Krisna Bali, Dari Kaos ke 10 Toko Oleh-oleh

Krisna Bali pusat oleh-oleh di Pulau Dewata yang tumbuh sebagai spot wisata tersendiri.

Krisna Bali pasti sudah menempel di benak semua wisatawan yang pernah menginjakkan kakinya di pulau Dewata ini. Setidaknya buat mereka yang mengunjungi Bali 15 tahun terakhir. Jika liburan identik dengan oleh-oleh, maka liburan ke Bali berarti Krisna.

Krisna Bali

Toko Krisna Bali saat ini memang pusat oleh-oleh terbesar di Bali. Di sini pengunjung bisa menemukan berbagai macam produk, mulai dari makanan, kerajinan tangan, hingga aneka produk spa yang biasa dijadikan buah tangan oleh para pelancong.

Krisna Bali identik dengan aneka oleh-oleh Bali yang khas.
Toko Krisna Bali di Jalan Nusa Kambangan, Denpasar. Foto: Dok. Krisna Bali

Krisna Bali merupakan toko yang menawarkan berbagai produk ciri khas Bali yang menarik berupa beranekaragam bentuk design kaos kartun tentang Bali yang diproduksi sendiri, unik, lucu dan menarik yang tidak ada di toko atau tempat lain. Jika menarik sejarah perjalanan toko ini, produk kaos unik ini memang cikal bakal  berdirinya “imperium” gerai oleh-oleh di Bali ini.

Pembangunan Krisna Bali berawal dari pemikiran Gusti Ngurah Anom, yang saat itu merupakan pemilik Cok Konfeksi. Ngurah Anom, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Anom atau sekarang lebih sering disebut sebagai Ajik (bapak) Krisna, ketika setiap hari menggeluti usaha konveksinya, melihat celah pangsa pasar yang lebih besar. Bisnis oleh-oleh.

Melihat kondisi bisnis Ajik Krisna saat ini yang seperti berada di menara emas, orang mungkin tak tahu bahwa ia meraihnya dari anak tangga paling bawah. Dari usianya yang masih muda. Sang pemilik jaringan Krisna Bali ini hanyalah lulusan SMP.

Ajik Krisna ini terlahir sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara yang hidup dalam keluarga yang kurang mampu. Ayahnya merupakan seorang petani, sementara ibunya berjualan kue di pasar. Untuk membantu perekonomian keluarga, Ajik Krisna ketika itu harus membantu pekerjaan kedua orangtuanya. Bahkan di usianya yang masih kecil ia sudah bekerja sebagai buruh angkat kayu di tempat usaha kakeknya. 

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada awal 1992 Ajik Krisna memberanikan diri membuka toko baju kaos dengan nama Cok Konfeksi di Jalan Nusa Indah, Denpasar. Ia adalah contoh kegigihan. Cok Konfeksi tak memerlukan waktu lama untuk diperhitungkan sebagai salah satu usaha yang tumbuh membesar besar di Bali.

Setelah sukses dengan usahanya tersebut, Ajik Krisna kembali memikirkan peluang bisnis yang berpotensi laris manis. Idenya kemudian ia wujudkan dalam bentuk bisnis sentral oleh-oleh Bali bernama Krisna Oleh-Oleh Khas Bali yang pertama berdiri pada 16 Mei 2007. Bisnis ini merupakan anak usaha di bawah manajemen Cok Konfeksi. Inilah Krisna Bali pertama yang berlokasi di Jalan Nusa Indah Nomor 79 Denpasar, Bali.

Krisna Bali dimulai dari konveksi kaos lalu tumbuh menjadi bisnis oleh-oleh yang menggurita.
Suasana interior Krisna Bali di Jalan Tuban, Denpasar. Foto: Dok. Krisna Bali

Mulanya, Ajik Krisna hanya menjual kaos sebagai cenderamata. Ia melibatkan para desainer terkemuka untuk menciptakan desain karikatur pada kaosnya. Selanjutnya, ia terus mengembangkan produknya mengikuti permintaan pasar.

Dalam waktu singkat, Krisna Oleh-Oleh Khas Bali menjadi sangat populer dan gerainya telah dibuka di beberapa tempat lain. Hingga kini, sentral oleh–oleh khas Bali gagasan Ajik Krisna telah menjadi pusat oleh-oleh terbesar di Pulau Dewata.

Ia berdiri, berkembang dan menjadi raksasa bisnis oleh-oleh sampai saat ini. Sukses sebagai pusat oleh-oleh nomor 1 di Bali. Bagi para pelancong yang berkunjung ke Bali pastinya tak pernah melewatkan Toko Krisna Oleh-Oleh. Bukan pantai, bukan juga tempat wisata lain, namun tempat ini tak pernah sepi pengunjung. 

Di Toko Krisna Oleh-oleh atau Krisna Bali ini selain kaos dan konveksi sebagai produk awal mereka, kini juga terdapat cemilan, kerajinan tangan, bed cover, pernak pernik, tas kreasi, perak, lukisan, seni pahat, anyaman dan masih banyak produk-produk hasil karya para pengrajin Bali yang tidak kalah bagusnya.

Toko ini menjadi laris karena selain gerainya fancy, produknya lengkap, harga produk di Krisna Bali juga tidak jauh berbeda dengan di tempat lain, seperti misalnya di Sukawati. Pusat oleh-oleh tradisional lain di Bali. Di Krisna Bali pengunjung yang datang tidak perlu susah-susah menawar, bahannya sedikit lebih bagus dengan pilihan yang lebih banyak.

Krisna Bali tumbuh dari satu gerai menjadi 10 gerai sepanjang hampir 15 tahun ini.
Gerai oleh-oleh di Krisna Bali di Surabaya. Foto: Dok. Krisna Bali

Setelah gerai pertama di Jalan Nusa Indah, Denpasar, saat ini Krisna Bali sudah memiliki Sembilan gerai lainnya. Delapan berada di Bali, sedangkan dua sisanya ada di Surabaya dan Jakarta. Ragam oleh-oleh yang dijual pun semakin beragam.

Sejumlah tempat oleh-oleh tiga-empat tahun terakhir bermunculan di Bali, namun yang menjadi ikon pusat oleh-oleh masih tetap Krisna.

Sudah pernah mampir ke Krisna Bali? Kalau belum, agendakan untuk mampir jika liburan ke Bali lagi.

agendaIndonesia

*****

Keroncong Tugu Warisan Portugis Sejak Abad 16

Keroncong Tugu Warisan Portugis

Keroncong Tugu warisan Portugis sejak abad 16 hingga kini masih terus bergema di kawasan Jakarta Utara. Tak banyak lagi yang memainkannya, memang, tapi Keroncong Tugu seolah menjadi prasasti keberadaan bangsa Eropa pertama yang menancapkan kakinya di Nusantara itu di negeri ini.

Keroncong Tugu Warisan Portugis

Kangen musik keroncong? Cobalah sesekali mampir ke markas Keroncong Tugu di Koja, Jakarta Utara. Di sini sesekali kelompok musik yang terdiri dari delapan orang kadang manggung di gazebo yang disulap menjadi panggung musik. Delapan pemusik berpakaian koko, bertopi baret, dan berkalung syal ala Portugis berjajar di gazebo.

Adalah Guido Quiko yang kini sering tampil sebagai frontman. Ia sejatinya pemain gitar kelompok ini, namun sesekali ia ikut melantunkan lagu.

Dengan jumlah penonton yang tak terlalu banyak, Keroncong Tugu terus bersemangat memainkan nomor-nomor lama yang masih memanjakan telinga penggemar mereka. Seperti malam itu. Setelah menyapa pendek penonton, Guido lantas saling memberi isyarat ke pemusik lainnya. Layaknya sebuah kode, tujuh musikus di belakangnya langsung siap dengan alat masing-masing.

Guido lebih dulu membunyikan sepotong melodi. Terdengar alunan gitar yang harmonis. Entakan rebana lantas spontan menyambutnya. Begitu pula dengan contrabass, violoncello, macina, frunga, dan biola. Masing-masing membentuk melodi yang padu. Lagu Oud Batavia berdengung merdu.

Suara Guido masuk, melantunkan lirik dengan bahasa yang cukup asing: campuran antara Portugis Kreol, Belanda, dan Melayu. Dalam beberapa bagian, terucap satu-dua kata berdialek Betawi yang humoris. Pemusik lain juga menyelingi dengan celotehan yang memantik gelak tawa. Hasilnya, ketukan 4/4 dengan chord yang diulang-ulang tak membikin penonton bosan.

Meresapi lagu membawa ingatan ke zaman 1950-an. Di masa itu, Portugis melakukan pelayaran pertamanya ke Malaka, di bawah “asuhan” Alfonso de Albuquerque. Dalam bayangan, budak-budak kapal berpesta hampir tiap waktu. Mereka asyik bergoyang tarian Moresca. Ditambah dengan iringan rentak musik serupa.

Alunan crong-crong dari macina dan frunga makin lirih. Tempo rebana melambat. Suara Guido tak terdengar. Dentuman contrabass dan instrumen violoncello melambat. Hanya bunyi bow menggesek senar biola masih santer. Violinis separuh baya, yang mengambil posisi di samping Guido, menutup lagu dengan gangsar.

Tuntas menamatkan Oud Batavia, Gatu Matu giliran menjadi lagu pelipur. Kali ini Guido mengajak rekan penyanyinya, Nining Yatman, tampil di panggung. Perempuan dengan cengkok yang kental itu sudah lama bergabung dengan orkes Keroncong Tugu. Memakai setelan kebaya Betawi, Nining menampilkan figur sebagai “keturunan gang kelinci” sesungguhnya. Rautnya riang, gerakannya lincah. Kala berdendang, ia melafalkan lagu dengan laur, meski lirik harus diujarkan penuh lantaran bahasanya gado-gado. Penonton ikut bergoyang, terbius tarian Nining.

Lagu yang didendangkan Nining, yang bercerita tentang kucing hutan tapi dikisahkan dalam bahasa Portugis Kreol, itu makin mempertegas karakter permainan kelompok Guido dan kawan-kawan. Selain kostumnya yang menyerupai pengembara suku Moor—bertopi baret—dari irama, syair, dan gaya memainkan alat musik, nyata betul bahwa seni yang dibawakan merupakan hasil akulturasi budaya. “Kami memang keturunan Portugis yang ‘tertinggal’ di Batavia,” tutur Guido tersenyum.

Guido merupakan generasi keempat keluarga Quicko. Kemunculan musik keroncong tak lepas dari sejarah kedatangan moyang Guido ke Batavia—kini jadi Jakarta. Mulanya, ketika Belanda datang ke Malaka pada 1641, orang-orang Portugis, yang sebelumnya berkuasa, “dibuang”. Sekitar 23 dari 800 keluarga yang didepak Belanda disingkirkan ke kawasan hutan belukar di tenggara Batavia, yang kini menjadi Kampung Tugu. Di sana, mereka terasing dari keramaian. Sebagai hiburan, 23 keluarga itu menciptakan alat musik dari kayu waru dan pohon-pohon yang ada di sekitarnya. Bentuknya menyerupai gitar. Namun senarnya hanya lima. Mereka menyebutnya jitara. Kala dibunyikan, suaranya nyaring. Crong-crong. Karena itu, mereka menamai keroncong untuk perpaduan musik jitara dan bunyi-bunyian lain.

Lantas, berkembanglah jitara dengan ukuran yang lebih kecil. Namanya macina dan frunga. Macina memiliki empat senar, sedangkan frunga tiga senar. Keduanya memiliki ukuran yang berbeda, dengan suara yang berlainan pula. Setelan chor­d-nya pun tak sama. “Frunga memiliki setelan internasional. Kalau macina naik empat nada,” tutur Guido.

Macina dan frunga dibentuk dari kayu kembang kenanga agar kuat dan suaranya nyaring. Senarnya terbuat dari kulit kayu waru yang dikeringkan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, lantaran keterbatasan bahan baku dan alasan keefektifan, peranti tersebut dapat digantikan dengan senar pancing. Suaranya sama: memantulkan karakter yang tegas. Bahkan, di panggung terbuka, seperti malam itu, tanpa pengeras suara pun, irama garukan senar macina dan frunga terdengar paling nyaring.

Jitara kini tak dibuat lagi karena ukurannya terlalu besar. Guido pun memboyong gitar, bukan jitara, saat tampil. “Karena jitara besar, kayunya pun otomatis harus yang ukurannya besar. Selain terhambat pembuatan, pohon bisa habis ditebang untuk membikin jitara,” ujarnya. Yang dipertahankan dari tradisi moyangnya adalah frunga dan macina. Kedua alat musik itulah kini yang menjadi nyawa Keroncong Tugu.

Komponen lain yang dihadirkan untuk menyelaraskan musik adalah rebana, biola, violoncello, contrabass, dan gitar. “Rebana muncul untuk menguatkan kesan Betawi. Hanya kami (Keroncong Tugu) yang memakainya,” ucapnya. Rebana bertindak sebagai perkusi, sedangkan yang lain membentuk melodi.

Nyanyian-nyanyian berikutnya berkumandang. Larut kian membakar panggung. Selendang Mayang, Gang Kelinci, Cafrinho, dan Moressco berturut-turut menghibur. Jiwa-jiwa militan mengawinkan nada demi nada. Sekali garuk senar, nyawa satu sama lain menyatu. Tak heran kalau Malaysia, Timor Leste, Belanda, dan beberapa kota di Indonesia doyan mengundang kelompok itu manggung.

Mempertahankan Tradisi

Di masa lalu, Keroncong Tugu berhasil membius masyarakat sekitar. Lambat laun, perkampungan keturunan Portugis itu menjadi tenar. Dua-tiga di antaranya lantas “memboyong” keroncong ke luar dan mengembangkan dengan pakem baru.

Setelah kondang, Keroncong Tugu dibuat menjadi kelompok resmi. Pemukanya adalah Joseph Quicko. Ia bergerilya mulai 1925. Sayangnya, perjalanan musik Keroncong Tugu tak terlampau mulus. Saat keadaan politik tak stabil pada 1950-1970-an, kelompok ini dibekukan. Kala Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, baru ia meminta Keroncong Tugu kembali dihidupkan.

Kala itu, kepemimpinan kelompok di tangan Jacobus Quicko, adik Joseph Quicko. Tak lama setelah bendera kelompok yang semula bernama Orkes Pusaka Keroncong Morresco Tugu Ano 1971 itu berkibar, Jacobus meninggal. Tampuk kepemimpinan diserahkan kepada Samuel Quicko, ayah Guido. Ia didapuk sebagai punggawa hingga 2006. Kini bendera kepemimpinan sudah beralih ke tangan Guido.

Meski sudah melewati fase empat kepemimpinan, formasi Keroncong Tugu tetap dipertahankan. Pakem, aransemen, dan gayanya tak membelot. “Sebab, kami mempertahankan tradisi,” ucap Guido.

F. Rosana/A. Prastyo

Alat-alat Musik

Biola atau fiddle dimainkan dengan cara digesek. Tugasnya, membangun melodi. Memiliki empat senar, di antaranya bernada G, D, A, dan E.

Violoncello atau disingkat cello masih satu keluarga dengan biola. Cara membunyikannya dengan digesek. Bisa pula dipetik. Tugasnya sebagai fondasi dalam suara orkestra.

Contrabass sering juga disebut doublebass karena suara yang dihasilkan lebih rendah dua oktaf dibandingkan dengan violoncello. Ukuran alat musiknya juga lebih besar. Bahkan paling besar di antara semuanya.

Gitar menjadi pembentuk melodi. Alat musik yang digunakan dalam keroncong ini fungsinya menggantikan jitera.

Macina adalah gitar kecil bersenar empat. Suaranya nyaring dan membentuk anomatope: crong-crong. Inilah yang disebut nyawanya keroncong.

Frunga lebih kecil daripada macina. Senarnya tiga, dengan setelan yang berbeda dengan macina. Frunga dibuat lebih kecil agar pukulan iramanya berbeda dan sebuah instrumen menjadi kaya nada.

Rebana menjadi alat musik khas dalam kelompok Keroncong Tugu. Tugasnya menjadi perkusi dan memperkuat tempo. Fungsinya mirip dengan gendang, hanya suaranya berlainan.

Lapis Bogor Sangkuriang, Lembut Mulai 2011

Lapis Bogor Sangkuriang menjadi ikon oleh-oleh dari Bogor.

Lapis Bogor Sangkuriang membawa keunikan tersendiri dalam khasanah kue lapis di Indonesia. Kalau biasanya lapis dibuat menggunakan bahan tepung terigu, lapis yang satu ini dibuat dari tepung talas yang membuat tekstur, rasa serta aromanya berbeda dari lapis kebanyakan.

Lapis Bogor Sangkuriang

Mungkin itulah alasan mengapa lapis talas yang kini akrab disebut lapis Bogor itu menjadi salah satu oleh-oleh populer dari kota hujan tersebut. Ia menjadi alternatif yang menarik bagi para wisatawan, disamping buah tangan lainnya seperti roti unyil, asinan dan sebagainya.

Talas sendiri memang cukup identik dengan kota Bogor. Tumbuhan berjenis umbi-umbian tersebut merupakan salah satu hasil bumi yang lazim ditemukan di sini, dan kerap digunakan sebagai bahan dalam membuat beragam jenis makanan.

Salah satu contoh makanan olahan talas yang umum ditemukan adalah talas kukus, yang juga cukup populer di Bogor sebagai cemilan hangat di kala hujan. Talas juga sering dijumpai di beberapa jenis masakan sayur-sayuran seperti sayur asem, sayur lodeh, dan sayur lompong.

Lapis Bogor Sangkuriang melengkapi khasanah pariwisata Bogor, seperti Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor
Kijang di pekarangan Istana Bogor. Foto: unsplash

Seiring berjalan waktu, orang-orang kemudian mulai bereksperimen dan membuat beragam jenis olahan kuliner dari talas yang baru. Muncullah penganan-penganan seperti puding talas, talas goreng tepung, es krim talas, dan lain lainnya.

Tak terkecuali Lapis Bogor Sangkuriang, yang dipelopori oleh pasangan suami istri Anggara Kasih Nugroho Jati dan Rizka Wahyu Romadhona. Kebetulan, mereka sudah pernah memiliki pengalaman usaha di bidang kuliner, kendati beberapa kali gagal.

Bahkan, mereka pernah sekedar berjualan bakso gerobak dengan modal seadanya, kendati terhitung relatif sukses. Namun, mimpi mereka berdua sebagai warga Bogor asli adalah memiliki bisnis penganan oleh-oleh yang bisa menjadi ikon di kota sendiri.

Saat memulai usaha lapis talas ini pun, konon modal yang dikeluarkan hanya sekitar Rp 500 ribu. Dengan mengandalkan proses produksi rumahan, mereka pun mulai bereksperimen hingga menemukan resep lapis talas tersebut.

Pada 2011, mereka pun memberanikan diri membuka toko pertama lapis Bogor Sangkuriang di kawasan jalan Soleh Iskandar. Setelah awalnya memproduksi dari rumah, proses produksi produk-produk kue lapis mereka lantas dipusatkan di toko tersebut.

Toko itu semakin menarik perhatian khalayak luas, dan pembeli pun terus ramai berdatangan. Hanya sekitar satu tahun berselang, mereka mampu mendirikan dua toko cabang di kawasan jalan Padjajaran dan di area wisata Puncak, untuk menjangkau lebih banyak konsumen.

Dengan permintaan konsumen yang semakin besar, pusat produksi lapis Bogor Sangkuriang sempat berpindah beberapa kali ke lokasi yang lebih besar. Awalnya pada 2013 pusat produksi dipindah ke area Tanah Baru, sebelum pada 2017 ditempatkan di Kawasan Industri Sentul.

Lapis Bogor IG
Aneka pilihan produk Lapis Bogor. Foto: IG Lapis Bogor

Dengan kapasitas mega produksi dan sekurangnya sekitar 14 cabang toko, ditambah beberapa toko mitra, lapis Sangkuriang telah menjelma menjadi salah satu penganan oleh-oleh Bogor terpopuler. Pelanggannya berkisar dari kalangan pelancong hingga warga lokal.

Tak hanya itu, kini lewat payung usaha PT Agrinesia Raya, mereka mampu melebarkan usaha mereka ke kota lain dengan produk-produk tersendiri yang khas. Seperti contohnya Bakpia Kukus Tugu Jogja, yang turut meraih sukses sebagai buah tangan ikonik di kota pelajar tersebut.

Kesuksesan tersebut berasal dari keunikan produk mereka yang tak dimiliki produk lain. Seperti halnya lapis Bogor Sangkuriang yang dibuat dengan tepung talas, sehingga memiliki ciri seperti warna ungu yang mencolok, tekstur yang lembut di mulut serta aroma harum yang begitu khas.

Biasanya pada varian original, lapis talas ini ditambahkan dengan topping parutan keju. Pada perkembangannya, muncul pula beragam jenis varian lainnya, seperti cocopandan, custard susu, chocolate vanilla keju, chocolate vanilla oreo, blackforest, kopi susu dan durian keju.

Tak hanya ragam varian rasa, produk juga tersedia dalam dua jenis ukuran, yakni ukuran mini 250 gram dan ukuran reguler 500 gram. Lapis berukuran mini dibandrol Rp 19 ribu, sementara lapis ukuran reguler harganya Rp 37 ribu.

Seakan tiada henti berinovasi, kini muncul pula produk-produk baru hasil pengembangan dari lapis talas tersebut. Misalnya pada 2019 silam, ketika mereka merilis lapis bunder alias lapis talas berwujud serupa donat, dengan ukuran yang lebih kecil dan praktis.

Lapis bunder tersedia dalam pilihan rasa coklat, keju dan coklat blueberry, dengan harga Rp 25 ribu. Lain daripada itu, baru-baru ini diluncurkan pula produk cupcake talas rasa keju dan coklat, yang dihargai Rp 20 ribu.

Toko Lapis Bogor Sangkuriang Darmaga IG
Gerai Lapis Bogor Sangkuriang di kawasan Dramaga, Bogor. Foto: IG Lapis Bogor

Selain inovasi produk-produk baru tersebut, tentunya mereka juga terus berupaya mempertahankan reputasi yang telah tersohor dan pelanggan yang kian hari terus bertambah. Seperti misalnya standar bahan baku yang senantiasa dipertahankan demi kualitas rasa.

Upaya lainnya adalah tidak digunakannya bahan pengawet, agar rasa setiap produknya konsisten. Lapis Bogor Sangkuriang sendiri lazimnya mampu bertahan awet sekitar empat hari, atau tujuh hari bila diletakkan di dalam kulkas.

Satu hal yang menarik untuk diperhatikan adalah biasanya tiap toko mendapatkan hasil produksi terbaru pada jam 07.00, 15.00 dan 19.00. Sehingga disarankan untuk datang pada jam-jam tersebut, karena kerap kali stok cepat habis akibat tingginya permintaan.

Disarankan pula untuk mampir membeli pada hari biasa. Lantaran saat akhir pekan atau hari libur, tak jarang toko-toko sudah diserbu pengunjung sejak dibuka jam 06.00 hingga tutup jam 22.00. Bahkan banyak yang rela menunggu di antara antrean yang mengular.

Lapis Bogor Sangkuriang

Jl. Soleh Iskandar no. 18C, Bogor

Jl. Padjajaran no. 20i, Bogor

Jl. Raya Dramaga no. 21, Bogor

Jl. Cahaya Raya Blok L, Kawasan Industri Sentul

Instagram: @lapisbogor

agendaIndonesia/audha alief P.

*****

Pie Susu Bali, Legit Dalam 7 Sentimeter

Pie susu Bali oleh-oleh yang cocok untuk kapan saja.

Pie susu Bali pernah menjadi salah satu pilihan mudah untuk membawa buah tangan saat liburan ke Bali. “Pernah mudah”, sebab kudapan ini cukup banyak diperoleh di kota-kota besar di Indonesia. Orang terpaksa berpikir membawa oleh-oleh apa lagi dari Bali. Tentu membawa pie susu juga boleh.

Pie Susu Bali

Pie Susu Bali seakan memang identik sebagai cemilan khas Pulau Dewata. Jajanan ini memiliki citarasa manis dan gurih khas susu dengan pinggiran kue yang renyah.

Sejatinya pie susu Bali bukanlah kuliner asli Indonesia. Kudapan ini adalah salah satu kuliner peranakan  dari negara lain. Pie susu Bali adalah kue peranakan yang melebur dengan budaya Indonesia. Menurut kisahnya, pie susu Bali merupakan perpaduan antara pie susu Hong Kong dan pie Portugis.

Pie susu termasuk ke dalam jenis pastry yang sangat populer di Portugal. Di negara asalnya, pie dicetak bundar dengan diameter 4-5 centimeter, lalu diisi dengan egg custard yang terdiri dari campuran susu,telur, dan juga gula. 

Pie susu Bali dapat diperoleh di banyak toko-toko oleh-olh seperti Krisna Bali.
Toko oleh-oleh Krisna Bali.

Dari sejumlah sumber informasi, awalnya pie susu diperkenalkan oleh Tengs Cha Chaan pada tahun 1940-an di Hong Kong. Pertama kalinya, pie susu dibuat untuk menyaingi restoran dim sum yang sangat terkenal. Tak lama kemudian, pie susu dijual di kafe dan toko-toko roti Barat dan Eropa.

Begitupun, pie susu Hong Kong ternyata juga bukanlah kuli Fner khas negara pulau milik RRC itu. Kudapan ini hasil adaptasi makanan tart custard dari negara penjajah mereka, yakni Inggris.

Sebuah teori menyatakan bahwa kue pie susu Hong Kong sebenarnya mengadaptasi tart custard yang berasal dari Inggris. Canton yang memiliki kontak dengan Inggris disebut-sebut sebagai awal mula proses adaptasi ini.

Apalagi sebagai bekas koloni Inggris, Hong Kong juga mengadopsi beberapa makanan Inggris, sehingga makin memperkuat teori pie susu yang berasal dari Inggris.

Sementara itu teori lain menyatakan bahwa pie susu sangat mirip dengan salah penganan yang berasal dari Portugis. Makanan itu namanya past de nata. Kue ini dianggap dibawa oleh koloni Portugis saat berada di Macau.

Jadi jika pun ada hubungannya dengan pie Portugis, kemungkinan ada kaitannya dengan posisi geografis Hong Kong yang berhadapan langsung dengan Macau, 45 menit menyeberang lewat selat yang menghubungkan ke duanya.

Begitupun, ada perbedaan yang mendasar antara pie susu Hongkong dan pie susu Portugis. Perbedaannya terletak pada pinggiran pie susunya. Hong Kong lebih memilih menggunakan pinggiran puff pastry, sedangkan Portugis berupa shortcrus pastry.

Dalam masakan Hong Kong modern, pie susu hadir dalam berbagai varian seperti pie madu telur, pie putih telur, pie coklat, pie green tea, dan juga pie jahe. Semua jenis pie ini merupakan variasi dari pie susu tradisional yang telah disajikan Tengs cha Chaan.

Pinggiran dari pie susu Hongkong ini secara keseluruhan ada dua jenis, yakni shortcrust pastry atau puff pastry. Kebanyakan pembuatan pie susu Hongkong menggunakan lemak babi daripada shortening atau mentega. Jadi mungkin lebih hati-hati jika mengkonsumsi ini di Hong Kong.

Pie Susu Bali shutterstock
Pie susu Bali cocok sebagai kudpan teman minum kopi. Foto: shutterstock

Lalu bagaimana dengan pie susu Bali? Bila diamati terksturnya, bentuk pie susu Bali lebih mirip dengan shortcrust pastry Portugis. Namun, isiannya yang berupa eggs custard lebih condong menyerupai pie susu dari Hong Kong.

Perbedaan lain pie susu  Bali dan pie susu dari negara barat terletak pada kulit pie yang dicetak bundar dengan diameter tujuh centimeter. Kulit pie khas Bali dicetak sangat tipis dan renyah, selain itu egg custard-nya tak terlalu tebal sehingga tak membuat mual saat dimakan.

Satu lagi yang kadang rancu bagi wisatawan dari luar Bali ketika hendak membeli pie susu. Ada saja wisatawan yang menganggap pie susu sama dengan pia. Terutama ketika hendak mencari “pie susu merek Legong”. Padahal yang ini adalah jenis pia.

Banyak yang beranggapan bahwa pie susu dengan pia adalah satu makanan yang sama. Ke dua kue ini memiliki cita rasa serta bentuk yang berbeda.

Pia berbentuk bulat dengan dibalut empat hingga lima lapis kulit yang renyah. Ini lebih mirip bakpia di Yogya. Sedangkan pie hanya memiliki satu lapis kulit renyah yang hanya ada di pinggiran kue.

Begitupun ke dua camilan itu sangat cocok untuk memanjakan lidah ataupun untuk oleh-oleh khas dari Pulau Bali. Perpaduan rasa manis dan gurih dari pie susu bisa dengan cepat memulihkan mood untuk tetap produktif setiap harinya.

Pie Susu Bali Dhian Dok. Pie Dhian
Pie susu merek Dhian. Foto: dok. Pie susu Dhian

Pie susu Bali selalu membuat penggemarnya tak bisa berhenti makan, karena pie ini selalu berhasil membuat ketagihan. Jajanan Pie Susu khas Bali memiliki rasa yang enak sehingga tak perlu khawatir merasa eneg jika mengkonsumsi makanan ini dalam jumlah yang banyak.

Pie susu Bali mudah ditemukan di toko-toko oleh-oleh di banyak tempat di Bali. Mereknya pun bermacam-macam. Semuanya enak.

agendaIndonesia

*****

Bandung Utara Dalam 2 Hari

Lembang Bandung.niko budi mulyono unsplash

Bandung Utara dalam 2 hari, apa saja yang bisa dinikmati? Bagi masyarakat Jakarta, ibukota Jawa Barat itu masih menjadi salah satu andalan melepas penat di akhir pekan. Tapi jika bosan dengan atraksi di dalam kota, terlebih jika akhir pekan, lalu lintas ibukota Parahyangan ini seperti Jakarta hari-hari biasa. Bahkan sejak mau keluar tol di Terusan Pasteur.

Bandung Utara Dalam 2 Hari

Daripada berkutat dengan kendaraan-kendaraan yang mengular panjang dan kemacetan yang tak ada habisnya di jantung kota Bandung saat akhir pekan, cobalah sesekali memilih bertandang wisata Lembang dan Dago Pakar yang posisinya di utara kota tersebut.

Mengunjungi dataran tinggi dengan hawa dingin yang memeluk sepanjang hari bisa membikin pikiran kembali segar dan kepenatan hilang seketika. Paling tidak, dua hari di puncak lumayan bisa mengembalikan atmosfer positif yang berantakan lantaran hiruk-pikuk yang kudu dijumpai tiap hari di kota.

Strategi awal: pilihkah hotel yang lokasinya di kawasan utara Bandung. Misalnya di Lembang, atau di kawasan Setiabudi, Bandung. Lalu dari Jakarta berangkatlah pagi-pagi dan langsung menuju spot pertama. Berikut jadwal yang mungkin bisa jadi inspirasi.

HARI PERTAMA

Farm House Lembang
Wisata Lembang ke Farm House. Dok TL. A. Prasetyo

Farm House Susu Lembang

Belakangan, tempat wisata ini jadi tujuan utama para pelancong tatkala bertandang ke Bandung bagian utara. Ada sebuah ikon yang diburu di sana, yakni rumah hobbit. Rumah mungil yang dibikin mirip dengan tempat tinggal kurcaci dalam film Snow White itu menampung sejumlah hewan bertubuh kecil, seperti tupai dan marmut. Ada pula sebuah bangunan berbentuk botol susu yang mencerminkan ciri khas tempat perah.

Secara langsung, pengunjung juga dapat menemukan peternakan sapi mini, sekaligus dapat merasakan sensasi memberinya makan dan minum. Tidak hanya ada sapi, di dalam terdapat domba-domba yang menggemaskan. Untuk masuk ke tempat ini, pelancong perlu membayar tiket Rp 25 ribu, sudah termasuk mendapatkan segelas susu sapi segar dengan tiga varian rasa: cokelat, stroberi, dam vanila.

Farm House Susu Lembang bisa pula ditempuh dari Stasiun Kereta Api Bandung dengan waktu 48 menit.

Floating Market Lembang

Floating Market Lembang
Wisata Lembang ke Floating Market. Dok. JL-A. Prasetyo

Seusai menikmati sensasi beternak sapi, minum susu murni, dan berfoto diri di depan rumah hobbit di Farm House Susu Lembang, mengunjungi floating market adalah pilihan menarik. Lokasinya tak jauh dari peternakan mini itu, yakni di Jalan Grand Hotel, Lembang. Kalau naik kendaraan, bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 12 menit.

Tempat ini dulunya merupakan sebuah situ bernama Situ Umar. Lataran memiliki potensi visual yang tak main-main lantaran dilingkupi kawasan perdesaan dan pegunungan yang asri, tempat tersebut lantas disulap menjadi sebuah lokasi wisata dengan konsep warung apung. Sejumlah saung khas Sunda berjajar mengelilingi danau, menjajakan beragam penganan dan suvenir. Ada pula restoran dengan nuansa Jepang kental yang terletak di dekat gerbang masuk.

Menariknya, saat mendekatkan diri di danau, ratusan ikan koi akan menghampiri. Tentu menyenangkan buat anak-anak. Apalagi, terdapat berbagai wahana bermain yang seru di bagian belakang kawasan wisata. Tiket masuk per-orang dibanderol Rp 20 ribu.

Warung Hejo

Siang hampir sore, mengisi perut dengan makanan khas Sunda sepertinya menjadi ide yang menarik. Salah satu yang paling direkomendasikan adalah nasi timbel. Nasi timbel merupakan nasi pulen yang dibungkus dengan daun pisang. Beras yang digunakan ini umumnya khusus, yakni beras bagolo. Orang Sunda biasa menyandingkan nasi timbel dengan lalapan, sambal cabai hijau, teri, dan ayam atau daging sapi goreng. Tak lupa, sayur asam.

Tak sulit menjumpai penjaja nasi timbel di Lembang. Sebab, di warung-warung pinggir jalan, penjual umumnya menyediakan menu tersebut. Namun yang paling terkenal belakangan adalah Warung Hejo. Warung yang berlokasi di Jalan Kayu Ambon, Nomor 102, Kayu Ambon, Kayuambon, Lembang, ini, selain punya menu utama nasi timbel, juga menyajikan sensasi makan dengan atmosfer lokal yang kuat. Pengunjung bisa memilih makan di saung, di joglo. atau lesehan di balai-balai kayu yang disediakan di warung itu. Harga nasi timbel dibanderol mulai Rp 45 ribu.

Tahu Susu Lembang

Sebelum petang, mencari camilan untuk disantap bersama teh hangat malam nanti tentu menjadi hal yang wajib dilakukan pelancong kalau hendak menghabiskan hari di Lembang. Tahu susu yang kesohor itu menjadi pilihannya. Ada sebuah pabrik tahu susu yang terkenal, tepatnya di Jalan Raya Lembang Nomor 177, Jayagiri, Lembang. Di sana, pengunjung bisa memilih hendak membeli tahu susu yang mentah atau matang. Selain itu, bisa melihat proses produksinya.

Kalau tak ingin repot masuk pabrik, pelancong bisa membeli tahu susu di tempat wisata, seperti Floating Market. Ada beragam penjaja tahu susu yang membuka lapak di sana. Satu kotak berisi sepuluh tahu dihargai mulai Rp 20 ribu.

HARI KE DUA

Kebun Bunga Begonia

Memulai pagi dengan mengunjungi kebun bunga rasanya bisa membuat mood meningkat. Tempat ini bisa ditempuh hanya 13 menit dari Floating Market. Lokasi tepatnya berada di Jalan Maribaya nomor 120A. Dari luar, Begonia tak tampak seperti kebun yang menyimpan seratusan jenis bunga. Sebab, hanya terlihat bangunan kayu yang lebih mirip desain sebuah café. Namun, begitu masuk, pengunjung akan di bawa ke gerbang mungil yang langsung membawa mereka ke kebun dengan panorama bunga yang terhampar luas. Pengunjung langsung seperti berada di kotak miniatur Keukenhof yang berada di Lisse, Belanda. Warna-warni kembang yang tumbuh segar cocok untuk menjadi tempat melepaskan penat, juga berswafoto.

Bunga yang jadi “menu” utama di sini ialah begonia, sama seperti nama tempatnya. Bunga dengan kelopak yang memiliki warna-warna menyala itu umum tumbuh di Amerika Selatan, Amerika Tengah, dan Asia Selatan. Selain begonia, ada puluhan jenis bunga lain, seperti balinea, celosia, cosmos, dianthus, gloxinia, geranium, dan gomphrena. Selain itu, terdapat kebun sayuran di belakang taman bunga. Di sana, pengunjung dapat memberikan makan kelinci. Tiket masuknya tergolong murah lantaran hanya dibanderol Rp 10 ribu. Namun, jika membawa kamera DSLR, dikenai biaya tiket tambahan, yakni Rp 50 ribu.

Wot Batu

Sebuah art space milik seniman kawakan Sunaryo ini terlihat sangat artistik. Dari bibir jalan Bukit Pakar Timur, Ciburial, Cimenyan, tampak bangunan dengan dominasi unsur batu asimetris berdiri. Di dalamnya terdapat koleksi bebatuan yang ditata dan diukir macam-macam, dipajang di sebuah taman berbentuk persegi yang berbatasan langsung dengan view Kota Bandung. Tenang dan rileks adalah dua hal yang didapat ketika masuk ke galeri ini.

Wot Batu memiliki arti jembatan batu. Si empunya galeri menyebut tempat ini merupakan jembatan spiritual manusia. Tampak di bagian tengah taman itu terdapat sebuah gerbang atau pintu yang dibangun dari batu. Bangunan itu memiliki maksud perbatasan antara dunia kelahiran dan kematian. Di atasnya terdapat finger print Sunaryo yang diperbesar.

Wot Batu cocok menjadi tempat untuk menepi, merefleksikan diri, atau mencari ketenangan. Kalau mau berfoto diri juga bisa, tapi tak disarankan membuat kegaduhan dengan kelakar yang berlebihan. Pengunjung juga harus memperhatikan aturan yang berlaku. Di tempat itu, bila tamu ingin menginjak-injak area taman yang ditumbuhi rumput, mereka harus melepas alas kaki. Tiket masuk Wot Batu dibanderol Rp 50 ribu. Khusus mahasiswa atau seniman, hanya perlu membayar Rp 30 ribu.

Ardi/N. Adhi/ A. Pras/Niko Budi M-Unsplash

*****

Motif Tenun Siak, 3 Siku dan 3 Pucuk

Tenun Siak

Motif tenun Siak, 3 siku dan 3 pucuk barangkali sangat sedikit orang di luar wilayah Riau yang mengerti dan memahaminya. Tak hanya itu, bahkan secara wisata, Pekanbaru dan Riau masih sangat sedikit dilirik wisatawan. Baik lokal maupun manca negara. Padahal, di daerah ini dulunya adalah salah satu pusat kebudayaan Melayu.

Motif Tenun Siak

Sejak Indonesia merdeka, mungkin pengetahuan orang mengenai Siak, Pekanbaru atau Provinsi Riau umumnya, erat dengan sawit dan minyak,. Padahal Pekanbaru ternyata punya berlaksa kisah masa lampau yang menarik buat diulik.

Pada masa kolonial Belanda, kota ini pernah menjadi urat nadi perdagangan, khususnya di Sumatera. Lewat sungai Siak yang membelah Kota Pekanbaru, lalu-lintas perdagangan dari luar, seperti Semenanjung Malaya, menuju pedalaman Sumatera, yakni Tapung, Minangkabau, dan Kampar, berlangsung. Kota yang dulunya berjuluk Senapelan ini bahkan pernah menjadi lokasi ditumpuknya berbagai komoditas.

Posisi yang strategis membuat Senapelan berjaya. Orang-orang berbondong datang dari berbagai daerah membawa beragam logistik. Mereka menaiki kapal-kapal tongkang demi barter dan saling-silang kebutuhan pokok.

Makin ke sini, Pekanbaru bukan lagi seperti dulu. Denyut perdagangan lewat Sungai Siak hampir berhenti lantaran jalur darat mulai lancar. Pun dengan sejumlah tradisi Melayu lawasnya. Di antaranya tenun Siak.

Tenun Siak atau sering orang menyebutnya pula sebagai songket Siak tentu saja berasal dari Siak, Provinsi Riau. Kota yang letaknya sekitar 100-an kilometer dari Pekanbaru, ibukota Riau. Tradisi tenun ini dimulai sejak zaman kesultanan Siak Sri Indrapura. Tepatnya saat Tengku Said Ali, yang bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi bertakhta di Kesultanan Siak. Dari cerita mulut ke mulut, konon tradisi tenun Siak ini mendapat pengaruh dari Kesultanan Trengganu di Malaysia.

Kini praktis tak cukup banyak perajin kain tenun atau songket Siak tradisional. Kalau pun ada, umumnya menggunakan tenun mesin. Di antara yang tak banyak itu, jika Anda tertarik menelusurinya, cobalah datang kawasan Kampung Bandar di sekitar Pelabuhan Bunga Tanjung, pelabuhan rakyat yang menghubungkan Kota Pekanbaru dan Selat Panjang.

Di belakang pelabuhan itu, masih bisa ditemui rumah panggung tradisional khas Siak yang dibangun sejak 1887 yang memproduksi tenun Siak tradisional. Bunyi dari rumah panggung itu seperti beras yang diayak di atas nyiru. Terus kontinyu selama satu hingga dua jam. Paling di antaranya jeda sesekali. Suaranya tenang sekejap, kira-kira 3-5 menit. Setelahnya, bunyi mesin kayu berderu lagi.

Di rumah itulah Wawa Endi, seorang perajin tenun Siak, tinggal dan berproduksi. Di tangannya, alat tenun manual sepanjang kira-kira 160 sentimeter terus-terusan bergemeretak dari pagi sampai sore. Rot penggulung benang dan kain, yang letaknya berseberangan, serta berfungsi merentangkan benang-benang sepanjang dua meter, berputar ganti-gantian.

Wawa adalah satu dari sangat sedikit penenun kain Siak tradisional. Jarinya lihai mengayun lidi pungut untuk membentuk beragam motif bunga cengkeh, sebuah simbol kekayaan masyarakat Melayu. Juga menarikan pola, membentuk berekor-ekor kalong yang berjajar mekanis. Tangan kirinya kadang mengangkat benang yang direntangkan vertikal, sedangkan tangan kanannya menyusupkan lembar-lembar benang emas sesuai pola.

Motif tenun Siak
Motif Tenun Siak. Dok TL-A. Prasetyo

Lembaran emas yang disematkan di kain tenun khas Siak itu diimpor dari Cina. Ada juga yang dari Singapura. Keduanya punya kualitas yang sama dan harganya pun tak jauh beda. Hanya, benang emas dari Singapura membuat kain bertekstur lebih kaku. Biasanya, kain dengan sentuhan benang emas Singapura dipakai untuk sarung, bagi laki-laki, dan selendang bagi perempuan. Sedangkan kain dengan sentuhan benang emas dari Cina acap dijahit menjadi baju.

Nuansa tenunan emas tersebut memperkuat kesan ‘calak’ yang melekat pada selembar kain tenun. Maklum, tenun kebesaran orang-orang Melayu ini memiliki ciri warna-warna cerah dan berani. Dari sejarahnya, benang yang dipakai untuk menghasilkan tenun Siak memiliki warna hijau, kuning, dan merah. Namun dalam perkembangannya, beragam inovasi muncul mendobrak aturan terhadap warna yang dipakai. Warna kain tenun Siak menjadi lebih beragam.

Menyematkan lembar emas di antara 3.486 helai benang tentu tak mudah. Satu lembar kain tenun Siak umumnya selesai dalam waktu 10 hari. Bisa lebih cepat jika si perajin sedang giat bekerja. Atau pesanan yang waktunya mendesak.

Corak atau motif kain tenun Siak Salah satunya kaya akan bunga cengkeh. Bunga cengkeh menyiratkan komoditas utama masyarakat yang tinggal di bumi Melayu. Selain bunga cengkeh, terdapat motif bertabur kalong, yang memiliki filosofi sifat berwibawa dan bertanggung jawab, representasi seorang pemimpin atau raja.

Memang, seturut dengan budayanya, kain tenun Siak merupakan simbol prestisius bagi pemakainya. Kain ini mulanya hanya dipakai di lingkungan kerajaan Siak Sri Indrapura. Yang mengenakan pun orang-orang kalangan bangsawan atau keturunan darah biru. Tak khayal, dari segi motif, tenun Siak mengangkat corak-corak yang mengandung nilai-nilai sakral, loyalitas, dan pengabdian—representasi seorang pemimpin.

Secara umum kain Siak memiliki 3 motif Siku dan 3 motif Pucuk. Masing-masing dengan maknanya. Ada Siku Keluang, Siku Awan, dan Siku Tunggal. Siku Keluang memiliki maknapribadi yang memiliki sifat bertanggung jawab yang menjadi idaman orang Melayu Riau. Siku Awan berartibudi pekerti, sopan santun, dan kelembutan akhlak, menjadi asas tamadun Melayu.

Sedangkan Siku tunggalmencerminkan sikap atau perilaku orang Melayu yang amat mengutamakan “persebatinan iman atau perpaduan umat” baik antara sesama Melayu atau pendatang. Landasan ini yang membuat orang Melayu menerima siapa saja yang datang.

Sementara itu, motif Pucuk juga ada tiga, yakni Pucuk rebung kaluk pakis bertingkat; Pucuk rebung bertabur bunga ceremai, dan Pucuk rebung penuh bertali.

Pucuk rebung kaluk pakis bertingkat berarti Pucuk rebung (kesuburan) mengandung makna kemakmuran hidup lahiriah dan batiniah. Kaluk pakis bertingkat (nilai tahu diri) merupakan sifat yang amat penting, sesuai dengan ungkapan tahu diri dengan perintah, tahu duduk dengan tegaknya, tahu alur dengan patutnya.

Pucuk rebung bertabur bunga ceremai bermakna nilai kasih saying, hormat-menghormati, lemah lembut, dan bersih hati, menjadi acuan dalam budaya Melayu Riau, banyak dilambangkan dengan hampir semua motif bunga. Serta Pucuk rebung penuh bertali yang berarti nilai budaya Melayu sangat dipengaruhi nilai-nilai Islam yang memberi tuntunan dan bimbingan agar manusia memiliki akhlak mulia sehingga menjalankan kehidupan yang benar.

Di luar motif Siku dan Pucuk, masih ada motif Daun tunggal mata panah tabir bintang, yakni corak dasar Melayu bersumber dari alam flora (bunga, kuntum, daun, dan buah), mengandung nilai falsafah keluhuran, kehalusan budi, keakraban, dan kedamaian. Dan motif Wajik sempurna yang melambangkan sifat Allah yang pemurah agar mendapatkan kasih dan kemurahan dari Allah, sepatutnya manusia bersyukur atas nikmat serta kurnia yang dilimpahkan.

Sehari-hari, kelompok perajin tenun Siak tradisional ini menggarap pesanan dari berbagai kalangan. Mereka menenun dari pukul 10 pagi sampai pukul 4 sore. Penggarapnya berganti-gantian lantaran alat tenun yang tersedia cuma tiga. Sisanya akan menggarap pekerjaan lain, semisal memintal benang, mengemas kain yang sudah selesai ditenun, sampai memasak untuk makan siang.

Waktu berjalan, budaya berganti. Perempuan dari keluarga Siak biasa pun kemudian diajari untuk menyungkit kain warisan kerajaan tersebut. Kemudian, tenun Siak juga tak cuma dipakai kaum bangsawan untuk rangkaian upacara atau seremoni tertentu. Seperti batik, tenun Siak meluas fungsinya menjadi kain yang digunakan untuk beragam acara.

Penduduk biasa pun mulai membuka usaha tenun, di sepanjang Sungai Siak—yang membentang dari Tapoeng, Kampar, dan bermuara di Selat Panjang. Budaya menenun kain merembet sampai Pekanbaru. Bahkan, tenun ini kini lebih populer ditemukan di Pekanbaru daripada di tanah muasalnya.

Beberapa orang mengatakan alasannya karena pasar yang lebih jelas. Selain itu, relevansi historis ternyata turut mempengaruhi. Sejarah Riau mencatat, pada 1762, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahkan pusat Kerajaan Siak Sri Indrapura dari Mempura Besar ke Bukit Senapelan, wilayah Kampung Bandar. Banyak orang asli Siak bermigrasi ke sana. Mereka disebut sebagai orang Pokan, yakni orang yang merantau akibat perdagangan. Mereka lantas membuka usaha tenun.

Meski dihantam inovasi atau bergerak meluas dari tanah asalnya, tak ada yang berubah dari nilai simbol tenun Siak, utamanya perihal motif. Penenun tetap mempertahankan corak demi corak, sesuai bentuk mula tenun tersebut berkembang. Stylisasi flora, fauna, dan alam sekitar, terjaga utuh di lembaran kain berharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah itu.

F. Rosana/A. Prasetyo

Tenun Sutera Sengkang, Budaya Sejak 1400

Tenun Sutera Sengkang khas masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan.

Tenun sutera Sengkang dari Sulawesi Selatan memperlihatkan kekayaan budaya dan tradisi Indonesia, khususnya bagi masyarakat Bugis. Sulawesi Selatan dengan masyarakat Bugis-nya merupakan salah satu masyarakat di Indonesia yang memiliki budaya menenun kain sutera sejak tahun 1400-an.

Tenun Sutera Sengkang

Ada begitu banyak keunikan adat istiadat mulai dari tradisi dan upacara adat, hingga rumah adat yang dimiliki suku ini. Salah satu di antaranya adalah kain tenun sutera.

Sutera dalam bahasa Bugis disebut “sabbe”, hasil dari ulat sutera ini kemudian dijadikan kerajinan tenun yang menjadi kebanggaan suku Bugis. Hasilnya dipergunakan anggota masyarakat sebagai pakaian adat. Dan di antara motif kain sutera Bugis yang terkenal, adalah kain tenun sutera Sengkang.

Kain tenun Sengkang adalah kain sutera motif warisan nusantara Sulawesi Selatan. Sengkang merupakan ibu kota dari Kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan. Berjarak kurang lebih 250 kilometer dari Makassar, Sengkang dikenal sebagai kota penghasil sutera terbesar di Sulawesi Selatan

Tenun Sutera Sengkang menjadi ciri khas produksi masyarakat Kabupaten Wajo.
Danau Tempe yang ada di kabupaten ini. Foto: situs Desa Lampulung

Bagi masyarakat Bugis kain tenun memiliki nilai tradisi dan budaya dari nenek moyang mereka yan sudah berusia ratusan tahun. Kain tenun menjadi pakaian keseharian dan sebagai alat untuk menutup tubuh dalam dalam menahan pengaruh dari alam sekitar.

Kain tenun sutera Sengkang juga digunakan sebagai hadiah dan simbol status  yang dianggap suci. Tak hanya itu kain tenun juga merupakan pakaian dan benda yang digunakan dalam upacara adat.

Di Kabupaten Wajo terdapat mulai dari petani ulat sutera hingga perajin tenun sutera. Salah satu desa di kabupaten ini, yakni Desa Pakanna, bahkan dijuluki sebagai kampung penenun. Wajo merupakan daerah penghasil sutera terbesar di Sulawesi Selatan.

Dari hulu ke hilir, hampir seluruh wilayah di Kabupaten Wajo ini dipenuhi oleh petani ulat sutera hingga perajin tenun sutera. Produktivitas sutera tersebut, memicu pengembangan produksi kain tenun Sengkang yang dikenal sebagai kain sutera motif warisan nusantara dari Sulawesi Selatan.

Proses pembuatan benang sutera menjadi kain kain sutera oleh masyarakat umumnya masih dengan cara tradisional. Demikian pula dengan proses penenunan dari benang menjadi kain, masih menggunakan peralatan tenun tradisional.

Alat tenun tradisional di sini disebut alat tenun gedongan. Dari alat ini diproduksi kain-kain tenun sutera dengan bergabai macam motif dan corak. 

Tenun Sutera Sengkang memakai alat tenun tradisional. Foto: iStock

Pelbagai jenis corak dan motif yang diproduksi seperti “Balo Tettong”, ini motif bergaris atau tegak; motif “Makkulu” yang artinya melingkar; motif “Mallo’bang” yang berarti berkotak kosong; atau motif “Balo Renni” ini artinya berkotak kecil.

Selain itu ada juga diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan “Wennang Sau” atau lusi timbul serta corak “Bali Are” dengan sisipan benang tambahan yang mirip dengan kain Damas.

Motif khas tenun sutera Sengkang di antaranya adalah Sirsak Coppobola, Ballo Makalu, Ballo Renni, Cabosi dan Lagosi serta motif nusantara lainnya.

Setiap motif kain tenun Sengkang memiliki makna simbolisnya masing-masing. Misal saja, motif Mappagiling. Motif ini konon dibuat oleh seorang wanita yang ditinggal  suaminya namun akhirnya suaminya kembali pulang karena melihat motif tersebut yang dibelinya dari seorang pedagang sutera yang menjual kain motif hasil tenunan istrinya.

Setiap warna juga dipertimbangkan, sebab bagi masyarakat Bugis, setiap warna memiliki makna tertentu. Misalnya saja warna merah yang berarti berani karena benar, putih yang berarti kesucian, hijau yang berarti subur dan makmur, dan kuning yang berarti indah serta mulia.

Dalam penggunaan warna sering juga dihubungkan dengan sifat kejiwaan seseorang, seperti warna hitam dihubungkan dengan kedukaan, merah dihubungkan dengan perasaan gembira, dan putih dihubungkan dengan kesucian.

Tenun sutera Sengkang dengan aneka motifnya. Foto: IG Tenun Sengang

Ciri khas dari kain sutra Sengkang ini adalah motifnya yang memiliki warna warni mencolok dan berpola vertikal. Masing-masing motif memiliki makna tersendiri yang menunjukan status pemakainya seperti misalnya perbedaan motif kain untuk wanita lajang dan sudah menikah.

Kerajinan tenun sutera Sengkang tersebut memperkaya budaya dan keragaman di Indonesia. Masih banyak anggota masyarakat yang menggunakannya sebagai pakaian adat. Juga kain tenun sutera Sengkang ini. 

Kain tenun Sengkang, selain memiliki nilai tradisi dan budaya adat yang digunakan dalam upacara adat, kain tenun Sengkang tersebut juga digunakan sebagai hadiah dan sebagai simbol yang dianggap suci.

Untuk mendapatkan kain tenun Sengkan ini pecinta kain Nusantara selain bisa melancong ke Sengkan di Wajo. Bisa pula main ke Makassar, di mana cukup banyak toko cindera mata di sini yang menjualnya. Salah satunya di pusat oleh-oleh Makassar, Toko Aneka Sutra. 

Harga kain sutera Sengkang sangat bervariasi tergantung kerumitan pembuatannya dan lebar kain. Harga yang dibanderol untuk sutera sutera Sengkang ini bervariasi mulai dari Rp150 ribu hingga jutaan rupiah.

agendaIndonesia

*****

De Javasche Bank 1829, Cabang Jadi Museum

De Javasche Bank di Surabaya yang kini menjadi Museum Bank Indonesia.

De Javasche Bank hampir pasti tidak dikenal anak-anak milenial. Bahkan mereka yang berasal dari generasi X dan Y pun rasanya tak banyak yang tahu. Betul, ini memang nama bank di zaman kolonial Belanda.

De Javasche Bank

Pada zaman Hindia Belanda, ini adalah bank central yang memakai nama De Javasche Bank itu. Bank-nya sendiri kini, tentu, sudah tidak ada, tinggal gedungnya saja. Fungsi perbankan dan keuangannya sudah diambil alih pemerintah Indonesia dan menjadi Bank Indonesia.

De Javsche Bank di Surabaya menjadi saksi perjalanan perbankan dan keuangan di Indonesia.
Gedung De Javasche Bank yang kini menjadi gedung Bank Indonesia di Surabaya. Foto: tourism.surabaya.go.id

Gedungnya menjadi kantor Bank Indonesia di Surabaya, dan sebagian dialihfungsikan menjadi museum. Kini ia memang menjadi Museum Bank Indonesia, meski sejumlah orang Surabaya mungkin masih suka menyebutnya dengan nama lamanya, De Javasche Bank. Perjalanannya sama dengan kantor utamanya di Jakarta dulu, sama-sama menjadi Museum Bank Indonesia.

Gedung De Javasche Bank, atau sekarang Gedung Bank Indonesia Surabaya, mengusung konsep neo-Renaissance yang memiliki ciri khas unsur simetris.  Bangunan seluas 1.000 meter persegi ini sebenarnya adalah hasil pemugaran yang dilakukan pada 1910. Pemerintah Hindia Belanda memutuskan membangun gedung baru di tempat yang sama dengan alasan modernisasi. Bangunannya didesain lebih ramah terhadap iklim tropis di Indonesia.

Gedung ini difungsikan pertama kali pada 14 September 1829, sekitar setahun setelah De Javasche Bank berdiri di Jakarta. Gedung ini sendiri sudah tidak digunakan untuk kegiatan perbankan pada 70-an. Hingga pada 2012, kabar gembira pun datang bagi para penikmat sejarah bangunan tua. Bangunan eks De Javasche Bank resmi dibuka sebagai museum dan ruang pamer.

Buat siapa saja, bangunan-bangunan dari zaman kolonial selalu punya kesan megah. Termasuk untuk gedung-gedung di sekitar Surabaya Utara ini. Termasuk gedung yang kini menjadi Museum Bank Indonesia Surabaya ini. Sebuah gedung megah yang ikonik.

Sayangnya ia sering terlewat. Bagaimana tidak? Pintu utama bank yang berhias pilar-pilar raksasa sering tertutup oleh terminal bayangan angkutan kota. Praktis, masuk ke museum pun harus melalui bagian belakang yang tak jauh dari area parkir.

Jika berkunjung ke Surabaya, sempatkanlah berkunjung ke museum ini dan mempelajari sejarah perbankan dam keuangan Indonesia. DI sini pengunjung akan dibawa berkeliling oleh seorang pemandu.

Pengunjung bisa melihat deretan foto-foto hitam putih De Javasche Bank di masa lalu. Seperti disebut di muka bank yang didirikan pada 1828 di Batavia. Lalu, dibangun cabang di Surabaya setahun kemudian.

Gaya arsitektur neo-renaissance selain di luar juga terlihat di dalam. Bersiap-siaplah ternganga dengan kemegahan gedung berusia lebih dari seabad ini. Ada beberapa ruang utama yang bisa dicermati pengunjung, seperti ruang transaksi perbankan, ruang brankas, dan ruang mesin-mesin lawas berikut dengan koleksi mata uang zaman dahulu.

Selama berkeliling di museum, pengunjung akan diajak untuk merasakan menjadi nasabah bank zaman lampau. Contohnya, saat berada di ruang transaksi utama tempat kesibukan kegiatan perbankan dulu berpusat.

Ada bilik-bilik kayu berjeruji besi yang hanya muat satu orang dan terhubung langsung dengan loket teller. Di sinilah transaksi keuangan terjadi. Bilik ini pun bisa dikunci dari dalam. Gunanya untuk menjamin keamanan transaksi mengingat kemungkinan kejahatan bisa terjadi.

Mengunjungi ruang brankas juga menjadi pengalaman menarik. Terlebih di masa itu, nasabah harus membuka pintu berjeruji besi seperti di penjara. Jadi, setelah nasabah masuk, pintu jeruji digembok dari dalam. Lanjut masuk ke lorong bertembok putih.

Tidak ada apa-apa di sepanjang lorong sempit itu. Hingga tiba di ujung sebelum berbelok, Anda akan menemukan satu cermin. Begitu pula di ujung lorong berikutnya.

Ternyata, cermin-cermin ini dapat memantulkan bayangan nasabah yang sedang bertransaksi di ruang brankas. Tentu saja, nasabah lain tidak boleh masuk ruang brankas jika masih ada yang sedang transaksi di sana. Pantulan dari cermin pun bisa diketahui nasabah lain.

Desain keamanan lorong di ruang brankas ini sukses membuat pengunjung terpana. Pemikiran yang canggih pada saat kamera keamanan yang lebih praktis belum tercipta.

Di bekas ruang direktur bank, pemandu bercerita bahwa dulu terdapat tangga spiral yang khusus digunakan oleh pemimpin bank saja. Tangga ini menghubungkan area utama perbankan dengan ruangan pemimpin. Semacam pintu rahasia. Namun tangga spiral tersebut sekarang sudah tertutup oleh tembok.

Di akhir sesi, pemandu biasanya menyelipkan cerita-cerita unik dari masa ke masa yang akan membuat bulu kuduk berdiri. Aha…tentu ini tentang makhluk-makhluk tak kasat mata berkebangsaan Belanda yang sering muncul.

Percaya atau tidak? Tentu itu pilihan pengunjung. Yang jelas, mengunjungi Museum De Javasche Bank di akhir pekan bisa menjadi pilihan menarik sekaligus menambah wawasan sejarah.

agendaIndonesia

*****

Terpesona Sumba Barat Dalam 3 Hari

Terpesona Sumba Barat adalah pilihan liburan lain ke Nusa Tenggara Timur, selain ke Labuan Bajo dan Taman NAsional Komodo.

Terpesona Sumba Barat di Nusa Tenggara Timur mungkin belum menjadi pilihan pertama buat wisatawan yang mengunjungi provinsi ini. Ia masih kalah dengan Taman Nasional Komodo, atau Labuan Bajo yang beberapa tahun terakhir semakin mempesona.

Terpesona Sumba Barat

Terpesona Sumba Barat karena keindahan alamnya juga tradisi dan budayanya yang unik.
Salah satu pantai di SUmba Barat. Foto: Untung Bekti Nugroho for unsplash

Tapi, kita tahu, Taman Nasional Komodo tengah ditata ulang. Termasuk mulai ada pembatasan untuk memasuki sejumlah kawasan di wilayah itu, yang tujuannya untuk mengurangi tekanan terhadap pelestarian lingkungannya. Ini peluang untuk mengintip tempat indah lainnya di NTT.

Jangan khawatir kekurangan atraksi untuk menjadi terpesona Sumba Barat. Cobalah tengok kampung asli Sumba Marapu, Pasola, atau air terjun Lapopu di tengah taman nasional. Selain suguhan alam yang memanjakan mata, budaya Marapu yang dianut penduduk lokal juga menjadi daya tarik tersendiri.

Perjalanan tur kali ini akan membawa wisatawan ke Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat. Menuju Sumba Barat, tentu saja dari Denpasar pengunjung sebaiknya memilih menuju bandar udara Tambolaka. Pilihan paling dekat adalah mendarat di Tambolaka, lalu lanjut perjalanan darat menggunakan travel atau mobil sewaan selama satu jam untuk mulai terpesona Sumba Barat.

Hari pertama: Kampung Tarung dan Kampung Waitabar

Pertama tentu menginap di Waikabubak. Pagi-pagi tujuan utama perjalanan adalah mengunjungi Kampung Tarung dan Kampung Waitabar.Keduanya terletak di pusat kota Waikabubak sehingga sangat mudah akses.

Tarung dan Waitabar merupakan representasi kampung asli Marapu yang masih ada hingga saat ini. Keduanya terletak bersebelahan, sehingga wisatawan bisa langsung menuju Waitabar dari Tarung dengan berjalan kaki saja.

Pengunjung bisa melihat jejeran hunian tradisional beratap alang-alang kering yang dalam bahasa lokal disebut uma alang. Meskipun tampak rapuh, namun alang-alang ini kuat meski belasan tahun terpapar hujan dan sengatan panas. Lain soal jika terhempas angin kencang.

Di bagian tengah rumah terdapat sebuah tungku yang zaman dulu digunakan sebagai pusat kehidupan karena tidak ada listrik. Berbagai ritual harus dilaksanakan jika pemilik rumah hendak merenovasi. Sekadar mengganti alang-alang pun ada aturannya. Untuk memasang satu tiang kayu penyangga rumah, pemilik harus memotong kurban terlebih dahulu.

Uma alang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, karena kegiatan spiritual juga dilakukan di dalamnya. Bagian bawah biasa digunakan untuk menampung hewan peliharaan. Lalu lantai atasnya merupakan tempat tinggal utama, dan bagian paling atas, atau menara yang menjulang, dimanfaatkan untuk menyimpan barang-barang berharga. Ada juga yang mengatakan kalua bagian tersebut tempat berdiamnya roh leluhur.

Sayangnya, saat ini banyak uma alang di kampung lain yang kini menjadi rumah berdinding bata atau mengganti atap daun menjadi seng. Selain uma alang, salah satu budaya Marapu di Sumba adalah mengubur jenazah keluarga di sebuah kuburan batu yang terletak di halaman rumah. Pengunjung bisa melihat banyak kuburan batu bertebaran di kedua kampung ini

Hari Kedua: Lapangan Pasola Lamboya dan Pantai Kerewe

Rasanya banyak orang sudah pernah mendengar tentang Pasola. Sebuah perayaan pasca-panen di Sumba, di mana para pemuda lokal saling melemparkan tombak ke kubu lawan sembari berkuda.

Terpesona Sumba Barat salah satunya adalah menikmati Pasola, tradisi pasca-panen di mana para pemuda saling beradu ketangkasan.
Tradisi Pasola di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Foto: DOk. shutterstock

Pasola digelar di beberapa desa terutama di Kabupaten Sumba Barat dan Barat Daya. Salah satu yang terdekat dengan Waikabubak adalah gelaran Pasola di kecamatan Lamboya, hanya berkendara selama 60 menit. Menarik apabila kedatangan Anda tepat saat perayaan ini, yaitu sekitar Februari–Maret.

Pasola Lamboya dilaksanakan di sebuah lapangan padang rumput yang begitu luas dan kerap disebut bukit Hobba Kalla. Pemandangan dari sini begitu menyejukkan mata.

Pengunjung bisa menikmati lanskap persawahan, atap-atap uma alang yang menyembul di balik pepohonan serta melihat Pantai Kerewe dari kejauhan. Hanya butuh 30 menit untuk mencapai pantai tersebut.

Para penonton Pasola kerap berkunjung ke Pantai Kerewe setelah perayaan berakhir. Mereka berenang dan menikmati ombak yang cukup bersahabat. Pada hari-hari biasa, pantai ini cukup sepi. Pengunjung bisa duduk-duduk di bibir pantai sembari menyeruput kelapa muda yang biasa dijajakan anak-anak kampung sekitar.

Hari Ketiga: Taman Nasional Manupeu Tanah Daru

Pulau Sumba memiliki dua taman nasional yang usianya relatif masih baru, yaitu Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dan Manupeu Tanah Daru. Bila wisatawan mencari obyek menarik di sekitar Waikabubak, maka menjelajahi Air Terjun Lapopu adalah pilihan yang tepat.

Air terjun alami ini adalah bagian dari zona wisata Taman Nasional Manupeu Tanah Daru yang terletak di Kecamatan Wanokaka. Akses kendaraan roda empat terbilang cukup mudah karena jalan aspal sudah dibangun. Hanya memakan waktu kurang dari satu jam dari pusat kota Waikabubak.

Ini masih dilanjutkan dengan berjalan kaki sepanjang 400 meter dan melewati jembatan bambu. Sebelum masuk ke area air terjun, wisatawan wajib lapor di pos jaga yang tersedia serta membayar retribusi.

Jangan heran, bila Anda tak kuasa untuk berenang di air terjun berundak ini. Begitu segar. Arus sungainya pun relatif tenang dan dangkal. Cocok untuk mereka yang doyan bermain air. Apalagi bila datang di tengah hari, saat mentari menyengat kulit. Suara derasnya air yang jatuh dari ketinggian begitu syahdu beradu dengan cicit burung-burung.

Taman Nasional Manupeu Tanah Daru juga disebut surga untuk pengamatan burung. Untuk kegiatan tersebut, wisatawan perlu didampingi petugas dari taman nasional yang mengetahui lokasi-lokasi strategis untuk melihat burung endemik seperti kakatua jambul jingga dan julang Sumba.

Nikmati suasana alam hingga sore, dan menghabiskan semalam lagi di Waikabubak, untuk keesokan harinya terbang pulang.

Banyak pilihan untuk terpesona Sumba Barat, dan daerah Nusa Tenggara Timur lainnya. Ayo agendakan liburanmu ke sini.

agendaIndonesia/TL

*****

Batik Motif Pekalongan, Keren Sejak Abad 17

Batik motif Pekalongan muncul sejak abad 17, dengan motif yang berkembang sesuai zamannya.

Batik motif Pekalongan adalah salah satu  batik yang termasuk jenis klasik di Indonesia. Batik dari kota di Jawa Tengah ini sudah melampui perjalanan sejak abad 17.

Batik Motif Pekalongan

Pekalongan memang telah menjadi salah satu pusat produksi batik di Indonesia, ia juga dikenal sebagai Kota Batik. Sejarah batik Pekalongan bisa dirunut sejak abad 17, masa ini kerajinan batik mulai berkembang di sini.

Pada masa itu, batik motif Pekalongan popular sebagai kain yang dipakai sebagai pakaian formal dan upacara adat. Selama berabad-abad, motif-motif batik Pekalongan terus berkembang, mencerminkan pengaruh budaya lokal dan internasional.

Pekalongan merupakan kota di wilayah utara pulau Jawa dan berada di Provinsi Jawa Tengah. Dari Jakarta kota ini berjarak 384 kilometer, sedangkan dari Semarang jaraknya sekitar 100 kilometer.

Batik motif Pekalongan memiliki pengaruh dari Arab, Cina dan Jawa.
Museum Batik di Pekalongan, di mana orang bisa belajar tentang sejarah batik. Foto: wikimedia commons

Batik Pekalongan mencatat adanya  pengaruh kebudayaan dari masyarakat sekitar yang selalu berubah-ubah dan saling meniru pada awalnya. Ini menimbulkan kreativitas para perajin batik Pekalongan untuk selalu membuat motif batik baru.

Salah satu daya tarik utama batik pekalongan adalah keunikan motifnya. Corak dan motif yang dipergunakan mencakup berbagai elemen, seperti bunga, binatang, tokoh wayang, dan pola geometris. Desainnya yang indah dan rumit mencerminkan keahlian tangan para perajin batik motif Pekalongan.

Satu hal yang mencolok dari batik daerah ini adalah warna-warna yang dipakai dalam membatik yang membuatnya menarik perhatian. Penggunaan warna-warna yang cerah dan kontras memberi citra yang menawan.

Dari kisahnya, batik di sini menjadi lebih berkembang setelah ada pengusaha batik Belanda bernama Eliza Van Zuylen membangun workshop di wilayah tersebut. Berdasarkan arahan Eliza, ada motif-motif batik Pekalongan baru yang berhasil diciptakan oleh para perajin batik.

Interior Museum Batik Pekalongan wikimedia commons
Ruangan dalam Museum Batik Pekalongan. Foto: dok. wikimedia common

Eliza Van Zuylen dari catatan sejarahnya merupakan salah satu orang yang memiliki peran besar atas kemunculan motif-motif baru batik. Melalui tangannya, batik Pekalongan mampu menembus pangsa pasar Eropa. 

Para pembeli batik Van Zuylen rata-rata memang para bangsawan Eropa. Eliza popular di Eropa dalam rentang waktu antara  1923 hingga akhir 1946.

Pengusaha ini sangat terkenal dengan produk batiknya yang dikenal kehalusan kainnya dengan motif batik tumbuh-tumbuhan. Hingga sampai saat ini batik seperti itu dikenal sebagai ciri khas batik motif Pekalongan, di samping motif Jlamprang.

Apa saja sesungguhnya motif-motif batik Pekalongan ini? Berikut ini beberapa ciri motif batik daerah sini.

Motif asli Pekalongan adalah motif Jlamprang, yaitu suatu motif semacam nitik yang tergolong motif batik geometris. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa motif ini merupakan suatu motif yang dikembangkan oleh pembatik keturunan Arab.

Motif batik jlamprang diyakini dan diakui oleh beberapa pengamat motif batik, sebagai motif asli Pekalongan. S.K. Sewan Santoso dalam bukunya Seni Kerajinan Batik Indonesia yang diterbitkan Balai Penelitian Batik dan Kerajinan , Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian RI (1973), mengatakan bahwa motif Jlamprang di Pekalongan dipengaruhi oleh Islam.

Artinya, motif ini lahir dari perajin batik di daerah ini ada yang keturunan arab yang beragama Islam. Seperti diketahui, agama ini melarang menggambar binatang maupun manusia atau mahluk hidup lainnya dalam kain batik maupun lukisan. Ini membuat para perajin batik memiliki ide kreatif yaitu dengan membuat motif batik secara geometris dengan cara nitik pada motif batik jlamprang.

Namun ada pendapat berbeda. Pendapat berbeda ini menilai Jlamprang merupakan motif batik yang muncul karena pengaruh kebudayaan Hindu Syiwa.

Motif Batik Pekalongan shutterstock
Salah satu motif batik Pekalongan yang dekoraif. Foto: shutterstock

Dr. Kusnin Asa memiliki pendapat bahwa motif batik Jlamprang merupakan suatu bentuk motif yang kosmologis dengan mengedepankan satu pola ceplokan dalam bentuk lung-lungan juga bunga padma yang menunjukan sebuah makna mengenai peran dunia kosmis yang datang sejak agama Buddha dan Hindu berkembang di tanah Jawa.

Pola ceplokan pada motif yang distilisasi dalam bentuk yang lebih dekoratif menunjukan bahwa corak tersebut merupakan peninggalan dari masa prasejarah yang selanjutnya menjadi warisan agama Hindu juga Buddha.

Begitupun batik motif Pekalongan yang klasik sejatinya adalah motif semen. Motif ini hampir sama dengan motif klasik semen dari daerah Jawa Tengah lain, seperti Solo dan Yogyakarta.

Di dalam motif semen terdapat ornamen berbentuk tumbuhan dan garuda/sawat. Perbedaan antara batik di sini dan batik Solo atau  Yogyakarta adalah pada produk Pekalongan klasik hampir tidak ada cecek. Pada batik klasik, semua pengisian motif berupa garis-garis.

Selain itu, beberapa kain batik yang diproduksi di Pekalongan mempunyai corak Cina. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ornamen Liong berupa naga besar berkaki dan burung Phoenix pada motif batiknya. Burung Phoenix merupakan sejenis burung yang bulu kepala dan sayapnya berjumbai, serta bulu ekor berjumbai juga bergelombang.

Kain batik pekalongan yang dikembangkan oleh pengusaha batik halus keturunan China kebanyakan memiliki motif berupa bentuk-bentuk realistis dan banyak menggunakan cecek-cecek, serta cecek sawut (titik dan garis).

Sementara itu, soal pewarnaan yang cerah, disebutkan bahwa penduduk daerah pantai menyukai warna-warna yang cerah seperti warna merah, kuning, biru, hijau, violet, dan orange. Sedangkan warna soga kain batik berasal dari pewarnaan tumbuhan.

agendaIndonesia

*****