Pesisir Selatan Minangkabau Dalam 3 hari

Pesisir selatan Minangkabau salah satunya mengunjungi Danau Langkisau

Pesisir selatan Minangkabau dalam 3 hari mungkin bisa menjadi alternatif saat mengunjungi Sumatera Barat. Bagi yang ingin menikmati wisata bahari di provinsi ini, cobalah melipir ke pesisir.

Pesisir Selatan Minangkabau

Berjarak 77 kilometer atau bisa ditempuh sekitar 2-3 jam dari Padang, ada sederet obyek yang menggoda. Mulai bukit hijau, air terjun, hingga pantai. Lumayan komplet. Dikenal dengan Kabupaten Pesisir Selatan atau disingkat Pessel. Dengan penerbangan pagi dari Bandara Internasional Minangkabau, Anda bisa langsung melaju ke kota ini.

HARI PERTAMA

Jembatan Akar

Merupakan jembatan alami dari jalinan akar-akar pohon beringin yang berada di dua sisi sungai yang berlawanan. Terletak di Kampung Pulut, Kecamatan Bayang Utara, Pesisir Selatan, sekitar 65 kilometer dari Padang. Jembatan ini dibuat pada 1916. Di bawahnya mengalir air sungai yang jernih dan sejuk, juga menyegarkan.

Air Terjun Bayang Sani

Dua buah air terjun bisa ditemukan di Kampung Koto Baru, Kecamatan Bayang Utara, hanya berjarak 5 kilometer dari jembatan akar. Air Terjun Bayang Sani tidak jauh dari area parkir. Bagian bawah berbentuk kolam, sehingga pengunjung bisa berenang. Satu lagi berada di posisi lebih tinggi, harus dicapai dengan jalan mendaki sekitar 15 menit, dikenal dengan nama Palangai Gadang.

Sulaman Bayangan

Seperti kota lain, Pesisir Selatan memiliki sulaman khas, yakni sulaman bayangan. Anda bisa menemukan beragam produk dengan sulaman bayangan, seperti kerudung dan mukena, di beberapa toko di Barung-Barung Belantai, Kecamatan Koto XI Tarusan, ini. Jaraknya sekitar 23 kilometer sebelum masuk ke Kota Painan, Ibu Kota Kabupaten Pesisir Selatan.

Senja di Bukit Langkisau

Painan bisa dijejaki di sore hari. Anda bisa langsung menuju Bukit Langkisau untuk menikmati mentari membenamkan diri. Ada deretan pantai yang menghadap Samudra Indonesia terlihat dari ketinggian. Di akhir pekan biasanya ada para penggemar paragliding dan kegiatan outbound di sini.

HARI KE DUA

Air Terjun Timbulun

Obyek wisata ini hanya 3 kilometer dari pusat kota, mengarah ke perbukitan di utara. Saya pun langsung menangkap kesegaran khas hutan dan perbukitan. Tepatnya di Kampung Painan Timur, Nagari Painan, Kecamatan IV Jurai. Dicapai dengan nyaman karena ada jalan setapak yang tertata sepanjang 500 meter di tengah pepohonan. Hingga tiba di sungai berair jernih dengan bebatuan cokelat, kuning, dan kehijauan. Terlihat di bagian ujung Air Terjun Timbulun yang memiliki tujuh tingkatan, sehingga disebut juga Pincuran Tujuh Tingkat.

Gulai Lokan

Obyek selanjutnya adalah Pantai Sungai Nipah. Meski bisa menikmati debur ombak, tujuan utama saya adalah rumah makan yang berada di tepian pantai. Hanya berjarak 5 kilometer dari pusat Kota Painan, di sini Anda bisa mencicipi hidangan Minang yang berbeda. Bahan utamanya kebanyakan dari laut, selain siput darat yang menjadi ciri khas dan dikenal dengan nama gulai lokan.

Pinukuik

Camilan khas dari kota ini adalah pinukuik Batang Kapas. Dari Sungai Nipah, perjalanan berlanjut ke arah selatan menuju perbukitan. Dalam waktu sekitar 15 menit, Anda akan tiba di depan tumpukan sajian kue putih kecokelatan dengan aroma kelapa yang harum. Bahan utamanya tepung dan kelapa. Adapun kedai kue berada di Jalan Raya Pasar Kuok, Batang Kapas.

Pantai Carocok & Pulau Batu Kereta

Pantai Carocok dan Pulau Batu Kereta yang menjadi tujuan selanjutnya berada di pusat kota. Pulau yang satu ini bisa dicapai dengan berjalan kaki melalui jembatan yang dibuat memanjang dari Pantai Carocok.

Pulau Cingkuak

Pulau yang satu ini dapat dicapai dengan mudah dari Pantai Carocok, hanya sekitar 10-15 menit berperahu. Tak hanya ada pantai berpasir putih, yang di hari libur banyak dipenuhi pelancong yang bermain, sekadar berenang-renang, juga menaiki banana boat atau snorkeling. Di bagian tengah pulau, terdapat sisa-sisa benteng Portugis.

HERI KE TIGA

Semangki Besar & Semangki Kecil

Pesisir Selatan tak hanya punya Pulau Batu Kereta dan Cingkuak, tapi juga sejumlah pulau. Yang tergolong tak jauh adalah Pulau Semangki Besar dan Semangki Kecil. Terlihat dari Pantai Carocok. Memiliki pasir putih dan pantai yang landai.

Aur Ketek & Aur Gadang

Ingin menikmati pasir pantai yang halus sembari memancing, cobalah berperahu lebih jauh. Dalam satu jam, Anda bisa menemukan Pulau Aur Ketek dan Aur Gadang. Di depan pantai pasir putih dengan air biru tosca, sedangkan di belakang batu karang terdengar terhantam ombak berkali-kali.

Karabak & Penyu

Bila mempunyai waktu panjang, sebenarnya bisa melaju lagi sekitar satu jam lagi untuk melihat penyu di Pulau Penyu. Di sini memang tempat penyu bertelur. Selain itu, ada Pulau Karabak yang memiliki ciri mercusuar. Kedua pulau ini bisa dicapai sekitar dua jam perjalanan dari Pantai Carocok.

Puncak Mandeh

Bila Anda hanya melaju hingga Pulau Aur, tampaknya Anda masih bisa mengejar keindahan sang surya tenggelam di Mandeh, Tarusan. Lokasinya sekitar 56 kilometer dari Padang. Melalui jalur menanjak di perbukitan, sebuah tontonan alam menanti. Laut yang tenang dengan pulau-pulau. Ketika mentari tenggelam, keindahan itu sempurna. l

Rita N./Wisnu AP/Dok. TL

Desa Zaman Megalitikum, 6 Yang Unik

Desa zaman megalitikum ada dari Sumatera hingga ujung timur Indonesia. Foto: shutterstock

Desa zaman megalitikum ternyata masih tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Mulai dari Sumatera Utara, Jawa, hingga kawasan Nusa Tenggara Timur. Semuanya unik dan layak untuk dukunjungi. Enam di antaranya sudah menjadi desa wisata.

Desa Zaman Megalitikum

Desa wisata menjadi salah satu destinasi yang memegang peranan penting dalam kebangkitan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia pasca pandemi. Pasalnya, kehadiran desa wisata turut membuka peluang usaha baru bagi para pelaku industri kreatif lokal.

Selain unsur alam, desa wisata di Indonesia juga menonjolkan unsur budaya khas wilayah tersebut. Bahkan, tidak sedikit desa wisata yang memiliki situs peninggalan kuno dari era megalitikum yang menjadi salah satu daya tarik wisata.

Desa Megalitihkum shutterstock
Batu-batu besar umumnya menjadi ciri peninggalan zaman megalitikum. Foto: dok kemenparekraf

Salah satu peninggalan kuno yang banyak ditemui di desa wisata adalah peninggalan zaman megalitikum, yakni berupa batu-batu besar.  Hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, berikut ini adalah enam desa wisata dengan situs peninggalan megalitikum yang layak dikunjungi.

Desa Adat Bena Bajawa di Flores

Desa zaman megalitikum yang memiliki suasana asri dan eksotis di antaranya adalah Kampung Adat Bena Bajawa di Flores, Nusa Tenggara Timur. Mempertahankan konsep tata wilayah khas megalitikum, rumah-rumah di Kampung Adat Bena Bajawa dibangun mengikuti kontur tanah. Sehingga ketika dilihat dari kejauhan desa wisata ini tampak berundak.

Masyarakat setempat percaya jika Kampung Adat Bena telah ada sejak 1.200 tahun silam. Salah satu buktinya terdapat pada peninggalan megalitikum, berupa batu besar berbentuk lonjong yang dinamakan Watu Lewa. Selain itu ada juga batu berbentuk meja yang diberi nama Nabe. Kedua batu ini digunakan dalam ritual adat masyarakat Bajawa.

Desa Kamal di Jember

Berada di Kecamatan Arjasa, Jember, Jawa Timur desa wisata ini terdapat beragam jenis batu peninggalan megalitikum yang tersebar di berbagai tempat. Mulai dari persawahan, rumah warga, hingga halaman kantor desa.

Peninggalan megalitikum di Desa Kamal berupa batu kenong, tugu batu, hingga menhir. Batu kenong merupakan jenis peninggalan yang paling unik dari Desa Kamal. Sebutan batu kenong muncul karena tonjolan di bagian atas batu, yang sekilas menyerupai kenong (alat musik gamelan). Hingga saat ini telah ditemukan 59 batu kenong di Desa Kamal.

Masing-masing batuan memiliki satu hingga dua tonjolan. Jumlah tonjolan pada batu kenong punya makna tersendiri pada zaman megalitikum. Batu dengan satu tonjolan melambangkan lokasi penguburan, sedangkan batu dengan dua tonjolan digunakan sebagai alas bangunan rumah.

Kampung Praiyawang di Sumba

Di Sumba terdapat satu desa zaman megalitikum yang sangat menarik untuk dikunjungi, yakni Kampung Praiyawang yang berada di Desa Rindi, Kecamatan Rindi, Sumba Timur. Letaknya sekitar 69 km ke sebelah timur Kota Waingapu.

Jika berkunjung ke desa wisata ini, wisatawan tidak hanya bisa melihat peninggalan megalitikum, namun juga menemukan suasana desa yang kental dengan adat istiadat perkampungan Sumba.

Kesan kuno nan magis di Kampung Praiyawang terlihat dari arsitektur rumahnya dan barisan kuburan tua megalitikum untuk kalangan bangsawan. Pada kuburan batu tersebut terdapat pahatan-pahatan yang menjadi simbol filosofi dari si pemilik makam.

Kampung Siallagan di Pulau Samosir

Batu Kurs Raja Sialagan Infobudaya net
Meja dan kursi Raja Siallagan di Samosir menjadi peninggalan era megalitikum. Foto; Dok infobudaya.net

Dalam bahasa Batak, wilayah ini disebut dengan Huta Siallagan, yang berarti Kampung Siallagan. Terletak di salah satu lokasi Destinasi Super Prioritas, Huta Siallagan konon telah ada sejak ratusan tahun silam.

Kampung Siallagan memiliki luas sekitar 2.400 meter persegi, dan dikelilingi tembok batu yang membentuk pagar setinggi 1,5-2 meter. Berdasarkan cerita turun-temurun, fungsi batu-batu tersebut adalah perlindungan desa dari binatang liar dan serangan suku lainnya.

Selain pagar batu, peninggalan desa zaman megalitikum yang ada di Huta Siallagan berupa batu berbentuk kursi dan meja, yang dulunya digunakan sebagai tempat menghukum para pelanggar adat.

Desa Bawomataluo di Pulau Nias

Desa zaman megalitikum yang juga menyandang status sebagai desa budaya warisan dunia UNESCO ini memiliki peninggalan megalitikum yang ikonik. Peninggalan megalitikum di Desa Bawomataluo disatukan dalam Situs Tetegewo.

Situs ini menyimpan berbagai batu peninggalan megalitikum mulai dari berbentuk meja persegi, tugu, hingga meja bundar. Umumnya batu-batu di Situs Tetegewo digunakan sebagai tempat pesta. Peninggalan megalitikum di Desa Bawomataluo diperkirakan telah ada sejak 5.000 tahun silam.

Desa Patemon di Situbondo

Desa Patemon Situbondo Dinas Pariwisata Kabupaten Situbondo
Batu-batu sisa peninggalan zaman megalitikum di Petemon. Foto: Dinas Pariwisata Situbondo.

Situbondo juga memiliki desa wisata megalitikum bernama Desa Patemon. Di desa ini diidentifikasi sedikitnya terdapat 26 peti jenazah dari batu atau sarkofagus. Serta ditemukan juga sisa perburuan liar pada zaman megalitikum yang terletak di dekat sarkofagus.

Lebih unik lagi, tim peneliti juga menemukan berbagai bekal kubur berupa manik-manik, fragmen gerabah, serta fragmen alat pertukangan dari zaman megalitikum di Desa Patemon, Situbondo.

Itulah enam desa yang memiliki peninggalan megalitikum di Indonesia. Selain berlibur, tentunya berkunjung ke desa zaman megalitikum di atas juga dapat menambah wawasan akan sejarah Indonesia di masa lampau.

agendaIndonesia/kemenparekraf

*****

4 Satai Leker Khas Lombok

Sate Rembiga di Lombok

4 satai leker khas Lombok ini adakah yang sudah mencobanya? Lombok di Nusa Tenggara Barat mungkin lebih dikenal dengan kuliner ayam Taliwang-nya. Ternyata kuliner di pulau ini tak cuma itu. Mereka juga menyimpan masakan khas berupa sate.

Ada berbagai macam jenis satai. Ada yang dari daging sapi, ayam, satai jerohan, bahkan dari ikan. Mereka jenis kuliner Lombok yang pantas dipertimbangkan untuk dicoba saat berada di Lombok.

4 Satai Leker Khas Lombok

Pedas Manis Satai Sapi

Asap memenuhi Warung Sate Rembiga yang berada di pusat Kota Mataram ini. Daging sapi yang sudah dibumbui bertemu dengan bara api, menyebar wangi yang membangkitkan selera. Ketika satai beralas daun dan piring bambu tersaji pun tidak perlu aba-aba lagi, langsung tandas meski rasa pedas tak tertahan. Beruntung berbaur rasa manis. Paduannya adalah lontong. Bila ditambah plecing kangkung, lidah benar-benar bakal terbakar.

Rembiga merupakan daerah di mana sejumlah penduduknya membuka usaha warung satai. Salah satunya Warung Rembiga milik Ibu Sinaseh yang memulai usahanya 28 tahun lalu. Sebenarnya bumbunya sederhana, yaitu cabai rawit, terasi, bawang putih, garam dan gula, selain bahan utama daging sapi yang dipotong-potong. Ramuan yang pas dan bumbu yang meresap ke dalam daging, itulah yang membikin nikmat. Per tusuk Rp 2.000. Selain satai dan plecing kangkung, ada pula urap dan sop balungan.

Warung Sate Rembiga Utama

Jalan Wahadin Sudirohusodo Nomor 5, Mataram

Buka pukul 09.00-23.00

Bumbu Kacang Plus Santan

Di Taman Udaya, Mataram, yang menjadi tempat nongkrong di malam hari, bisa ditemukan sajian satai lain, yakni satai bulayak. Makannya pun lesehan di bawah pepohonan. Satai ini sesungguhnya khas Kecamatan Narmada, Lombok Barat. Bahannya berupa ayam atau sapi, terkadang diberi jeroan, yang ditusuk dengan lidi pohon aren.

Yang berbeda dibanding satai dari daerah lain adalah bumbu kacangnya. Kacang tanah yang sudah disangrai, ditumbuk, lalu direbus dengan santan dan bumbu dapur lain sehingga aromanya sedap. Bumbunya antara lain cabai rawit, bawang merah, bawang putih, kemiri, merica, dan garam. Sapi atau ayam pun sebelum dibakar diberi bumbu seperti ini. Satai pun jadi terasa gurih dan pedas. Paduannya adalah lontong yang dibalut melingkar dengan daun aren. Nah, lontong inilah yang disebut bulayak. Satu porsi Rp 20 ribu, untuk 10 tusuk satai, termasuk bulayak.

Sate Bulayak

Taman Udayana

Jalan Udaya Nomor 4 Mataram

Buka pukul 18.00-24.00

Lembutnya Satai Ikan

Di Kabupaten Lombok Utara, tepatnya Kecamatan Tanjung, ada lagi satai yang khas. Dikenal sebagai satai tanjung, yang tak lain berarti satai ikan. Sebagai daerah pesisir, beragam ikan dengan mudah didapat dalam kondisi segar. Pedagang berjajar di dekat terminal atau pasar. Ada satu wadah tempat potongan ikan yang sudah dibumbui hampir semalaman. “Kadang tidak hanya satu jenis ikan, tapi dua ikan yang dicampur,” kata salah satu pedagang. Umumnya cakalang, tapi bisa juga jenis ikan lain.

Campuran ikan tersebut berwarna kuning, karena ikan yang telah diambil dagingnya itu dicampur dengan santan, merica, bawang putih, dan rempah-rempah lain. Ketika dibakar, aroma sedap langsung menyebar. Satai ikan ini terasa lembut dengan gurih. Harga per tusuk Rp 1.000. Para pedagang berjualan mulai pukul 16.00, dan kadang pukul 18.00 sudah habis terjual. Namun ada pula yang bertahan hingga pukul 21.00. l

Sate Tanjung

Sekitar Pasar Tanjung atau Terminal Tanjung

Jalan Raya Tanjung

Lombok Utara

Buka pukul 16.00-19.00

Satai Campuran Kelapa Muda

Seperti kebanyakan satai di Lombok yang menggunakan bumbu berlimpah. Jenis satai ini bisa ditemukan di rumah makan atau restoran yang menyajikan makanan khas Lombok. Bahannya bisa daging sapi atau ikan laut, semisal ikan tenggiri. Bila menggunakan daging, diolah dengan cara diiris tipis, kemudian direndam bumbu. Sedangkan ikan harus dihaluskan terlebih dulu.

Kemudian, ikan diberi campuran bumbu utama, seperti parutan kelapa muda dan merica, ketumbar, cabai merah, gula, garam, terasi, juga kemiri. Karena sudah kaya dengan bumbu, satai disajikan tanpa bumbu kacang atau sejenisnya.

RM Suranadi

Jalan Taman Wisata Nomor 7

Kecamatan Narmada

Lombok Barat

Buka pukul 11.00-21.00

Rita N./Zulkarnain/Dok. TL

Wisata Kota Tua di 3 Kota

Wisata kota tua di kota Jakarta

Wisata kota tua makin populer di dalam negeri. Apalagi usaha untuk menjaganya mulai digencarkan. Berikut wisata di kota tua di tiga kota.

Wisata Kota Tua

Kota tua bagi turis menjadi daya tarik tersendiri. Kembali mencecap suasana masa silam banyak digandrungi para pelancong yang gemar dengan destinasi berlabel sejarah. Di Pulau Jawa, setidaknya ada tiga kota tua yang menggoda untuk ditelusuri. Sebab, tiga kota itu masih menyimpan peninggalan masa silam, mulai bangunan hingga tradisi. Sediakan waktu di akhir pekan, sekitar 2 atau 3 hari dan Anda bisa memilih mengunjungi satu dari tiga kota di bawah ini. Berikut wisata kota tua di Jakarta; Semarang, Jawa Tengah, dan Surabaya di Jawa Timur.

Kota Tua Jakarta

Bila tidak berencana ke luar kota, menikmati kawasan kota tua bisa dilakoni di Jakarta saja. Meski belum seperti sejumlah kota di dunia yang benar-benar menata kawasan kota tuanya sebagai daya tarik wisata, dengan koleksi gedung-gedung lawas, sebenarnya potensi kawasan Kota Tua Jakarta besar sekali. Sudah ada tur untuk menyusuri jejak-jejak masa silam di wilayah Barat Jakarta itu. Langkah revitalisasi kawasan Kota Tua Jakarta pun terus dilakukan.

Umumnya, peninggalannya berupa bangunan tua warisan Belanda pada abad ke-19 dan ke-20. Bahkan, saat ini, sejumlah acara dipusatkan di Taman Fatahillah, depan Museum Fatahillah. Ada beberapa museum yang bisa ditemukan di kawasaan kota itu, yakni Museum Wayang, Museum Seni Rupa dan Keramik, dan Museum Bank Indonesia. Untuk menikmati ruangan tua dengan nyaman, ada Cafe Batavia, yakni bangunan tua yang telah difungsikan sebagai kafe.

Sedikit ke luar dari lingkaran Taman Fatahillah, ada Toko Merah di Jalan Kali Besar Barat. Bangunan berwarna merah ini adalah rumah dari Baron Van Imhoff, Gubernur Jenderal VOC, yang juga pendiri Istana Bogor. Selain itu, ada sejumlah bangunan lain yang bisa disimak. Saat berada di wilayah Kota Tua Jakarta, jangan lupa juga mampir ke Pelabuhan Sunda Kelapa dan Museum Bahari yang berada di sisi lain. Cobalah menginap di hotel daerah Kota Tua Jakarta sehingga Anda benar-benar bisa meresapi masa silam dan memanfaatkan waktu 2 hari untuk berwisata.

Kota Lama Semarang

Ibu kota Jawa Tengah ini memiliki kawasan kota tua di seputar Jalan Brajangan, Semarang bagian utara, dengan bangunan-bangunan yang masih terpelihara. Karenanya, bangunan-bangunan ini sangat asyik untuk dinikmati. Salah satunya Gereja Blenduk atau Nederlandsch Indische Kerk dengan ciri-ciri terdapat kubah berwarna merah bata. Gedung ini telah berusia 2,5 abad. Di seberangnya, ada gedung kuno yang juga tak kalah menarik. Kawasan kota lama ini masih memiliki koleksi bangunan tua lain, seperti bekas pabrik rokok, yakni Pabrik Rokok Praoe Lajar, serta bangunan Stasiun Tawang yang masih berfungsi.  Di depannya juga ada bangunan tua, Polder Tawang.

Selain itu, ada bangunan tua lain yang tentu menarik disimak, seperti Gedung Marba, Kantor Pos Pusat, Samudera Indonesia, Djakarta Lloyd, dan Titik Nol KM Semarang. Ada pula yang dikenal berbau mistis, yakni Lawang Sewu. Gedung berpintu banyak ini bergaya Art Deco. Dibangun pada 1904, Lawang Sewu dulu adalah kantor pusat perusahaan kereta api milik Belanda. Selanjutnya, Jembatan Berok yang dulunya merupakan pintu masuk ke kawasan Kota Lama Semarang.

Surabaya Heritage Track

Inilah nama tur untuk mengelilingi kawasan kota tua yang terletak di ibu kota Jawa Timur. Tur berdurasi 1-2 jam dan dalam sehari ada tiga jadwal. Tur digelar tiap hari, kecuali Senin. Waktunya pukul 09.00-16.30. Sejumlah bangunan yang dikunjungi sesuai dengan jadwal tur terletak di Surabaya bagian utara. Bangunan-bangunan itu di antaranya Masjid Tua Sunan Ampel sebagai salah satu tempat ziarah Walisongo, Tugu Pahlawan, Masjid Cheng Hoo  yang  bergaya kelenteng, dan Jembatan Merah yang merupakan simbol perlawanan rakyat Surabaya terhadap pendudukan Belanda.

Selain itu, ada beberapa bangunan kuno bergaya Eropa klasik yang masih terawat dengan baik. Bangunan pun masih difungsikan sebagai kantor maupun hotel, seperti  Hotel Ibis Surabaya, Hotel Majapahit, Kantor Gubernur Jawa Timur, kantor Bappeda, Bank Mandiri, Kantor Pos Besar, dan Kantor PTPN. Ada juga Hotel Majapahit, yang dulu merupakan hotel Oranje atau Yamato, tempat para pejuang merobek bagian biru bendera Belanda hingga menjadi bendera merah-putih. Ada pula kawasan Pecinan di Jalan Kembang Jepun atau Kya-kya, yang kemudian difungsikan sebagai destinasi wisata kuliner. 

agendaindonesia.com

Petik Laut Banyuwangi, Melarung Sejak 1900

Petik Laut Banyuwangi merupakan tradisi para nelayan mengucapkan syukur atas hasil tangkapan mereka. Foto: AntaraFoto

Petik laut Banyuwangi, atau sering pula disebut petik laut Muncar, karena pelabuhan di Banyuwangi itu berada di Muncar, senantiasa ramai. Baik mereka yang terlibat dalam ritualnya, maupun para pelancong yang ingin melihat upacara melepas sesaji ke laut, seraya berucap syukur, berharap rezeki, dan jauh dari mara bahaya.

Petik Laut Banyuwangi

Petik Laut adalah simbol tradisi budaya pesisir nelayan Jawa yang mengandung makna memohon doa sekalius berucap terima kasih dari para nelayan yang memetik, mengambil, atau memperoleh hasil laut berupa ikan.

Petik Laut Banyuwangi melarung sesaji sebagai puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perlindungan dan rezeki yang diberikan.
Melarung githik ke laut. Foto: milik AntaraFoto

Tradisi serupa bisa ditemukan juga di beberapa wilayah pesisir Indonesia dengan istilah dan cara yang beragam. Misalnya saja, Simah Laut di KotawaringinTimur, Kalimantan Tengah, atau Pararakan Laut di Flores, Nusa Tenggara Timur.

Di Muncar, yang berjarak 35 kilometer dari pusat kota Banyuwangi, Jawa Timur, menurut masyarakat setempat, tradisi petik laut Banyuwangi ini sudah berlangsung sejak masyarakat mendiami Muncar pada 1900. Dan berlangsung hingga kini.

Awalnya, petik laut Banyuwangi digelar dengan hitungan pranata mangsa—penentuan musim menurut kebiasaan pemahaman suku Jawa, khususnya dari kalangan petani dan nelayan. Namun kemudian disepakati dalam hitungan pasti, yaitu setiap tanggal 15 bulan Syura penanggalan Jawa.

Upacara ini mempunyai makna rasa syukur atas rahmat Tuhan dengan berlimpahnya hasil penangkapan ikan. Upacara ini juga harapan untuk perlindungan dari mara bahaya. Kabarnya, Petik Laut Banyuwangi di Muncar termasuk yang paling meriah dari kegiatan sejenis di Jawa. Maklum, Muncar adalah pelabuhan nelayan penghasil ikan terbesar di Indonesia setelah Bagan Siapiapi. Komoditas laut yang dihasilkan antara lain ubur ubur, lemuru, dan tongkol. Umumnya diekspor ke pasar internasional.

Ritual ini biasanya berawal dari Pelabuhan Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur. Selain warga local, ada wisatawan domestik dan pelancong asing yang datang khusus untuk menyaksikan upacara petik laut.

Kesibukan petik laut sebenarnya sudah berlangsung sejak malam sebelumnya. Masyarakat Muncar melakukan tirakatan di tempat pembuatan sesaji. Tirakatan yang berupa doa bersama bertujuan agar nelayan dijauhkan dari musibah serta diberi kemudahan dalam mencari rezeki.

Di beberapa surau dan rumah juga diadakan pengajian atau semaan. Kegiatan ini berlangsung sampai pagi sebelum githik yang dipersiapkan di rumah pawang kemudian diarak keliling perkampungan nelayan mulai jam 6 pagi dengan diiringi kesenian terbangan dan gandrung.

Githik adalah replika perahu kayu berukuran 5 meter yang di dalamnya berisi aneka sesajen, seperti nasi tumpeng, nasi gurih, nasi lawuh, 44 jenis kue, buah-buahan, kinangan sirih, serta dilengkapi kepala kambing “Kendit”, dan dua ekor ayam hidup. Githik itulah yang nanti akan dilarung ke laut.

Ritual pagi itu dimulai dengan penyelipan pancing emas ke lidah kepala kambing oleh kepala daerah. Hal ini bermakna pemimpin diberi amanah mewakili rakyatnya untuk memohon diberi hasil ikan melimpah.

Petik Laut Banyuwangi dilakukan dengan melepaskan githik yang berisi berbagai sajian.
Githik yang akan dilepaskan ke lautan. Foto: Dok. TL

Setelah itu, githik secara perlahan digotong menuju kapal utama yang bersandar di dekat panggung. Perahu tersebut akan berlayar ke tengah laut mengomandoi ratusan kapal lain. Mulai jenis jukung yang paling kecil hingga slereg yang paling besar.

Pagi itu pengunjung menyemut di sekitar Pelabuhan Muncar.Jumlahnya mungkin ribuan. Maklum, ini menjadi hajatan terbesar di pesisir timur Jawa.

Puluhan kapal sudah bersandar di dermaga. Mereka umumnya dihias dengan meriah, dengan. umbul-umbul warna-warni. Tidak sedikit yang dilengkapi pengeras suara bertenaga besar yang memekikkan irama musik, menggiring warga bergoyang-ria di atas dek kapal. Benar-benar sebuah pesta di tengah lautan.


Kapal-kapal ini akan segera bertolak menuju titik larung yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari pelabuhan. Dalam hitungan menit, hampir semua kapal sudah dijejali penumpang tambahan hingga penuh sesak.

Terdengar musik bertalu-talu, tanda iring-iringan githik yang telah diarak keliling lingkungan perkampungan nelayan sejak pagi tiba di lokasi upacara pelepasan sesaji ini.


Satu kapal bisa disesaki sekitar 100 orang. Beberapa awak memberi isyarat supaya warga tidak berlompatan ke kapal. Jika tak dibatasi, makin banyak warga yang mencoba ikut. Akibatnya bisa berbahaya buat kapal. Meskipun, akhirnya kapal tetap penuh sesak.


Bunyi mesin disel kapal pun menderu membelah ombak. Semua kapal melaju cepat. Semua bersemangat. Tak ada aroma kecemasan dengan kapasitas yang melebihi daya tampung. Yang terlihat hanya pancaran kegembiraan dari semua wajah yang memenuhi setiap jengkal dek.
Ritual dilakukan di sebuah lokasi yang disebut Plawangan, yaitu perairan tenang, dekat Semenanjung Sembulungan. Setelah tiba, semua perahu berhenti sejenak.

Dipimpin sesepuh nelayan, sesaji pelan-pelan diturunkan. Teriakan syukur menggema begitu sesaji jatuh dan tenggelam ditelan ombak. Belasan warga menceburkan diri ke laut. Mereka berebut mendapatkan sesaji. Nelayan juga menyiram air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu. Konon mereka mempercayai air tersebut menjadi pembersih malapetaka.


Dari Plawangan, sebagian perahu bergerak menuju Tanjung Sembulungan. Di tempat ini, nelayan melarung sesaji ke dua. Hanya saja jumlahnya lebih sedikit. Konon sesaji ini berkaitan dengan kepercayaan akan “penguasa” kawasan ini.

Rombongan juga mampir di Pantai Sembulungan, tempat terdapat makam Sayid Yusuf, yang dikenal sebagai tetua masyarakat Muncar. Tempat ini dipakai sebagai persinggahan akhir rangkaian upacara Petik Laut.

Pada masa hidupnya, Sayid Yusuf diceritakan menyukai tarian gandrung, sehingga kuburannya disebut dengan makam gandrung. Kesenian gandrung pun dipentaskan di sini. Para penari gandrung terbaik yang telah dipilih menari di sekitar makam diiringi alunan musik gamelan klasik suku Osing.


Menjelang sore, setelah berziarah, upacara disudahi dengan selamatan dan doa. Perahu-perahu kemudian kembali ke Pelabuhan Muncar. Saat berlabuh, beberapa perahu terlihat disiram dengan air laut sebagai bentuk harapan akan berkah dari Shang Hyang Iwak sebagai Dewi Laut.
Petik laut Banyuwangi betul-betul sebuah pesta bagi para nelayan merayakan hasil laut yang menghidupi mereka.

agendaIndonesia

*****

Desa-desa Gianyar-Bangli Bali Dalam 2 Hari

Desa-desa Gianyar-Bangli sebagai Tujuan Wisata di Bali

Desa-desa Gianyar-Bangli merupakan desa para perajin di BaliIa menjadi pelangkap dari wsaiata ke Ubud, Bali, yang memang sudah terkenal.

Desa-desa Gianyar-Bangli

Namun, Gianyar tak hanya punya Ubud yang menjadi pusat keramaian kelompok para wisatawan. Di sekeliling kabupaten ini, ada banyak desa perajin yang menarik untuk disimak. Apalagi bagi Anda yang senang mencermati budaya. Sebab, tradisi membuat barang kerajinan di Bali tak lepas kaitannya dengan budaya setempat. Cukup banyak pilihan bila dilakoni dalam perjalanan dua hari atau pada akhir pekan.

HATRI PERTAMA: Desa Perajin & Tari Legong

Desa Celuk 

Begitu masuk ke wilayah Kabupaten Gianyar, turis akan disambut deretan desa perajin. Hasil karya seniman pun digelar di jalan utama sehingga dengan mudah menandai lokasinya. Salah satunya di Desa Celuk, yang terkenal dengan perajin perhiasan perak dan emas. Deretan galeri perak juga bisa ditemukan di sepanjang Jalan Raya Celuk.

Desa Batuan

Berada tidak jauh dari Desa Celuk, masih ada lagi beberapa desa perajin. Di antaranya di Banjar Puaya, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, yang merupakan desa pembuat topeng barong. Saya bertemu dengan I Made Muji, 64 tahun, yang begitu piawai membuat topeng barong. Seniman ini dianugerahi beragam penghargaan berkat hasil karyanya. Di galerinya, saya menemukan barong mini untuk disimpan di rumah, juga ukuran normal atau besar untuk upacara.

Muji mengaku membuat topeng barong hanya enam bulan sekali. “Perlu sabar dan harus mood. Kalau enggak mood, lebih baik diam, kalau tidak, ya … bisa hancur,” katanya. Topeng yang digunakan dalam berbagai upacara ini memang banyak detailnya. Bahkan kayunya pun disebutnya harus khusus karena untuk upacara agama.

Bebek Tepi Sawah, Ayam Kadewatan, atau Hujan Locale

Siang menjelang, ada banyak pilihan untuk bersantap. Ada yang khas dan sudah melegenda, seperti Nasi Ayam Kadewatan Ibu Mangku. Berada di Jalan Kadewatan dan dapat dicapai dalam 30 menit dari Desa Batuan. Di sini Anda bisa mencicipi nasi campur Bali yang rasanya jempolan. Pilihan lain yang tergolong tak jauh adalah Bebek Tepi Sawah, yang berada di Jalan Raya Goa Gajah. Di tengah persawahan, silakan coba bebek goreng yang renyah dengan sayuran khas lokal.

Karena tujuan berikutnya adalah Pasar Ubud, bisa juga Anda masuk ke pusat keramaian dan mencari Jalan Sri Wedari Nomor 5, Ubud. Resto ini kreasi Chef Will Meyrick, yang gemar menjelajah Nusantara dan sejumlah negara Asia untuk mencari resep lokal yang otentik. Berjarak sekitar 11 kilometer dari Desa Batuan atau bisa dicapai dalam 30 menit. Suguhan lokal banyak menjadi pilihan, termasuk goreng bebek yang renyah dengan paduan sambal mangga.

Pasar Ubud

Pasar segala ada. Bila datang pagi hari, masih bisa mencicipi jajanannya, juga ada berbagai kebutuhan rumah. Dan bagi turis, tentu yang menarik segala pernak-pernik kreasi para perajin lokal yang bisa menjadi oleh-oleh.

Puri Saren Agung

Tak jauh dari Pasar Ubud, ada pilihan lain untuk mengenal sejarah kerajaan di Bali, yakni Puri Saren Agung, tempat tinggal Raja Ubud. Dibangun oleh Ida Tjokorda Putu yang memerintah pada 1800-1823. Meski berada di keramaian Ubud, di kompleksnya masih dipertahankan nilai-nilai budaya tradisional.

Tari Legong 

Berlokasi di Puri Saren Ubud di malam hari, tepatnya pukul 19.30, Anda bisa menyaksikan pertunjukan pada Sabtu malam berupa pentas tari Legong. Bila sore hari, Anda bisa mengelilingi istana ini, jadi malam hari kembali lagi untuk menyaksikan pertunjukan yang digelar di halamannya. Tiket masuk per orang dipatok Rp 80 ribu.

Desa-desa Gianyar-Bangli Bali dengan Puranya
Pura Tirta Empul di Gianyar, Bali.

HARI KE DUA

Desa Tegalalang 

Tak hanya memiliki sawah dengan sistem terasering yang menarik untuk santapan mata, tapi juga sebagian warga desa merupakan perajin dengan bahan kayu. Kayu albasia atau sengon dibentuk menjadi patung, topeng, atau hiasan lain. Posisi galeri sederet dengan kafe-kafe yang memenuhi pinggiran persawahan yang berada di tepi jalan. 

Ngopi di Bali Pulina 

Tak jauh dari persawahan, ada satu tempat yang menarik untuk mengenal kopi sekaligus menikmati alam. Memang tak ada desa perajin atau kreasi perajin, tapi sayang jika tak mampir ke Bali Pulina. Jenis agrowisata khusus kopi. Anda bisa meneguk kopi sekaligus mengunyah camilan dari pisang atau ketan. Selain mendapat suguhan kehijauan deretan bukit di depan mata.

Pura Tirta Empul

Bisa dicapai dalam 20 menit dari Tegalalang, Anda bisa menikmati kesejukan yang berbeda di pura yang berada di Tampangsiring ini. Terkenal dengan air sucinya, biasanya orang datang untuk penyucian di kolamnya. Udaranya yang sejuk dan air yang dingin begitu menyegarkan. Puranya sendiri merupakan bangunan lawas karena dibangun pada 962 M.

Desa Kayubihi

Yang satu ini termasuk Kabupaten Bangli, tapi posisinya tidak jauh dari Tirta Empul. Bisa dicapai dalam 35-40 menit. Bila masih penasaran dengan desa kerajinan lagi, bisa mampir ke kampung yang dipenuhi dengan pohon bambu ini. Terkenal dengan perajin besek, atau warga Bali menyebutnya sokasi. Benda yang satu ini lekat juga dengan upacara khas Hindu Bali. Sesajen dan perlengkapannya dibawa dalam wadah yang kreasinya kini dibikin lebih memikat dalam warna-warni. Terbuat dari bambu, yang diserut lebih dulu menjadi seutas tali, lantas dianyam membentuk besek dengan tutupnya. Deretan pohon bambu memang menghiasi salah satu sisi jalan raya di desa ini. 

Desa Panglipuran 

Berada tak jauh dari Desa Kayubihi atau bisa dicapai dalam 20 menit, bisa ditemukan salah satu dari desa adat atau Bali Aga. Desa yang menjadi persinggahan terakhir sebelum kembali ke kota asal ini juga termasuk wilayah Kabupaten Bangli. Merupakan desa dengan konsep lawas. Kondisi lama itu dipertahankan, demikian juga bangunan. Beberapa memang sudah rusak tapi diperbaiki. Ada pula yang membuat bangunan baru di lingkungan rumahnya. Tapi penataan desa tetap dipertahankan.

Rita N./Dok.TL

Medan Baru, Legenda Kuliner Sejak 1971

Medan Baru, rumah makan yang legendaris di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Medan Baru, ini nama rumah makan yang pasti bisa menjadi pilihan bagi yang sedang ingin bersantap masakan-masakan tradisional sedap khas Sumatra. Kelezatannya sudah terbilang melegenda, bahkan Presiden Joko Widodo pun mampir dan makan siang di restoran ini.

Medan Baru

Meskipun restoran ini dinamakan Medan Baru, namun secara mendasar makanan-makanan yang tersedia di sini tidak semata berasal dari Sumatra Utara saja. Resep-resep tradisional khas Aceh dan Minang pun juga dapat ditemukan di restoran ini.

Semua bermula dari Ibrahim Abdullah, seorang pria kelahiran Kutaraja yang merantau ke ibu kota untuk mengadu nasib. Sebelumnya, ia sudah pernah bekerja sebagai koki sebuah restoran masakan Padang di Medan, Sumatera Utara.

Saat itu, ia menyadari bahwa di Jakarta belum banyak restoran yang menyediakan masakan otentik dari tanah kelahirannya. Maka pada tahun 1971, ia mendirikan sebuah kedai makan yang kemudian menjadi cikal bakal restoran ini.

Medan Baru adalah restoran yang menunya perpaduan masakan Aceh, Medan, dan Minang.
Tampak depan rumah makan ini seperti restoran Padang, padahal berbeda. Foto: google strees view-kompas

Oleh karena itu, sebagai putra daerah asli Aceh, ia berkeinginan untuk mengenalkan dan mempopulerkan perpaduan masakan Aceh, Minang dan Sumatra Utara yang mungkin belum banyak dikenal khalayak luas. Ternyata, banyak orang yang suka dan bisnis pun berkembang.

Kedainya yang didirikan di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, mulai dibanjiri pengunjung baru dan pelanggan setia. Kini tempat itu telah menjadi restoran yang cukup luas, bahkan memiliki ruang tersendiri kala tamu spesial seperti Presiden Jokowi mampir.

Yang unik, cara pelayanan restoran ini sangat mirip dengan restoran masakan Padang pada umumnya. Makanan-makanan ditampilkan pada etalase di kaca depan restoran, serta pengunjung tinggal masuk dan duduk, sambil menunggu pramusaji membawakan makanannya.

Namun alih-alih makanan ala Padang pada umumnya, yang disajikan adalah beberapa resep khas yang jarang ditemui di restoran lainnya. Salah satu yang menjadi primadona dan paling dicari pelanggan adalah gulai kepala kakap.

Kalau biasanya di restoran lain bagian kepala ikan bukanlah menjadi sajian utama dari sebuah masakan, maka kali ini kepala ikan justru menjadi masakan utamanya. Ikan yang digunakan adalah kakap putih yang dipasok langsung dari Lampung.

Gulai Kepala Kakap shutterstock
Salah saru keistimewaan Medan Baru adalah menu Gulai Kepala Kakap. Foto: DOk. shutterstock

Yang cukup mengejutkan, ternyata kepala ikan merupakan bagian yang begitu sedap untuk disantap. Utamanya adalah bagian pipi serta bibirnya, yang begitu lembut dan kenyal. Bahkan tak perlu dikunyah, bagian tersebut dengan mudah akan lumer di mulut.

Kepala kakap khas Medan Baru tersebut disajikan dengan bumbu gulai dengan paduan warna kuning dan oranye. Untuk membuat makanan ini, bumbunya diracik terlebih dulu dengan bahan baku seperti santan, asam sunti, belimbing wuluh dan cabe.

Setelah bumbu sudah diracik dan matang, barulah kepala ikan dimasukkan dan didiamkan selama kurang lebih setengah jam. Setelahnya, kepala ikan dikeluarkan dan baru akan dicelupkan lagi sebelum dihidangkan, agar tidak menjadi hancur dan lebur dengan bumbu.

Uniknya, menu gulai kepala kakap di Rumah Makan Medan Baru ini terbagi berdasarkan ukurannya, yakni kecil, sedang dan besar. Semakin besar ukuran kepalanya, semakin lama pula proses memasaknya. Biasanya, ukuran kecil dan sedang adalah yang paling laku dan cepat habis.

Selain itu, masakan otentik yang terkenal dari restoran Medan Baru ini adalah burung punai gorengnya. Sejatinya, burung punai merupakan salah satu spesies burung merpati yang habitatnya banyak ditemukan di Sumatra Barat.

Yang menarik, meskipun berukuran kecil tetapi daging burung punai ini sangat lezat dan mirip seperti daging ayam. Tekstur dan serat dagingnya yang lembut membuatnya terasa empuk di mulut, dan setelah matang dimasak ada sensasi rasa gurih yang unik di lidah.

Rumah Makan Medan Baru Burung Punai
Menu andalan lain rumah makan ini adalah burung Punai goreng.

Cara memasaknya hampir mirip seperti memasak ayam, yaitu dengan diungkep bersama bumbu racikan yang terbuat dari rempah seperti kunyit, cengkeh dan pala. Setelah diungkep selama sekitar satu jam, burung baru digoreng jika akan disajikan.

Sebagai catatan, menu-menu seperti gulai kepala kakap dan burung punai goreng baru akan keluar setelah dipesan. Menyantap makanan-makanan tersebut memang dianjurkan saat masih hangat, sehingga lebih terasa nikmat.

Sebagai teman makan, restoran ini juga menyediakan menu pelengkap lain seperti sayur daun pepaya, sambal merah, sambal asam udang, dan lain lainnya. Menu minuman seperti es timun dan jus terong belanda juga tergolong unik.

Restoran ini bahkan juga menyediakan sop buntut yang cukup berbeda dari masakan sejenis yang ditawarkan restoran lain. Kuah yang terbuat dari tomat yang direbus hingga lebur terasa kental dengan rasa asam dan gurih yang sedap, ditambah daging buntutnya yang empuk membuatnya menarik untuk dicoba.

Untuk urusan harga, bisa dibilang harganya tidak terlalu mahal dan cukup komparatif dibanding restoran masakan Padang atau sejenisnya. Burung punai goreng misalnya, satu porsinya dibandrol seharga Rp 25 ribu. Atau sop buntut yang harganya Rp 75 ribu.

Adapun harga gulai kepala kakap disesuaikan berdasarkan ukurannya. Untuk ukuran kecil dihargai Rp 150 ribu, ukuran sedang Rp 250 ribu, dan ukuran besar Rp 360 ribu. Sedangkan menu minuman seperti es timun dihargai Rp 21 ribu, serta jus terong belanda Rp 31 ribu.

Berkat kesuksesan usahanya, sejak 1996 Ibrahim mampu membuka cabang-cabang lainnya. Saat ini terdapat dua cabang Medan Baru lainnya, yang terletak di kawasan Sunter dan Puri Kembangan.

Masing-masing cabang kini merupakan restoran yang cukup besar yang mampu menampung ratusan pengunjung. Tiap bangunan berformat serupa ruko yang memiliki dua hingga tiga lantai, dengan ruangan-ruangan yang dibagi untuk yang merokok dan tidak merokok.

Sehari-harinya, restoran ini mampu menjual sekitar 1.000 ekor burung punai dan 300 kepala kakap. Tak hanya ludes disantap pengunjung yang ramai berdatangan, pesanan-pesanan dari luar restoran pun kerap deras berdatangan.

Maka dari itu, bagi yang tertarik untuk mampir disarankan untuk datang saat waktu makan siang. Salah satu kebijakan restoran ini adalah hanya memasak sekali untuk sehari, sehingga saat malam hari kadang-kadang beberapa menu sudah habis.

Rumah Makan Medan Baru buka setiap hari dari jam 09.00 sampai jam 21.00. Untuk info lebih lanjut dapat menghubungi (021) 3844273 untuk cabang Pasar Baru, (021) 6404105 untuk cabang Sunter, dan (021) 5806207/5806208 untuk cabang Puri Kembangan.

Rumah Makan Medan Baru

Jl. Raya Krekot Bunder no. 65, Jakarta Pusat

Jl. Griya Agung no. 62, Komplek Griya Inti Sentosa Blok N3/18, Jakarta Utara

Jl. Pesanggrahan no. 168 D-E, Jakarta Barat

agendIndonesia/Audha Alief P.

*****

Keraton Cirebon dan Jejak Raja 1 Dari Wali Sanga

Keraton Cirebon dan jejak Wali Sanga

Keraton Cirebon memiliki sejarah yang sangat panjang. Ia tak cuma warisan budaya, namun juga jejak dari penyebaran agama Islam di wilayah barat pulau Jawa.

Keraton Cirebon

Suatu siang di bangsal Pesambangan, kompleks makam Sunan Gunung Jati, Gunung Sembung, Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Suara orang melafalkan “La Ilaha Ilallah” menggema. Mereka duduk bersila, menghadap ke arah pintu Lawang Gedhe, lurus ke arah kuburan Sunan Gunung Jati di puncak gunung. Mereka percaya, roh Sunan Gunung Jati yang dimakamkan di sana, dapat membantu mendekatkan diri dengan Tuhan, memberikan berkah, dan melapangkan jalan hidup. Sementara ribuan peziarah lain, membaca Al Quran, bersedekah, juga berdesak-desakan antre untuk menabur bunga, berbaur dengan ratusan pengemis dan para juru kunci makam.

Tak hanya untuk berwisata dan beribadah, tapi mereka juga berharap mendapat karomah obat mujarab bagi yang sakit. Jadi ditaruh-lah satu botol air di depan pintu Lawang Gedhe, dengan harapan, selama ritual doa berlangsung, air di dalam botol itu akan mendapatkan limpahan energi spiritual. Sehingga kalau diminum, akan memberi kesembuhan.

Sunan Gunung Jati (1478-1568), atau Syarif Hidayatullah, yang mereka ziarahi itu adalah wali paling berpengaruh di wilayah barat Pulau Jawa ini. Ia juga pendiri dan raja pertama Kasultanan Cirebon. Kompleks makam seluas lima hektare itu telah berusia lebih dari enam abad. Namun wisatawan hanya diizinkan berkunjung sampai bangsal Pesambangan, di depan pintu Lawang Gedhe, di pintu keempat.

Yang menarik, banyak juga keturunan Cina yang datang berziarah. Mereka berdoa, membakar hio, dan bersedekah kepada para pengemis di sekitar lokasi. “Salah satu istri Sunan Gunung Jati, yang bernama Ong Tien Nio, adalah putri kaisar Yung Lo dari Cina. Jadi kehadiran warga Cina ke sini untuk menziarahi leluhur mereka juga,” ujar juru kunci permakaman Sunan Gunung Jati. Para peziarah pribumi berdoa di depan pintu Lawang Gedhe, sedangkan peziarah Cina berdoa dan membakar dupa di bilik depan pintu Lawang Merdhu.

Di dalam kompleks juga terdapat Masjid Dog Jumeneng, atau Masjid Agung Sunan Gunung Jati, yang berkapasitas 3.000 orang. Masjid ini dulu dibangun orang-orang Keling atau India Tamil setelah mereka takluk dalam usaha penyerangan yang gagal terhadap kekuasaan Sunan Gunung Jati. Terdapat pula Paseban Besar, tempat menerima tamu; Paseban Soko, tempat musyawarah; Gedung Jimat, tempat penyimpanan guci-guci keramik kuno dari era Dinasti Ming, Cina, juga keramik-keramik gaya Eropa, khususnya Belanda.

Tur ke Cirebon memang identik dengan berziarah ke situs-situs peninggalan Sunan Gunung Jati. Tak hanya kompleks makamnya di Gunung Sembung, tapi juga berbagai situs peninggalannya yang tersebar di seantero Cirebon. Ini memang tak lepas dari sejarah Cirebon. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu karya besarnya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005), mengisahkan, Cirebon muncul dalam arus utama sejarah Nusantara baru sejak masuknya Islam yang dibawa pedagang pribumi. Di masa kejayaan Hindu, Cirebon kurang penting. Cirebon masuk peta sejarah tak lepas dari kisah dan peranan Sunan Gunung Jati. Jejak-jejak wali penyebar ajaran Islam itulah yang kini menjadi tujuan ziarah ribuan wisatawan. l

Obyek Wisata Pilihan

Keraton Kasepuhan

Memiliki arsitektur perpaduan Sunda, Jawa, Islam, Cina, dan Belanda, Keraton Kasepuhan merupakan istana tertua di Cirebon. Didirikan pada 1529 oleh Pangeran Mas Mohammad Arifin II, cicit Sunan Gunung Jati. Ada banyak bangsal dengan fungsi masing-masing. Di antaranya bangsal Prabayaksa, dindingnya dibangun dari keramik Dinasti Ming, Cina, tahun 1424 dan keramik Delf Blue dari Delf, Belanda, 1745. Museum Keraton Kasepuhan menyimpan aneka koleksi bernilai tinggi.

Keraton Kanoman

Didirikan pada 1588 oleh Sultan Kanoman I atau Sultan Badridin. Museum keraton ini menyimpan banyak peninggalan Sunan Gunung Jati di antaranya kereta Paksi Naga Liman dan Paksi Jempana, yang dulu dipakai langsung oleh Sunan Gunung Jati.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Tak jauh dari Keraton Kasepuhan, di Alun-Alun Cirebon, terdapat masjid keramat dan salah satu masjid tertua di Jawa yang dibangun pada 1489 oleh Wali Songo. Masjid ini mempunyai bentuk atap limasan dan di atasnya tidak dipasang mahkota masjid.

Petilasan Sunan Kalijaga

Salah satu Wali Songo ini pernah menjejakkan kaki di Cirebon. Tepatnya di barat Sungai Sipadu, di Jalan Pramuka, Desa Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Dikenal juga sebagai Taman Kera. Menurut kepercayaan, Sunan Kalijaga pada abad ke-15 pernah bertapa dan tinggal di sana untuk turut membantu Sunan Gunung Jati dalam mendirikan Kerajaan Cirebon.

Makam Syekh Siti Jenar

Makam sosok kontroversial dalam sejarah Wali Songo yaitu, Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang, dipercaya berada di Desa Kemlaten, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Tak jauh dari situs petilasan Sunan Kalijaga, yang merupakan salah satu musuh besarnya. Makam itu sederhana, hanya berupa satu cungkup kuburan 180 x 90 sentimeter yang dipayungi kelambu putih.

Kelenteng Dewi Welas Asih

Di Cirebon juga terdapat kelenteng Dewi Welas Asih atau Tiau Kak Sie, yang merupakan kelenteng tertua dan tempat penziarahan masyarakat keturunan Cina. Dibangun pada 1595, kelenteng berada di Jalan Kantor Nomor 2, Desa Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Tak jauh dari wilayah Keraton Kasepuhan. Terdapat sebuah jangkar sepanjang dua meter yang dipercaya sebagai jangkar bekas peninggalan armada Laksamana Cheng Ho, yang pernah berkunjung ke Cirebon sekitar 1430-1433.

Trusmi, Sentral Batik

Sekitar lima kilometer dari pusat kota, terdapat Kampung Trusmi, Kecamatan Weru, yang terkenal sebagai pusat batik dan cendera mata Cirebon. Kehadiran Trusmi tak lepas dari jejak Sunan Gunung Jati. Ki Gede Trusmi adalah pengikut setia Sunan Gunung Jati pada abad ke-16, yang menyebarkan Islam sembari mengajarkan seni membatik kepada warga setempat.

Dari Jakarta

Ke Cirebon, bila sembari mampir selama perjalanan, memang asyiknya membawa kendaraan sendiri. Tapi bila ingin beristirahat sepanjang jalan, bisa pilih kereta api. Ada cukup banyak pilihan kereta dan waktu keberangkatan. Misalnya, Cirebon Ekspres seharga Rp 90 ribu, hingga yang bertarif Rp 300 ribu-an, seperti Gajayana, Bangunkarta, Sembrani, dan Argo Anggrek Malam. Lama perjalanan mulai 2,5 jam.

Wahyuana/Tony H./Dok. TL

Kampung Adat Urug, Kisah Adat 450 Tahun

Kampung adat Urug di Kabupaten Bogor sangat menjunjung tinggi tradisi Sunda.

Kampung adat Urug ternyata tak jauh-jauh sangat dari metropolitan Jakarta. Hanya sekitar 48 kilometer dari Bogor. Artinya dari Jakarta cuma menambah sekitar satu jam perjalanan darat, kita sudah bisa menemui sebuah desa dengan adat istiadat luhur.

Kampung Adat Urug

Awal Januari 2020, kampung adat ini menjadi pemberitaan nasional. Sebuah banjir badang dan tanah longsor meluluhlantakan desa cagar budaya ini. Ada 11 desa di Kecamatan Sukajaya yang terkena bencana ini.

Kampung adat Urug kono merupakan anak turun dari Prabu SIliwangi.
Pemukiman warga Kampung Urug di Kabupaten Bogor. Foto: Milik JabarProv.Go.id

Tentu ini menyedihkan sebab, kampung adat Urug adalah salah satu desa yang memiliki sejarah sangat panjang dengan tradisi dan adat yang adiluhur. Kampung adat Urug diperkirakan sudah berusia lebih dari 450 tahun.

Keberadaan kampung ini ditandai adanya mandala Urug dengan masyarakatnya yang berpegang teguh pada tradisi dan keteladanan Sunda. Masyarakat Kampung adat Urug menganggap bahwa mereka merupakan keturunan Prabu Siliwangi, raja kerajaan Pajajaran, Jawa Barat.

Bukti dari anggapan tersebut di antaranya, menurut seorang ahli arsitektur yang pernah memeriksa konstruksi bangunan rumah tradisional di Kampung Urug, ditemukan model sambungan kayu yang sama dengan sambungan kayu pada salah satu bangunan di Cirebon. Bangunan yang merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran.

Menurut cerita tetua adat atau kokolot kampung, Kampung Urug sezaman dengan masa pemerintahan Prabu Nilakendra yang dikenal sebagai raja yang bijaksana dan mengabdi pada hal-hal gaib. Sisa-sisa kegaiban dari Prabu Nilakendra masih ada sampai sekarang dan dijadikan sebagai petilasan.

Petilasan inilah yang dijadikan tempat tujuan untuk menyepi dan bermunajat pada Sang Pencipta. Petilasan, mandala atau kabuyutan Kampung Urug dimulai dari Gedong Ageung. Kata gedong di sini bukanlah sebuah bangunan yang megah, melainkan bangunan yang punya fungsi tertentu.

Sama dengan kampung adat lain, rumah di Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor ini juga terbuat dari bambu dan kayu. Pola permukiman di Kampung Urug itu mengelompok pada tiga gedong sebagai pusatnya, yakni Gedong Ageung, Gedong Luhur dan Gedong Alit.

Permukiman penduduk cukup bervariatif, yang terdiri dari bangunan tradisional, semi permanen dan bangunan permanen. Rumah di Kampung adat Urug mempunyai karakter hampir sama dengan rumah adat Sunda, yakni berkolong dan terdiri dari tiga ruangan. Ketiganya masing-masing ruangan depan, tengah, dan belakang.

Bagian depan rumah berfungsi sebagai tempat menerima tamu. Bagian tengah rumah adalah tempat keluarga berkegiatan dan berkumpul dan kamar tidur penghuni rumah. Bagian belakang rumah adalah dapur dan goah tempat penyimpanan persediaan beras dan bahan makanan.

Gaya arsitekturnya mengadaptasi rumah tradisional Sunda. Bagian yang banyak digunakan untuk membuat rumah di Kampung Urug terdiri dari tatapakan, yaitu fondasi yang menggunakan batu alam utuh agar kuat menopang bobot bangunan.

Lalu, bagian yang lebih tinggi disebut dengan golodog, yaitu tepas yang terbuat dari kayu yang disusun berundak. Bagian dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Sementara atap, disebut dengan hateup, terbuat dari anyaman daun kiray. 

Lantai rumah panggung atau palupuh dibuat dari bambu yang dirangkai menjadi belahan kecil dan panjang. Bagian langit-langit rumah berbentuk persegi panjang yang dibuat dari kayu. Terakhir, jendela rumah panggung Kampung Urug dibuat dari kisi-kisi bilah kayu atau bambu

Asal-usul Kampung adat Urug, berdasarkan latar belakang sejarahnya, memiliki beberapa versi. Perbedaan tersebut bukan terletak pada siapa dan darimana Ieluhur mereka itu, tetapi terletak pada masalah tujuan atau motivasi yang menjadi penyebab berdirinya Kampung Urug.

Kata Urug dijadikan nama kampung, karena menurut mereka berasal dari kata “Guru”, yakni dengan mengubah cara membaca yang biasanya dari kiri sekarang dibaca dari sebelah kanan. Kata “Guru” berdasarkan etimologi rakyat atau kirata basa adalah akronim dari digugu ditiru. Jadi seorang guru haruslah “digugu dan “ditiru”, artinya dipatuhi dan diteladani segala pengajaran dan petuahnya.

Selain gaya rumah dan pemukiman, ciri khas kampung adat ini adalah pola hidup yang sangat kental dengan kebudayaan Sunda. Layaknya sebuah kelompok masyarakat, Kampung Urug punya seseorang yang dituakan atau pemimpin.

Pemimpin Kampung Urug merupakan seseorang yang ditunjuk masyarakat setempat untuk kebutuhan tertentu. Selanjutnya, mereka disebut dengan Abah (bapa) atau Olot (sepuh)

Kampung Urug dibagi menjadi tiga wilayah, yakni Urug Tonggoh (atas), Urug Tengah, dan Urug Lebak (bawah). Masing-masing wilayah dipimpin oleh satu olot yang punya tugas berbeda.

Pertama, Olot Tonggoh bertugas memimpin kegiatan yang berkaitan adat dan ritual kampung urug. Ritual dan upacara adat seperti ritual syukuran, menanam padi dan kematian. Olot Tonggoh juga bertugas sebagai juru bicara apabila ada tamu dari luar Kampung Urug yang ingin meneliti kampung, sejarah dan budayanya

Tetua ke dua, Olot Tengah, mempunyai tugas memberi petunjuk, mengatur dan mengerahkan masyarakat dalam sebuah kegiatan, misalnya kegiatan adat dan ritual. Sedangkan, Olot Lebak mempunyai tugas memimpin seluruh kegiatan adat, mengendalikan dan mempertahankan adat Kampung Urug. Ia adalah sesepuh kampung yang paling dituakan atau dinamakan dengan istilah Pananggeuhan (tempat bersandar).

Selain olot, ada juga punduh, kuncen dan lebe. Ketiganya adalah perangkat rakyat yang membantu kerja para olot Kampung adat Urug. Punduh, misalnya, adalah penyambung masyarakat dengan olot. Ia dipilih berdasarkan garis keturunan pendahulunya.

Berbagai masalah adat dan sosial diselesaikan melalu musyawarah di bangunan bernama Gedong Ageung. Bangunan ini juga sering kali berfungsi sebagai tempat menerima tamu. Di depan Gedong Ageung terdapat rumah panggung yang tinggi bernama Gedong Luhur atau Gedong Paniisan. Tempat ini digunakan sebagai tempat bersemedi tetua adat yang disebut Abah Kolot.

Mayoritas penduduk kamp;ung Urug ini adalah bertani padi. Hasil panennya harus disimpan di leuit (lumbung) dan tak boleh diambil sembarangan.

Kampung adat Urug setia menjaga adat istiadat warisan leluhur,
Ritual adat istiadat yang terus menerus dipertahankan. Foto: milik Infobudaya.net

Setiap tahun, masyarakat rutin mengadakan seren taun, yakni ritual adat sebagai wujud syukur sekaligus doa untuk kemakmuran di bidang pertanian. Selain seren taun, terdapat salametan ngabuli untuk memperingati tutup tahun dan salametan Maulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Seperti disebut di muka, lokasi kampung ini sesungguhnya tak terlalu jauh. Jarak tempuh Kampung Urug dari Bandung lebih kurang 165 kilometer ke arah barat. Sedangkan jarak dari Kabupaten Bogor lebih kurang 48 kilometer. Hanya saja akses ke lokasi ini cukup berat.

Kondisi jalan dari kantor kecamatan Sukajaya ke Kampung Urug berbelok-belok naik turun mengikuti lereng bukit dengan badan jalan yang sempit. Sepanjang jalan dari kantor kecamatan ke kantor kepala desa Kiarapandak sudah beraspal, namun sebagian besar rusak berat. Terlebih sempat terputus akibat banjir 2020.

Begitupun, tak ada salahnya sesekali mengagendakan kunjungan ke kampung-kampung adat, seperti Kampung Urug. Melambat dan mempelajari kearifan masa lalu.

agendaIndonesia

*****

1.000 Kisah Jakarta Satu Jalan-jalan

Salah satu spot dalam Jakarta Good Guide

1000 kisah Jakarta dari satu jalan-jalan di sebuah hari yang cerah. Begitu salah satu idenya. Huans Sholehan dari Jakarta Good Guide optimistis mal bukanlah pilihan pertama buat orang-orang yang ingin menikmati waktu libur di Jakarta kendati citra surga belanja sudah melekat di kota ini sejak lampau.

1.000 Kisah Jakarta

Memang Jakarta kini memiliki lebih dari seratus pusat perbelanjaan yang menjanjikan kenikmatan mata memandang. Namun, mal tak memiliki banyak kisah. Di jalanan yang sering kita lewati, bisa ditemukan banyak kisah.

Patung Bebaskan Irian aditya cs unsplash
Patung Bebaskan Irian di Lapangan Banteng dalam Jakarta Good Guide.

Seperti Sabtu pagi di awal bulan ketiga kala itu, pria yang sudah tujuh tahun berkarya sebagai pramuwisata ini mengajak tamu-tamunya merasakan sensasi mengenal Jakarta melalui tempat yang sebenarnya tak pernah terpikir menyimpan banyak histori. Tentu dengan cara yang tak biasa.

Tepat di bawah Patung Pembebasan Irian Barat, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Huans berdiri dikelilingi 20 orang. Mereka memusatkan pandangan kepada pria bertubuh mungil berkulit legam ini, mencerna baik-baik setiap instruksi.

“Rute jalan-jalan kita hari ini adalah Lapangan Banteng sampai Balai Kota DKI. Kita akan jalan kaki dan berhenti di tempat-tempat tertentu,” tuturnya.

Ajakan ini bikin mulut menganga. Ya, memang cukup mengejutkan. Selain rute berwisata yang tak terduga, upaya menepis keraguan terhadap Jakarta yang tak ramah bagi para pedestrian kembali dibangkitkan. “Kalau capek, boleh minta izin untuk istirahat. Lalu jangan lupa pakai topi atau payung, seperti yang sudah saya informasikan sebelumnya,” ucapnya.

Huans lantas menjelaskan sejenak tentang kondisi Lapangan Banteng masa lampau. Dulunya, kata dia, kawasan bernama Waterlooplein ini dihuni beragam satwa liar. Juga menjadi tempat bertumbuhnya pepohonan rimbun berusia puluhan hingga ratusan tahun.

Arsa, turis dari Kanada yang turut bergabung dengan tur, mengangguk-anggukkan kepala, menyiratkan tanda mengerti. Ia tak kesulitan memahami penjelasan Huans lantaran pemandu ini mengajak para tamunya bertutur dalam bahasa Inggris. “Aku tidak banyak mengerti tentang Indonesia sebelumnya. Aku hanya lima hari di Jakarta dan aku harus berterima kasih kepada Huans karena ia memberi secuil pengetahuan yang berguna, termasuk soal Lapangan Banteng,” katanya.

Rombongan lalu bergerak menuju Gereja Immanuel. Gereja yang dibangun atas dasar kesepakatan antara umat reformasi dan umat Lutheran di Batavia itu memiliki gaya klasik yang khas. Sayangnya, kala itu, turis tak bisa masuk. Sebab, pintu gerbang masih terkunci rapat. Masyarakat umum boleh masuk kalau ada jadwal ibadah.

“Padahal, kalau boleh ke dalam, kita bisa lihat orgel, alat musik bersejarah yang hanya ada tiga di dunia. Salah satunya di gereja ini,” ucap Reza, peserta tur, yang memberi sumbangan pengetahuan.

Tur ini memang tak hanya berjalan satu arah. Artinya, bukan cuma pemandu yang memberi informasi, melainkan para peserta. Timpal-menimpal pengetahuan pun terjadi sepanjang perjalanan. Obrolan hangat dari satu peserta ke peserta lain pun mengalir meski baru kenal dalam hitungan menit.

Sambil berarak meninggalkan Gereja Immanuel dan beralih menuju Galeri Nasional, Chila, warga asal Yogyakarta, yang baru satu tahun bekerja di Jakarta, berkisah tentang asyiknya ikut tur bersama Jakarta Good Guide. “Aku punya teman-teman baru di sini. Bahkan kami janjian ikut tur keliling Jakarta hampir setiap bulan di akhir pekan,” tuturnya. “Konsepnya juga menarik, jalan kaki. Aku bisa bakar kalori, he-he-he,” ujarnya bersenda gurau.

Peserta tur lain lantas terus meniti langkah, menyigi setiap kisah yang pernah terjadi pada masa lalu di kota yang dulunya bernama Batavia ini. Deru klakson dari satu-dua kendaraan pribadi tak mengganggu kekhusyukan mereka menghayati cerita demi cerita.

Di sepanjang jalur, Huans tak lupa mempersilakan turisnya mengambil gambar, memotret keindahan Jakarta, dan mengabadikan momen yang bisa tertangkap dari sisi pejalan kaki. Sembari menuju Tugu Tani hingga perhentian terakhir, yakni Balai Kota DKI, kebobrokan dan kerusakan infrastruktur boleh dipotret, lantas dikirim ke pemerintah melalui aplikasi Qlue. “Kita jangan cuma jalan-jalan, tapi juga harus memberi sumbangan terhadap perubahan,” tutur Huans. l

Menyingkap Jakarta Good Guide

Jakarta Good Guide resmi berdiri pada 2014. Sejatinya adalah perkumpulan yang dibentuk Farid dan Candha, dua anak muda yang punya kepedulian terhadap sejarah, yang ingin mengajak banyak orang menikmati kota dengan cara berjalan kaki.

Hingga kini, perkumpulan itu punya enam pemandu yang siap mendampingi turis setiap hari. Mereka membuka program walking tour mulai Senin hingga Minggu. Durasi waktu masing-masing rute ialah 2-3 jam, tergantung pada jarak tempuh. Umumnya dilaksanakan setiap pukul 09.00-12.00.

Sejak didirikan hingga sekarang, sudah ada 14 rute yang ditawarkan. Semuanya melingkupi kawasan bersejarah di Jakarta, misalnya China Town, Kota Tua, Jatinegara, hingga M.H. Thamrin. Bila ingin bergabung, peserta cukup mendaftarkan diri melalui media sosial atau website jakartagoodguide.wordpress.com. Tak ada kuota minimal dan maksimal untuk setiap kelompok. Menariknya lagi, tak ada tarif khusus yang dipatok.

“Kalian boleh memberi donasi berapa pun, tergantung pada servis yang kami berikan.” Demikian mereka menerapkan aturan. l

F. Rosana