ini cepat mendunia.

Kerajinan Cukli Lombok

Nama daerah yang memproduksi kerajinan cukili yang kami datangi pada suatu pagi ini memang unik. Desa Sayang-Sayang. Desa ini termasuk wilayah Kecamatan Cakranegara, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Berada tak jauh dari pusat kota atau hanya sekitar 4 kilometer.

Sesuai namanya, mungkin memang daerah ini harus disayang karena hasil kerajinan cukli Lombok warganya tergolong unik. Berupa perangkat atau mebel dari kayu mahoni dengan hiasan potongan kecil kerang. Teknik menempelkan kerang-kerang yang sudah dibentuk wajik supermungil itu diberi nama cukli.

Kerajinan cukli Lombok yang khas adalah pada penenaman potongan kerang di kayunya.
Teknik menanam potongan kerang di kayu pada kerajinan cukli. Foto: Dok. TL

Pagi di desa Sayang-sayang biasanya cukup hening. Beberapa toko di Lingkungan Rungkang Jangkuk —salah satu area di Desa Sayang-Sayang— itu terlihat tutup. Entah terlalu pagi atau memang karyawannya sedang libur. Yang pasti di halaman beberapa toko saya melihat kayu-kayu yang akan dijadikan mebel. Sebagian sudah terbentuk meski rampung.

Di gerai lain yang membuka pintunya lebar-lebar, pengunjung dapat melihat keindahan dari mebel dengan hiasan kerajinan cukli Lombok. Kayu mahoni nan gelap dengan serpihan kerang yang tertata rapi pun tampak sangat unik

Hasil kerajinan cukili saat ini memang tidak seperti kerajinan cukli yang dihasilkan pada 1990-an. Dulu hasil kerajinan biasanya dengan kayu yang dibiarkan kasar sehingga lebih kental dengan aksen antik.

“Pada tahun 2000- an, pembeli lebih senang memiliki mebel dengan pelitur mengkilat,” kata H. Nasir, pemilik Dodik Art Shop. Di ruang pamernya yang cukup luas, pengunjung bisa menemukan kursi dengan hiasan cukli.

Harga satu set kursi tamu itu berkisar Rp 9-11 juta. DI Bagian lain ruang pamernya, pengunjung bisa menemukan lemari dengan sentuhan akhir yang sama mengkilap, tempat tidur, satu set meja makan. Atau produk-produk kerajinan kecil seperti kotak perhiasan, tempat tisu, alas gelas, rehan atau tempat Al-Quran, dan bingkai cermin. Tentunya juga peti Lombok dalam tampilan yang sama.

Dari cerita sejumlah pemilik usaha kerjainan cukli. Awalnya, teknik cukli diterapkan pada peti yang kemudian dikenal dengan peti Lombok. Produk ini sebenarnya merupakan tempat perhiasan perempuan suku Sasak. Aslinya terbuat dari pelepah aren atau pandan.

Ketika banyak penduduk di lingkungan Jungkang yang berprofesi sebagai pedagang barang antik, peti perhiasan itu pun menjadi salah satu yang diperdagangkan, selain beragam barang lain. Saat barang antik sulit ditemukan dan memperhatikan minat pasar akan peti antik, maka dibuatlah peti baru dengan teknik cukli. Hal yang tetap dipertahankan dari peti-peti Lombok baru ini adalah model lawasnya.

Pada 1990-an, seperti dikatakan oleh Nasir yang memulai usahanya pada 1985, peti Lombok memang naik daun dan gerai kerajinan yang ada di daerah pun mencapai 70-an. Saat ini, jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan jumlah perajin menurun karena benturan modal yang besar.

Oleh karena itu, hanya produknya yang berkembang dan tidak melulu hanya peti Lombok dalam berbagai ukuran. Dengan variasi ukuran itu, harganya pun lebih bervariasi, yakni dari Rp 100 ribu hingga belasan juta rupiah.

]Nasir menjelaskan, bahan yang digunakan sebagai dasar kerajinan adalah kayu mahoni dengan tahap pembuatan mencapai dua bulan. Pembuatan tersebut menjalani proses yang panjang. Sebab, setelah menjadi rangkaian perabot, kayu terlebih dulu dipahat untuk menempatkan kerang-kerang imut tersebut. Tahap itu memerlukan waktu 2-3 minggu dan dilanjutkan pemasangan kepingan kerang selama 2-3 minggu.

Terakhir, adalah dilakukan pengampelasan hingga 10 hari. Dilakukan hingga enam kali dan hasilnya kayu pun benar-benar halus. Tahap terakhir baru dipulas dengan pelitur glossy dan dijemur di bawah sinar mentari. Memang berbeda dengan produk awal pada 1990-an yang umumnya terlihat kasar.

Membuat kerang hingga menjadi potongan mungil pun juga membutuhkan waktu dan keahlian khusus. Bahan dasarnya bukan sembarangan kerang yang dipakai, melainkan kerang besar yang berdiameter 25-30 sentimeter. Ini khusus didatangkan dari Sulawesi dan Flores. Pemotongan dilakukan dengan hati-hati dan penyesuaian ukuran dengan desain produknya.

Kerajinan cukli benar-benar sebuah perjalanan panjang untuk sebuah karya seni. Taka da salahnya Anda memiliki salah satu koleksi produknya.

agendaIndonesia/TL/Rita

*****

Oleh-oleh dari Jambi, 5 Yang Legit Dan Keren

Ini 4 tempat belanja asyik batik di Jambi. Gunung Kerinci salah satu inspirasi motif batik.

Oleh-oleh dari Jambi masih jarang didengar, sebab daerah ini pun masih jarang dilirik para traveler. Padahal daerah ini punya segudang potensi buah tangan sebagai bawaan perjalanan ke sini, mulai dari batik, rambutan, lempok durian, kopi, hingga pempek.

Oleh-oleh Dari Jambioleh-oleh dari jambi

Jambi lebih dikenal dengan Gunung dan Danau Kerinci, yang terdapat di wilayah Kabupaten Kerinci. Kota Jambi sebenarnya menyimpan potensi wisata yang menarik, di antaranya Sungai Batanghari, tempat orang bisa menyaksikan keindahan mentari terbit di ufuk timur ataupun tenggelam di sisi barat.

Di sisi sungai terpanjang di Sumatera itu terdapat suatu kawasan asli penduduk Jambi. Orang Jambi menyebutnya Sekoja, yang merupakan singkatan dari Seberang Kota Jambi. Letaknya memang berseberangan dengan Kota Jambi karena terpisahkan sungai. Saat meninggalkan kota ini, sebagian besar pengunjung Kota Jambi juga biasanya membawa oleh-oleh yang tak terlupakan. Ada batik Jambi, rambutan goreng, lempok durian, kopi AAA, dan Pempek Selamat. Tertarik?

Warna Alami Batik Jambi

Masyarakat Sekoja kental dengan berbagai tradisi dan budaya. Salah satunya membuat batik khas Jambi. Warna khas pada batik Jambi adalah merah, kuning, dan biru. Sebagian besar pewarna diambil dari bahan-bahan alami, yaitu campuran ragam kayu dan tumbuhan yang ada di Jambi, seperti getah kayu lambato, buah kayu bulian, daun pandan, kayu tinggi, dan kayu sepang.

Motifnya juga unik, di antaranya corak kaca piring, candi muara jambi, bulan sabit, awan berarak, angso duo bersayap mahkota, bunga teratai, durian kecil, batanghari, kapal sanggat, kuwaw berhias, dan buah manggis. Di Jambi, batik biasanya berbentuk sarung dan selendang. Karena itu, dijual dalam ukuran per dua meter.

Di Sekoja terdapat beberapa sanggar batik. Pengunjung dapat melihat pembuatan batik dan bahkan terlibat langsung dalam proses itu. Bila ada yang menawan hati, pengunjung bisa membelinya pula. Selain di Sekoja, sentra kerajinan batik ada di daerah Simpang Pulai dan Olak Kemang, Kecamatan Danau Teluk. Mengenai harganya, batik berbahan katun rata-rata Rp 70-180 ribu per dua meter, sedangkan yang dari sutera Rp 250-350 ribu per dua meter. Untuk produk batik siap pakai, dijual dengan harga mulai Rp 150 ribu.

Kreasi Batik Asmah; Jalan H Somad No. 41; Olak Kemang

Rambutan Goreng Rasa Kurma

Buah rambutan biasanya dikonsumsi dalam keadaan segar. Selain dimakan langsung, ada yang dikemas dalam kaleng dan sebagai manisan. Proses pengolahan seperti ini membuat buah rambutan bisa dinikmati kapan saja, hingga di luar musimnya.

Selain diolah menjadi buah kaleng atau manisan, ternyata rambutan dapat menjadi camilan yang cukup unik. Di Jambi, rambutan disulap menjadi rambutan goreng. Untuk membuatnya, rambutan yang telah dikupas diolah sedemikian rupa sampai kering. Rambutan yang sudah kering kemudian digoreng dalam baluran tepung terigu yang telah dicampur dengan sedikit garam. Rasanya manis seperti kurma.

Gedung Dekranasda; Jalan Jenderal Sudirman; Jambi

Oleh-oleh dari Jambi teryata cukup banyak macamnya, mulai dari batik hingga makanan lempok durian yang legit.
Lempok durian Jambi, salah satu oleh-oleh dari daerah ini. Foto: Dok TL/Aditia N.

Lempok Durian nan Legit

Rasanya belum puas jika menginjakkan kaki ke Pulau Sumatera tapi belum mencicipi kelegitan lempok durian. Lempok adalah penganan sejenis dodol yang terbuat dari buah durian. Pembuatan lempok dilakukan secara turun-temurun dan terbilang masih sangat tradisional.

Lempok durian pun menjadi oleh-oleh yang populer di Jambi, terutama bagi pencinta buah berkulit keras dan tajam tersebut. Cara pengolahan lempok di masing-masing daerah sebetulnya sama. Yang berbeda adalah teknik membungkusnya. Di Jambi, lempok dibungkus dengan plastik transparan. Harganya bervariasi.

Gedung Dekranasda; Jalan Jenderal Sudirman; Jambi

Oleh-oleh dari Jambi bisa dibawa untuk kenang-kenangan perjalanan ke daerah ini. Salah satunya kopi.
Kopi susu yang bisa dinikmati di tempat, juga tersedia kopi bubuk dalam kemasan sebagai oleh-oleh. Foto: Dok. Unsplash

Aroma Khas Kopi AAA

Kedai kopi mudah ditemui di perempatan Jalan Hayam Wuruk, Jambi. Kebanyakan kedai ini sangat sederhana, tapi selalu ramai oleh pengunjung, khususnya kaum pria. Ada beberapa jenis minuman kopi yang dijual di sana, yakni kopi murni, kopi susu, dan kopi telur.

Bahan dasar yang digunakan untuk membuat semua sajian itu adalah kopi bubuk cap AAA. Kabarnya, kopi produksi PT Nego itu telah diracik secara turun-temurun dari beberapa generasi sejak 1966 hingga sekarang. Warna kopi AAA hitam pekat, rasanya lebih pahit. Aroma harum kopi ini hampir selalui dijumpai di toko, warung, atau kedai kopi.

Toko Kopi Sari Rasa; Jalan Hayam Wuruk; Jambi

Pempek Spesial

Makanan berbahan baku tepung kanji dan gilingan ikan tenggiri ini memang dikenal sebagai hidangan khas Palembang. Namun bukan berarti pempek tak tersedia di Kota Jambi. Di dekat Bandara Sultan Thaha terdapat restoran Pempek Selamat, yang terkenal.

Biasanya, sebelum meninggalkan Kota Jambi, para wisatawan menyempatkan membeli pempek mentah untuk digoreng setiba di rumah nanti. Pempek mentah itu ditaburi tepung agar tidak lengket satu sama lain dan dikemas dalam dus khusus. Terdapat berbagai pilihan pempek dalam satu paket, seperti kapal selam, lenggang, kulit, bulat, dan adaan. Harga per paket untuk dibawa pulang adalah mulai dari Rp 100 ribu.

Restoran Pempek Selamat; Jalan Soekarno-Hatta 8; Jambi

Andry T./Aditia N./TL/agendaIndonesia

*****

Singgah 1 Hari di Makassar

Rute penerbangan baru Super Jet Air adalah ke Makassar

Singgah 1 hari di Makassar? Jangan khawatir, Anda tetap akan punya pengalaman menarik. Mulai dari wisata sejarah dan kuliner, juga santai menikmati keindahan mentari tenggelam di pantai.

Singgah 1 Hari di Makassar

Saya beberapa kali menikmati transit di kota anging Mamiri ini. Baik perjalanan dari Jakarta ke Jayapura di Papua. Atau, Jakarta ke Manado di Sulawesi Utara. Kadang cuma satu-dua jam. Tapi kadang hingga delapan jam. Itu jika tidak mendapatkan penerbangan langsung. Pernah sekali waktu, harus mendarat pagi sekali karena penerbangan sekitar dua jam dari Jayapura dan karena perbedaan wilayah waktu, jam 6.30 pagi waktu Makassar. Celakanya baru malam hari penerbangan ke Yogyakarta via Surabaya. Menunggu di Bandar Udara Hasanuddin?

Saya memilih ke kota. Dengan taksi atau menyewa mobil yang banyak ditawarkan di bandara, menuju pusat kota memerlukan waktu sekitar 30-an menit jika lancar melalui jalan tol. Pilihannya: sarapan khas Makassar.

Coto Makassar

Di pagi hari, mulailah dengan sarapan coto Makassar. Beberapa kali ke kota ini, saya punya dua kedai coto favorit. Pertama, di rumah makan Coto Nusantara yang berada di Jalan Nusantara. Posisinya berada di depan pelabuhan laut Sukarno Hatta. Buka mulai 06.30, restoran ini menyajikan soto yang menjadi pilihan yang menggoda di pagi hari.

Ruang kedainya tak terlalu besar, namun bisa menampung cukup banyak tamu. Saat makan siang, siap-siaplah mengantri jika mau mengudap coto di sini. Selain antri, jika datang beramai, jangan berpikir harus duduk satu kelompok bersama. Kadang, satu orang duduk di dekat pintu masuk, yang lainnya ada di dalam. Prinsipnya, kosong diisi.

Pilihan coto lainnya adalah Coto Gagak. Jangan salah, ini bukan soto dengan daging gagakm tapi ini karena cotonya berada Jalan Gagak. Di Makassar ini ada yang unik, beberapa tempat makan populer ada di jalan dengan nama yang menimbulkan asosiasi. Misalnya, jika ingin makan palubasa, di sini ada dua yang terkenal: Pallubasa Onta dan Pallubasa Srigala. Itu karena yang satu ada di jalan Onta, dan lainnya di Jalan Srigala.

Dengan perut terisi coto, kita bisa memulai keliling kota. Bisa memulai jalan sehat dengan mengelilingi Fort Rotterdam atau kadang disebut Benteng Ujung Pandang. Lokasinya hanya sekitar satu kiloan dari Coto Nusantara. Benteng ini dibangun pada 1554 oleh Raja Gowa. Tanpa biaya masuk, orang bisa jalan-jalan sembari mengenal sejarah di sini. Di masa lalu, benteng ini menjadi saksi bisu perjuangan Indonesia. Kini dipergunakan sebagai pusat budaya dan seni yang tertata apik dan bersih.

Perjalanan kemudian bisa dilanjutkan ke Museum La Galigo, yang berada dalam Fort Rotterdam. Memiliki koleksi barang-barang dari sejumlah kerajaan di Sulawesi Selatan, juga benda-benda prasejarah. Seusai keliling Fort Rotterdam dan Museum La Galigo, masih ada satu lagi jejak sejarah yang bisa diintip, yakni Benteng Somba Opu, yang berada di perbatasan Makassar dengan Gowa. Benteng yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari Fort Rotterdam ini merupakan peninggalan Kerajaan Gowa.

Setelah menelusuri sejarah, saatnya makan siang. Nah, ini saatnya menyeruput kuah gurih pallubasa— sejenis soto berkuah santan dengan isi daging sapi dan jeroan. Kita bisa memilih, modelnya seperti soto Betawi di Jakarta, kondimen bisa memilih.

Seperti cerita di atas, pallubasa bisa dicicipi di Pallubasa Serigala di Jalan Serigala Nomor 54, Makassar. Atau pallubasa Onta. Tentu saja nama warungnya bukan itu, tapi jika menyebut seperti itu, semua sopir taksi atau mobil persewaan sudah tahu maksudnya.

Pilihan lain untuk makan siang adalah sop konro atau konro bakar. Ini adalah makanan dari iga sapi. Pilihan saya biasanya adalah Konro Karebosi. Lokasinya dekat dengan lapangan olahraga dan mal Karebosi. Tak tepat di sisi lapangan, tapi di jalan sebelahnya, jalan Gunung Lompobatang..

Setelah perut kenyang, saatnya berburu oleh-oleh. Silakan singgah ke Somba Opu Shopping Center. Satu kawasan dengan beragam toko yang menjual barang-barang khas lokal. Semisal, songkok khas Bugis, sarung Makassar, ukiran Toraja, atau beragam camilan, juga obat gosok, seperti minyak akar lawang dan kayu putih.

Ketika sore hari, cobalah bersantai di Pantai Losari sembari menikmati keindahan mentari tenggelam. Ada deretan kafe tenda dengan jajanan khas. Salah satunya tentu pisang epe, pisang bakar yang dipenyet dan diguyur gula merah cair. Sajian ini kini tampil dengan berbagai variasi, seperti cokelat, keju, dan lain-lain. Minumannya bisa pilihan yang hangat, seperti saraba atau kopi Toraja.

Hmmm… semua ini bisa melengkapi satu hari Anda yang tak terlupakan, di Makassar. Jadwalkan kembali untuk datang ke Makassar dan melaju ke Tana Toraja, atau menyusuri Pantai Bira di Bulukumba, juga menyeberang ke pulau-pulau di sekitar dengan waktu lebih panjang. Untuk saat ini, acaranya cukup icip-icip, melihat obyek bersejarah dan pantai, tentunya juga berbelanja.

*****

3 Pantai Di Jember Dengan Aura Mistis

3 pantai di Jember dikenal memiliki aura mistis. Masyarakat setempat sering mengadakan ritual khusus di sana.

3 pantai di Jember, Jawa Timur, mungkin kalah terkenal dibandingkan pantai-pantai di Banyuwangi. Yang membedakan adalah, ketiga pantai di Jember ini lekat dengan kesan mistis. 3 pantai di Jember ini ramai dikunjungi pada hari-hari tertentu.

3 Pantai di Jember

Siang itu terik mentari benar-benar memanggang kulit. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan pasir hitam. Gulungan ombak yang mencoba memberikan alunan alam dan hijaunya deretan pohon pandan seakan tak mampu mengusir hawa panas di Pantai Puger, Jember, Jawa Timur, yang kian terasa gersang pada tengah hari itu. Ini tujuan pertama dari 3 pantai di Jember kali ini.

3 pantai di Jember memberi kesan mistis karena masih adanya ritual-ritual dari masyarakat setempat.
Pantai Puger Jember yang menjadi bagian dari Cagar Alam Watangan Puger. Foto: Anditya H/Dok. TL

Dua pemancing di bibir pantai —hanya mereka manusia yang kami temui siang itu, juga tak kalah dirundung sunyi. Sedari pagi tak ada satu pun umpan mereka yang disambar ikan. Toh, keduanya masih menaruh harapan.

Mereka menunggu sembari membakar umpan mereka sendiri berupa ikan mungil yang seukuran dua jari dewasa untuk teman nasi. Lumayan untuk mengganjal perut yang sudah lapar.

Tak ada kata indah bagi sebuah wisata bernama pantai. Meski begitu, pantai yang terletak 40 kilometer di sebelah barat daya dari Kota Jember ini sangat terkenal. Ya, pantai di ujung selatan Jember itu dikenal sebagai salah satu tujuan wisata mistis.

“Biasanya pengunjung ramai pada Kamis atau malam Jumat untuk melakukan ritual. Apalagi saat malam 1 Suro,” kata Mahat, petugas loket pintu masuk pantai tersebut.

Lantas kami diajak menyusuri kawasan Cagar Alam Watangan yang letaknya tak jauh dari pantai. Menurut dia, di tempat itu terdapat Kolam Penampungan Mata Air Kucur, Mata Air Seribu, dan Petilasan Mbah Kucur.

Menurut Mahat, dinamai Kucur karena terdapat petilasan bekas pertapaan Mbah Kucur, seorang prajurit yang tugasnya mengawal Pangeran Puger dari Kerajaan Mataram. “Pangeran Puger mengakhiri tapanya dan kembali ke Mataram, tapi pengawalnya tidak ikut dan menetap di Puger Kucur,” ia memaparkan.

Untuk mencapai ke kawasan tersebut, pengunjung harus menyeberangi muara dengan menumpang perahu motor. Kolam Penampungan Mata Air Kucur langsung terlihat sesaat setelah perahu ditambatkan. Kolam buatan ini merupakan penampungan air yang keluar dari mata air. Beberapa remaja lokal terlihat asyik berenang di kolam yang berukuran tak terlalu besar itu.

Tak jauh dari kolam terdapat sebuah saung tertutup. Saung ini, kata Mahat, merupakan petilasan Mbah Kucur. Sedangkan lokasi Mata Air Seribu relatif jauh dari tempat itu. Pengunjung harus melalui jalan setapak dengan mendaki.

Setibanya di lokasi, terlihat beberapa mata air yang keluar dari dinding bukit. Sulit menghitung jumlah mata air, tapi memang banyak. Mungkin karena itu dinamakan Mata Air Seribu atau Mata Air Sewu.

Di sebelah mata air terdapat gua kecil. Tempat itu, ucap Mahat, dijadikan tempat bertapa. Memang terlihat bekas jejak manusia dengan alas tikar serta puntung rokok berserakan. Tak ingin berlama-lama di tempat itu, kami segera bergegas menuju Pantai Watu Ulo.

Untuk menuju pantai ini dibutuhkan waktu tempuh hanya sekitar 30 menit dari Pantai Puger. Tempat tersebut lebih layak disebut pantai karena tidak gersang dan terdapat banyak warung. Lebih ”hidup” ketimbang Pantai Puger. Meski lebih layak disebut wisata pantai, tohtetap saja pantai ini menyimpan kesan mistis. Betapa tidak, bekas sesaji berupa kembang tujuh rupa berserakan di susunan batu panjang.

Konon susunan batu panjang itu dianggap menyerupai tubuh ular. Menurut kisah yang beredar, pemuda desa bernama Raden Mursodo berhasil mengait ikan ajaib bernama Mina yang bisa berbicara.

Mina meminta agar dilepaskan dan tidak dibunuh untuk dijadikan makanan. Sebagai gantinya, ikan tersebut akan memberikan sisik yang bisa berubah menjadi emas untuk Raden Mursodo. Raden Mursodo menyetujuinya dan melepas ikan mina itu kembali ke laut.

Namun sayang, tak berapa lama kemudian, seekor ular besar bernama Nogo Rojo langsung memakan Mina. Raden Mursodo yang geram segera melawan sang ular raksasa dan membelah tubuhnya menjadi tiga bagian. Legenda inilah yang menjadi salah satu versi mengenai asal-muasal terbentuknya Watu Ulo di pantai Jember.

Senja mulai jatuh. Pengunjung bergegas meninggalkan pantai mistis kedua itu dan kemudian menuju Pantai Papuma. Lokasinya tidak terlalu jauh. Tepatnya di Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, Jember. Kira-kira hanya sekitar 1 km dari Pantai Watu Ulo.

 Papuma merupakan singkatan dari Pasir Putih Malikan. Disebut Malikan karena ada batu-batu yang bisa berbunyi khas saat terkena ombak. Batu Malikan merupakan karang-karang pipih yang mirip seperti sebuah kerang besar yang menjadi dasar sebuah batu karang besar.

Pemandangan pantainya sangat eksotis. Pasir putihnya terhampar bak permadani. Sedangkan di area setelah parkir yang teduh, berderet warung-warung sederhana siap dengan ikan bakar dan es kelapa muda.

Pantai seluas sekitar 50 hektare dan dikelilingi hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani ini terlihat lebih menarik. Sayangnya, wisatawan dilarang keras berenang di pantai ini karena gelombangnya sangat kuat. Meski begitu, wisatawan tetap bisa menikmati keindahan pantai ini sembari berjalan atau duduk di tepi pantai.

Senja benar-benar telah jatuh. Semburat jingganya muncul dari balik bukit. Bias sinarnya menerpa pasir putih dan kapal-kapal yang tertambat di pinggir pantai. Semakin menambah semangat para pemancing cumi sore itu.

Sementara di ujung pantai, tak jauh dari tanjung, tampak dua orang sedang melakukan ritual. Mereka, hanya dengan menggunakan kemban, dimandikan oleh seseorang secara bergantian. Entah ritual untuk apa. Namun yang pasti, keindahan pantai selatan di Jawa Timur ini semakin lengkap karena ada pesona mistis di dalamnya.

Kunjungan ke 3 pantai di Jember ini: Pantai Puger, Pantai Watu Ulo, dan Pantai Papuma sebenarnya bisa dilakukan dalam satu hari. Namun harus memulai perjalanan pada pagi hari. Sebaiknya, setelah tiba di Bandara Notohadinegoro, Jember, hari pertama digunakan untuk berkeliling kota dan beristirahat. Baru esok paginya dapat melakukan penelusuran di tiga pantai tersebut.

agendaIndonesia/TL/Andry T./Anditya H

*****

Warkop Di New York, 1 Lokal Warna Global

Warkop di New York, milik orang Indonesia. Menjual kopi gula aren dan Indomie telur kornet rasa Amerika.

Warkop di New York, rasanya ini biasa saja. Banyak tempat ngopi di kota tersibuk di dunia itu. Coffe Shop bertebaran di hamper tiap sudut kota. Tapi, warung kopi Indonesia dengan segala menu lokal Indonesia di New York?

Warkop Di New York

Awal tahun 2022 ini, masyarakat di Indonesia karena pemberitaan di media konvensional juga pesan di media sosial, heboh dengan informasi pembukaan Warkop di New York atau Warkop NYC yang berada di jantung kota New York, Amerika Serikat. Tepatnya di Kawasan Hell’s Kitchen, Manhattan, New York.

Yang membuat ‘heboh’ karena mereka mengusung konsep warung kopi dan warmindo (warung Indomie) ala Indonesia. Jadi Warkop NYC ini menyajikan berbagai makanan dan minuman khas Indonesia. Kopi dari merek-merek di Indonesia, juga mie instan.

Segera saja Warkop ini berhasil mencuri perhatian warganet. Terlebih untuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di New York, mereka menyambut baik warkop di New York tersebut. Ada harapan rasa kangen tanah air yang terobati.

Warkop di New York menjadi semacam destinasi baru orang Indonesia yang mampir ke New York.
Omar Karim di depan Warkop NYC miliknya. Foto: Instagram Warkop NYC


“Kami merasa, warkop ini merupakan everyday place for everyone di Indonesia. Ini cocok dengan karakter kota New York yang punya fast pace dan juga melting point,” kata Omar Karim Prawiranegara, founder sekaligus owner dan pengelola Warkop New York ini.
Selain soal peluang usaha, Omar dan sejumlah temannya melihat ada hal lain: memperkenalkan kuliner dan budaya Indonesia. Dan ini bisa dilakukan di mana saja.

Mereka memilih dari sebuah tempat “kecil” di sebuah sudut kota besar di Amerika Serikat pada 3 Maret 2022 lalu. Tiga orang berkawan, Omar Karim Prawiranegara, Teguh Chandra, dan Cut Lakeisha, serta Ditto “Percussion” dan istrinya yang bergabung sebagai investor, menyuarakan tentang kopi Indonesia.

Warkop NYC sukses merepresentasikan warung kopi khas Indonesia yang sederhana, tapi kental dengan kearifan lokal. “Kami merasa, warkop itu everyone’s place,” kata Omar sambal berverita konsep yang mereka usung cocok dengan gaya hidup warga kota New York.

Awalnya, kata Omar, ketika berniat membuat Warkop NYC, ia mengaku tidak mengenal siapa-siapa dan benar-benar mulai dari nol. Dirinya lantas bercerita, mencari tempat dan mengurus proses izin adalah hal yang tersulit. Meski begitu, Omar berhasil menghadirkan Warkop NYC secara mandiri, berdiri sendiri, dan belum ada sentuhan bantuan dari lembaga Indonesia waktu itu.

“Kami sangat senang, karena respons yang kami dapatkan sangat baik. Bahkan, sebulan setelah pembukaan Warkop NYC, masih banyak orang yang mengantre. Semua orang penasaran dan mau mencoba menu yang kami sediakan,” ucap Omar.

Ketika Warkop NYC buka pertama kali, pengunjung yang datang hampir 80 persen adalah orang Indonesia. Kini, variasi pengunjung sudah berimbang 50:50, antara Diaspora dengan warga lokal.

Ini tentu tidak luput dari liputan media lokal New York, seperti eater dan NY Times. Hal tersebut membuat warga lokal datang dan mencoba. Rata-rata per hari warkop ini bida didatangi 8-100 pengunjung. Jumlahnya bisa naik dua kali lipat saat akhir pekan.

Lalu menu apa yang menarik warga lokal dari Warkop New York ini? Salah satu menu terlaris di Warkop NYC adalah internet. Orang Indonesia sudah tahu dong menu ini singkatan mi instan yang disajikan dengan telur dan kornet. Mereka biasanya makan sambal menyeruput es kopi susu aren.  Selain dua produk itu, Omar dan timnya juga menambah variasi menu baru seperti bubur kacang ijo.

Warkop di New York menyediakan minuman-minuman siap konsumsi yang disukai warga lokal.
Produk ready to drink dari Warkop NYC. Foto: instagram warkop NYC

Meski baru berdiri beberapa bulan, kehadiran Warkop NYC cukup menyita perhatian warga lokal dan menjadi viral di Indonesia. Salah satu keunikan dari Warkop NYC adalah dengan menghadirkan “kearifan lokal” Indonesia, seperti bungkus sachet bubuk minuman yang digantung dan ruangan dengan warna khas warkop pada umumnya.

Tidak ada kursi nyaman khas kafe-kafe modern, pelanggan duduk di kursi plastik yang sering disediakan di warkop-warkop di Indonesia. Praktis dan khas.

Mendapatkan begitu banyak perhatian, Omar ingin apa yang dia capai juga bisa menular kepada pelaku industri kuliner lainnya, khususnya yang ingin membuka restoran di luar negeri. Untuk itu, Omar juga berharap pemerintah Indonesia bisa memberikan dukungan yang lebih baik lagi untuk pelaku bisnis kuliner Indonesia agar semakin berkembang.

Bagi beberapa orang indonesia yang berkunjung kebetulan berkunjung ke kota New York, Warkop NYC kini justru menjadikan lokasi tersebut sebagai tempat destinasi wisata. Nongkrong di warkop di Big Apple.

agendaIndonesia

*****

Desa Lerep Ungaran, Buka 35 Hari Sekali

Pasar Lerep Ungaran menawarkan pariwisata tradisional alternatif. Foto: dok. Kemenparekraf

Desa Lerep Ungaran, Jawa Tengah, bisa menjadi contoh memberdayakan masyarakat sekaligus memberi alternatif wisata untuk publik. Berwisata di desa wisata memang menyenangkan. Tak sekadar berlibur, namun sekaligus mengenal budaya dan ciri khas setiap desa yang dikunjungi.

Desa Lerep Ungaran

Setelah pandemi, ada kemungkinan wisatawan memilih destinasi kunjungan yang mengedepankan rasa aman, nyaman, bersih, dan sehat seiring keberlanjutan lingkungan.

Oleh karena itu, tak heran jika saat ini desa wisata menjadi salah satu program unggulan pemerintah. Selain sebagai alternatif tempat berwisata, ia juga sebagai penggerak dan kebangkitan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif di Indonesia.

Ada banyak desa wisata yang bisa dikunjungi, salah satunya Desa Lerep di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Desa wisata ini telah mendapatkan sertifikasi sebagai desa wisata berkelanjutan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf), tentu tidak heran jika Desa Lerep Ungaran menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan.

Desa Lerep Ungaran pasarnya hanya buka setiap 35 hari, yakni pada hari Minggu Pon.
Desa Wisata Lerep di Ungaran menawarrkan alternatif liburan. Foto: dok. Kemenparekraf

Salah satu keunikan yang ditawarkan Desa Lerep Ungaran adalah pasar kuliner jaman dulu, atau biasa dikenal sebagai Pasar Djadjanan Ndeso Tempo Doeloe Lerep yang telah ada sejak tiga tahun lalu.

Sesuai dengan namanya, “Pasar Jadul Lerep” menghadirkan makanan lokal tradisional, namun dengan konsep yang unik dan berbeda dengan pasar pada umumnya. Seperti apa itu?

Pasar yang berlokasi di Kompleks Embung Sebligo Desa Lerep ini seakan akan membawa pengunjung masuk ke zaman dahulu. Berbeda dengan pasar pada umumnya, penjual di Pasar Jadul Lerep Ungaran menggunakan kostum tradisional khas masyarakat Jawa

Seperti mengenakan atasan lurik berwarna cokelat atau hijau, dan dilengkapi dengan bawahan batik. Ada pula penjual yang menggunakan kebaya saat melayani pembeli.

Kuliner Tradisional Pasar Lerep Ungaran Dok. Kemenparekraf
Jajanan tradisional di Pasar Desa Lerep Ungaran. Foto; DOk. Kemenparekraf

Keunikan lain yang menambah kekhasan Pasar Lerep Ungaran adalah jadwal dibukanya pasar yang hanya pada Minggu Pon saja. Itu artinya, pasar ini hanya buka setiap 35 hari sekali, sesuai hari pasaran Jawa.

Dari sajian yang dijajakan di Pasar Lerep juga unik. Bahkan mungkin sulit kita temui di pasar biasa. Seperti pecel, bubur tumpang, krupuk gendar, nasi iriban, dawet nganten, bubur suwek, lodheh, serabi caonan, serta masih banyak makanan dan minuman yang memanjakan lidah sejak suapan pertama.

Menariknya, semua makan dan minuman yang dijual di Pasar Lerep menggunakan bahan-bahan organik. Selain itu, uang yang dipakai untuk bertransaksi menggunakan semacam koin dari kayu.

Untuk mendapatkannya, kita hanya perlu menukarkan uang kertas dengan koin yang disediakan di area pintu masuk Pasar Lerep. Setiap uang koin kayu yang disediakan nominalnya sama dengan nilai rupiah. Mulai dari pecahan Rp 1.000, Rp 5 ribu, hingga Rp 10 ribu.

Sama dengan transaksi bayar membayar pada umumnya, pengunjung juga akan mendapatkan uang kembalian dengan koin kayu. Jangan khawatir, jika uang koin kayu masih tersisa, kita bisa menukarkannya dengan uang Rupiah saat keluar dari pasar.

Desa Wisata Lerep mengembangkan konsep wisata berwawasan lingkungan. Salah satu keunggulan dari Pasar Lerep, yaitu meniadakan kemasan plastik.

Sebagai gantinya, warga Desa Lerep Ungaran menggunakan daun jati, daun pisang, daun aren, batok kelapa, anyaman bambu, atau mangkok dari tanah liat sebagai wadah makanan dan minuman. Bahkan, sendok yang digunakan pun menggunakan sendok kayu.

Untuk pelengkap, suasana kuliner dengan konsep zaman dulunya juga dilengkapi dengan iringan musik gamelan. Perpaduan iringan musik gamelan, makanan tradisional yang lezat, sekaligus pemandangan embung berlatar Gunung Ungaran pastinya memberikan pengalaman liburan yang berbeda dari biasanya.

Jajanan Pasar Lerep Ungaran Diskominfo Ungaran
Minuman yang dijajakan juga jenis tradisional. Foto: DOk. Diskominfo Kab. Semarang

Di pasar jajanan ndeso pengunjung betul-betul akan disuguhi gaya hidup yang go green. Berbagai makanan dan minuman tradisional berbahan serba alami, kemasan go green berupa pembungkus dari daun pisang serta daun jati dan anyaman daun kelapa hijau sebagai pengikat seperti tas. 

Makanan dan minuman yang dijual di pasar jajanan ndeso sangat bervariasi jenisnya seperti sego iriban, sego jagung goreng, lontong sayur, soto, dawet brokohan, dawet nganten, ndok gluduk, cetil, gatot, tiwul, dan lain sebagainya. Ada pula nasi gudangan dan nasi gudeg a la Desa Lerep

Kepala Desa Lerep Sumariyadi menjelaskan bahwa pasar jajanan tradisional digelar untuk mendukung pengembangan desa wisata. Selain itu juga untuk memberdayakan perekonomian warga. “Selain ada homestay, warga juga berperan mendukung pengembangan desa wisata itu dengan membuat aneka kuliner tradisional seperti ini,” katanya.


Pihak pengelola desa wisata, menurutnya, memfasilitasi usaha ekonomi produktif warga dengan menggelar pasar jajanan tradisional setiap Minggu Pon.

agendaIndonesia/kemenparekraf

*****