Desa Mas ubud pusat kerajinan ukiran patung Bali. Foto: Dok. Marriot Bonvoy

Desa Mas Ubud seperti tak pernah habis pesonanya. Saat jalan-jalan ke kawasan ini, selain menikmati pemandangan indah nan asri, sempatkan juga mampir ke desa Mas. Desa wisata di Kabupaten Gianyar ini kondang sebagai sentra kerajinan patung ukir dari kayu di Bali.

Desa Mas Ubud

Desa Mas terletak di bagian selatan Ubud, berjarak sekitar 23 kilometer dari Denpasar. Dari ibukota Bali ini waktu tempuhnya kurang lebih 30 menit dengan kendaraan pribadi. Selain bertani, sebagian besar warga desa ini memang berprofesi sebagai pengrajin patung ukir.

Asal-usul desa Mas Ubud disebut berasal dari kisah seorang Brahmana dari kerajaan Majapahit bernama Dang Hyang Nirartha. Ia diundang untuk pindah ke Bali oleh beberapa arya-arya kerajaan Majapahit. Setelah berhasil menduduki wilayah Bali, mereka memutuskan menetap karena merasa kondisi Majapahit sedang menurun dan terancam runtuh.

Dang Hyang Nirartha kemudian memutuskan untuk pindah. Di Bali ia disambut Raden Mas Willis, salah seorang dari arya tersebut. Pada prosesnya, mereka kemudian memiliki hubungan sebagai guru dan murid, utamanya dalam hal agama, sosial dan seni budaya.

Hingga suatu ketika, Dang Hyang Nirartha dinikahkan oleh Raden Mas Willis dengan putrinya. Setelahnya, keturunan mereka disebut sebagai Brahmana Mas, yang hingga saat ini tinggal di desa tersebut.

Raden Mas Willis pun kemudian dinobatkan oleh Dang Hyang Nirartha sebagai Pangeran Manik Mas, pemimpin daerah tersebut. Dari situlah, daerah tersebut kemudian dipanggil sebagai desa Mas.

Masih menurut kisah yang sama, Dang Hyang Nirartha juga diceritakan pernah menancapkan sebatang kayu, yang konon kini menjadi pohon Tangi yang berada di area Pura Taman Pule Mas. Ia kemudian bersabda bahwa warga desa Mas akan sejahtera dari hasil kerajinan kayu.

Desa Mas Ubud Bali kini akrab disebut sebagai Home of the Wood Carvers, rumah para pemahat kayu.
Pelbagai karya ukir patung kayu khas Desa Mas ubud. Foto: DOk. Balitoursclub.net

Namun desa Mas Ubud yang kini akrab disebut sebagai Home of the Wood Carvers atau rumah para pemahat kayu, justru tidak serta merta identik dengan seni patung ukirnya. Dulunya, seni tersebut lebih banyak diperuntukkan sebagai persembahan bagi para raja di Bali.

Adalah maestro seni pahat Ida Putu Taman yang mempopulerkan budaya seni mematung kepada warga desa Mas pada 1920-an. Berkerajinan patung ukir tidak lagi dipandang secara eksklusif, melainkan sesuatu yang datang dari hati.

Seni mematung lantas dipandang sebagai wujud rasa iman dan syukur kepada sang Pencipta. Maka tak heran, ada beberapa hasil patung ukir dari desa Mas Ubud yang juga berfungsi sebagai alat sembahyang, atau terinpirasi dari kisah-kisah pewayangan dan kehidupan warga Bali sehari-hari.

Karya-karya tersebut merupakan representasi dari imajinasi para perajinnya. Mereka menganggap, patung-patung itu menjadi wujud respon mereka terhadap filosofi dan dinamika dalam kehidupan sehari-hari.

Budaya tersebut, yang kemudian disebut dengan istilah ‘ngayah’, berhasil mendorong warga untuk lebih aktif berkarya dan melestarikan seni patung ukir. Oleh karena itulah, desa Mas perlahan mulai dikenal dengan seni patung ukirnya pada era 1930-an.

Desa Mas Ubud kini memeiliki ribuan warga yang berprofesi sebagai pengukir patung.
Seorang pemahat patung dari Desa Mas Ubud, Bali. Foto: DOk. Kemenparekraf

Memasuki era pasca kemerdekaan, seni kerajinan patung ukir kemudian juga berkembang secara komersial. Para perajin mulai memperjualbelikan patung hasil kerajinannya, ini seiring dengan berkembangnya pariwisata di Bali.

Ketenaran desa Mas semakin mencuat karena Presiden Soekarno saat itu beberapa kali datang berkunjung. Kebetulan, lokasi desa tersebut berada di tengah rute antara bandar udara Ngurah Rai dan istana kepresidenan Tampaksiring.

Lewat publisitas tersebut, peluang bisnis patung ukir semakin terbuka karena semakin banyak wisatawan dalam dan luar negeri yang tertarik berkunjung dan membeli kerajinan tersebut sebagai souvenir. Sehingga pada periode 1970-an hingga 1990-an kerajinan patung ukir desa Mas mencapai masa jayanya.

Namun pada perjalanannya bisnis dan kerajinan ini tidak selamanya mulus. Ketika industri pariwisata Bali diguncang tragedi bom Bali pada 2002 dan 2005, merosotnya jumlah wisatawan yang datang turut mencekik perekonomian para perajin patung ukir. Banyak dari mereka terpaksa banting setir mencari pekerjaan lain demi menghidupi keluarganya.

Butuh waktu lama untuk industri kerajinan patung ukir dapat bangkit kembali, terlebih dengan ketatnya persaingan dengan kerajinan serupa dari tempat lainnya. Hingga pada era 2010-an jumlah pengrajin patung ukir mulai naik kembali hingga ribuan.

Di tengah berbagai tantangan berat, para perajin di desa Mas Ubud terus mempertahankan eksistensinya dengan konsistensi dan kualitas. Salah satunya diwujudkan dengan pemilihan jenis kayu berkualitas, dari kayu bonggol jati, suar, meranti, eboni, waru dan sebagainya yang didatangkan dari berbagai wilayah di Indonesia.

Filosofi mereka dalam berkarya juga terus dipertahankan. Ada sebuah paham yang dianut oleh warga setempat, yakni Tri Hita Karana; keharmonisan antara hubungan antar manusia (Pawongan), manusia dengan Tuhan (Parahyangan) serta manusia dengan alam (Palemahan).

Paham tersebut yang senantiasa menjadi konsep berkesenian perajin desa Mas, yang kemudian dituangkan ke dalam karya patung-patung yang memadukan desain modern dan kontemporer.

Secara umum ada dua jenis patung ukir yang dibuat, yaitu realis dan surealis. Realis merupakan jenis patung yang menyerupai bentuk dan postur tubuh manusia atau makhluk hidup lainnya, sementara surealis bentuk dan posturnya bisa lebih hiperbola dan imajiner.

Sekarang di desa tersebut tak sulit untuk menemukan jejeran artshop di sepanjang jalan utama, menawarkan beragam jenis patung ukir. Di desa ini, tiap warganya – terutama yang wanita – sudah diajarkan teknik memahat dan memoles patung kayu sejak anak-anak.

Tak jarang wisatwan bisa melihat secara langsung pengrajin patung ukir yang mengerjakan karyanya. Pengunjung pun juga dapat berkesempatan merasakan belajar membuat patung ukir sendiri.

Harga patung-patung ukiran tersebut sangat bervariasi. Tingkat kerumitan sangat berpengaruh, selain juga lama pengerjaan serta jenis dan kualitas kayu yang digunakan. Ada yang harganya ratusan ribu, ada juga yang sampai menyentuh ratusan juta rupiah.

Hal ini disebabkan proses pengerjaan yang begitu mendetail. Lama pengerjaan setiap patung berkisar antara satu hingga empat bulan lebih. Pengukiran patung dilakukan dalam berbagai tahapan, dimulai dari pembuatan bentuk pahatan secara kasar.

Setelahnya baru dirapikan detail-detailnya dengan sayatan pisau atau pahatan-pahatan kecil. Terakhir, patung yang sudah jadi dihaluskan dengan amplas, terkadang juga dipoles sesuai pesanan.

Yang tak kalah unik, karya satu perajin bisa memiliki ciri khas tertentu dibanding perajin lainnya. Kekhasan itulah yang membuat patung ukir buatan desa Mas begitu diminati. Selain diburu oleh wisatawan domestik dan mancanegara, patung ukir mereka juga diekspor ke berbagai belahan dunia, baik negara-negara di benua Asia, Eropa, maupun Amerika.

Selayaknya sebuah desa wisata, anda juga dapat menemukan beragam kerajinan lainnya seperti topeng dan wayang Bali. Dan lokasinya terhitung strategis karena cukup berdekatan dengan spot wisata lain seperti Kintamani, Gua Gajah dan beberapa museum di sekitar kawasan tersebut.

Tersedia juga beberapa pilihan penginapan, serta pilihan tur wisata di kawasan desa tersebut. Untuk info lebih lanjut dapat menghubungi 081237250266, via email ke info@desawisatamas.com atau kunjungi situs resmi desawisatamas.com.

Desa Wisata Mas

Jl. Raya Mas no. 110, Desa Mas, Ubud, Bali

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Yuk bagikan...

Rekomendasi