1.000 Kisah Jakarta Satu Jalan-jalan

Salah satu spot dalam Jakarta Good Guide

1000 kisah Jakarta dari satu jalan-jalan di sebuah hari yang cerah. Begitu salah satu idenya. Huans Sholehan dari Jakarta Good Guide optimistis mal bukanlah pilihan pertama buat orang-orang yang ingin menikmati waktu libur di Jakarta kendati citra surga belanja sudah melekat di kota ini sejak lampau.

1.000 Kisah Jakarta

Memang Jakarta kini memiliki lebih dari seratus pusat perbelanjaan yang menjanjikan kenikmatan mata memandang. Namun, mal tak memiliki banyak kisah. Di jalanan yang sering kita lewati, bisa ditemukan banyak kisah.

Patung Bebaskan Irian aditya cs unsplash
Patung Bebaskan Irian di Lapangan Banteng dalam Jakarta Good Guide.

Seperti Sabtu pagi di awal bulan ketiga kala itu, pria yang sudah tujuh tahun berkarya sebagai pramuwisata ini mengajak tamu-tamunya merasakan sensasi mengenal Jakarta melalui tempat yang sebenarnya tak pernah terpikir menyimpan banyak histori. Tentu dengan cara yang tak biasa.

Tepat di bawah Patung Pembebasan Irian Barat, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Huans berdiri dikelilingi 20 orang. Mereka memusatkan pandangan kepada pria bertubuh mungil berkulit legam ini, mencerna baik-baik setiap instruksi.

“Rute jalan-jalan kita hari ini adalah Lapangan Banteng sampai Balai Kota DKI. Kita akan jalan kaki dan berhenti di tempat-tempat tertentu,” tuturnya.

Ajakan ini bikin mulut menganga. Ya, memang cukup mengejutkan. Selain rute berwisata yang tak terduga, upaya menepis keraguan terhadap Jakarta yang tak ramah bagi para pedestrian kembali dibangkitkan. “Kalau capek, boleh minta izin untuk istirahat. Lalu jangan lupa pakai topi atau payung, seperti yang sudah saya informasikan sebelumnya,” ucapnya.

Huans lantas menjelaskan sejenak tentang kondisi Lapangan Banteng masa lampau. Dulunya, kata dia, kawasan bernama Waterlooplein ini dihuni beragam satwa liar. Juga menjadi tempat bertumbuhnya pepohonan rimbun berusia puluhan hingga ratusan tahun.

Arsa, turis dari Kanada yang turut bergabung dengan tur, mengangguk-anggukkan kepala, menyiratkan tanda mengerti. Ia tak kesulitan memahami penjelasan Huans lantaran pemandu ini mengajak para tamunya bertutur dalam bahasa Inggris. “Aku tidak banyak mengerti tentang Indonesia sebelumnya. Aku hanya lima hari di Jakarta dan aku harus berterima kasih kepada Huans karena ia memberi secuil pengetahuan yang berguna, termasuk soal Lapangan Banteng,” katanya.

Rombongan lalu bergerak menuju Gereja Immanuel. Gereja yang dibangun atas dasar kesepakatan antara umat reformasi dan umat Lutheran di Batavia itu memiliki gaya klasik yang khas. Sayangnya, kala itu, turis tak bisa masuk. Sebab, pintu gerbang masih terkunci rapat. Masyarakat umum boleh masuk kalau ada jadwal ibadah.

“Padahal, kalau boleh ke dalam, kita bisa lihat orgel, alat musik bersejarah yang hanya ada tiga di dunia. Salah satunya di gereja ini,” ucap Reza, peserta tur, yang memberi sumbangan pengetahuan.

Tur ini memang tak hanya berjalan satu arah. Artinya, bukan cuma pemandu yang memberi informasi, melainkan para peserta. Timpal-menimpal pengetahuan pun terjadi sepanjang perjalanan. Obrolan hangat dari satu peserta ke peserta lain pun mengalir meski baru kenal dalam hitungan menit.

Sambil berarak meninggalkan Gereja Immanuel dan beralih menuju Galeri Nasional, Chila, warga asal Yogyakarta, yang baru satu tahun bekerja di Jakarta, berkisah tentang asyiknya ikut tur bersama Jakarta Good Guide. “Aku punya teman-teman baru di sini. Bahkan kami janjian ikut tur keliling Jakarta hampir setiap bulan di akhir pekan,” tuturnya. “Konsepnya juga menarik, jalan kaki. Aku bisa bakar kalori, he-he-he,” ujarnya bersenda gurau.

Peserta tur lain lantas terus meniti langkah, menyigi setiap kisah yang pernah terjadi pada masa lalu di kota yang dulunya bernama Batavia ini. Deru klakson dari satu-dua kendaraan pribadi tak mengganggu kekhusyukan mereka menghayati cerita demi cerita.

Di sepanjang jalur, Huans tak lupa mempersilakan turisnya mengambil gambar, memotret keindahan Jakarta, dan mengabadikan momen yang bisa tertangkap dari sisi pejalan kaki. Sembari menuju Tugu Tani hingga perhentian terakhir, yakni Balai Kota DKI, kebobrokan dan kerusakan infrastruktur boleh dipotret, lantas dikirim ke pemerintah melalui aplikasi Qlue. “Kita jangan cuma jalan-jalan, tapi juga harus memberi sumbangan terhadap perubahan,” tutur Huans. l

Menyingkap Jakarta Good Guide

Jakarta Good Guide resmi berdiri pada 2014. Sejatinya adalah perkumpulan yang dibentuk Farid dan Candha, dua anak muda yang punya kepedulian terhadap sejarah, yang ingin mengajak banyak orang menikmati kota dengan cara berjalan kaki.

Hingga kini, perkumpulan itu punya enam pemandu yang siap mendampingi turis setiap hari. Mereka membuka program walking tour mulai Senin hingga Minggu. Durasi waktu masing-masing rute ialah 2-3 jam, tergantung pada jarak tempuh. Umumnya dilaksanakan setiap pukul 09.00-12.00.

Sejak didirikan hingga sekarang, sudah ada 14 rute yang ditawarkan. Semuanya melingkupi kawasan bersejarah di Jakarta, misalnya China Town, Kota Tua, Jatinegara, hingga M.H. Thamrin. Bila ingin bergabung, peserta cukup mendaftarkan diri melalui media sosial atau website jakartagoodguide.wordpress.com. Tak ada kuota minimal dan maksimal untuk setiap kelompok. Menariknya lagi, tak ada tarif khusus yang dipatok.

“Kalian boleh memberi donasi berapa pun, tergantung pada servis yang kami berikan.” Demikian mereka menerapkan aturan. l

F. Rosana

Kampung Gitar Baki, Berdenting Sejak 1975

Kampung gitar Baki di Sukoharjo atau Solo menjadi kampung dengan keunikan tersendiri. Foto shutterstock

Kampung gitar Baki sering menjadi referensi pemusik gitar atau gitaris jika ingin memperbaiki atau mengubah instrument gitar mereka. Sebab, seringkali toko-toko atau gerai gitar resmi tak menyediakan layanan untuk custom.

Kampung Gitar Baki

Adalah sebuah kampung yang unik. Lokasinya sekitar 12 kilometer di selatan Kota Solo. Kampung itu berada di Desa Mancasan, Kecamatan Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Keunikan kampung itu adalah ratusan kepala keluarganya berprofesi sebagai pengrajin gitar.

Oleh karena itu, tak heran apabila daerah itu mendapat sebutan sebagai kampung gitar Baki. Kadang orang juga menyebut kampung gitar Mancasan.

Kampung gitar Baki memiliki 90 persen warga yang bekerja sebagai perajin gitar.
Sentra kerajinan Gitar di Desa Mancasan, Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Kampung gitar Baki Sukoharjo sudah berdiri sejak 1975. Di sana, banyak warganya yang memproduksi gitar di rumah mereka masing-masing. Berbagai macam jenis gitar mereka hasilkan. Mulai dari gitar akustik model tanduk, gitar klasik, ukulele, rebab dan berbagai jenis alat musik petik lainnya.

Di Kawasan Mancasan, kerajinan gitar sudah menjadi tulang punggung ekonomi masyarakatnya. Konon, kemampuan merakit gitar para penduduk Mancasan sudah diwariskan secara turun temurun.

Kampung gitar Baki Mancasan adalah sebuah desa dengan ratusan kepala keluarga yang berprofesi sebagai pengrajin gitar. Saat memasuki Kampung Gitar Baki Sukoharjo, wisatawan atau pengunjung sudah langsung dapat melihat bagaimana kepiawaian tangan para pengrajin menciptakan berbagai jenis alat musik petik.

Hampir 90 persen warga yang tinggal di Kampung Gitar Baki Sukoharjo bermata pencaharian dan menggantungkan hidupnya dengan membuat gitar. Konon, bertahannya Kampung Gitar Baki Sukoharjo menjadi desa wisata dan sentra gitar berawal dari pemberdayaan masyarakat yang selalu mengedepankan kearifan lokal.

Kemampuan membuat berbagai macam alat musik petik, dan terutama gitar, sudah dimiliki warga secara turun-temurun. Meski begitu, membuat gitar bukan perkara mudah, karena setiap pengrajin membutuhkan keahlian khusus dan ketelatenan agar menghasilkan alat musik yang mulus dan nyaman dimainkan.

Pembuatan alat musik gitar memerlukan proses panjang. Dimulai dari pemilihan bahan alat music yang akan dibuat. Jenis kayunya, ukurannya, juga modelnya. Setelah itu tentu membuat model dan mulai memotong bahan-bahan.

Kampung gitar Baki sudah memproduksi gitar yang diekspor ke sejumlah negara,
Sejumlah produk gitar karya perajin kampung Baki. Foto: dok. shutterstock

Setelah bentuk dasar jadi, pengerjaannya bermula dari penghalusan dengan ampelas, pendempulan, mengampelas kembali. Setelah itu memasuki tahap pengecatan, pelapisan, hingga dikeringkan. Umumnya cara pengeringan cat masih tradisonal, yakni dengan cara dijemur.

Jadi badan gitar yang sudah jadi dicat, lalu dilapisi dengan melamin, dan kemudian dijemur di tempat terbuka. Atau semi terbuka dengan mengangin-anginkan. Jumlah produksi gitar yang dihasilkan seorang pengrajin tergantung tingkat keahliannya, juga tergantung musim.
Faktor utama untuk pengeringan itu matahari. Kalau musim kemarau bisa 10 lusin dalam sepekan, tapi kalau cuaca mendung paling delapan lusin.

Seperti disebut di muka, Kampung Gitar Baki Sukoharjo ini juga menawarkan pembuatan gitar custom. Model gitar khusus yang tidak ada di pasaran. Pemesan bisa menentukan desain dan bahan yang ingin digunakan. Kayu yang ditawarkan biasanya jenis mahoni, jati Belanda, waru, maupun kayu sengon.

Bahkan para pengrajin gitar di kampung ini juga ada yang melayani reparasi gitar pribadi atau sekedar konsultasi masalah gitar. Ini kemungkinan karena masing-masing pengrajin gitar di Mancasan biasanya punya keahlian khusus. Selain ada pengrajin body gitar, di sana terdapat juga pengrajin stang atau neck, dan juga ada tukang stem gitar.

Seiring berjalannya waktu, industri gitar terus berkembang dan meluas hingga ke seluruh wilayah desa. Bermula dari Desa Mancasan, saat ini industri kreatif pembuatan gitar telah meluas sampai ke Desa Ngrombo di Kecamatan Baki dan Desa Pondok di Kecamatan Grogol.

Bukan hanya pengrajinnya yang bertambah, pelanggan yang mengincar gitar lokal buatan Kampung Gitar Baki juga semakin meluas. Tidak hanya dibeli oleh pecinta dan pemain alat musik petik dari Indonesia, gitar asli pengrajin lokal berhasil menarik perhatian pasar internasional.

Hasil karya kerajinan gitar kampung gitar Baki bisa dinikmati di penjuru nusantara seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Magelang, Salatiga, dan Papua. Tak hanya itu, pesanan gitar juga datang dari penjuru dunia lain. Beberapa negara yang pernah menjadi negara tujuan ekspor gitar akustik hingga ukulele buatan dari Kampung Gitar Baki Sukoharjo di antaranya: Singapura, Filipina, Malaysia, Jerman, Italia, dan sejumlah negara di Eropa lainnya.

Sayangnya perajin gitar di kampung ini belum memiliki merek khusus untuk gitar yang mereka hasilkan. Mereka biasanya menggunakan merek kosong sesuai permintaan pelanggan.

Tertarik punya koleksi gitar yang cuma satu-satunya di dunia? Ayo agendakan liburanmu ke Mancasan, Sukoharjo.

agendaIndonesia

*****

Wisata Ke Kota Bengkulu Dalam 2 hari

Wisata Kota bengkulu Ke Benteng Marlborought

Wisata ke kota Bengkulu dalam dua hari, apa saja yang bisa dikunjungi? Apa saja yang menarik dari kota tempat lahir ibu Fatmawati, istri proklamator dan presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno?

Wisata Ke Kota Bengkulu

Berbatasan dengan Lampung, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan, Bengkulu mempunyai obyek wisata begitu beragam. Dari pantai sampai gunung. Namun, bila hanya mempunyai waktu pendek, berkeliling di kota pun mengasyikkan. Dalam sebuah akhir pekan yang panjang alias 3 hari, terbang kurang dari satu jam dari Jakarta mem- buahkan pengalaman menarik. Jarak antar-obyek wisata juga tergolong dekat.

HARI PERTAMA

Rumah Ibu Fatmawati Soekarno

Tak jauh dari kawasan Simpang Lima, bisa ditemukan sebuah rumah panggung kayu yang terlihat masih apik. Di bagian depan terpampang papan nama: Rumah Ibu Fatmawati Soekarno. Jalan di depannya pun diberi nama Jalan Fatmawati. Terlihat masih cukup baik, rupanya rumah baru direnovasi pada 1980-an dan bukannya rumah yang dihuni oleh Ibu Fatma, melainkan hanya milik saudara Fatmawati yang dihibahkan kepada pemerintah untuk menjadi cagar budaya. Di dalam rumah bisa ditemukan berbagai benda peninggalan Ibu Negara ini. Termasuk berupa mesin jahit yang membuat Sang Saka Merah Putih, juga benda lain termasuk foto-foto lawas.

Rumah Kediaman Bung Karno

Tak jauh dari Rumah Fatmawati, ada Rumah Kediaman Bung Karno. Yang satu ini memang benar-benar pernah menjadi tempat tinggal Bung Karno selama diasingkan di masa penjajahan. Berada di jalan utama, yakni Jalan Soekarno-Hatta yang berada di pusat kota. Di rumah tua dengan halaman luas tersebut masih bisa ditemukan berbagai peninggalan Sang Proklamator sewaktu tinggal di kota ini pada 1938-1942. Di antaranya sepeda ontel, koleksi buku, su- rat cinta kepada Fatmawati, dan lain-lain.

Danau Dendam Tak Sudah

Setelah menyimak sejarah, saatnya me- nikmati sore yang tenang di dekat danau. Berjarak hanya 6 kilometer dari pusat kota, Anda sudah bisa menemukan sua- sana lain. Berupa danau yang tenang dan dikenal dengan nama unik di Kelurahan Dusun Besar, Kecamatan Singaran Pati. Rupanya, keunikan namanya terkait dengan legenda setempat. Perbukitan hijau mengelilingi kawasan cagar alam ini, sehingga hanya sekadar duduk di tepiannya sembari menyeruput kelapa muda atau berkeliling perahu sama-sama menyenangkan. Berada di tepian jalan utama, membuat obyek wisata ini mudah dicapai.

Hidangan Khas Bengkulu

Untuk makan malam, coba cicipi aneka masakan khas lokal di Rumah Makan Inga Raya yang berada di tepi pan-
tai, tepatnya di Jalan Pasar Pantai. Di antaranya pendap—sejenis pepes ikan— sambal tempoyak dan sayur buah kelor.

HARI KE-2

Pantai Panjang

Boleh dibilang, inilah pusat wisata di Kota Bengkulu. Sebagian besar hotel juga berjajar di depan pantai yang mengha-

dap Samudra Hindia ini. Sesuai dengan namanya, pantai ini memang begitu panjang, hingga 6-7 kilometer. Memiliki pasir yang halus, tapi ombak tergolong besar. Namun pantai yang landai dengan lebar 500 meter ini membuat orang bisa bermain bebas di pantai. Fasilitas juga tergolong lengkap, datang di sore atau pagi hari, bisa melakukan aktivitas bera- gam di sini. Berlari, bersepeda, bermain voli pantai atau sekadar bermain pasir. Bila memilih hotel di depan pantai ini, tentu mengasyikkan memulai aktivitas pagi dengan bermain di pantai.

Pantai Tapak Paderi

Pantai Panjang sesungguhnya sambung- -menyambung dengan pantai lain. Salah satunya Pantai Tapak Panderi. Pantai yang awalnya merupakan pelabuhan ini

menawarkan keindahan mentari tenggelam. Jaraknya hanya 100 meter dari obyek wisata lain, yakni Benteng Marlborough. Jadi, bila berada di ketinggian di benteng tersebut, yang tampak pertama adalah Pantai Tapak Paderi.

Kawasan Pecinan

Tak jauh dari Pantai Tapak Paderi dan Benteng Marlborough ada kawasan yang menarik disimak, yakni daerah Pecinan. Dijaga kelestarian sehingga masih menunjukkan khas bangunan Cina di masa lampau. Dimulai dari gerbangnya dalam pulasan merah dan hijau, lengkap de- ngan hiasan dua ular di bagian atasnya. Permukiman kaum Tionghoa ini sudah ada sejak masa penjajahan Inggris.

Benteng Marlborough

Dibangun di masa penjajahan Inggris sebagai benteng pertahanan, berada di dekat pantai dan di kawasan Pecinan. Adalah East India Company yang membangunnya pada 1713-1719. Berbentuk kura-kura dengan parit-parit kecil, bisa ditemukan juga ruang tempat Sukarno ditahan untuk diinterogasi. Menikmat- inya di sore hari menjadi pilihan karena memandang pantai dari ketinggian menjadi pilihan asyik di sini. Apalagi sembari menunggu mentari tenggelam. Di belakang akan terlihat deretan perto- koan Pecinan yang khas.

Pempek

Di hari kedua, mencicipi pempek bisa menjadi pilihan yang menyegarkan. Bisa

mampir di Pempek Buffet Betty yang berada di Jalan S. Parman. Pilihan lain adalah Warung Pempek Saskia di Jalan Natadirja. Tak hanya untuk makan di tempat, beragam pempekm baik kapal selam, lenjer, maupun adaan, bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh.

Pantai Jakat

Setelah Pantai Panjang dan Pantai Tapak Paderi, ada juga Pantai Jakat yang menyambung dan sama-sama mengha- dap Samudra Hindia. Yang menjadi ciri khas adalah deretan perahu nelayan, tapi untuk bermain tergolong lebih nyaman karena kedalaman pantai yang terdalam hanya 1,5 meter. Merupakan pantai ujung timur di antara ketiga pantai tersebut, sehingga hanya 1 kilometer dari pusat kota. Untuk keluarga terdapat sejumlah sarana bermain, seperti banana boat, jet ski, dan lain-lain. Pantai ini
bisa menjadi sasaran di pagi hari di hari ketiga.

Oleh-oleh Khas

Puas bermain di pantai, lantas berkemas, saatnya belanja oleh-oleh dan mening- galkan Bengkulu. Toko oleh-oleh ber- deret di depan Rumah Kediaman Bung Karno. Tinggal pilih, berupa lempuk durian, beragam manisan, kue bay tat, emping melinjo, sirop kalamansi, hingga beragam kerajinan, yang terbuat dari kulit kayu, batik besurek, dan lain-lain.

Rita N./Gunawan W./TL

Bono Surfing Ombak Sungai Setinggi 4 Meter

Boo surfing menjadi daya tarik pariwisata Riau. Foto:dok Dinas Pariwisata Riau

Bono surfing ini cerita khas yang dimiliki Indonesia. Mungkin belum banyak yang paham, kecuali untuk para peselancar. Sepintas kegiatan ini seperti layaknya berselancar atau surfing: kegiatan mengikuti ombak dengan papan selancar. Tapi bono surfing?

Bono Surfing

Umumnya olahraga selancar orang dilakukan di atas ombak laut, Tapi tak rupanya tak selamanya demikian. Ada yang unik di wilayah Riau. Di salah satu provinsi di Sumatera ini, para peselancar tidak melakukan surfing di laut, melainkan di sungai.

Bagi masyarakat Riau, surfing jenis ini dinamakan bono surfing. Lokasinya berada di Sungai Kampar yang terletak di Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Bono Surfing di Sungai Kampar menjadi atraksi yang mendunia.
Sungai Kampar di Provinsi Riau, selain keindahannya, ia juga punya atraksi. Foto: shutterstock

Istilah “Bono” ditujukan bagi ombak besar yang ada di sugai Kampar. Fenomena ombak bergulung-gulung di Sungai Kampar ini bukanlah hal baru. Bono dalam bahasa masyarakat setempat berarti berani.

Masyarakat Teluk Meranti dan seitarnya sudah terbiasa melihat ombak besar tersebut sejak zaman nenek moyang mereka. Bahkan, menurut kisah setempat, Ombak Bono merupakan perwujudan dari tujuh hantu yang sering menghancurkan kapal. 

Menurut kisah Sentadu Gunung Laut, yang merupakan cerita masyarakat Melayu lama, ombak bono terjadi karena perwujudan tujuh hantu yang sering menghancurkan sampan maupun kapal yang melintasi Sungai Kampar.

Tujuh hantu itu diwujudkan dalam bentuk tujuh jenis gulungan ombak mulai dari gulungan ombak terbesar di bagian depan diikuti enam gulungan ombak di belakangnya dengan tinggi ombak lebih kecil.
Ombak besar ini ditakuti masyarakat sehingga untuk melewatinya harus diadakan semah, semacam upacara di waktu pagi atau siang hari dipimpin tetua adat setempat dengan maksud agar selamat saat berhadapan dengan ombak bono.

Masih dari cerita yang sama, konon ombak Bono ini dahulunya dijadikan ajang uji ketangkasan bertarung bagi setiap pendekar Melayu Pesisir. Ombak Bono di Sungai Kampar dapat dikatakan cukup tinggi. Dalam waktu-waktu tertentu ketinggian ombak di Sungai Kampar bisa mencapai 4-5 meter. Jelas tak kalah menantang dari ombak di lautan lepas.

Peselancar Ombak Bono Sungai Kampar Kesbangpol riau go id
Para peselancar bono di Kampar, Riau. Foto: dok. Kesbangpol.riau.go.id

Bono memenag termasuk peristiwa langka ombak di Sungai,  meskipun bukan satu-satunya. Sungai Kampar termasuk sebagai sungai nomor lima terpanjang di pulau Sumatera. Panjangnya mencapai 413 kilometer, di mana hulunya berada di Kabupaten Lima Puluh Kota di Sumatera Barat dan bermuara di Selat Malaka.

Fenomena alam langka di Sungai Kampar ini terjadi akibat pertemuan arus pasang laut dengan arus sungai. Dikutip dari kompas.com, umumnya puncak Bono atau gelombang tertinggi dapat diprediksi sesuai kalender bulan purnama, atau berdasarkan kalender tarikh qomariyah.

Arus ombak ini bergerak dari muara di wilayah Desa Pulau Muda menuju Desa Teluk Meranti dan Tanjung Metangor. Tidak main-main, jarak yang ditempuh ombak Bono bisa sejauh 50-60 km, dengan kecepatan 40-50 km/jam.

Keunikan Bono Surfing adalah ombaknya yang berlawanan dengan arah arus sungai, sehingga tekanannya cukup deras. Tak seperti ombak besar di laut, ombak bono bisa mencapai panjang sekitar 200 meter hingga dua kilometer mengikuti lebar sungai.

Hal yag kemudian menaik perhatian adalah adanya Festival Bekudo Bono. Ini pesta selancar bono di sungai Kampar. Tak main-main ia menjadi incaran peselancar internasional

Ya betul. Menjajal bono surfing bukan hanya tantangan peselancar lokal, namun juga peselancar mancanegara. Pemerintah daerah setempat melirik hal tersebut sebagai sebuah potensi pariwisata. Hingga tercetuslah event tahunan bertajuk: International Bono Surfing Festival dan Bekudo Bono. Kedua festival ini jadi sasaran pemecahan rekor dunia oleh para peselancar lokal maupun internasional.

Bono Surfing Dok Kemenparekraf
Tak kalah menantang dengan ombak laut, Bono surfing punya pecintanya. Foto: dok. kompas-kemenparekraf

Pada 2013, misalnya, peselancar asal Inggris, Steve King bersama dua rekannya berlomba adu ketangkasan dalam Bono Surfing. Mereka berhasil memecahkan rekor setelah berselancar sejauh 12,3 kilometer selama 1 jam 13 menit. Rekor ini kemudian dipatahkan oleh James Cotton yang berhasil melakukan bono surfing sejauh 17,2 kilometer, dan sukses mencatatkan namanya dalam Guinness Book of The World Record

Selain adu ketangkasan melalui Bono Surfing, pemerintah juga mengemas event selancar tahunan ini dengan sangat apik. Salah satunya adanya tambahan agenda Bono Jazz Festival dan camping ground pada Festival Bekudo Bono 2019. Harapannya upaya kreatif pemerintah ini menarik minat lebih banyak peselancar lokal dan internasional untuk melakukan Bono Surfing di Sungai Kampar.

agendaIndonesia/Kemanparekraf

*****

Keris Desa Aeng Tong-tong Warisan Abad 14

Keris Desa Aeng Tong-tong memiliki sejarah yang panjang. Bahkan sejak abad 14.

Keris Desa Aeng Tong-tong di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, akhir-akhir ini makin dikenal publik awam. Ya, sebab bagi pecinta keris, desa ini sudah lama dikenal dan menjadi salah satu pilihan jika hendak memesan senjata tradisional yang sarat seni ini.

Keris Desa Aeng Tong-tong

Nama Desa Aeng Tong-tong melambung setelah menjadi salah satu dari empat desa wisata dari Provinsi Jawa Timur yang berhasil masuk 50 besar ADWI 2022. Terpilihnya Desa Wisata Aeng Tong-tong dalam kategori “Desa Wisata Terbaik” ADWI 2022 bukan tanpa alasan. Desa ini memiliki budaya serta kearifan lokal yang khas dan tidak dimiliki daerah lainnya, yakni sebagai desa penghasil keris dengan empu terbanyak

Keris Desa aeng Tong-tong menjadi salah satu pilihan para kolektor keris.
Para empu tengah menempa besi untuk menjadi keris. Foto: dok shutterstock

Buat yang masih sedikit asing dengan salah satu desa wisata terbaik di Jawa Timur ini, Desa Aeng Tong-tong merupakan wilayah dataran tinggi dan sebagian besar dataran rendah di pulau Madura. Desa Aeng Tong-tong dikelilingi berbagai sumber daya alam yang melimpah, seperti sawah, ladang tembakau, ladang padi, kebun kelapa, perbukitan, dan banyak lagi.

Desa Aeng Tong-tong adalah desa yang menjadi rumah bagi sekitar 640 empu —sebutan bagi perajin keris—di Sumenep. Kualitas mereka bahkan sudah diakui dunia. Sejak 2014, Sumenep telah mengukuhkan dirinya menjadi Kota Keris. Bahkan UNESCO telah pula menetapkan Kabupaten Sumenep sebagai daerah perajin keris terbanyak di dunia, dan sebagian besarnya ada di Desa Aeng Tong-Tong.

Menilik sejarahnya, dari empat kabupaten yang ada di Madura, salah satu yang memiliki nilai sejarah, budaya, dan seni yaitu Songeneb atau kini disebut Sumenep. Pemilihan kata Sumenep diresmikan pada masa Penjajahan Belanda agar memudahkan pengucapan.

Desa Aeng Tong-Tong merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep. Desa ini memang memiliki banyak potensi, baik dari segi sumber daya manusia dan sumber daya alamnya.

Terpilihnya desa ini menjadi pusat industri bukan hanya karena keterampilan yang dimiliki masyarakatnya. Tetapi dari sejarahnya, budaya perkerisan yang dimiliki. Keris Desa Aeng Tong-tong mengalami pertumbuhan pesat pada masa pemerintahan Pangeran Joko Tole pada abad 14.

Desa Aeng Tong-tong adalah satu-satunya desa di Indonesia yang hampir 100 persen warganya adalah perajin keris. Menurut Mpu Sanamo, salah seorang perajin keris di desa tersebut, mereka mempunyai rumah asli peninggalan nenek moyang yang masih dipelihara keasliannya sampai saat ini. Di dalamnya ada sebuah pusaka yang diikat di sebuah tiang rumah, dan tidak pernah dipindahkan sampai sekarang.

Mengutipo jurnal Makna Keris dan Pengaruhnya terhadap Masyarakat di Surakarta (2008) karya Akhmad Arif Musadad, keris sebagai benda pusaka dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Ini menyebabkan banyak mansyarkat yang mengagumi, menghormati dan menyimpannya.

Hingga sekarang, aktivitas membuat keris Desa Aeng Tong-tong masih terus dilestarikan, bahkan sudah menjadi mata pencaharian sebagian besar masyarakat desa wisata tersebut. Demi terus melestarikan tradisi ini, budaya pembuatan keris Desa Aeng Tong-tong sudah dikenalkan pada anak-anak sejak memasuki usia sekolah dasar.

Diperkirakan, hingga saat ini ada ratusan empu yang berprofesi secara aktif sebagai perajin atau pembuat keris di Desa Aeng Tong-tong. Biasanya, keris yang dibuat di Desa Aeng Tong-tong digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar, pesanan pedagang, atau bahkan memenuhi para pesanan kolektor baik di dalam negeri atau mancanegara.

Ciri khas keris Desa Aeng Tong ada pada garapan badan kerisnya maupun warangka (sarung keris) yang halus dengan ukiran yang sangat indah. Proses pembuatannya tentu saja sangat panjang.

Keris Desa Aeng Tong-tong diproduksi oleh sekitar 640 empu pembuat keris.
Membakar besi untuk ditempa. Foto ilustrasi: shutterstock

Tak sembarang orang bisa membuat keris. Para empu tidak asal menempa besi panas, mereka juga harus berpengalaman dan paham mengenai seluk-beluk tentang keris.

Proses pembuatan keris dimulai dari pemilihan besi dan penempaan untuk mendapatkan bentuk yang diinginkan. Dilanjutkan dengan metode penghalusan, menambahkan tembaga atau emas untuk diukir sesuai pesanan, hingga terakhir proses penyepuhan agar mendapatkan warna kering yang diinginkan.

Setidaknya dibutuhkan ribuan lapisan untuk menciptakan keris berkualitas terbaik. Selain itu, untuk bisa mendapat ketajaman keris, pada bagian tengah disisipkan lapisan baja. Setelah itu, keris akan terus ditempa dan diberi lapisan, supaya lebih kuat.

Sampai menjadi sebuah keris setidaknya terdiri dari 150 lipatan. Setelah dirasa cukup, maka bahan dasar tersebut kemudian diperhalus dengan gerinda. “Ditambahkan tembaga atau emas, dan kemudian diukir sesuai pesanan,” ujar Mpu Sanamo, perajin keris lainnya dari Desa Aeng Tong-tong.

Setelah proses penempaan, pembuatan keris dilanjutkan dengan pembentukan bilah dan proses kinatah (ukir besi). Ini dilanjutkan lagi dengan proses warangka atau pembuatan sarung keris dari bahan kayu. Hingga proses terakhir adalah mewarangi atau memberi lapisan pada besi kerisnya, biasanya campuran cairan arsenic dengan air jeruk nipis yang dioleskan atau untuk celupan kerisnya.

Keris Desa aeng Tong-tong adalah prosuk seni yang cocok untuk dikoleksi.
Keris Desa Aeng Tong-tong Sumenep indah untuk dikoleksi. Foto: dok, shutterstock

Proses pembuatannya memang sangat panjang. Tidak heran jika satu keris rata-rata bisa memakan waktu pengerjaan 2 hingga =6 bulan. Hal ini tergantung pada kesulitan dari ukiran serta bentuk keris yang dibuat.

Setelah melewati tahapan pembuatan keris, biasanya para empu di Desa Aeng Tong-tong akan menghelat ritual pencucian keris dan ziarah makam leluhur. Biasanya, ritual tersebut akan dilakukan bersama dengan pesta rakyat dan diramaikan dengan kesenian tradisional.

agendaIndonesia

*****

Kampung Ciptagelar, Adat Di 1050 Meter

Kampung Ciptagelar masyarakat berpindah yang tetap meninggikan adat pertanian.

Kampung Cipagelar selalu dingin pada dini hari. Saat pagi menjelang, suhu di Kampung Ciptagelar tak beranjak dari 20 derajat celsius. Pasalnya, kampung ini berada pada ketinggian 1.050 meter di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ia dikelilingi banyak gunung lain, seperti Gunung Kendeng, Karancang, dan Surandil.

Kampung Ciptagelar

Kampung Ciptagelar kerap juga disebut Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar, karena mengusung model kepemimpinan adat dari orang tua atau sesepuh. Kasepuhan ini telah beberapa kali memindahkan pusat pemerintahan desa yang disebut Kampung Gede.

Masya­ra­kat adat Kampung Ciptagelar tersebar di Sukabumi, Bogor, dan Banten. Jumlahnya kurang lebih 30 ribu jiwa. Kasepuhan Ciptagelar memiliki se­kira 568 kampung adat yang tersebar di tiga wilayah tersebut.

Sementara itu Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar berada di kaki Gunung Halimun-Sa­lak dan masuk ke wilayah administrasi Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat..

Dari pusat kota Pelabuhanratu, lokasi itu bisa dijangkau dalam waktu sekira dua jam. Setidaknya Kasepuhan Ciptagelar masih berada di lokasi itu sebelum turun wangsit guna menjadikan Kampung Gede sebagai pu­sat kasepuhan dan kembali pindah ke tempat baru untuk bermu­kim.

Generasi pertama kampung ini muncul pada tahun 1368 berasal dari Cipatat, Bogor. Sejak saat itu, ketua adat berganti secara turun-temurun dan kampung adat terus berpindah tempat. Dari Cipatat Bogor beralih ke Lebak Larang, Lebak Binong, Tegal Lumbu, Pasir Jinjing, Bojong Cisono, hingga Sirna Rasa.

Terakhir, pada pertengahan 2001, dari di Kampung Ciptarasa di Desa Sirna Rasa, berpindah ke Desa Sirna Resmi yang berjarak sekira 12 kilometer.

Penduduknya memang masih menjalankan tradisi berpindah tempat berdasarkan perintah leluhur (wangsit). Saat ini, Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

Kampung Ciptagelar karena sering berpindah memiliki rumah yang semi permanen. Terbuat dari kayu dan anyaman bambu.
Rumah warga Kampung Gede Ciptagelar di Sukabumi. Foto: DOk. shutterstock

Karena itulah rumah warga berupa bangunan tidak permanen. Rangkanya terbuat dari kayu dengan anyaman bambu dan beratapkan pelepah aren yang dikeringkan. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani. Sementara sisanya berdagang, beternak, menjadi buruh, dan pegawai.

Suasana khas Sunda kental terasa begitu memasuki Kampung Ciptagelar. Di sana berjajar puluh­an rumah panggung berdinding kayu dan beratapkan rumbia atau kirai.

Bangunan kecil bernama leuit atau tempat menyimpan padi dibangun saling berdampingan. Di sekeliling kawasan kampung adat adalah gunung, hutan, kebun dan sawah berundak.

Dari gene­rasi pertama hingga saat ini, tradisi yang paling menonjol masyarakat Adat Ciptagelar adalah nilai-nilai budaya menanam dan menyimpan padi. Tradisi ini te­lah diturunkan ke generasi-generasi berikutnya. Mulai dari me­mi­lah benih, penanaman, panen sampai menyimpan padi, semuanya dilakukan secara tradisional.

Setahun sekali, mereka menanam padi secara serentak dengan memperhatikan gejala astronomi. Karena masih terikat pada tradisi, petani tidak menggunakan pupuk kimia, pestisida, traktor, dan mesin giling.

Semua hasil panen tidak boleh dijual, melainkan hanya dikonsumsi sendiri. Ini membuat Kasepuhan Ciptagelar mampu berswasembada pangan hingga beberapa tahun ke depan. Pasokan yang ada saat ini bisa untuk lima sampai enam tahun mendatang. Masyarakat menanam padi itu cukup setahun sekali saja, terus hasilnya disimpan di lumbung padi untuk bekal kehidupan sehari-hari.

Bi­bitnya berbeda dari yang umum beredar di Indonseia, diperlakukan secara alami dan tradisional tanpa bahan kimia buatan. Gabah disimpan di lumbung dan ada yang bisa bertahan 20-50 tahun.

Konon kuncinya ada pada bibit. Padi pada umumnya itu 2-3 bulan sudah bisa panen, kalau di sini yang ditanam itu masih menunggu sampai tujuh bulan baru bisa dipanen.

Perkembangan peradaban mendorong bergesernya fungsi kebutuhan primer. Bahan makanan menjadi komoditas dan rumah menjadi instrumen investasi. Di tengah laju modernitas, sejumlah daerah di Jawa Barat masih mempertahankan pola kehidupan tradisional. Masyarakat adat ini teguh memegang warisan leluhur untuk senantiasa hidup selaras dengan alam.

Masing-masing kampung adat  di Jawa Barat memiliki nilai yang berbeda satu sama lain. Ada yang tinggal secara permanen dan ada yang berpindah-pindah tempat. Ada yang sama sekali menolak alat elektronik, tetapi ada pula yang terbuka terhadap kemajuan teknologi.

Warga Kampung Adat Ciptagelar termasuk yang terbuka pada kemajuan teknologi. Mereka tidak menolak adanya modernisasi Buktinya di sana terdapat aliran listrik yang bersumber dari PLTA yang dibangun secara swadaya.

Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar sudah memiliki pasokan listrik sendiri yang bersumber dari pembangkit listrik mikrohidro yang terbarukan dan ramah ling­kung­an.

Selain itu juga didirikan stasiun televisi dan radio yang dikelola oleh masyarakat sekitar. Karena sudah ada listrik, wisatawan yang berkunkung atau menginap di sini tak perlu ragu untuk berfoto atau mengecas ponsel. Ada juga sinyal internet yang disediakan salah satu provider. Bahkan ada fasilitas WiFi berbayar.

Jika berminat merasakan tinggal di tengah hamparan sawah dan sungai yang jernih, wisatawan bisa menginap di permukiman warga. Empunya rumah tidak mematok tarif dan menyerahkannya pada tamu yang menginap.

Kampung Ciptagelar meskipun masih menjunjung tinggi adat, namun tidak menutup pada kemajuan teknologi seperti listrik dan komunikasi.
Masyarakat Ciptagelar kaum prianya umumnya masih menggunakan iket kepala. Foto: dok. shutterstock

Suasana asri dan sejuk sudah pasti bisa dirasakan oleh para wisatawan. Sehari-hari, kaum pria memakai pangsi de­ngan kepala terbungkus iket. Sementara kaum wanita mengenakan kebaya.

Tertarik? Ayo agendakan sekali-kali liburan Anda ke kampung-kampung adat. 

agendaIndonesia

*****

Perempuan Sasak Dan Syarat 3 Kain Tenun

Perempuan Sasak menginang di Teras Rumahnya

Perempuan Sasak punya keistimewaan sekaligus keterampilan wajib sebelum menikah. Mereka harus menenun tiga kain. Karena menenun melatih kesabaran dan ketelatenan.   

Perempuan Sasak dan 3 Kainnya

Pagi itu hanya ada Ina Dangker, atau ibunya Dangker, yang asyik dengan alat tenun gedogan di Desa Adat Ende di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Perempuan lain berkumpul di dapur, memasak bersama-sama. Karena hari itu kaum pria tengah bergotong-royong membuat bangunan, jadilah kaum hawa bertugas memasak. Siang tiba, mereka pun begibung atau makan bersama.

“Saya kebetulan memang kurang bisa,” begitu pengakuan perempuan yang pelan-pelan mengatur benang-benang warna-warni itu tentang kepiawaiannya bermain dengan berige. Namun Ina Dangker mengaku masih terus semangat menenun, atau menyesek dalam bahasa Sasak. Maklum, setiap perempuan suku Sasak memang wajib mahir menenun sebelum menikah. Paling tidak, sebelum menikah, mereka harus membuat tiga kain tenun sebagai syarat, yakni kain untuk dirinya, suami, dan mertua perempuannya.

Walhasil, tak ada perempuan Sasak yang tak bisa menyesek. Para penenun pun bisa ditemukan di sejumlah desa. Tak jauh dari Desa Adat Ende, ada Desa Adat Sade. Desa adat yang satu ini terkenal dengan kain tenun lebar pendek yang digandrungi para turis. Selendang khas Sade pun menjadi ciri khas sebagai oleh-oleh. Setelah menyusuri gang-gang kecil yang memisahkan rumah tradisional satu dengan yang lain di kampung ini, wisatawan pun melenggang pulang dengan selendang di leher.

Tak jauh dari Bandar Udara Internasional Lombok, ada lagi desa penenun yang namanya sudah dikenal. Desa Sukarara, dicapai hanya dalam 20 menit dari bandara yang berada di Kecamatan Praya, Lombok Tengah, tersebut. Siang itu perjalanan saya lanjutkan ke sana, dan kendaraan berhenti di sebuah halaman yang dipenuhi bus dan kendaraan lain. Pengunjung bertebaran di berbagai sudut. Patuha Cooperative, nama yang terpampang dalam papan nama di bagian depan. Dua orang perempuan suku Sasak yang terpaku dengan alat tenun tradisional, gedogan, berada di bagian depan gerai tenun khas Lombok tersebut.

Di tengah hiruk pikuk pengunjung, Amin, pemilik gerai tenun sasak itu masih menyempatkan diri menyambut saya dan kawan-kawan. Senyumnya  mengembang, bahkan langsung sepakat ketika saya dan kawan ingin mengintip para penenun yang ada di rumah-rumah. “Mari,” ucap pria berusia 45 tahu itu, sembari menunjukkan setapak yang sudah tertutup rapi oleh rangkaian paving block.

Sore itu jadilah saya berkeliling Dusun Belong Lauk, Desa Sukarara, Jonggat, Lombok Tengah. Kampung nan  teduh dan bersih. Menemui para perempuan di bale-bale memintal benang dan menatanya dengan alat tenun tradisional. Amin pun bertutur, di kampungnya sempat digelar aksi 1.000 penenun untuk memecahkan rekor MURI. Yang datang, ia sebut, hingga 2.000 orang. Saking banyaknya, jalan-jalan kecil itu pun dipenuhi para penenun. Saya bisa membayangkan keramaian yang terjadi.

Kembali ke gerai tenun sasak, saya mendekati Ibu Par, tampaknya tertua di antara tiga penenun di sana. Berusia 70 tahun, Par masih lincah mengatur benang membentuk sebuah motif. Nenek yang satu itu sudah asyik dengan perlengkapan menenun, seperti jajak, berire, batang jajak, dan pengiring sejak remaja, seperti umumnya perempuan Sasak.

Di depan bangunan sisi kanan, ada pula penenun muda. Dewi, 35 tahun, yang mengaku belajar menenun sejak usia 10 tahun. Pilihan yang tak bisa ditolak baginya karena harus bisa menenun dulu baru nikah. “Kalau tidak, ya, ditunda nikahnya,” ujarnya. Ia pun bertutur, menenun bagi kaum perempuan Sasak sebenarnya melatih kesabaran dan menjadikannya lebih telaten.

Memang ada juga kaum pria yang menenun. Meski ada juga yang berpendapat pria dilarang menenun. “Bala buat kaum laki-laki karena terlalu lama duduk kan bisa impoten,” kata Dewi sembari tersenyum. Maklum, aktivitas menenun bisa membuat seseorang duduk hingga tujuh jam tanpa banyak bergerak. Karena itu, ibu satu anak itu menyebut kaum Adam kebanyakan pergi ke sawah. “Kalaupun mereka menenun, biasanya kaum perempuan yang membuat motif, jadi yang pria hanya tinggal menenun. Karena membuat motif saja sampai dua hari,” ia menjelaskan.

Amin mengungkapkan, ada dua alat tenun yang biasa digunakan, yaitu alat tenun tradisional gedogan dan alat tenun bukan mesin (ATBM).  “Biasanya laki-laki yang pakai ATBM,” katanya. Dengan ATBM, posisi penenun duduk lebih nyaman karena duduk di bangku saat menjalin helai demi helai benang tenun. Berbeda dengan gedogan, di mana penenun duduk di bawah dan seperti terkungkung dengan bilah kayu di belakang dan di depannya.

“Menenun bukan pekerjaan sehari (selesai),” ucap Dewi. Perlu proses panjang. Awalnya menyusun motif yang biasanya perlu waktu dua hari. Semakin sulit motif bisa dilihat dari jumlah bambu yang digunakan. Semakin banyak, berarti tingkat kesulitannya semakin tinggi.

Paling tidak satu helai kain berukuran 2 meter x 60 sentimeter ia rampungkan dalam dua minggu hingga satu bulan, tergantung tingkat kesulitan. “Karena tidak tahu berapa lama (pembuatannya) dan sulit itu maka ada motif subahnale,” kata Amin.

Subahnale berasal dari rangkaian kata “subhanallah”, yang artinya Maha Suci Allah. Salah satu corak lawas berupa susunan geometris segi enam, biasanya di dalamnya diberi corak bunga.

Biasanya dijadikan corak untuk kain tenun songket berbenang emas. Kain ini dikenakan saat mengikuti acara-acara khusus, termasuk saat menjadi pengantin.

Amin menyebut, corak tenun Sasak terus berkembang, baik yang menggunakan benang katun maupun yang bercampur benang emas alias songket. “Motif lama masih banyak, cuma dengan modifikasi,” ujarnya. Beberapa motif lama, seperti subahnale, ragi genap, lepang, dan keker (burung), masih bermunculan.

Selain itu, menurut Amin, kain tenun Sasak banyak memunculkan corak tanaman dan bunga. Ia pun menunjukkan corak itu pada selembar kain songket, jenis motif suluran, dan kembang. Namun, ia menyatakan, sekarang yang tengah digandrungi adalah motif rangrang atau berarti jarang-jarang. Motif ini dulu ditaruh di pinggir, sekarang dimodifikasi dengan ditempatkan di tengah. Corak geometris segitiga dan belah ketupat dengan banyak warna dalam satu kain.

Soal harga, memang kain tenun Sasak tergolong tinggi, apalagi bila dibuat dengan gedogan. “Harga tenunan gedogan dua kali lipat tenunan ATBM,” ucap Amin. Yang paling tinggi, tentunya yang menggunakan benang emas. Untuk selembar kain songket dengan benang emas dijual mulai Rp 3,5 juta. Bila lengkap dengan selendang, bahkan ada yang mencapai Rp 7,5 juta. Harga yang sepadan untuk kesulitan yang tinggi dan proses yang panjang. l

EMPAT PERANGKAT TENUN

Jajak, dua bilah kayu panjang sebagai kaki-kaki alat tenun.

Berire, kayu panjang pipih dengan ujung lancip pembentuk motif tenun. Ujungnya yang lancip akan memudahkan penenun memasukkan setiap helai benang. 

Batang jajak, penahan serta penyambung alat tenun, yang melekat dengan punggung penenun. 

Pengiring, alat penggulung benang bahan.

MOTIF DAN TRADISI

Masa Hindu, corak pada kain tenun Sasak banyak memunculkan pucung rebung yang berbentuk deretan segitiga. Motif ini melambangkan Dewi Sri. Selain itu, ada motif berupa hewan.

Masa Islam, motif lebih banyak memunculkan tanaman, seperti suluran, pepohonan, dan kembang-kembang. Motif hewan yang muncul di masa Hindu diganti dengan kaligrafi Arab di masa ini.

Jenis benang yang digunakan, selain benang katun, benang emas atau perak, yang sudah tentu harganya menjadi lebih tinggi.

Erat dengan tradisi. Seperti kebanyakan masyarakat Nusantara, kain Sasak pun identik dengan tradisi. Seperti untuk baru lahir dibuatkan kain tenun umbag yang bercorak garis-garis dengan rumbai yang ujungnya diikatkan kepeng berlubang. Benda tersebut menjadi lambang kasih sayang. Kain-kain tertentu juga digunakan pada upacara peraq api atau puput pusar, berkuris—mencukur rambut bayi, besunat (khitanan), dan sorong serah aji krama—penyerahan kain tenun dari keluarga mempelai pria kepada mempelai wanita.

R. Nariswari/Frann/Dok. TL/unsplash

Taman Nasional Sembilang, 1 Singgah Burung

Burung Migrasi di Taman Nasional Sembilang

Taman Nasional Sembilang, ini taman nasional yang unik. Dia menjadi satu tempat persinggahan burung-burung yang bermigrasi dari Siberia menuju ke selatan di Australia. Dan sebaliknya.

Taman Nasional Sembilang

Berada di ujung pesisir barat Kabupaten Banyuasin, provinsi Sumatera Selatan, Taman Nasional  Sembilang ini terdiri atas hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan hutan riparian atau tepi sungai. Total luasnya mencapai 205,7 ribu hektare. Posisinya berhadapan langsung dengan pulau Bangka.

Pemandangan alamnya yang eksotis membuat tempat ini menarik kunjungan banyak wisatawan. Tapi di luar itu, flora dan fauna yang hidup di dalamnya membuat taman nasional menjadi tujuan utama mahasiswa atau ilmuwan, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk melakukan penelitian.

Sayangnya memang perjalanan menuju taman nasional ini belum cukup mudah. Akses utama menuju kawasan ini biasanya menggunakan kendaraan air. Hal ini disebabkan karakteristik dan lokasi Sembilang kebanyakan merupakan perairan. Sungai dan rawa-rawa.

daris ali mufti ROn1Dx3eSbk unsplash
Kawasan di Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: unsplash

Untuk sampai ke Taman Nasional ini memang tidak mudah. Butuh sedikit pengorbanan, baik dari sisi waktu maupun tenaga. Pertama-tama, tentu saja, adalah surat izin masuk kawasan taman nasional. Sebab, ini bukanlah kawasan wisata umumnya. Ada banyak hal yang dilindungi. Tapi jangan khawatir, urusan izin ini administrasi saja. Sepanjang jelas tujuan perjalanan, surat izin sangat mudah diperoleh.

Untuk mengunjungi Sembilang, pengunjung harus mendapatkan surat izin masuk. Wisatawan lokal bisa mendapatkannya dari Kantor Balai Taman Nasional di Jalan AMD, Talang Jambe, Kota Palembang, sedangkan pengunjung asing dapat memperolehnya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.

Masyarakat Palembang, juga pengunjung lainnya, biasanya untuk menuju ke taman nasional Sembilang berangkat dari ibukota Sumatera Selatan itu dengan menumpang speedboad. Dari Dermaga Benteng Kuto Besak menuju Sembilang akan memakan waktu perjalanan sekitar 4 jam.

Alternatif lain adalah menggunakan perjalan campuran: darat dan air. Jika memilih menggunakan cara ini, pengunjung bisa menggunakan kendaraan darat dari Palembang menuju Simpang PU atau Parit 5 yang letaknya ada di Jalan Raya Tanjung Api-Api. Perjalanan akan memakan waktu sekitar dua jam. Dari lokasi itu, perjalanan dilakukan dengan speedboad menuju Sembilang dengan menyusuri sungai Musi dan waktu tempuhnya sekitar dua jam.

aldino hartan putra vtvwsA82aJE unsplash
Hutan Mangrove di Sumatera. Foto: unsplash

Jangan khawatir dengan lamanya waktu perjalanan. Sebab selama perjalanan menuju Taman Nasional Sembilang, mata akan disuguhi pemandangan sungai, laut dan beragam jenis tumbuhan Sesekali, akan ditemui burung-burung yang melintas di atas kepala atau ikan yang melompat akibat terjangan perahu. Yang paling banyak tentu saja kawasan mangrove.

Taman Nasional Sembilang memang terkenal dengan kelestarian tanaman mangrovenya yang membuat kawasan ini tetap terasa alami. Konon, Sembilang adalah habitat mangrove terbesar untuk kawasan Indonesia Barat.

Di beberapa titik sungai, pengunjung akan melewati perkampungan penduduk yang dibangun di atas rawa. Dari atas rumah bertiang, mereka hidup kompak dengan menggantungkan hidupnya mencari nafkah di air. Mereka amat ramah setiap kali kedatangan tamu, jadi jangan sungkan untuk menyapa mereka. Salah satu kampung nelayan ini merupakan sentra industri terasi udang, yang produknya dipasarkan sampai ke luar daerah, bahkan menjadi pemasok utama di Pulau Bangka.

Lalu bagaimana untuk menginap? Saat ini yang tersedia adalah rumah-rumah penduduk di sekitar taman nasional itu. Ini haruslah dianggap sebagai bagian dari petulangan atau tamasya alam. Penduduk setempat sudah biasa didatangi dan menerima tamu untuk menginap. Tentu dengan biaya pengganti sepantasnya. Tahun lalu, pemerintah Kabupaten Banyuasin berencana akan membangun vila laut di kawasan ini. Namun, tampaknya rencana ini sedikit tertunda.

Tapi, soal penginapan jangan sampai menghalangi keinginan untuk menikmati kekayaan alam Indonesia. Yang pertama tentu hewan-hewan langka khas Sumatera. Taman nasional ini merupakan habitat binatang eksotis Sumatera yang mulai langka. Sebut saja harimau Sumatera, gajah Asia, tapir Asia, siamang, kucing emas, rusa Sambar, buaya muara, ikan sembilang, penyu air tawar raksasa, lumba-lumba air tawar, dan berbagai spesies burung.

jakub pabis GXtjXPCt0NM unsplash

Selain hewan langka, berbagai macam tanaman darat dan air tumbuh di sini, termasuk gajah paku (Acrostichum aureum.), nipah (Nypa fruticans.),
cemara laut (Casuarina equisetifolia.), pandan (Pandanus tectorius.), laut waru (Hibiscus tiliaceus.), nibung (Oncosperma tigillaria.), jelutung (Jelutung), menggeris (Koompassia excelsa), gelam tikus (Syzygium inophylla), Rhizophora sp., Sonneratia alba., dan Gimnorrhiza bruguiera. Termasuk Kandelia Candel, bunga nasional yang juga dibudidayakan di Sembilang ini.

Keindahan Taman Nasional Sembilang tak hanya terletak pada hutannya. Jika berkunjung ke sini, wisatawan juga bisa menyaksikan parade cantik kawanan burung migran. Taman nasional ini merupakan salah satu tempat singgah migrasi puluhan spesies burung dari Siberia di utara Asia ke Australia.

Fenomena ini biasanya berlangsung di akhir tahun, mulai Oktober hingga Desember. Formasi burung migran ini menarik pencinta fotografi untuk datang ke TN Sembilang untuk mengabadikanburung-burung jenis Anis Siberia (Zoothera Sibirica) terbang bergerombol memenuhi angkasa.

Biasanya, untuk menghindari predator, burung-burung yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu itu akan terbang membentuk formasi bergerombol. Sesekali, burung-burung itu melakukan atraksi yang menarik. Nikmati pula suara gemuruh kawanan burung tersebut saat terbang bersamaan hingga menutupi suara debur ombak Selat Bangka.

Tertarik mengagendakan Sembilang? Ayo agendakan Indonesia-mu.

N. Adhi-TL

Kampung Adat Pulo Dan Kisah 7 Bangunannya  

Kampung adat Pulo di Garut memiliki tradisi dan keunikan adat.

Kampung adat Pulo di Kabupaten Garut sekilas tak beda jauh dengan kampung-kampung lain. Bangunan di kampung yang tak terlalu besar, jika tidak dibilang kecil, terlihat cukup modern. Lantas apa yang membuat mereka istimewa secara adat?

Kampung Adat Pulo

Pulo adalah sebuah kampung adat yang booleh disebut sebagai penanda penyebaran agama Islam di Garut. Kampung adat tersebut berada di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Letaknya berada di kompleks Candi Cangkuang, persis sebelum pintu masuk candi tersebut.


Desa ini baru diresmikan sebagai Desa Wisata Situ Cangkuang pada pertengahan 2021. Desa Cangkuang jaraknya sekitar 46 kilometer dari pusat kota Bandung atau sekitar 2 jam berkendara lewat darat.

Kampung adat Pulo cuma boleh memiliki tujuh bangunan. Enam rumah da satu mushola.
Rumah-rumah Kampung Adat Pulo dan pengunjung. Foto: Dok. Javalane

Nama cangkuang diambil dari nama pohon yang tumbuh di sekitar makam Embah Dalem Arif Muhammad, orang yang diangggap membangun desa ini. Cangkuang merupakan sejenis pohon pandan dan di desa ini juga terdapat danau dan candi bernama sama.

Ditetapkan sebagai desa wisata, karena memiliki daya tarik wisata, seperti candi hingga situ atau danau, potensi tersebut yang kita optimalisasikan sebagai upaya kebangkitan ekonomi nasional berbasis desa wisata. Salah satu daya tarik Desa Wisata Situ Cangkuang adalah mencoba naik rakit menyusuri Situ Cangkuang.

Tak perlu khawatir saat menikmatinya, sebab kondisi air danau seluas 15 hektare itu cenderung tenang dan memiliki pemandangan perbukitan di sekelilingnya. Setelah itu, pengunjung juga bisa berkeliling desa, menikmati pemandangan Gunung Batur, dan melihat keberadaan Candi Cangkuang dengan keunikannya.

Namun daya tarik utama Desa Cangkuang bukan saja keindahan alamnya, namun adaanya sebuah perkampungan adat yang ada di dalamnya. Kampung adat Pulo. Ada cerita rakyat yang begitu melekat mengenai kampung ini.

Ceritanya, mada masa lalu masyarakat kampung tersebut dulunya memeluk agama Hindu. Kemudian, ketika seorang pengikut Sultan Agung bernama Embah Dalem Arif Muhammad singgah di kampung tersebut setelah kekalahan pada penyerbuan pasukan Mataram terhadap Belanda di Batavia.

Ia lantas memilih tidak kembali ke Mataram lantaran malu juga takut kepada Sultan Agung. Ia pun mulai menyebarkan agama Islam di Kampung Pulo. Bersama kawan-kawannya, ia menetap di sana sampai meninggal dan dimakamkan di kampung tersebut.

Ia meninggalkan enam anak perempuan dan satu laki-laki. Hal ini dapat terlihat di Kampung Pulo ada enam buah rumah adat dan sebuah masjid atau mushola.

Kampung adat Pulo merupakan kampung yang mengambangkan agama Islam di Garut, Jawa Barat,
Masjid atau mushola adat Kampung Pulo. Foto: Dok. Javalane

Sejak abad ke-17 itu, kampung tersebut terdiri dari dari enam rumah dan satu mushola tersebut. Rumah-rumah tersebut diperuntukan bagi anak perempuannya. Sementara mushola untuk anak laki-laki satu-satunya.

Sampai sekarang bangunannya hanya ada tujuh, dan tidak boleh ditambah bangunan dan kepala keluarga. Itu simbol putra-putri Embah, memiliki tujuh anak. Saat ini Kampung Pulo ditempati oleh genereasi ke delapan, ke sembilan, dan ke sepuluh turunan Eyang Embah Dalem Arif Muhammad.


Pada 2018, total warganya terdiri dari 23 orang di antaranya 10 perempuan dan 13 laki-laki. Di Kampung Pulo tidak boleh menambah kepala keluarga. Karena itu jika ada anak dari salah satu kepala keluarga menikah. Paling lama dua minggu di sana, lalu pasangan pengantin baru itu harus keluar kampung.

Kalau ibu bapak sudah meninggal, anak yang menjadi pewaris bisa masuk lagi (ke Kampung Pulo) untuk mengisi kekosongan. Prinsipnya tetap aka nada tujuh kepala keluarga. Jadi yang tinggal di sana tidak boleh keluar meninggalkan kampung. Uniknya di Kampung Pulo, semua anak dalam keluarga bisa menerima waris. Bukan hanya anak laki-laki.

Meski zaman sudah semakin modern, ada beberapa aturan yang masih berlaku di Kampung adat Pulo. Antara lain dilarang berziarah pada hari Rabu, bentuk atap rumah harus memanjang, tidak boleh memukul gong besar, dan tidak boleh beternak hewan berkaki empat.

Soal tak boleh menabuh gong, ini rupanya berkaitan dengan kematian anak laki-laki satu-satunya Eyang Embah Dalem. Ceritanya, saat si anak disunat dan diadakan pesta besar. Acara itu dilengkapi arak-arak sisingaan yang diiringi gamelan menggunakan gong besar. Namun, saat itu ada angin badai yang membuat gong menimpa anak tersebut. Ini menyebabkan si anak laki-laki itu meninggal dunia.


Sementara itu soal hewan berkaki empat, aturannya masyarakat boleh memakan atau menyebelih hewan besar berkaki empat seperti kambing, kerbau, dan sapi. Namun mereka tidak diperkenankan untuk beternak. Pertimbangannya, karena masyarakat Kampung Pulo mencari nafkah dengan bertani dan berkebun, dikhawatirkan hewan-hewan tersebut merusak sawah juga kebun mereka dan makam yang tersebar di berbagai area kampung.

Meski semuanya memeluk Islam, pada pola hidup sehari-harinya penduduk Kampung Pulo masih melestarikan sejumlah tradisi Hindu. Misalnya, dengan memandikan benda pusaka, syukuran, serta ritual lainnya. 

Berkunjung ke kawasan ini akan memberikan beragam pengalaman sekaligus, dari wisata budaya, sejarah, hingga pesona magis Kampung Pulo yang seolah-olah terisolasi oleh Situ Cangkuang.

agendaIndonesia

*****

Gong Factory, 1 Peninggalan Zaman Kolonial

Gong Factory, pabrik gong di Bogor Jawa Barat

Gong Factory, siapa sangka pabrik gong di Bogor, Jawa Barat, ini berdiri sejak zaman kolonial. Gemanya telah terdengar hingga ke mancanegara. Tak hanya memproduksi gong untuk gamelan kesenian Sunda dan Jawa, tapi juga untuk alat musik Batak, Aceh, juga Minang.

Gong Factory Bogor

Lidah api itu menari-nari. Saling berkejaran menjilat ke udara lalu lenyap sekejap. Lantas muncul dengan cepat lidah api baru. Silih berganti tiada henti. Panas yang sangat menyergap seakan tak dihiraukan oleh seorang pekerja di sudut ruangan itu. Matanya mantap tertuju pada sebuah loyang yang sedang mencairkan logam tembaga dan timah. Seorang pekerja lainnya, yang posisinya agak jauh, bertugas menjaga api agar tetap membara. Campuran kedua bahan logam ini nantinya akan dibentuk menjadi lempengan yang siap ditempa menjadi gong.

Kegiatan serupa juga ditemui di tengah ruangan pabrik Gong Factory, Bogor, Jawa Barat. Namun pekerjanya lebih banyak. Setidaknya ada sekitar lima orang. Mereka inilah yang menempa lempengan logam campuran tadi menjadi sebuah gong. Seorang pekerja bertugas menjaga bara api dengan alat pengembus angin (blower). Sementara itu, satu orang pekerja lagi, bertugas meletakkan lempengan logam campuran tadi di tengah bara dengan menggunakan potongan kayu panjang.

Sedangkan sisanya, tiga pekerja, sudah bersiap dengan palu kayu di tangan masing-masing. Setelah lempengan logam yang masih merah menyala diletakkan di tanah, mereka dengan sigap memukulnya bergantian. Hantaman palu berkali-kali itu tidak langsung membentuk gong. Lempengan tadi masih harus dibakar lagi dan ditempa lagi. Begitu seterusnya.

Bara masih menyala. Sambil menunggu lempengan logam dibakar, seorang pekerja berujar kepada saya. ”Palu ini beratnya sekitar 8 kilogram,” katanya. Wow! Terbayang dalam benak saya betapa sulitnya membuat sebuah gong. Mereka harus menghantamkan palu seberat itu berulang kali. Tak mengherankan jika peluh sudah membasahi tubuh mereka di siang itu.

Sekitar tiga jam lamanya, lempengan logam tadi sudah berubah bentuk menjadi gong walaupun warnanya masih menghitam akibat proses pembakaran tadi. Namun proses itu belum terhenti di sana. ”Kita harus mencari nada,” jelas Hidayatullah, seorang pekerja yang diminta menjadi juru bicara dadakan oleh rekan pekerja siang itu.

Dibantu rekan-rekannya, Dayat–begitu ia akrab disapa–kembali menghantam gong dengan palu yang agak ringan. Ya, lebih ringan hantamannya kali ini. Gong tersebut kemudian diangkat dan diketuk sehingga mengeluarkan bunyi. ”Sedikit lagi,” katanya. Proses pencarian nada ini pun berlangsung berulang kali. ”Ini baru dapat nadanya,” ujarnya sembari tersenyum.

Proses pengerjaan gong berdiameter 40 cm dengan berat 4 kg itu, kata Dayat, membutuhkan waktu sekitar sehari. Sebab, setelah ketemu nadanya, gong masih harus dipoles agar muncul warna keemasan. Dalam sehari, Dayat dan rekan-rekan mampu mengerjakan sekitar 2 buah gong berukuran 40 cm. Lain halnya jika harus membuat gong berukuran lebih besar lagi. Tentu butuh waktu yang lebih lama.

Menurut Dayat, Gong Factory biasa membuat pesanan pembuatan gong dengan berbagai diameter, yaitu mulai 25 hingga 60 cm. ”Dari Nong (gong terkecil), Bonang, Saron, Jengglong, sampai gong besar,” paparnya.

Mengenai harga, sebuah gong ditentukan oleh beratnya. Sebagai contoh, gong kecil dengan berat sekitar 3 kg dikenai Rp 900 ribu, ukuran 7 kg seharga Rp 2 juta. Gong berukuran besar dengan berat 10 kg dijual dengan harga Rp 3 juta, sedangkan yang berukuran 20 kg dijual seharga Rp 6 juta.

Pabrik gong yang berada di pinggir jalan raya ini tidak hanya membuat gong Sunda dan Jawa, tapi juga gong Batak, Aceh, dan Minang. Pembelinya tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke. Bahkan, pesanan dari mancaranegara juga dilayani, seperti dari Malaysia, Singapura, Brunei, Austalia, Belanda, dan Amerika.

Tak hanya melayani pembuatan gong, lanjut Dayat, pabrik ini juga sering dikunjungi wisatawan asing yang ingin melihat proses pembuatan gong dan kemudian membelinya untuk oleh-oleh pulang ke negaranya. Turis-turis yang datang beragam, dari berbagai belahan benua, seperti Asia, Eropa, dan Amerika. “Namun yang paling banyak adalah yang berasal dari Amerika Serikat.”

Mungkin, kata Dayat, karena pabrik gong ini sudah lama berdiri. Pabrik gong turun-menurun yang masih tradisional itu kini dikelola oleh generasi ke-6. Pemiliknya bernama Haji Sukarna yang kini berusia lebih dari 80 tahun. Dayat juga meyakini jika pabrik gong tempatnya bekerja merupakan satu-satunya pabrik yang ada di Jawa Barat. Sebagian masyarakat Bogor mengenalnya sebagai Gonghom.

Pabrik gong yang buka setiap hari mulai pukul 8.00 -15.00, kecuali Jumat, ini pun tak pernah berpindah lokasi sejak pertama kali di zaman kolonial. Bangunan pabriknya kini memang sudah menua dan sederhana. Namun hasil karya gong dari Pancasan ini sudah menggema hingga ke mancanegara.

Andry Triyanto-Dok. TL