Batik Cirebon Tumbuh Dalam 2 Versi

Road Trip selain perjalanan juga menikmati buadaya seperti batik Trusmi di Cirebon.

Batik Cirebon kian mendapat tempat di hati penggemar batik di Indonesia. Bahkan tak sedikit yang menjadi pengguna setia batik dari kota di pesisir utara Jawa Barat ini dibandingkan batik dari kota lain di Indonesia.

Batik Cirebon

Banyak orang yang menyangka batik Cirebon ini usianya lebih muda dari batik-batik dari kota lain di Indonesia, terutama Solo dan Yogyakarta. Namun, ternyata pendapat itu tidak sepenuhnya tepat. Batik Cirebon berkembang sejak awal perkembangan agama Islam di Jawa Barat, khususnya di Cirebon. Bila ini yang terjadi, berarti kerajinan batik di Cirebon bahkan telah ada sebelum berdirinya Keraton Mataram di Yogya dan Solo.

Sejarah batik Cirebon telah menjadi tradisi turun temurun sejak masa Pangeran Walangsungsang Cakrabuana memerintah di Keraton Cirebon pada 1469 Masehi. Tradisi tersebut terus berlanjut pada pemerintahan selanjutnya, yakni di masa Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati) pada tahun 1479 M. Ini diperkuat dengan ditemukannya naskah Sunda tertua perihal embrio batik di daerah Cirebon Selatan yang ditulis pada tahun 1440 Saka atau 1518 Masehi.

Perjalanan batik Cirebon kurang lebih sama dengan batik di Yogyakarta dan Solo. Mula-mula muncul di lingkungan keraton, lalu “menerobos” keluar melalui para abdi dalem yang tinggal di luar tembok keraton. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Cirebon kemudian memahami batik sebagai kerajinan yang bosa menjadi komoditas perdagangan.

Uniknya, selain tumbuh dari dalam keraton, batik Cirebon juga berkembang karena kota ini yang awalnya adalah bandar laut Muara Jati menjadi pertemuan sejumlah pedagang dari perlbagai tempat. Pelabuhan Muara Jati menjadi tempat persinggahan pedagang dari Tiongkok, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik (sekarang dikenal sebagai Singapura), Pasai, Jawa Timur, Madura dan Palembang. Para pedagang ini memberikan pengaruh pada percampuran ragam budaya.

Dalam konteks batik, dua pengaruh ini tanpa sengaja membuat batik Cirebon tumbuh dalam dua versi, gaya, atau klasifikasi, yakni batik keraton dan batik daerah pesisir atau yang dikenal dengan nama Trusmi. Batik keraton, kita tahu, lahir dari masyarakat dengan tradisi religius dan klasik, yaitu saat Sunan Gunung Jati pada abad 15-16 menyebarkan ajaran Islam di Jawa Barat. Selain itu, batik Keratonan juga mengandung pengaruh budaya Tiongkok.

Batik gaya Keratonan karenanya sarat nilai filosofis. Sedangkan batik gaya pesisiran lebih dinamis dalam mengikuti selera pasar dan tidak harus mengandung makna filosofis.

Umumnya batik keratonan memiliki warna yang cederung gelap. Penggunaan warna-warna seperti hitam, merah tua, coklat seringkali mendominasi. Ciri ini yang kemudian membedakan batik Keraton dengan batik pesisir. Batik pesisir memiliki warna dasar yang lebih cerah, seperti biru, hijau, dan merah. Dalam hal motif, batik pesisir atau Trusmi menggunakan motif yang berhubungan dengan keadaan sekitar, seperti motif udang, ikan, dan bunga.

Batik Keratonan juga khas melalui penonjolan motif-motif utama yang berupa lambang yang mengandung pesan-pesan tertentu. Biasanya tidak mengandung unsur pelengkap yang terlalu padat yang mengganggu motif utamanya. Kadang hanya diberi latar garis-garis kecil yang disebut galaran.

Beberapa ragam motif pokok batik Keratonan di antaranya adalah Wadasan, Megamendung, dan Pandanwangi. Ketiga ragam hias ini konon mendapatkan pengaruh besar dari tradisi Tiongkok. Ada juga beberapa yang menggunakan ragam hias pohon, seperti Lam AlifSinga BarongPaksi Naga Liman, dan Macan Ali.

Meski secara fisik muncul pengaruh seni rupa Tiongkok, namun ruh dari motif dan corak batik Cirebonan bernafaskan ajaran Islam. Ini merupakan perwujudan dari gerakan tarekat di Cirebon.

Pada perkembangannya, batik Cirebon Keraton terbagi menjadi tiga keraton dan satu peguron dengan ciri khasnya masing-masing. Keraton Kasepuhan terlihat menggunakan ragam hias Singa Barong, Keraton Kanoman ragam hiasnya Paksi Naga Liman, Keraton Kacirebonan ragam hias Bintulu; sementara Peguron Kaprabonan menggunakan ragam hias Dalung dan motif tanpa gambar hewan.

Sejauh ini, Wadasan dan Megamendung merupakan ragam hias yang paling sering digunakan dan mudah dikenali. Hal ini mungkin dikarenakan keduanya memiliki banyak ragam, bentuk, komposisi, dan warna. Terutama motif Megamendung yang kini menjadi ikon batik Cirebon.

Batik Cirebon Motif Megamendung warna oranye

Motif Megamendung memiliki filosofi yang cukup dalam. Ia memiliki unsur warna merah dan biru yang menggambarkan maskulinitas dan dinamis, kemungkinan ini dipengaruhi dalam proses pembuatannya lebih banyak campur tangan laki laki. Kaum laki-laki anggota tarekatlah yang pada awalnya merintis tradisi batik Cirebon. Warna biru dan merah tua juga menggambarkan psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka dan egaliter.

Selain itu, warna biru juga disebut-sebut melambangkan warna langit yang luas, bersahabat dan pembawa hujan sebagai simbol kesuburan dan kehidupan. Warna biru yang digunakan mulai dari warna biru muda sampai biru tua.

Batik Cirebon terus berkembang dengan ciri khasnya. Untuk memfasilitasi kreativitas perajin batik di Cirebon, daerah ini mempunyai pusat atau sentra batik. Berjarak 4 Km dari pusat kota, Desa Trusmi di Kelurahan Plered menjadi salah satu wisata belanja batik yang wajib dikunjungi wisatawan jika berkunjung ke kota ini. Berbagai model dengan harga yang ber-variatif ditawarkan di toko-toko sepanjang daerah Trusmi.

Sudah adakah motif batik Cirebon dalam koleksimu? Ayo agendakan berkunjung ke Trusmi.

agendaIndonesia

*****

Oleh-Oleh Banten 5 Yang Wajib Dibawa

oleh-oleh Banten ada 5 yang ayak dibawa.

Oleh-oleh Banten selama ini orang banyak yang hanya mengenal sate bandeng. Ini tak salah, meskipun kurang tepat. Cukup banyak sebenarnya oleh-oleh khas dan unik dari daerah ini, hanya belum terlalu dikenal.

Oleh-oleh Banten

Setiap daerah tentu memiliki keunikan yang berbeda dengan daerah lain. Begitu pula dengan Banten. Keunikan Banten bukan semata budaya debusnya yang terkenal itu. Banten juga memiliki buah tangan yang layak dibawa pulang.

Meskipun letaknya relatif tidak terlalu jauh dari Jakarta, bisa jadi masih banyak yang belum tahu jika Banten menyimpan sejumlah oleh-oleh yang unik. Ada makanan klasik yang dilestarikan dari masa silam sampai dengan batik yang pertama kali dipatenkan di Unesco. Beberapa 5 di antara oleh-oleh yang layak dibawa pulang.

oleh-oleh bandeng salah satunya Sate Bandeng yang khas
Sate Bandeng khas Banten. Foto: Dok. Shutterstock

Sate Bandeng

Dulu di daerah ini ikan bandeng hanya disajikan dalam setiap perayaan besar, kini telah menjadi jajanan khas Banten, terutama sate bandengnya. Meski dinamai sate, bukan berarti ikan itu dipotong kecil-kecil lantas ditusuk bambu seperti pada umumnya. Bentuk sate bandeng dijepit bilah bambu.

Daging dan tulang ikan diambil kemudian dicincang dan diberi bumbu sebagai penyedap. Cincangan daging dimasukkan kembali ke dalam tubuh ikan dan sisanya dagingnya dioleskan di bagian luarnya. Lalu dibungkus dengan daun pisang dan kemudian dipanggang.

Di Serang, banyak sekali yang menjajakan makanan ini. Harga
per tusuknya bervariasi, tergantung dari besar kecilnya ikan bandeng. Sate Bandeng Ibu Aliyah salah satu yang dikenal luas, dengan harga lebih tinggi dibanding produksi yang lain. Ada pilihan rasa yang disediakan, orisinal dan pedas.

Sate Bandeng Ibu Aliyah; Jalan Sama’un Bakri, Lopang Gede, Serang.

Emping Ceplis

HAMPIR semua orang pasti mengenal emping. Tapi di Banten, terutama di Kabupaten Pandeglang, emping yang dihasilkan konon berbeda dari daerah lain. Selain rasa yang renyah karena pengolahannya, faktor kondisi tanah daerah Pandeglang umumnya memiliki unsur hara yang tinggi sehingga menghasilkan

buah melinjo dengan kualitas baik. Kios oleh-oleh di Cikoromoy, Pandeglang, misalnya, menyediakan berbagai pilihan emping. Dari yang masih mentah hinga yang sudah siap santap. Pilihannya, rasa orisinal, pedas, dan manis. Harganya beragam sesuai dengan ukuran. Mulai Rp 35 ribu per bungkus. Ada juga kulit emping yang sudah digoreng dan hanya dihargai Rp 20 ribu per bungkus.

Kios Oleh-Oleh; Cikoromoy, Pandeglang, Banten

Batik Banten

Batik Banten memiliki proses sejarah panjang hingga akhirnya diakui di seluruh dunia dengan dipatenkan pada 2003. Bahkan, batik Banten menjadi batik pertama yang memiliki hak paten di Unesco. Penasaran dengan berita itu, kami menemui Uke Kurniawan, pelopor batik Banten sekaligus pemilik Griya Batik Banten di daerah Cipocok, Serang.

Selain sebagai ruang pamer, Griya Batik Banten juga dijadikan workshop. Ada sekitar 40 corak dan motif batik khas Banten yang memiliki ciri khas bercerita. Nama-namanya di- ambil dari toponim desa-desa kuna, nama gelar bangsawan atau sultan, dan nama tata ruang istana kerajaan Banten. Warnanya cenderung abu- abu muda.

Griya Batik Banten; Jl. Bhayangkara No. 5; Depan Masjid Kubil; Cipocok Jaya, Serang

Gipang

Makanan ringan ini merupakan salah satu penganan khas Banten yang banyak dijajakan sebagai oleh-oleh. Rasanya renyah, manis, sedikit lengket karena terbuat dari ketan yang dicampur dengan air gula. Kebanyakan gipang masih dibuat di industri-industri rumahan di kampung-kampung.

Untungnya, penganan klasik ”Si Renyah Manis” ini masih dapat dengan mudah ditemukan di perempatan Ciceri, gerbang jalan tol Serang Timur, dan Pasar Lama. Untuk sekantong gipang dibandrol dengan harga Rp 20 ribu-25 ribu saja.

Kios Oleh-Oleh. Ciceri, Serang

oleh-oleh Banten ada beberapa macam, salah satunya kue sagon.
Kue sagon khas Banten yang bisa dijadikan oleh-oleh. Foto: Dok. PD Sutra AS.

Kue Sagon

Kalau di Jakarta, khususnya pada masyarakat Betawi, camilan yang terbuat dari tepung sagu dan kelapa ini biasanya berbentuk bubuk. Namun, masyarakat Banten mengenal sagon dalam bentuk kepingan. Mirip sekali dengan kue kering yang pipih.

Setelah dicetak bulat pipih, sagon dimasak dengan cara dibakar. Tak mengherankan jika di permukaannya tertinggal jejak gosong. Namun justru inilah yang membuat aromanya tambah harum. Satu bungkus sagon bakar dibandrol Rp 15 ribu-20 ribu. Selain itu ada juga kue satu yang terbuat dari kacang hijau. Satu bungkusnya hanya Rp 15 ribu.

Warung Kang Hadi; Jl. Jendral Sudirman No. 17; Pasar Buah-Buahan; Serang

agendaIndonesia

*****

Sambal Bu Rudy, Sejak 95 Pedasnya Menyengat

Sambal Bu Rudy bermula dari masakan keluarga kini menjadi oleh-oleh kha Surabaya.

Sambal Bu Rudy Surabaya terus naik daun. Selain produk-produk seperti ragam jenis sambal dan sebagainya yang kini populer sebagai oleh-oleh khas Surabaya, bisnis kulinernya juga menjadi salah satu daya tarik tersendiri di kota pahlawan itu.

Sambal Bu Rudy

Semua berawal dari seorang wanita bernama Lanny Siswadi, atau yang sehari-hari akrab dipanggil bu Rudy. Wanita kelahiran Madiun, 10 Oktober 1953 ini sejak kecil memang terbiasa untuk bekerja dan berjualan demi mengais rejeki.

Masa kecilnya dilalui dengan cukup berat. Ayahnya saat itu kerap sakit-sakitan dan sulit untuk bisa bekerja full-time. Sementara ibunya juga tak punya penghasilan serta minim kompetensi untuk mencari nafkah bagi keluarganya.

SItuasi diperparah dengan peristiwa G30S pada tahun 1965, dimana kondisi Madiun saat itu tidak kondusif dan mencekam. Maka sebagai anak sulung, ia sudah ikut bekerja mencari uang sejak dini.

Ia pun kerap pergi ke Surabaya untuk mencari pekerjaan. Dari menjadi tukang cuci piring hingga membantu tetangganya berjualan es dawet, semua dijalaninya demi membantu ekonomi keluarganya. Bahkan, ia mengaku putus sekolah sejak kelas 3 SD.

Selama satu dekade lebih ia harus bekerja serabutan, sampai akhirnya ia bertemu Rudy Siswadi, suaminya kini. Setelah menikah, mereka pun memutuskan untuk membuka usaha toko sepatu pada tahun 1983.

Toko sepatu tersebut terletak di Pasar Turi, dan menjadi mata pencaharian mereka selama sekitar 20 tahun. Hingga kini pun toko tersebut masih aktif berjualan, namun kini sudah dikelola oleh menantunya.

Kendati dirinya merasa tak begitu gemar dan jago memasak, namun beliau ternyata memiliki kecintaan tersendiri terhadap dunia kuliner. Tapi kisahnya berkecimpung di bisnis kuliner justru berawal dari usahanya bangkit dari kesulitan ekonomi lainnya.

Sambal BU Rudy awalnya disajikan dengan  udang yang digoreng kering.
Aneka sambal yang dikenal di Indonesia. Foto: Shutterstock

Pada awalnya, ia hanya senang memasak untuk teman-temannya kala mereka mampir datang ke rumahnya. Salah satu menu jagoannya adalah udang goreng beserta sambal bawang racikan sendiri. Tak disangka, ternyata teman-temannya begitu menyukai masakannya tersebut.

Mereka pun mulai mengusulkan kepadanya agar mencoba berjualan nasi dengan udang goreng dan sambalnya tersebut. Tadinya dia merasa tak yakin, tetapi ketika Pasar Turi sempat dilanda kebakaran dan tokonya turut ludes, ia akhirnya memberanikan diri agar dapat bangkit.

Kelihaiannya mengolah udang menjadi masakan sedap ini bukan tanpa sebab. Rudy sang suami rupanya memiliki hobi memancing di waktu luangnya. Sebagai umpan pancingan, ia kerap menggunakan udang.

Sebagian udang-udang inilah yang kemudian dicoba diracik bu Rudy menjadi kuliner yang menggoda lidah. Udang tersebut pun digoreng menjadi begitu renyah, gurih dan nikmat sebagai teman makan nasi. Ikan-ikan hasil pancingan suaminya pun kerap ia masak pula.

Tetapi yang paling krusial adalah kemampuannya mengolah sambal. Menurut pengakuannya, orang Madiun memiliki kultur membuat serta makan sambal yang sangat kuat. Ibaratnya, sambal saja bahkan sudah cukup untuk jadi lauk makan nasi.

Berbekal resep tersebut, pada 1995 ia dan suaminya mulai berjualan nasi udang goreng dengan sambal bawangnya dari atas mobil pick up. Selain menu itu, mereka juga menyediakan nasi pecel Madiun.

Ternyata, masakan mereka pun digemari publik Surabaya, dan mulai meraih kepopuleran. Bahkan pada perkembangannya, sambal bawangnya justru yang menjadi primadona dan jadi buah bibir banyak orang karena sensasi rasa pedas dan gurihnya itu.

Melihat peluang bisnis ini, bu Rudy pun mulai menjajakan sambal tersebut secara terpisah. Awalnya ia sempat kewalahan karena permintaan yang membludak, sementara sambal buatannya alami tanpa pengawet dan dikhawatirkan tak mampu bertahan lama.

Namun kini, dengan dibantu oleh anak-anaknya, ia bisa menjual sambal tersebut dalam kemasan botol. Tak lupa, di botol tersebut terdapat logo khasnya, yaitu wajah dari bu Rudy sendiri. Jadilah produk Sambal Bu Rudy.

Sambal Bu Rudy Bukalapak
Sambal Bu Rudy varian sambal bawang yang paling awal dikenal publik.

Sebotol sambal dengan tutup berwarna kuning itu pun semakin hari semakin populer. Bu Rudy yang tadinya hanya berniat berjualan makanan, kini menjelma jadi pebisnis sambal. Sekarang tak kurang sekitar 1.500 hingga 2.000 botol sambal yang terjual tiap harinya.

Jenis produk sambal Bu Rudy pun semakin beragam. Selain sambal bawang yang tentunya menjadi favorit banyak orang, kini ada pula varian sambal lain seperti sambal teri, sambal bajak, sambal ijo, dan sambal petis.

Bahkan udang crispy resep andalannya itu pun juga dijual satuan. Kini pecinta kuliner bisa membeli udang tersebut dalam berbagai ukuran kemasan, serta sepaket dengan sambal bawang sesuai ciri khasnya.

Dari situ, peminat produk-produknya terus meningkat, tidak hanya warga Surabaya saja tetapi juga muncul permintaan dari luar kota. Banyak wisatawan dari luar kota yang mampir dan mencari sambal bu Rudy sebagai oleh-oleh.

Bahkan produk sambal bu Rudy kini sudah merambah ke negara-negara lain seperti Tiongkok dan Belanda. Kalangan Istana pun disebut menyukai sambal buatannya, dari era Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo sekarang.

Bisnis pun terus berkembang dengan munculnya produk-produk penganan baru lainnya. Ikan wader crispy, kering kentang dan tempe, teri kacang balado, ikan asin dan peyek layur adalah beberapa di antaranya.

Harga sebotol sambal tersebut berkisar Rp 25 ribu hingga Rp 28 ribu, tergantung variannya. Sedangkan udang crispy satuan kemasan kecil dihargai Rp 38 ribu dan yang besar Rp 70 ribu. Adapun udang dan sambal sepaket dalam kemasan kecil Rp 63 ribu dan yang besar Rp 145 ribu.

Harga penganan lainnya pun termasuk terjangkau, seperti kering kentang dan tempe yang dihargai Rp 25 ribu. Atau ikan asin layur yang harganya Rp 30 ribu. Serta ikan wader crispy yang dijual Rp 26 ribu.

Sementara itu, bisnis kuliner bu Rudy pun kini beralih menjadi restoran yang dinamai Depot Bu Rudy. Setidaknya ada empat cabang yang beroperasi saat ini, yang juga sekaligus menjadi toko penyedia produk oleh-oleh mereka seperti sambal, udang serta penganan lainnya.

Depot Bu Rudy menawarkan menu-menu seperti nasi udang, nasi pecel Madiun, nasi campur, nasi bakar, nasi Madura, nasi penyet dan lain-lain. Harganya rata-rata berkisar dari Rp 28 ribu sampai Rp 33 ribu. Hingga kini, bu Rudy masih rajin memasak di depot-depot tersebut.

Depot pusatnya terletak di jalan Dharmahusada. Yang perlu dicatat, hanya depot pusat saja yang biasanya buka setiap hari dari jam 07.00 sampai jam 17.00. Di depot-depot lainnya, Depot Bu Rudy buka setiap hari dari jam 07.00 hingga jam 21.00.

Untuk info lebih lanjut dapat menghubungi 081228839813, (031) 5456565, 081938621616, (031) 7349051, atau kunjungi situs-situs resmi di depotburudy.co.id dan depotburudy.com, serta akun resmi Instagram @burudy.surabaya.

Depot Sambal Bu Rudy

Jl. Dharmahusada no. 144, Surabaya

Jl. Anjasmoro no. 45, Surabaya

Pasar Atom Mall Lt. 4, Surabaya

Jl. Raya Kupang Indah no. 5, Surabaya

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Ini 5 Rekomendasi Kuliner Halal di Manado

Ini 5 rekomendasi kuliner halal di Manado. Foto: shutterstock

Ini 5 rekomendasi kuliner halal di Manado, Sulawesi Utara. Meski dikenal dengan beragam jenis kuliner tradisionalnya yang menggoda lidah, penting juga untuk diingat bahwa tidak semuanya merupakan kuliner halal, mengingat banyak dari warganya yang memeluk agama non-Muslim. Sehingga menarik untuk diperhatikan apa saja kuliner khas kota 1001 gereja ini yang halal dikonsumsi bagi wisatawan Muslim.

5 Rekomendasi Kuliner Halal di Manado

Taman Laut Bunaken shutterstock
Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara. Foto; shutterstock
  1. Dego Dego Cafe

Ini yang pertama dari 5 rekomendasi kuliner halal di Manado adalah Dego Dego Cafe yang kerap menjadi salah satu tempat warga Manado dan wisatawan bersantap pagi. Dego Dego sendiri dalam bahasa lokal Manado kurang lebih berarti balai dari bambu, dan kafe ini memang secara visual terlihat sederhana dan tidak terlalu besar.

Namun, setiap paginya kafe tersebut dipenuhi oleh pengunjung, baik warga setempat maupun turis pecinta kuliner yang mencari sarapan. Usut punya usut, ternyata salah satu alasannya adalah kafe ini memiliki menu andalan kuliner tradisional yang lazim menjadi menu sarapan warga Manado, yakni Tinutuan.

Tinutuan, alias bubur Manado, adalah sebuah kuliner tradisional yang begitu populer di Manado. Warnanya cenderung kuning dan sedikit kehijauan, karena di dalamnya terdapat beberapa macam sayuran, seperti bayam dan kangkung. Warna kuning tersebut juga berasal dari olahan labu yang digunakan dalam pembuatannya.

Bubur dibuat dengan mencampurkan beras dan olahan labu, ubi dan jagung yang oleh warga setempat disebut sambiki. Setelah menjadi bubur dan mengental, barulah bubur bisa disajikan dengan menambahkan sayuran yang baru direbus setelah dipesan, serta tambahan daun kemangi untuk menambah aroma sedap.

Bubur Manado atau Tinutuan. Foto Dol Sajian Sedap
Bubur Manado atau Tinutuan. Foto: Dok. Sajian Sedap

Sensasi hangat dan gurihnya bubur, serta segarnya sayuran menjadikannya salah satu pilihan utama santap pagi bagi warga Manado. Bahkan, karena warga Manado dikenal suka makanan pedas, tinutuan kerap dimakan dengan menambahkan ragam sambal khas Manado, seperti sambal ikan roa atau sambal bakasang, yaitu sambal yang terbuat dari isi perut ikan cakalang.

Seporsi tinutuan pun terhitung murah, hanya sekitar Rp 7 ribu. Begitu populer dan merakyatnya kuliner ini, hingga terkadang kini Manado juga dipanggil sebagai kota tinutuan. Selain tinutuan, di kafe ini juga terdapat sejumlah makanan 5 rekomendasi kuliner halal di Manado yang khas lainnya, seperti mie cakalang, nasi goreng cakalang, nasi goreng ikan roa, dan lain sebagainya. Kalau tertarik mampir, Dego Dego Cafe terletak di jalan Wakeke nomor 3.

  • Warung Afisha

Bicara soal 5 rekomendasi kuliner halal di  Manado, maka akan identik dengan beragam jenis sajian seafood. Dan terbilang tidak sulit untuk menemukan restoran-restoran yang menjajakan aneka masakan seafood otentik. Dari restoran tersebut, salah satu yang cukup tenar dan mencolok dengan menu-menu uniknya adalah Warung Afisha, yang berlokasi di jalan Balai Kota.

Ada beberapa menu yang paling direkomendasikan di restoran ini. Salah satu dari 5 rekomendasi kuliner halal di Manado adalah woku belanga, yaitu olahan ikan yang dimasak di dalam belanga atau kuali yang terbuat dari tanah liat. Olahan ikan tersebut diramu dengan bumbu woku yang terbuat dari rempah-rempah seperti daun jeruk, daun kunyit, daun pandan, kemangi dan sebagainya.

Ikan yang diolah biasanya berkisar antara ikan mas. Ikan nila atau ikan kerapu. Walaupun terkadang sering juga dijumpai woku belanga yang menggunakan olahan udang, kepiting, atau bahkan ayam. Ia banyak disukai karena cita rasanya yang pedas dan gurih, serta aromanya yang begitu harum dan menggoda selera.

Menu lainnya yang menjadi primadona adalah rahang ikan tuna bakar. Setelah dibersihkan, ia dimarinasi bumbu sebelum kemudian dibakar sembari dilumuri sambal. Pengunjung juga bisa memesan rahang ikan tuna yang dimasak dengan woku, atau dengan direbus menggunakan kuah asam.

Lain dari itu, Warung Afisha juga menawarkan bermacam jenis ikan lainnya, seperti ikan tude, ikan goropa, ikan tindarung, ikan bobara, dan sebagainya. Yang menarik, dua jenis sambal andalannya, dabu dabu lilang dan rica bakar tampurung, dapat diambil sendiri sepuasnya oleh pengunjung.

Pengunjung diberikan pilihan paket nasi, lauk dan sayur yang harganya mulai dari Rp 40 ribu. Pengunjung tinggal memilih jenis lauk yang diinginkan, serta memilih sayur seperti cah kangkung, acar timun atau terong bakar. Bagi yang tidak terlalu suka pedas, juga bisa meminta agar ikan tidak dibakar menggunakan sambal.

  • Wisata Bahari

Satu lagi restoran seafood yang jadi salah satu dari 5 rekomendasi kuliner halal di Manado adalah Wisata Bahari, yang terletak di Bahu Mall Complex, jalan Wolter Monginsidi Nomor 1. Keistimewaan restoran ini bukan hanya dari aneka masakan seafood yang menggoyang lidah saja, tetapi juga karena ia berlokasi persis di tepi teluk Manado, menyajikan suasana makan di tepi pantai dengan pemandangan laut.

Memandang ke luar, akan terlihat panorama pulau Bunaken dan pulau Manado Tua yang berwujud gunung berapi aktif. Semakin terasa menarik ketika pengunjung menempati area outdoor dari restoran, yang menjadi spot favorit manakala waktu santap malam sambil menikmati pemandangan sunset.

Tak hanya nuansa dan pemandangan yang apik, pilihan menu makanannya pun tak kalah menarik. Menu-menu seperti ikan bobara bakar rica, lobster lada hitam, kepiting saus tiram, cumi cah jamur hitam, dan salad ikan goropa merupakan beberapa yang direkomendasikan. Harga makanannya berkisar dari Rp 20 ribu sampai Rp 140 ribu.

Buka dari jam 11.00 hingga 23.00, Wisata Bahari umumnya cocok menjadi tempat makan bersama teman dan keluarga. Meski berkapasitas sekitar 300 orang, namun restoran ini hampir tak pernah sepi pengunjung, sehingga jika berencana datang beramai-ramai disarankan untuk membuat reservasi terlebih dulu.

  • Rumah Makan Saroja

Siapa sangka, ternyata satu dari 5 rekomendasi kuliner halal di Manado juga memiliki gayanya sendiri dalam menikmati hidangan nasi kuning. Bagi pecinta kuliner yang penasaran ingin mencoba resep nasi kuning ala Manado, Rumah Makan Saroja bisa menjadi pilihan destinasi, karena restoran yang berada di jalan Diponegoro Nomor 9 ini terkenal dengan nasi kuningnya yang unik nan ikonik.

Sudah sejak 1977 restoran ini menjajakan nasi kuning khas Manado, dan sejak itu pula ia menjadi salah satu kuliner paling disukai warga lokal dan paling diburu pelancong. Bahkan, restoran ini pernah diganjar penghargaan oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai penjual nasi kuning terbanyak, karena begitu laris manisnya nasi kuning buatannya.

Yang membuat nasi kuning Manado ini lumayan berbeda dari biasanya adalah lauk pauknya. Di atas sepiring nasi kuning yang porsinya cukup besar, terdapat isian seperti abon ikan cakalang, semur daging sapi suwir, potongan ubi, kering kentang, bawang goreng, telur rebus, serta sambal. Seporsi nasi kuning komplit dihargai Rp 25 ribu.

Tak jarang yang datang ke restoran ini untuk santap pagi, lantaran sudah buka dari jam 06.00. Tetapi yang menarik, banyak pula yang membeli untuk dibawa pulang, bahkan sebagai oleh-oleh, karena setiap porsi nasinya dibungkus dengan daun roka. Disinyalir, penggunaan daun roka tersebut menambah aroma harum serta menjaga nasi tidak cepat basi.

  • Kios Es Miangas

Tak cuma kuliner main course saja, Manado juga punya beberapa kudapan manis otentik yang menarik untuk dicoba. Salah satu kedai penjual penganan ringan tersebut adalah Kios Es Miangas, kedai kudapan manis yang terhitung legendaris di Manado. Maklum, kedai ini beserta bangunannya sudah eksis sejak 1976 silam.

Es Kacang Merah Manado shutterstock
Es kacang merah yang segar. Foto: shutterstock

Terletak di satu sudut jembatan Miangas, di area jalan Jenderal Sudirman, menu-menu yang ditawarkan juga tidak banyak berubah sejak dulu. Beberapa di antaranya meliputi es buah, rujak buah, aneka juice buah, serta beberapa kue basah khas Manado seperti balapis, lalampa, kolombeng polote, dan sebagainya. Namun, dua menu yang dianggap paling ikonik adalah es brenebon dan gohu.

Es brenebon pada dasarnya adalah kudapan kacang merah yang disajikan dengan es serut, gula merah dan susu kental manis coklat. Sedangkan gohu merupakan potongan buah pepaya yang diracik dengan cuka, cabe, jahe, gula aren dan bakasang, alias isi perut ikan cakalang yang mengandung telur dan sudah melewati proses fermentasi.

Harga penganan-penganannya pun terhitung murah. Seperti gohu yang dihargai Rp 10 ribu, rujak buah Rp 12 ribu, es brenebon Rp 15 ribu, serta kue-kue basah yang masing-masing dihargai Rp 3 ribu per buah. Pengunjung bisa bersantai melepas dahaga dengan kudapan manis, sambil menikmati nuansa retro dari bangunan tua tersebut.

agendaIndonesia/audha alief praditra

—–

Timlo Solo, Sup ala Orang Solo Sejak 1960-an

Timlo Solo, salah satunya Timlo Sastro

Timlo Solo tak seperti banyak masakan khas suatu daerah yang cepat berkembang ke daerah lain. Atau setidaknya punya outlet cabang atau rumah makan yang punya menu ini. Tapi, Timlo seperti betah hanya ‘berkibar’ di kota Batik itu.

Timlo Solo

Setiap lebaran atau akhir tahun, Rumah Makan Timlo Solo di Jalan Urip Sumoharjo kota itu seperti menjadi satu paket dengan kunjungan ke toko Roti Orion bagi warga Solo yang sudah menetap di kota lain. Letak keduanya memang berdekatan, hanya terpisah sekira 200-an meter. Dan ke duanya menjadi serbuan mereka yang mudik liburan. Kadang sampai antri.

Apa sesungguhnya timlo ini? Tak cukup banyak catatan sejarah mengenai asal muasal masakan ini. Namun, dari banyak penulisan artikel mengenainya, garis besarnya timlo adalah salah satu dari begitu banyak resep kuliner yang dibawa pedagang asal Tiongkok ke Jawa. Asal makanan timlo Solo memang diduga terinspirasi dari sup kimplo yang populer di budaya Tionghoa.


Dugaan tersebut terjadi karena orang memahami kimlo sebagai jenis hidangan berkuah yang berasal dari Cina. Masakan tersebut di area Jawa Timur dan Jawa Tengah berkembang menjadi sup dan beredar di kawasan Pecinan.

Untuk timlo sendiri, ada yang mengatakan kalau masakan ini sejenis sup. Namun, tak kurang ada jpula yang mengatakan ia merupakan gabungan sup dan soto. Memang, hidangan ini berkuah bening mirip sup tetapi rasanya gurih menyegarkan seperti soto.

Bumbunya sesungguhnya cukup sederhana, yakni terdiri dari air kaldu ayam, bawang putih, pala, lada, dan taburan bawang goreng di atas nasi. Saat menyantap timlo dengan nasi, bisanya nasinya dipisah atau dicampurkan ke dalamnya seperti ketika kita menyantap soto atau bakso.

Sedangkan kondimennya bisa sangat bervariasi, yakni hati ampela, telur pindang ayam atau kadang telur bebek, daging ayam, dan, nah ini yang paling khas, sosis Solo. Sosis Solo ini seperti risol dengan kulit dari telur dadar dan isian, biasanya, daging sapi giling yang sudah dibumbui. Ada yang basah, alias tidak digoreng, ada sosis Solo yang digoreng.

Sosis Solo itulah kunci kelezatan masakan timlo. Kuah dan isian lain mungkin bisa diduplikasi, namun sosisnya sangat khas.

Timlo Solo

Saat ini tidak cukup banyak restoran atau rumah makan yang menjual timlo Solo yang enak. Salah satu yang terkenal sudah disebut tadi di depan, RM Timlo Solo di Jalan Urip Sumoharjo. Rumah makan ini sudah berjualan sejak awal tahun 1960-an. Hingga kini lokasinya masih tetap. Interior restorannya pun relatif masih sama.

Seperti juga kedai-kedai soto di Jawa, selain masakan utama yang disajikan dalam mangkok, pengunjung juga disuguhi pelengkap lain yang diletakkan di piring-piring di atas meja. Begitu pula di rumah makan ini. Jika tak cukup puas dengan potongan-potongan sosis yang ada dalam mangkok, pengunjung bisa menambahkan sendiri. Tentu hitungannya terpisah.

Kedai lain penjual Timlo yang sangat terkenal dan sudah sangat lama berjualan di Solo adalah Timlo Sastro. Warung makan ini konon mulai berjualan sejak 1962 di daerah Pasar Gede, Solo. Tepatnya di sekitar belakang pasar. Sama seperti Rumah Makan Timlo Solo, Timlo Sastro hingga kini tetap mempertahankan Timlo sebagai menu utamanya.

Timlo Sastro, dikenal juga sebagai timlo Balong, karena diambil dari nama sang pendiri tempat usaha ini, almarhum Pak Sastro. Ia membuka warung tersebut awalnya hanya berupa tenda kaki lima sederhana di sebelah barat pasar. Adanya renovasi pasar suatu ketika membuat Pak Sastro harus memindahkan warungnya ke sudut belakang Pasar Gede.

Yang unik dari Timlo Sastro adalah jam buka yang cukup awal, sekitar pukul 6.30. Ini sudah berlaku sejak awal berdiri. Karena itu, sering kali warung ini menjadi tempat mampir mereka yang baru mendarat dari penerbangan pagi untuk sarapan kuliner Solo.

Pada jam-jam tertentu, ambil menikmati hidangan Timlo, pembeli dihibur oleh alunan musik tradisional, keroncong dan campursari, yang dimainkan dengan kreatif oleh sekelompok pengamen Solo. Nglaras, kata orang Solo.

Pernah mencicipi timlo Solo? Jika belum ayo agendakan kulinermu ke Solo. Berikut pilihannya:

RM Timlo Solo; di Jalan Jend. Urip Sumoharjo No.94, Purwodiningratan, Jebres, Surakarta

Timlo Sastro; di Jalan Kapten Mulyadi No.8, Sudiroprajan, Jebres, Surakarta

Timlo Maestro; di Jalan K.H. Ahmad Dahlan No.60, Keprabon, Banjarsari, Surakarta

Mana yang mau dipilih, sesuai selera saja. Masing-masing warung punya ciri isi timlo tersendiri.

agendaIndonesia

******

Gili-gili Lombok, Keindahan 23 Pulau-pulau Kecil

Google Trends memperlihatkan banyak destinasi lokal yang menjadi incaran para pelancong.

Gili-gili Lombok adalah kekuatan lain wisata ke pulau di timur Bali ini. Gili, yang artinya pulau dalam bahasa setempat, dengan pantai berpasir putih menjadi pilihan menikmati liburan akhir tahun. Jika Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili air sudah mulai dipenuhi wisatawan, coba alihkan ke kawasan Sekotong.

Gili-gili Lombok

Pantai Senggigi boleh jadi menjadi tujuan utama Anda ketika berlibur ke Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Dari sana, umumnya wisatawan lantas menyebarang ke Gili Trawangan atau Gili Meno. Pilihan yang selalu meyenangkan.

Namun, sesekali, tak  ada salahnya jika memilih alternatif pantai lain yang juga tak kalah indahnya. Misalnya pantai-pantai di sejumlah gili di Kecamatan Sekotong di bagian selatan Lombok Barat. Kawasan ini terletak sekitar satu jam perjalanan dari Kota Mataram, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sejumlah pantai berpasir putih dengan panorama menawan menjadi dayatariknya, seperti PantaiMekaki, Pantai Bangko-bangko, dan Pantai Sepi. Di beberapa lokasi ombaknya cukup besar sehingga cocok untuk surfing.

Andalan utama Sekotong sesungguhnya adalah 23 pulau kecil, atau disebut gili, yang berpantai landai dan berpasir putih dengan air laut yang jernih. Perjalanan ke pulau-pulau ini memakan waktu 15 hingga 30 menit menggunakan perahu motor dari Pelabuhan Lembar.  Dari Mataram, pelabuhan ini cuma sekitar 2,5 kilometer  atau lamanya kira-kira 7 hingga 10 menit. Akses lain adalah melalui Pantai Cemara dan Pantai Tawun.

Berperahu ke gili-gili ini cukup mengasyikkan karena laut cukup tenang. Sepanjang perjalanan terlihat kapal feri Bali-Lombok yang sedang melintas. Setiap minggu, di saat kondisi sebelum pandemi, kapal pesiar dari Australia berkapasitas 1.000-2.000 penumpang juga menepi di Pelabuhan Lembar. Dari Lembar, wisatawan bisa menyewa perahu motor untuk menyeberang ke sejumlah gili-gili. Harga sewa perahu motor berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu. Ini harga perahu dengan kapasitas delapan orang untuk seharian, atau biasanya hitungan untuk main ke tiga gili terdekat.

Jika cuma punya waktu seharian, wisatawan bisa memilih hop in-hop off ke tiga gili, yakni Gili Nangu, Gili Sudak dan Gili Kedis. Gili terdekat adalah Gili Sudak, pulau kecil dengan pantai landai berpasir putih yang lembut. Namun, bisa saja perjalanan dimulai ke Gili Kedis yang tak terlalu besar. Di sini wisatawan bisa berenang atau snorkeling.

Gili gili Lombok Snorkeling

Air lautnya yang jernih dan tenang dijamin akan membuat wisatawan betah berlama-lama menikmati alam bawah lautnya. Gugusan terumbu karang yang dihuni beragam flora dan fauna laut menawan akan memancing decak kagum. Gili Kedis luasnya mungkin cuma sekira lapangan bola. Tapi asyik buat dinikmati. Buat yang suka majang foto di akun socmed-nya, gili ini tempatnya.

Kondisi pulau-pulau lain, baik di daratan maupun bawah laut, juga masih sangat terjaga. Alamnya yang tenang sangat cocok untuk menepi, sejenak membebaskan diri dari kesibukan sehari-hari.

Hanya sekitar 10 menit dari Gili Kedis, hop-in selanjutnya adalah Gili Sudak. Biasanya sampai di gili ini pas waktu makan siang, karena di sini dikenal dengan wisata kulinernya. Ada beberapa warung makan pinggir pantai yang menawarkan menu olahan berbagai ikan laut segar, juga udang, cumi, dan kadang juga lobster. Wisatawan juga makan siang ditemani kelapa muda yang segar di sini.

Puas makan siang di tepi pantai, wisatawan bisa melanjutkan hop in-hop off ke pulau ketiga, Gili Nangu. Sama seperti dua gili sebelumnya, Gili Nangu adalah pulau tak berpenghuni. Tapi tempatnya memang asyik. Pasir putih bersih, air yang jernih, dan bawah air yang menarik. Mau ketemu Nemo si ikan badut? Di sini tempatnya.

Dari Nanggu, wisatawan bisa kembali ke daratan Lombok sebelum magrib turun. Tapi jika berminat bermalam, pilihannya adalah mampir ke Gili Gede. Ini gili terbesar di kawasan Sekotong.

Gili Gede memiliki pilihan akomodasi yang lebih baik bagi para wisatawan. Dengan fasilitas dan resor seperti itu, wisatawan ketika ingin dapat menikmati alam dalam jangka waktu yang lebih lama. Meski lokasinya terpencil dan berukuran kecil, wisatawan tidak perlu ragu mengunjungi Gili Gede. Mereka terkesan dengan alam dan fasilitas yang disediakan di sana. Gili Gede termasuk pulau berpenghuni.

Arah pengembangan wisata di pulau-pulau kecil ini akan disesuaikan dengan keunikan dan daya tarik yang ada di masing-masing
pulau. Gili Gede, misalnya, dikembangkan sebagai destinasi wisata bahari, khususnya wisatawan pemilik yacht. “Ada kekhasan di masing-masing pulau tersebut,” ujar seorang pemandu wisata di sana.

AgendaIndonesia

******

Sop Buntut Ma’Emun, Disruput Mulai 1970

Sop Buntut Ma'Emun Bogor mulai berjualan sejak 1970-an. Foto: shutterstock

Sop Buntut Ma’Emun menjadi alternatif makan siang yang enak di sekitar Bogor, terutama ketika hujan mengguyur kota ini. Sesuai nama kotanya, kota hujan karena kerap diguyur hujan hampir setiap hari ini, tentu terasa cocok menyantap kuliner berkuah yang hangat dan segar.

Sop Buntut Ma’Emun Bogor

Sop buntut memang bukan asli kuliner Bogor, Jawa Barat. Bahkan merunut sejarahnya, masakan ini bukan asli dari tanah air. Di luar negeri, sop buntut pertama kali muncul pada masa abad ke-17 di Inggris. Konon resep makanan ini dibawa kaum imigran dari Prancis dan Belgia. Sop dengan kuah yang kental dan gurih ini pun mulai populer pada abad ke-18.

Dari resep dan bahannya ketika itu, tidak terlalu jauh berbeda dari sop buntut yang kita kenal di sini. Potongan daging ekor sapi yang diolah dan dimasak dengan kentang, tomat, serta ragam bumbu dan rempah-rempah seperti bawang putih dan lain sebagainya.

Buntur Sapi shutterstock
Bahan utama Sop Buntut Ma;Emun tentu saja adalah buntut sapi. Foto: dok. shutterstock

Pada perkembangannya, kuliner ini juga muncul di negara-negara lain dengan karakteristiknya masing-masing. Misalnya di Tiongkok, kuliner ini disajikan dengan cara daging buntut dan kuahnya dipisah.

Di Indonesia, kita juga mengenal gaya serupa, biasanya ini disajikan untuk menu sop buntut goreng atau sop buntur bakar. Alih-alih direbus dan disajikan bersama dengan kondimen lainnya, daging buntut dibumbui dan digoreng atau dibakar terlebih dulu, sebelum disajikan bersama sop atau kuah yang terpisah.

Namun ada pula beberapa kemiripan pada setiap jenis sop buntut di seluruh dunia. Selain bahan bakunya, umumnya daging dan bahan lainnya direbus bersama agar dagingnya menjadi empuk dan bumbu serta kondimennya luruh menyatu di dalam kuah.

Di Indonesia, salah satu sop buntut yang diyakini muncul pertama kali sebagai sebuah menu resmi di restoran adalah di Bogor Café, salah satu restoran yang berada di Hotel Borobudur, Jakarta. Sop buntut ini begitu ikonik karena kuahnya yang menyatu dengan tomat sehingga menjadi begitu kental dan gurih.

Sejak kemunculan menu ini pertama kali di awal 1970-an, sontak ia menjadi kuliner yang begitu disukai banyak tamu dan pengunjung. Saking melegendanya, ketenaran menu tersebut sampai ke telinga para pengusaha kuliner yang tertarik mencoba dan membuatnya sendiri.

Tak lama berselang, satu per satu mulai muncul menu-menu serupa di tempat lain, dari kelas restoran hingga warung pinggir jalan. Semakin hari, sop buntut pun menjadi makanan yang digemari oleh masyarakat Indonesia hingga kini.

Sop Buntut Ma'Emun awalnya dari saat Idhul Qorban, dari daging kurban kemudian diolah dan dibagian ke tetangga.
Sop buntut umunya ditambahi kentang, wortel, dan dauh bawang. Foto: shutterstock

Salah satu yang ikut tergugah untuk membuat warung sop buntutnya sendiri saat itu adalah Siti Maemunah, yang sehari-hari akrab dipanggil Ma’Emun. Sejak kuliner ini booming di era 1970-an, ia pun turut membuka warung sop buntutnya sendiri di Bogor.

Semua berawal ketika halaman rumahnya digunakan sebagai tempat menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha. Ia pun mencoba memasak sop buntut dengan resep sendiri untuk acara syukuran setelahnya. Ternyata, sop buntut buatannya disukai tetangga sekitar. Maka mulailah era Sop Buntut Ma’Emun di Bogor.

Konon, dulunya ia hanya berjualan sop buntut dari tenda kecil di bawah pohon di satu sudut kota Bogor. Barulah sekitar tahun 1990-an dan 2000-an mulai berdiri satu per satu cabang dari warung tersebut agar dapat menampung lebih banyak pengunjung.

Yang cukup spesial dari resep sop buntut buatannya adalah bagaimana daging buntut direbus dalam waktu cukup lama. Ini membuat daging terasa begitu empuk, sampai mudah lepas dari tulangnya. Sementara bagian dalam dagingnya masih terlihat kemerahan meskipun sudah sangat matang.

Karena dimasak lama pula, lemak alami dari daging pun membaur dengan kuah, sehingga terasa kental namun segar ketika diseruput. Selain itu, sop buntut disajikan di dalam mangkok berbahan stainless steel, ini agar panas kuah dapat bertahan lama.

Di dalam semangkok sop buntut Mak’Emun tersebut, juga potongan wortel, kentang, daun bawang dan seledri yang menambah sedap aroma serta rasa. Resep ini masih terus bertahan hingga kini, selepas beliau berpulang dan bisnisnya dilanjutkan oleh cucu-cucunya.

Dan hingga kini pula, sop buntut Mak’Emun makinh banyak penggemarnya, bahkan termasuk dari kalangan Istana. Saat dalam masa bakti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, warung ini kerap diminta menyediakan sop buntut sebagai konsumsi pada acara kenegaraan di Istana Bogor.

Saat ini, paling tidak terdapat empat cabang asli warung sop buntut Ma’Emun ini di Bogor. Kesemuanya dikelola oleh cucu-cucunya, namun memang masih menggunakan nama Ma’Emun sebagai tanda otentisitas.

Porsi semangkok sop buntut  Mak’Emun cukup besar, sehingga terasa cukup mengenyangkan. Selain ditemani dengan nasi, biasanya tersedia juga perkedel dan kering kentang Mustofa yang konon juga banyak digemari oleh pengunjung.

Satu porsi sop buntut ini dihargai Rp 38 ribu, meski dapat naik menjadi sekitar Rp 40 hingga 45 ribu kala hari libur. Sebuah harga yang masih termasuk terjangkau, mengingat banyak sop buntut lainnya yang harganya bisa mencapai Rp 50 ribu, bahkan Rp 60 ribu lebih.

Sate Buntut Mak Emun Ibu Imas
Salah satu cabang Sop Buntur Ma’Emun yang dikelola salah satu cucunya. Foto: Ma”emun Ibu Imas

Jam buka warung-warung tersebut biasanya antara jam 09.00 sampai 18.00. Tetapi perlu dicatat, karena selalu ramainya warung-warung ini, kadang kala sop buntut sudah habis sebelum jam tutup, sehingga lebih baik datang dari awal sebelum kehabisan.

Sop Buntut Ma’Emun Bogor

Jl. Jend. Sudirman no. 48A, telp. 08567072299

Jl. Jend. Sudirman no. 60A, telp. 08121321090

Jl. Bangbarung Raya no. 1, telp. 085691290660

Jl. Pandu Raya no. 3, telp. 087874227245

agendaIndonesia/Audha Alief P.

*****

Loenpia Semarang, Jejak Kuliner Sejak Abad 19

Loenpia Semarang

Loenpia Semarang menjadi salah satu pilihan buah tangan jika wisatawan berkunjung ke ibukota Jawa Tengah. Loenpia atau sering juga disebut lumpia adalah satu lagi contoh makanan hasil akulturasi dua kebudayaan yang kemudian menjadi ikon tersendiri.

Loenpia Semarang

Perjalanan loenpia telah melampui lebih dari 1 abad dengan pelbagai perkembangannya. Dari berbagai sumber, konon lahirnya loenpia bermula saat seorang pria warga Fujian, atau Provinsi Fu Kien, Tiongkok, bernama Tjoa Thay Joe memutuskan pindah dan tinggal di Semarang. Ia mencoba peruntungan dengan berjualan makanan asal negerinya di kota itu.

Tjoa awalnya membuka bisnis makanan khas negerinya berupa makanan pelengkap berisi daging babi dan rebung. Belakangan ia kemudian bertemu Wasih, orang Jawa yang juga berjualan makanan yang hampir sama, hanya saja rasanya lebih manis dan berisi kentang juga udang. Ke duanya berjualan di tempat yang berdekatan.

Seiring waktu, mereka ternyata saling jatuh cinta dan kemudian menikah. Bisnis makanan yang mereka jalankan pun dilebur dengan beberapa perubahan yang saling melengkapi. Isi lumpia diubah menjadi ayam atau udang yang dicampur dengan rebung, serta dibungkus dengan kulit lumpia khas Tionghoa. Jadilah loenpia seperti yang dikenal saat ini.

Soal penamaan makanannya sendiri, ada dua pendapat. Pertama, nama lunpia berasal dari dialek Hokkian, “lun” atau “lum” berarti lunak dan “pia” artinya kue. Pada awalnya loenpia Semarang tidak digoreng, sehingga sesuai makna lumpia, kue yang lunak.

Pendapat lain menyebutkan, nama makanan itu muncul karena Tjoa dan Wasi menjual jajanan mereka itu di pasar malam Belanda bernama Olympia Park. Masyarakat lalu mengenal panganan hasil akulturasi tersebut dengan nama lumpia karena kesulitan menyebut Olympia. Mana yang benar, walahualam. Yang jelas loenpia atau lumpia kemudian berkembang menjadi salah satu kekhasan Semarang. Termasuk ketika keduanya kemudian membuka usaha secara menetap di Gang Lombok Nomor 11, Semarang.

Dari pasangan ini, loenpia kemudian menyebar. Awalnya pusaka kuliner Tjoa Thay Yoe–Wasih ini diteruskan oleh keluarga Siem Gwan Sing- Tjoa Po Nio yang merupakan menantu dan putri tunggal Tjoa-Wasih. Dari pasangan generasi ke dua tersebut, loenpia makin melebar ketika ketiga anak Siem Gwan-Tjoa Po, yakni Siem Swie Hie, Siem Hwa Nio, dan Siem Swie Kiem, masing-masing membuka usaha loenpia.

Ketiganya mengembangkan loenpia dengan gaya dan resep masing-masing. Semacam diferensiai produk. Loenpia dari trah Tjoa-Wasih kini praktis sudah berada di tangan generasi ke empat dan ke lima.

Warung tertua saat ini, peninggalan Tjoa dan Wasih, masih buka di Gang Lombok Nomor 11, bersebelahan dengan Klenteng Tay Kak Sie. Loenpia Gang Lombok ini kini dikelola oleh generasi ke empat, yakni Purnomo Usodo yang akrab disapa Pak Untung. Ia adalah anak dari Siem Swie Kiem, anak ke tiga  Tjoa-Wasih.

Untung tetap setia melayani konsumennya di kios warisan ayah dan kakeknya di Gang Lombok 11. Keistimewaan lumpia Gang Lombok ini menurut sejumlah penggemarnya adalah racikan rebungnya tidak berbau “pesing”, juga campuran telur dan udangnya tidak amis.

Loenpia Semarang Kedai Mbak Lien di Gg. Grejen

Lumpia buatan generasi keempat lainnya dapat kita peroleh di kios lumpia Mbak Lien alias Siem Siok Lien (43) di Jalan Pemuda dan Jalan Pandanaran. Mbak Lien meneruskan kios almarhum Siem Swie Hie, yang merupakan abang dari Siem Swie Kiem, di Jalan Pemuda (mulut Gang Grajen) sambil membuka cabang di Jalan Pandanaran, yakni di depan toko bandeng presto Juwana. Kekhasan loenpia Mbak Lien ini adalah isinya yang ditambahi racikan daging ayam kampung.

Adapun generasi keempat lainnya, yaitu anak-anak dari almarhum Siem Hwa Nio (kakak perempuan dari Siem Swie Kiem) meneruskan kios ibunya di Jalan Mataram, atau sekarang Jalan MT Haryono, seraya membuka kios-kios baru di beberapa tempat di Semarang.

Selain keluarga-keluarga leluhur pencipta loenpia Semarang tersebut, sekarang banyak juga orang-orang  di luar trah tersebut yang membuat lumpia. Mereka umumnya mantan karyawan dari ketiga keluarga awal. Mereka yang mempunyai hobi kuliner juga turut meramaikan bisnis lumpia semarang dengan membuat lumpia sendiri, seperti Lumpia Ekspres, Phoa Kiem Hwa dari Semarang International Family and Garden Restaurant di Jalan Gajah Mada, Semarang.

Manakah dari semua merek loenpia ini yang paling enak? Semua kembali kepada selera.

Agendaindonesia

*******

Benteng Vredeburg, Wisata Ke Peninggalan Dari 1767

Benteng Vredeburg sudah banyak yang tahu ada di Yogyakarta. Tapi berapa banyak dari kita yang pernah menyempatkan diri mampir dan menikmati tempat yang bersejarah ini? Rasanya tak banyak, meskipun wisatawan yang berkunjung ke kota pelajar ini sudah mondar-mandir di kawasan Malioboro.

Beteng Vredeburg

Malioboro memang sering kali menjadi tempat tujuan utama wisatawan saat berlibur ke Yogyakarta. Banyak wisatawan mengaku telah bolak-balik ke kawasan belanja ini tanpa merasa bosan. Di musim liburan, tak jarang jalan ini mengalami kemacetan luar biasa karena wisatawan tumpah-ruah di sana.

Benteng Vredeburg merupakan peninggalan Belanda pada tahun 1767 di kawasan Malioboro, Yogyakarta.
Kawasan Malioboro Yogyakarta, tempat Benteng Vredeburg berada. Foto: Dok. unsplash

Mereka memenuhi kawasan ini, tidak saja karena godaan wisata belanja, seperti di Pasar Beringharjo dan toko Mirota Batik, jalan ini juga dikepung sejumlah obyek wisata menarik. Ada kompleks Keraton Yogyakarta, Taman Pintar, dan benteng tua bernama Vredeburg. Namun, seperti disebut di muka, yang terakhir ini rasanya yang paling jarang disambangi.

Mungkin karena kesannya kuno. Mungkin pula dulu tempat ini belum mendapat sentuhan konservasi dan membuatnya lebih “bunyi” sebagai tempat bersejarah. Beberapa tahun terakhir ini, Vredeburg terus mempercantik diri sehingga makin menarik untuk dilirik.

Pagi itu, seorang teman yang pernah bersekolah di Yogya bernostalgia ke kawasan Malioboro. Ia sengaja berjalan kaki menyusuri Jalan Malioboro setelah sarapan di hotelnya di ujung utara jalan ini. Tujuan awalnya adalah ke keraton. Tapi menjelang ujung Maliooro, ia tertarik dengan Vredeburg—benteng peninggalan pemerintah kolonial yang terletak tak jauh dari Pasar Beringharjo.

Meskipun sudah pernah tinggal di Yogyakarta, hari itu adalah kunjungan pertamanya ke Vredeburg. Bagian depan benteng ini dijadikan tempat parkir kendaraan bermotor, sehingga pintu masuk yang kecil tersamarkan oleh deretan mobil dan minibus. Mungkin itu salah satu penyebab orang sering tidak tergoda untuk mampir.

Melintasi pintu gerbangnya, sekilas Vredeburg mengingatkan orang apada Benteng atau Fort Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. Ke duanya sama-sama benteng peninggalan Belanda dengan deretan bangunan tua berjendela besar dan halaman yang luas. Perbedaannya, Vredeburg lebih didominasi warna abu-abu, sedangkan Fort Rotterdam tampak ceria dengan warna bangunan merah dan kuning. Namun, yang menyenangkan, keduanya masih terawat dengan baik sampai sekarang, sehingga bisa menjadi sarana pendidikan sejarah bagi generasi muda.

Di kawasan Benteng Vredeburg, tadinya terdapat kafe yang didesain cantik dengan atmosfer tempo dulu. Indische Koffie, namanya. Beroperasi sejak pertengahan 2012 di salah satu bangunan pada benteng tersebut, kafe ini memiliki ruangan indoor dan outdoor. Bagian luar cocok untuk meneguk secangkir kopi pagi hari sembari menikmati suasana benteng yang masih sepi. Sayangnya oase yang menarik ini kini sudah tutup.

Menurut catatan sejarah, sebelum dibangun benteng dengan bentuk arsitekturnya yang sekarang, pada tahun 1760 atas permintaan Belanda, Sultan Hamengku Buwono I, di lokasi tersebut membangun sebuah benteng yang sangat sederhana. Bentuknya bujur sangkar. Pada ke empat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh Sultan, ke empat sudut tersebut diberi nama masing-masing Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).

Menurut penuturan Nicolas Hartingh, Gubernur Jendral VOC untuk Jawa saat itu, benteng tersebut keadaannya masih sangat sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bambu dan kayu dengan atap ilalang. Sewaktu W.H.Ossenberch menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, pada tahun 1765, diusulkan kepada sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih menjamin kemanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan di bawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak.

Pada awal pembangunannya, status tanah tempat berdirinya benteng Vredeburg merupakan milik kasultanan. Tetapi dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC).

Lucunya, menurut penjelasan ahli sejarah, dahulu kala benteng yang awalnya bernama Rusternburg pada 1760-an, dibangun oleh Belanda justru untuk menghindari serangan dadakan dari pemimpin Keraton Yogyakarta saat itu. Letaknya yang memang tak jauh dari kompleks Keraton, hanya satu tembakan meriam, memudahkan Belanda mengawasi gerak-gerik lawan yang membahayakan posisi mereka. Itu sebabnya bangunan benteng ini berbentuk persegi dengan empat pos penjagaan atau bastion.

Selama kurun waktu dari 1770-an hingga saat ini, Vredeburg kerap kali berganti fungsi. Dari menjadi benteng pertahanan, markas militer untuk penjajah asing maupun tentara Republik Indonesia, hingga museum sejarah seperti saat ini. Beberapa bagian memang sempat dipugar, tapi kemudian dibangun kembali sesuai dengan bentuk aslinya.

Benteng Vredeburg kini menjadi museum dengan gambaran perjuangan bangsa Indonesia.
Ruang Diorama di dalam Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Foto: dok. unsplash

Di dalam Museum Benteng Vredeburg, terdapat beberapa diorama dengan total 1.200 patung diorama yang menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan. Selain itu, dipajang pula koleksi benda bersejarah, foto-foto, patung, dan lukisan tentang perjuangan.

Teman yang bercerita kunjungannya ke Vredeburg ini menilai, benteng ini sesungguhnya aset wisata yang luar biasa. Tentu semakin menarik jika ditambahi dengan atraksi-atraksi keren yang cocok dengan anak muda.

agendaIndonesia

*****

Ini 7 Destinasi Utama Kuliner di Cirebon

Empal gentong adalah salah satu dari 7 destinasi utama kuliner di Cirebon. Foto: shutterstock

Ini dia 7 destinasi utama kuliner di Cirebonb bagi para wisatawan yang hendak menikmati santapan khas Cirebon. Ada berbagai jenis kuliner khas dan otentik yang dapat dicoba, mulai dari makanan hangat berkuah, kudapan ringan, kuliner malam hari, hingga ragam racikan menu nasi yang menarik dan dapat mencakup bermacam-macam selera. Ini dia 7 destinasi utama kuliner di Cirebon.

Tari Topeng Cirebon merupakan salah satu kesenian tradisional kota ini. Foto: shutterstock

7 Destinasi Utama Kuliner Di Cirebon

  1. Nasi Jamblang Ibu Nur

Salah satu destinasi kuliner paling terkenal di Cirebon saat ini adalah Nasi Jamblang Ibu Nur, yang terletak di Jalan Cangkring 2 Nomor 34, di area pusat kota yang tidak jauh dari alun-alun Kejaksan. Berada di pinggir jalan dengan bangunan berwarna hijau, tidak sulit untuk menemukan rumah makan hits ini.

Sejatinya, nasi jamblang merupakan nasi dengan porsi moderat yang disajikan di atas daun jati, bersama dengan beragam pilihan lauk pauk, seperti ayam goreng, serundeng, oseng cumi saus tiram, terong balado, pepes jamur, telur asin, semur ati dan ampela, ikan pari cabe ijo, sate kerang, serta bermacam gorengan seperti tahu, tempe, perkedel dan lain lain.

Nasi Jamblang satu dari 7 destinasi utama kuliner di Cirebon shutterstock
Salah satu dari 7 destinasi utama kuliner di Cirebon adalah nasi Jamblang. Foto: shutterstock

Semua pilihan lauk pauk tersebut dapat dipilih secara prasmanan. Pengunjung akan disediakan sepiring nasi di atas daun jati, dan kemudian pramusaji akan mengambilkan lauk pauk pilihan sesuai selera. Harga seporsi nasi jamblang bergantung pada lauk yang dipilih, namun biasanya pengunjung menghabiskan sekitar Rp 20 ribu ke atas.

Kuliner merakyat sebagai salah satu 7 destinasi utama kuliner di Cirebon ini dengan kesederhanaannya diperkirakan sudah ada sejak zaman pra-kemerdekaan. Nama ‘jamblang’ sendiri disebut berasal dari sebuah daerah di area tepi kota udang tersebut. Kala itu, masyarakat yang hidup sederhana dan tidak punya banyak uang menggunakan daun jati sebagai alas untuk makan, karena daun pisang lebih sulit dan mahal untuk didapatkan.

Kuliner tersebut lantas populer sebagai makanan tradisional khas warga pesisir di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Seiring perkembangan zaman, mulai muncul pula restoran-restoran yang menyediakan nasi jamblang. Nasi Jamblang Ibu Nur misalnya, adalah usaha keluarga yang sudah eksis sejak 2007 dan masih berupa warung tenda.

Masakan rumahan nan tradisional yang lezat, dengan harga yang ringan di kantong, menjadi sejumlah alasan Nasi Jamblang Ibu Nur menjadi begitu populer dan didatangi warga lokal dan wisatawan pemburu kuliner. Buka dari jam 07.00 hingga 20.30, rumah makan ini tak jarang sudah dipenuhi pengunjung yang mencari sarapan sejak pagi.

Sebagai catatan, oseng cumi saus tiram merupakan salah satu menu andalan yang paling dicari pengunjung. Meski harganya paling mahal dibanding menu lauk lainnya – sekitar Rp 28 ribu sampai 35 ribu, tergantung ukurannya – namun bisa dibilang inilah menu paling menarik dan otentik di restoran ini. Maklum, cumi blakutak yang dimasak bersama tinta hitamnya itu merupakan salah satu hasil laut yang populer di Cirebon.

  • Empal Gentong Haji Apud

Kurang afdol rasanya jika membicarakan 7 destinasi utama kuliner di Cirebon tanpa menyebut empal gentong. Makanan olahan daging sapi berkuah hangat ini sudah lama menjadi primadona kuliner tradisional kota wali tersebut. Salah satu kedainya yang paling populer saat ini adalah Empal Gentong Haji Apud.

Yang menarik, di kedai tersebut tersedia dua jenis menu utama yang ditawarkan, yakni empal gentong dan empal asem. Pada prinsipnya, keduanya sama-sama makanan berkuah dengan isian daging sapi dan jeroannya seperti usus, babat, limpa, paru, kikil dan sebagainya. Perbedaannya, empal gentong menggunakan santan dalam memasaknya, sementara empal asem berkuah bening. Keduanya pun sama-sama dibanderol Rp 25 ribu semangkuk, jadi pengunjung tinggal memilih sesuai selera.

Nama empal gentong sendiri berasal dari cara pembuatannya. Olahan daging sapi beserta rempah-rempah kuahnya dimasak di dalam gentong tanah liat yang diletakkan di atas kayu bakar, selama lebih dari 10 jam. Metode tradisional ini dipercaya mampu membuat masakan menjadi lebih beraroma khas, rasa lebih sedap serta daging yang lebih empuk.

Tidak sulit mencari kedai empal gentong di sekitaran kota Cirebon. Namun bisa dikatakan bahwa Empal Gentong Haji Apud, yang sudah ada sejak 1995, adalah salah satu yang paling terkenal dan paling banyak didatangi pengunjung. Bahkan, selain kedai pusatnya yang berada di jalan Ir. Juanda nomor 24, kini terdapat pula sejumlah cabang seperti di jalan Tuparev nomor 43 dan jalan Otto Iskandardinata, tepatnya di area komplek Pasar Batik Trusmi, untuk memenuhi banyaknya pengunjung.

  • Nasi Lengko Haji Barno

Yang satu dari 7 destinasi utama kuliner di Cirebon ini juga sayang untuk dilewatkan. Nasi Lengko Haji Barno jadi salah satu alternatif wisata kuliner yang menarik, khususnya bagi mereka yang vegetarian, atau sekedar menginginkan santapan ringan nan sederhana yang cukup mengenyangkan. Harganya pun terbilang sangat ramah kantong.

Nasi lengko juga merupakan kuliner tradisional yang sudah ada sejak lama. Disebut-sebut makanan ini sudah ada sejak era Sunan Gunung Jati, dimana masyarakat hidup dalam kesederhanaan dan keterbatasan, termasuk dalam hal bahan makanan. Nama ‘lengko’ sendiri bermakna langka, yang menggambarkan kelangkaan bahan makanan di masa itu.

Nasi Lengko Cirebon shutterstock
Nasi Lengko menjadi satu dari 7 destinasi utama kuliner di Cirebon. Foto: shutterstock

Ia kemudian terlahir dari hasil racikan bahan makanan yang masih tersedia kala itu, seperti taoge, tahu, tempe dan timun yang dilumuri bumbu kacang. Dipadu dengan nasi, ia lantas berkembang menjadi makanan merakyat yang populer dan masih menjadi kuliner tradisional yang banyak dicari orang hingga kini.

Nasi Lengko Haji Barno, misalnya, sudah berjualan sejak 1978 dan masih terus mempertahankan popularitasnya. Disinyalir, cara memasaknya yang menggunakan metode dan alat tradisional seperti kompor arang dan kayu bakar menjadi salah satu kunci mengapa cita rasanya terus terjaga dan pelanggannya terus datang kembali.

Sepiring nasi lengko dihargai Rp 12 ribu saja, tetapi itu pun sudah terhitung porsi yang cukup mengenyangkan. Kalau masih terasa kurang, kedai ini juga menawarkan sate kambing yang dibanderol Rp 4 ribu per tusuk. Lokasinya yang terletak di jalan Pagongan nomor 15B, juga mudah dijangkau lantaran berada di area pusat kota dan tak jauh dari alun-alun Kejaksan.

  • Mie Koclok Mang Sam

Mie Koclok Mang Sam menjadi salah satu dari 7 destinasi utama kuliner di Cirebon, khususnya saat malam hari. Berlokasi di jalan Pekiringan nomor 110, warung gerobak sederhana ini biasanya buka dari jam 18.00 hingga 23.00 dan kerap menjadi pilihan warga setempat dan turis yang hendak mencari makan malam.

Mie koclok sendiri merupakan olahan mie yang dimasak menggunakan santan dan tepung kanji. Hasilnya, kuahnya menjadi berwarna putih yang begitu kental dan gurih. Di dalam semangkuk mie koclok juga terdapat ayam suwir, telur rebus, taoge dan kol. Disarankan menyantapnya saat masih hangat, karena kuahnya bisa cepat mengental dan kaku.

Sebagai pilihan, pengunjung juga bisa memilih bihun sebagai ganti mie. Tak hanya itu, ada pula menu racikan mie atau bihun yang dicampur dengan gado-gado yang tak kalah unik dan menarik untuk dicoba. Semua ragam menu tersebut dihargai sekitar Rp 25 ribu.

  • Sate Kalong

Satu lagi dari 7 destinasi utama kuliner di Cirebon malam yang populer adalah sate kalong. Dinamakan demikian bukan karena ia menggunakan daging kalong atau kelelawar, melainkan karena para penjaja sate kalong biasanya baru berjualan saat malam hari, layaknya kalong yang baru aktif berkeliaran ketika hari mulai gelap.

Sate kalong sendiri aslinya menggunakan olahan daging kerbau. Kemunculannya di awal 1900-an berasal dari banyaknya warga setempat yang masih menganut agama Hindu. Dalam ajaran agama Hindu, sapi dianggap sebagai hewan yang disucikan dan pantang untuk dimakan, dan sate ini masih kerap dihidangkan dalam acara adat dan keagamaan, sehingga sebagai gantinya sate disajikan menggunakan daging kerbau.

Pada perkembangannya, saat ini banyak sate kalong yang dijajakan dengan pilihan antara daging kerbau maupun sapi. Yang tak berubah adalah cara penyajiannya, mulai dari daging yang direbus dengan rempah-rempah seperti bawang putih, bawang merah dan ketumbar, kemudian diolesi gula merah sebelum dibakar, serta penyajiannya yang menggunakan bumbu kacang yang diracik dengan oncom.

Cita rasa dagingnya yang cenderung manis, berpadu dengan bumbu kacangnya yang creamy dan legit, membuatnya jadi satu dari 7 destinasi utama kuliner di Cirebon yang begitu ikonik. Warung-warung penjual sate kalong umumnya banyak ditemukan di lokasi seperti jalan Lemahwungkuk atau jalan Kesambi, dan umumnya baru mulai buka dari sore – sekitar jam 17.00 atau 18.00 – hingga tengah malam.

  • Es Cuwing

Bagi para pecinta kudapan ringan nan segar, bisa mencoba es cuwing yang merupakan sajian ringan segar khas Cirebon. Di tengah teriknya siang hari di kota ini, es cuwing kerap menjadi pilihan pelepas dahaga yang manis dan segar. Wujudnya sering disebut agak mirip seperti es cincau.

Es cuwing sendiri memang juga terbuat dari olahan daun cuwing yang banyak terdapat di area pesisir seperti Cirebon dan Indramayu. Namun berbeda dengan daun cincau yang lebih lebar dan tebal, daun cuwing cenderung kecil dan tipis. Selain itu, santan yang digunakan juga bertekstur lebih kental.

Penyajiannya kerap menggunakan es serut dan sirup. Di dalamnya juga terdapat beragam isian seperti bubur sumsum, dawet, serta serutan kelapa. Pembeli biasanya juga dapat memilih isiannya sesuai selera. Dalam satu porsi sajiannya, es cuwing umumnya dihargai sekitar Rp 5 ribu hingga 6 ribu.

Selain pelepas dahaga saat panas, es cuwing biasanya juga banyak diburu kala bulan suci Ramadhan sebagai hidangan berbuka puasa. Dan menjadiaknnya satu dari 7 destinasi utama kuliner di Cirebon. Bahkan terkadang ada yang membeli secara terpisah untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Salah satu penjual es cuwing yang cukup terkenal adalah Es Cuwing Mang Lilik yang berada di area jalan Kartini.

  • Kue Tapel

Alternatif pilihan kudapan tradisional khas Cirebon lainnya adalah kue tapel. Penganan satu ini sempat mulai langka dan agak sulit dicari, namun belakangan mulai naik daun kembali dan menjadi satu dari 7 destinasi utama kuliner di Cirebob. Ini opsi yang menarik untuk dicoba, khususnya bagi para pelancong yang mencari oleh-oleh.

Ia terbuat dari adonan tepung beras dan parutan kelapa yang dimasak dengan ketan, potongan buah pisang dan gula merah. Sekilas secara penampilan, ia terlihat agak mirip percampuran kue crepe dan kerak telor khas Betawi. Tetapi di balik penampakan luarnya yang terlihat garing, ia terasa lembut ketika dimakan dan bercita rasa manis nan gurih.

Salah satu kedai yang masih menjajakan kue tapel adalah Kue Tapel Ibu Lena, yang terletak di jalan Pagongan, tepatnya di dalam gang Alas Demang 1. Meski sudah berjualan sejak 1968 dan berjualan di area gang kecil, usaha keluarga turun temurun ini masih bertahan dan menjaga kudapan tradisional ini tetap lestari.

Bahkan meskipun kedai ini biasanya buka dari jam 07.00 hingga 15.00, terkadang tak sampai sore hari dagangannya sudah laris manis. Harganya yang hanya Rp 7 ribu per porsi, serta cita rasa otentik yang didapat dari cara memasak dengan kayu bakar yang masih tradisional, boleh jadi menjadi beberapa alasannya memiliki banyak pelanggan setia.

agendaIndonesia/audha alief praditra

—-