
Desa Dasun Rembang, Jawa Tengah, belumlah desa wisata yang menjadi favorit dikunjungi wisatawan. Baik domestic dan mancanegara. Mungkin karena publikasinya kurang, mungkin pula disebabkan kalah moncer dari wisata di sekitarnya.
Desa Dasun Rembang
Dasun di Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah,, merupakan desa kecil yang sesungguhnya memiliki keunggulan dalam sejarah, khususnya di bidang perkapalan. Dahulu tempat ini menjadi tempat pembuatan kapal. Bukan saja di masa pendudukan Belanda, bahkan diperkirakan sejak abad 13. Hingga saat ini masih ditemukan dok-dok kapal di sepanjang SUngai Dasun.
Tak hanya sisa dok dari galangan kapal, di desa ini mata pencarian masyarakatnya juga masih terkait dengan laut. Dasun terkenal sebagai desa penghasil garam dan ikan bandeng di Lasem, Rembang.
Selain itu, kawasan ini juga memiliki hutan mangrove di sepanjang sungai Dasun yang menawan. Puluhan kapal nelayan yang berjajar di tambatan perahu di sungai menandakan desa ini merupakan salah satu desa maritim di Indonesia.
Pada 18 Desember 2016, Desa Dasun Rembang ini telah mendeklarasikan sebagai desa wisata dengan nama Wisata Bahasi Dasunberbasis konservasi dan edukasi. Potensi-potensi wisata unggulannya adalah Situs-situs sejarah, Susur Sungai Dasun, Tambatan Perahu Dasun, Pantai Dasun, Tambak Dasun, Ruang Terbuka Hijau Dasun, dan berbagai macam wisata kuliner.
Keberadaan Desa Dasun Rembang ini, daari catatan sejarah, sudah ada sejak zaman Kerajaan Pucangsulo di abad ke-13. Kerajaan yang disebut sebagai cikal bakal kerajaan-kerajaan di Jawa. Dikutip dari situs Kemenparekraf.go.id, desa ini sudah dikenal dengan potensi baharinya. Sejak abad ke-13, desa ini sudah menjadi pusat produksi kapal bagi Kerajaan Majapahit.

Dari catatan itu disebutkan, pembuatan kapal itu diperuntukan bagi keperluan militer dan perdagangan. Pengawasan pembuatan kapal-kapal tersebut langsung dipimpin Prabu Rajasa Wardana yang merupakan suami dari Bhre Lasem dan saat itu menjabat Panglima Angkatan laut Majapahit.
Pada masa Kesultanan Demak, galangan kapal Desa Dasun masih tetap ada dan disebutkan berhasil menyelesaikan 100 kapal bagi Kesultanan Demak. Kapal-kapal inilah yang dipergunakan untuk ekspedisi Adipati Unus ke Malaka untuk melawan Portugis.
Saat ini di tepi sungai Dasun masih terdapat dok kapal peninggalan kolonial Belanda dan masa kependudukan Jepang. Konon, sungai ini juga adalah pintu masuk distribusi candu di masa penjajahan Belanda. Ini dibukitkan dengan adanya Rumah Candu atau Lawang Ombo di Desa Soditan.
Sungai Dasun memang merupakan titik utama bagi desa ini. Sebagai sungai utama di Kecamatan Lasem, keberadaan sungai ini dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai lalu lintas perahu. Penduduk Desa Dasun juga memiliki anco yang digunakan untuk mencari udang, rebon, ikan blanak dan ikan bandeng hingga kakap. Selain itu, terdapat juga wahana susur sungai yang menarik.

Hal lain yang tak kalah menarik jika berkunjung ke desa Dasun Rembang ini adalah mengamati dan mempelajari proses pembuatan garam tradisional. Seperti pagi itu, ketika sejumlah wisatawan mengunjungi desa itu.
Tampak tiga petani garam larut dengan pekerjaannya masing-masing. Salah satu di antara mereka terlihat sibuk menyiduk air dari sebuah lahan dan memindahkannya ke lahan yang lain. Dua lainnya memasang terpal di tanah petak selebar kira-kira 5 meter.
Di sekitar ketiga petani itu tampak bertumpuk-tumpuk garam kering siap panen. “Garam ini dipanen pada sore atau pagi,” kata salah satu di antaranya, Sugeng yang berusia 43 tahun.
Inilah pemandangan Desa Dasun Rembang saban pagi. Para warga bekerja serius menambak garam. Tiga petani itu hanya sebagian kecilnya. Desa Dasun memang dikenal sebagai pemroduksi garam terbesar di pesisir pantai utara Jawa.
Wisatawan yang pergi ke Lasem biasanya akan mampir ke Dasun. Mereka bakal disuguhi sajian yang komplet dari sisi visual maupun sosial. Ada hamparan lahan tambak garam luas menyapu mata.
Tak perlu terkejut. Pemandangan ini memang hampir dapat ditemui di semua lokasi di pesisir Lasem. Lanskapnya indah beserta objek yang lengkap: alam, manusia dan aktivitasnya. Apabila beruntung, wisatawan bisa bertemu dengan burung kuntul.
Meski tampak diam dan serius menambak, para petambak garam tak sungkan mengajari orang yang datang untuk ikut menggarap lahan garam. Sugeng tadi misalnya, menjabarkan alur menambak garam.
“Coba lihat, gerojokan itu,” ujarnya sambil menunjuk pipa yang dipompa dengan genset. Tampak air mengalir deras dari pipa itu. Air itu disedot langsung dari laut.

Air laut yang masuk ke lahan tambak tak langsung bisa mengendap menjadi garam. Petani harus mengukur larutannya menggunakan alat tradisional bernama baumeter. Baumeter ini dimasukkan ke selongsong bambu. “Kalau mau mengukur kadar garamnya, masukkan air ke bambu,” kata Sugeng.
Air tua alias yang telah siap menjadi garam biasanya memiliki kadar kekentalan 22-23. “Kalau masih 0, harus diputer dulu aliran airnya. Caranya ya digayung, dipindah dari satu lahan ke lahan lain,” ujarnya.
Air yang telah tua itu akan dialirkan ke petak-petak lahan beralas terpal. Di sanalah air laut akan mengalami proses pengendapan menjadi garam. “Biasanya 3-7 hari sudah jadi garam,” katanya.
Tiap-tiap petak akan menghasilkan kira-kira 350 kilogram garam. Garam yang baik adalah yang memiliki kristal berukuran besar. Warnanya pun lebih putih dan bersih, tidak tercampur lumpur dan kotoran lainnya.
Keseruan memanen garam ini menurut mereka hanya bisa dirasakan saat musim kemarau. Juni-Juli-Agustus adalah waktu terbaik menambak garam. Sedangkan saat hujan, penambak garam berhenti atau berganti isi tambaknya.
Musim hujan, petani garam rehat dari aktivitasnya. Mereka mencari pekerjaan lain untuk menambah tabungannya.
Sementara itu saat musim hujan, tambak garam dibiarkan terisi air, kemudian ditaburi benih ikan bandeng. Tidak ada perawatan khusus, hanya sebar benih dan dibiarkan saja sampai panen. Untuk makanan, ikan bandeng memakan lumut-lumut yang ada di tambak.
Desa Dasun Rembang menarik untuk dikunjungi. Belajar sejarah, sambal belajar soal garam tradisional dan bandeng.
agendaIndonesia
*****