Kampung Ciptagelar, Adat Di 1050 Meter

Kampung Ciptagelar masyarakat berpindah yang tetap meninggikan adat pertanian.

Kampung Cipagelar selalu dingin pada dini hari. Saat pagi menjelang, suhu di Kampung Ciptagelar tak beranjak dari 20 derajat celsius. Pasalnya, kampung ini berada pada ketinggian 1.050 meter di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ia dikelilingi banyak gunung lain, seperti Gunung Kendeng, Karancang, dan Surandil.

Kampung Ciptagelar

Kampung Ciptagelar kerap juga disebut Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar, karena mengusung model kepemimpinan adat dari orang tua atau sesepuh. Kasepuhan ini telah beberapa kali memindahkan pusat pemerintahan desa yang disebut Kampung Gede.

Masya­ra­kat adat Kampung Ciptagelar tersebar di Sukabumi, Bogor, dan Banten. Jumlahnya kurang lebih 30 ribu jiwa. Kasepuhan Ciptagelar memiliki se­kira 568 kampung adat yang tersebar di tiga wilayah tersebut.

Sementara itu Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar berada di kaki Gunung Halimun-Sa­lak dan masuk ke wilayah administrasi Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat..

Dari pusat kota Pelabuhanratu, lokasi itu bisa dijangkau dalam waktu sekira dua jam. Setidaknya Kasepuhan Ciptagelar masih berada di lokasi itu sebelum turun wangsit guna menjadikan Kampung Gede sebagai pu­sat kasepuhan dan kembali pindah ke tempat baru untuk bermu­kim.

Generasi pertama kampung ini muncul pada tahun 1368 berasal dari Cipatat, Bogor. Sejak saat itu, ketua adat berganti secara turun-temurun dan kampung adat terus berpindah tempat. Dari Cipatat Bogor beralih ke Lebak Larang, Lebak Binong, Tegal Lumbu, Pasir Jinjing, Bojong Cisono, hingga Sirna Rasa.

Terakhir, pada pertengahan 2001, dari di Kampung Ciptarasa di Desa Sirna Rasa, berpindah ke Desa Sirna Resmi yang berjarak sekira 12 kilometer.

Penduduknya memang masih menjalankan tradisi berpindah tempat berdasarkan perintah leluhur (wangsit). Saat ini, Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

Kampung Ciptagelar karena sering berpindah memiliki rumah yang semi permanen. Terbuat dari kayu dan anyaman bambu.
Rumah warga Kampung Gede Ciptagelar di Sukabumi. Foto: DOk. shutterstock

Karena itulah rumah warga berupa bangunan tidak permanen. Rangkanya terbuat dari kayu dengan anyaman bambu dan beratapkan pelepah aren yang dikeringkan. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani. Sementara sisanya berdagang, beternak, menjadi buruh, dan pegawai.

Suasana khas Sunda kental terasa begitu memasuki Kampung Ciptagelar. Di sana berjajar puluh­an rumah panggung berdinding kayu dan beratapkan rumbia atau kirai.

Bangunan kecil bernama leuit atau tempat menyimpan padi dibangun saling berdampingan. Di sekeliling kawasan kampung adat adalah gunung, hutan, kebun dan sawah berundak.

Dari gene­rasi pertama hingga saat ini, tradisi yang paling menonjol masyarakat Adat Ciptagelar adalah nilai-nilai budaya menanam dan menyimpan padi. Tradisi ini te­lah diturunkan ke generasi-generasi berikutnya. Mulai dari me­mi­lah benih, penanaman, panen sampai menyimpan padi, semuanya dilakukan secara tradisional.

Setahun sekali, mereka menanam padi secara serentak dengan memperhatikan gejala astronomi. Karena masih terikat pada tradisi, petani tidak menggunakan pupuk kimia, pestisida, traktor, dan mesin giling.

Semua hasil panen tidak boleh dijual, melainkan hanya dikonsumsi sendiri. Ini membuat Kasepuhan Ciptagelar mampu berswasembada pangan hingga beberapa tahun ke depan. Pasokan yang ada saat ini bisa untuk lima sampai enam tahun mendatang. Masyarakat menanam padi itu cukup setahun sekali saja, terus hasilnya disimpan di lumbung padi untuk bekal kehidupan sehari-hari.

Bi­bitnya berbeda dari yang umum beredar di Indonseia, diperlakukan secara alami dan tradisional tanpa bahan kimia buatan. Gabah disimpan di lumbung dan ada yang bisa bertahan 20-50 tahun.

Konon kuncinya ada pada bibit. Padi pada umumnya itu 2-3 bulan sudah bisa panen, kalau di sini yang ditanam itu masih menunggu sampai tujuh bulan baru bisa dipanen.

Perkembangan peradaban mendorong bergesernya fungsi kebutuhan primer. Bahan makanan menjadi komoditas dan rumah menjadi instrumen investasi. Di tengah laju modernitas, sejumlah daerah di Jawa Barat masih mempertahankan pola kehidupan tradisional. Masyarakat adat ini teguh memegang warisan leluhur untuk senantiasa hidup selaras dengan alam.

Masing-masing kampung adat  di Jawa Barat memiliki nilai yang berbeda satu sama lain. Ada yang tinggal secara permanen dan ada yang berpindah-pindah tempat. Ada yang sama sekali menolak alat elektronik, tetapi ada pula yang terbuka terhadap kemajuan teknologi.

Warga Kampung Adat Ciptagelar termasuk yang terbuka pada kemajuan teknologi. Mereka tidak menolak adanya modernisasi Buktinya di sana terdapat aliran listrik yang bersumber dari PLTA yang dibangun secara swadaya.

Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar sudah memiliki pasokan listrik sendiri yang bersumber dari pembangkit listrik mikrohidro yang terbarukan dan ramah ling­kung­an.

Selain itu juga didirikan stasiun televisi dan radio yang dikelola oleh masyarakat sekitar. Karena sudah ada listrik, wisatawan yang berkunkung atau menginap di sini tak perlu ragu untuk berfoto atau mengecas ponsel. Ada juga sinyal internet yang disediakan salah satu provider. Bahkan ada fasilitas WiFi berbayar.

Jika berminat merasakan tinggal di tengah hamparan sawah dan sungai yang jernih, wisatawan bisa menginap di permukiman warga. Empunya rumah tidak mematok tarif dan menyerahkannya pada tamu yang menginap.

Kampung Ciptagelar meskipun masih menjunjung tinggi adat, namun tidak menutup pada kemajuan teknologi seperti listrik dan komunikasi.
Masyarakat Ciptagelar kaum prianya umumnya masih menggunakan iket kepala. Foto: dok. shutterstock

Suasana asri dan sejuk sudah pasti bisa dirasakan oleh para wisatawan. Sehari-hari, kaum pria memakai pangsi de­ngan kepala terbungkus iket. Sementara kaum wanita mengenakan kebaya.

Tertarik? Ayo agendakan sekali-kali liburan Anda ke kampung-kampung adat. 

agendaIndonesia

*****

Taman Nasional Sembilang, 1 Singgah Burung

Burung Migrasi di Taman Nasional Sembilang

Taman Nasional Sembilang, ini taman nasional yang unik. Dia menjadi satu tempat persinggahan burung-burung yang bermigrasi dari Siberia menuju ke selatan di Australia. Dan sebaliknya.

Taman Nasional Sembilang

Berada di ujung pesisir barat Kabupaten Banyuasin, provinsi Sumatera Selatan, Taman Nasional  Sembilang ini terdiri atas hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan hutan riparian atau tepi sungai. Total luasnya mencapai 205,7 ribu hektare. Posisinya berhadapan langsung dengan pulau Bangka.

Pemandangan alamnya yang eksotis membuat tempat ini menarik kunjungan banyak wisatawan. Tapi di luar itu, flora dan fauna yang hidup di dalamnya membuat taman nasional menjadi tujuan utama mahasiswa atau ilmuwan, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk melakukan penelitian.

Sayangnya memang perjalanan menuju taman nasional ini belum cukup mudah. Akses utama menuju kawasan ini biasanya menggunakan kendaraan air. Hal ini disebabkan karakteristik dan lokasi Sembilang kebanyakan merupakan perairan. Sungai dan rawa-rawa.

daris ali mufti ROn1Dx3eSbk unsplash
Kawasan di Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: unsplash

Untuk sampai ke Taman Nasional ini memang tidak mudah. Butuh sedikit pengorbanan, baik dari sisi waktu maupun tenaga. Pertama-tama, tentu saja, adalah surat izin masuk kawasan taman nasional. Sebab, ini bukanlah kawasan wisata umumnya. Ada banyak hal yang dilindungi. Tapi jangan khawatir, urusan izin ini administrasi saja. Sepanjang jelas tujuan perjalanan, surat izin sangat mudah diperoleh.

Untuk mengunjungi Sembilang, pengunjung harus mendapatkan surat izin masuk. Wisatawan lokal bisa mendapatkannya dari Kantor Balai Taman Nasional di Jalan AMD, Talang Jambe, Kota Palembang, sedangkan pengunjung asing dapat memperolehnya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.

Masyarakat Palembang, juga pengunjung lainnya, biasanya untuk menuju ke taman nasional Sembilang berangkat dari ibukota Sumatera Selatan itu dengan menumpang speedboad. Dari Dermaga Benteng Kuto Besak menuju Sembilang akan memakan waktu perjalanan sekitar 4 jam.

Alternatif lain adalah menggunakan perjalan campuran: darat dan air. Jika memilih menggunakan cara ini, pengunjung bisa menggunakan kendaraan darat dari Palembang menuju Simpang PU atau Parit 5 yang letaknya ada di Jalan Raya Tanjung Api-Api. Perjalanan akan memakan waktu sekitar dua jam. Dari lokasi itu, perjalanan dilakukan dengan speedboad menuju Sembilang dengan menyusuri sungai Musi dan waktu tempuhnya sekitar dua jam.

aldino hartan putra vtvwsA82aJE unsplash
Hutan Mangrove di Sumatera. Foto: unsplash

Jangan khawatir dengan lamanya waktu perjalanan. Sebab selama perjalanan menuju Taman Nasional Sembilang, mata akan disuguhi pemandangan sungai, laut dan beragam jenis tumbuhan Sesekali, akan ditemui burung-burung yang melintas di atas kepala atau ikan yang melompat akibat terjangan perahu. Yang paling banyak tentu saja kawasan mangrove.

Taman Nasional Sembilang memang terkenal dengan kelestarian tanaman mangrovenya yang membuat kawasan ini tetap terasa alami. Konon, Sembilang adalah habitat mangrove terbesar untuk kawasan Indonesia Barat.

Di beberapa titik sungai, pengunjung akan melewati perkampungan penduduk yang dibangun di atas rawa. Dari atas rumah bertiang, mereka hidup kompak dengan menggantungkan hidupnya mencari nafkah di air. Mereka amat ramah setiap kali kedatangan tamu, jadi jangan sungkan untuk menyapa mereka. Salah satu kampung nelayan ini merupakan sentra industri terasi udang, yang produknya dipasarkan sampai ke luar daerah, bahkan menjadi pemasok utama di Pulau Bangka.

Lalu bagaimana untuk menginap? Saat ini yang tersedia adalah rumah-rumah penduduk di sekitar taman nasional itu. Ini haruslah dianggap sebagai bagian dari petulangan atau tamasya alam. Penduduk setempat sudah biasa didatangi dan menerima tamu untuk menginap. Tentu dengan biaya pengganti sepantasnya. Tahun lalu, pemerintah Kabupaten Banyuasin berencana akan membangun vila laut di kawasan ini. Namun, tampaknya rencana ini sedikit tertunda.

Tapi, soal penginapan jangan sampai menghalangi keinginan untuk menikmati kekayaan alam Indonesia. Yang pertama tentu hewan-hewan langka khas Sumatera. Taman nasional ini merupakan habitat binatang eksotis Sumatera yang mulai langka. Sebut saja harimau Sumatera, gajah Asia, tapir Asia, siamang, kucing emas, rusa Sambar, buaya muara, ikan sembilang, penyu air tawar raksasa, lumba-lumba air tawar, dan berbagai spesies burung.

jakub pabis GXtjXPCt0NM unsplash

Selain hewan langka, berbagai macam tanaman darat dan air tumbuh di sini, termasuk gajah paku (Acrostichum aureum.), nipah (Nypa fruticans.),
cemara laut (Casuarina equisetifolia.), pandan (Pandanus tectorius.), laut waru (Hibiscus tiliaceus.), nibung (Oncosperma tigillaria.), jelutung (Jelutung), menggeris (Koompassia excelsa), gelam tikus (Syzygium inophylla), Rhizophora sp., Sonneratia alba., dan Gimnorrhiza bruguiera. Termasuk Kandelia Candel, bunga nasional yang juga dibudidayakan di Sembilang ini.

Keindahan Taman Nasional Sembilang tak hanya terletak pada hutannya. Jika berkunjung ke sini, wisatawan juga bisa menyaksikan parade cantik kawanan burung migran. Taman nasional ini merupakan salah satu tempat singgah migrasi puluhan spesies burung dari Siberia di utara Asia ke Australia.

Fenomena ini biasanya berlangsung di akhir tahun, mulai Oktober hingga Desember. Formasi burung migran ini menarik pencinta fotografi untuk datang ke TN Sembilang untuk mengabadikanburung-burung jenis Anis Siberia (Zoothera Sibirica) terbang bergerombol memenuhi angkasa.

Biasanya, untuk menghindari predator, burung-burung yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu itu akan terbang membentuk formasi bergerombol. Sesekali, burung-burung itu melakukan atraksi yang menarik. Nikmati pula suara gemuruh kawanan burung tersebut saat terbang bersamaan hingga menutupi suara debur ombak Selat Bangka.

Tertarik mengagendakan Sembilang? Ayo agendakan Indonesia-mu.

N. Adhi-TL

Kampung Adat Pulo Dan Kisah 7 Bangunannya  

Kampung adat Pulo di Garut memiliki tradisi dan keunikan adat.

Kampung adat Pulo di Kabupaten Garut sekilas tak beda jauh dengan kampung-kampung lain. Bangunan di kampung yang tak terlalu besar, jika tidak dibilang kecil, terlihat cukup modern. Lantas apa yang membuat mereka istimewa secara adat?

Kampung Adat Pulo

Pulo adalah sebuah kampung adat yang booleh disebut sebagai penanda penyebaran agama Islam di Garut. Kampung adat tersebut berada di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Letaknya berada di kompleks Candi Cangkuang, persis sebelum pintu masuk candi tersebut.


Desa ini baru diresmikan sebagai Desa Wisata Situ Cangkuang pada pertengahan 2021. Desa Cangkuang jaraknya sekitar 46 kilometer dari pusat kota Bandung atau sekitar 2 jam berkendara lewat darat.

Kampung adat Pulo cuma boleh memiliki tujuh bangunan. Enam rumah da satu mushola.
Rumah-rumah Kampung Adat Pulo dan pengunjung. Foto: Dok. Javalane

Nama cangkuang diambil dari nama pohon yang tumbuh di sekitar makam Embah Dalem Arif Muhammad, orang yang diangggap membangun desa ini. Cangkuang merupakan sejenis pohon pandan dan di desa ini juga terdapat danau dan candi bernama sama.

Ditetapkan sebagai desa wisata, karena memiliki daya tarik wisata, seperti candi hingga situ atau danau, potensi tersebut yang kita optimalisasikan sebagai upaya kebangkitan ekonomi nasional berbasis desa wisata. Salah satu daya tarik Desa Wisata Situ Cangkuang adalah mencoba naik rakit menyusuri Situ Cangkuang.

Tak perlu khawatir saat menikmatinya, sebab kondisi air danau seluas 15 hektare itu cenderung tenang dan memiliki pemandangan perbukitan di sekelilingnya. Setelah itu, pengunjung juga bisa berkeliling desa, menikmati pemandangan Gunung Batur, dan melihat keberadaan Candi Cangkuang dengan keunikannya.

Namun daya tarik utama Desa Cangkuang bukan saja keindahan alamnya, namun adaanya sebuah perkampungan adat yang ada di dalamnya. Kampung adat Pulo. Ada cerita rakyat yang begitu melekat mengenai kampung ini.

Ceritanya, mada masa lalu masyarakat kampung tersebut dulunya memeluk agama Hindu. Kemudian, ketika seorang pengikut Sultan Agung bernama Embah Dalem Arif Muhammad singgah di kampung tersebut setelah kekalahan pada penyerbuan pasukan Mataram terhadap Belanda di Batavia.

Ia lantas memilih tidak kembali ke Mataram lantaran malu juga takut kepada Sultan Agung. Ia pun mulai menyebarkan agama Islam di Kampung Pulo. Bersama kawan-kawannya, ia menetap di sana sampai meninggal dan dimakamkan di kampung tersebut.

Ia meninggalkan enam anak perempuan dan satu laki-laki. Hal ini dapat terlihat di Kampung Pulo ada enam buah rumah adat dan sebuah masjid atau mushola.

Kampung adat Pulo merupakan kampung yang mengambangkan agama Islam di Garut, Jawa Barat,
Masjid atau mushola adat Kampung Pulo. Foto: Dok. Javalane

Sejak abad ke-17 itu, kampung tersebut terdiri dari dari enam rumah dan satu mushola tersebut. Rumah-rumah tersebut diperuntukan bagi anak perempuannya. Sementara mushola untuk anak laki-laki satu-satunya.

Sampai sekarang bangunannya hanya ada tujuh, dan tidak boleh ditambah bangunan dan kepala keluarga. Itu simbol putra-putri Embah, memiliki tujuh anak. Saat ini Kampung Pulo ditempati oleh genereasi ke delapan, ke sembilan, dan ke sepuluh turunan Eyang Embah Dalem Arif Muhammad.


Pada 2018, total warganya terdiri dari 23 orang di antaranya 10 perempuan dan 13 laki-laki. Di Kampung Pulo tidak boleh menambah kepala keluarga. Karena itu jika ada anak dari salah satu kepala keluarga menikah. Paling lama dua minggu di sana, lalu pasangan pengantin baru itu harus keluar kampung.

Kalau ibu bapak sudah meninggal, anak yang menjadi pewaris bisa masuk lagi (ke Kampung Pulo) untuk mengisi kekosongan. Prinsipnya tetap aka nada tujuh kepala keluarga. Jadi yang tinggal di sana tidak boleh keluar meninggalkan kampung. Uniknya di Kampung Pulo, semua anak dalam keluarga bisa menerima waris. Bukan hanya anak laki-laki.

Meski zaman sudah semakin modern, ada beberapa aturan yang masih berlaku di Kampung adat Pulo. Antara lain dilarang berziarah pada hari Rabu, bentuk atap rumah harus memanjang, tidak boleh memukul gong besar, dan tidak boleh beternak hewan berkaki empat.

Soal tak boleh menabuh gong, ini rupanya berkaitan dengan kematian anak laki-laki satu-satunya Eyang Embah Dalem. Ceritanya, saat si anak disunat dan diadakan pesta besar. Acara itu dilengkapi arak-arak sisingaan yang diiringi gamelan menggunakan gong besar. Namun, saat itu ada angin badai yang membuat gong menimpa anak tersebut. Ini menyebabkan si anak laki-laki itu meninggal dunia.


Sementara itu soal hewan berkaki empat, aturannya masyarakat boleh memakan atau menyebelih hewan besar berkaki empat seperti kambing, kerbau, dan sapi. Namun mereka tidak diperkenankan untuk beternak. Pertimbangannya, karena masyarakat Kampung Pulo mencari nafkah dengan bertani dan berkebun, dikhawatirkan hewan-hewan tersebut merusak sawah juga kebun mereka dan makam yang tersebar di berbagai area kampung.

Meski semuanya memeluk Islam, pada pola hidup sehari-harinya penduduk Kampung Pulo masih melestarikan sejumlah tradisi Hindu. Misalnya, dengan memandikan benda pusaka, syukuran, serta ritual lainnya. 

Berkunjung ke kawasan ini akan memberikan beragam pengalaman sekaligus, dari wisata budaya, sejarah, hingga pesona magis Kampung Pulo yang seolah-olah terisolasi oleh Situ Cangkuang.

agendaIndonesia

*****

Kampung Kuta Ciamis, Kampung 1000 Pantangan

Kampung Kuta Ciamis adalah salah satu kampung adat dengan segala kearifan lokalnya.

Kampung Kuta Ciamis memiliki keunikan dengan melawan banyak kemajuan zaman. Kampung adat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ini mungkin mirip dengan Kampun Adat Naga di Garut-Tasikmalaya. Sebuah kampung yang menikmati harmoni alam dan tradisi leluhur.

Kampung Kuta Ciamis

Kerap dijuluki sebagai kampung seribu pantangan, kampung Kuta Ciamis yang luasnya tak terlalu besar –sekitar 97 hekatre, memang memiliki banyak peraturan. Tujuannya, tentu tak lain untuk menjaga agar alam sekitar dan tradisi leluhur tetap lestari. Salah satunya adalah pantangan membangun rumah dari tembok dan genting.

Semuanya harus terbuat dari bambu atau kayu, dengan atap rumbia atau ijuk. Masyarakat kampung Kuta Ciamis meyakini, jika ada warga yang membangun rumah dari tembok, seluruh kampung akan mendapat musibah.

Kampung Kuta Ciamis menyimpan 1000 kearifan dalam 1000 pantangan yang dipegang teguh.
Rumah kampung Kuta Ciamis. Foto: Dok Stutterstock

Bukan hanya terhadap orang yang membangunnya saja, melainkan berdampak terhadap satu kampung. Percaya atau tidak, hal itu sudah dibuktikan dan dirasakan oleh warga kampung Kuta. Sehingga, jika ada warga yang memaksa membangun rumah dari tembok, secara bersama-sama warga kampung akan meminta untuk segera dirobohkan.


“Itu sudah menjadi amanah leluhur, tidak boleh membangun rumah dari tembok, tapi harus panggung,” kata Karman, salah seorang sesepuh kampung adat. Pria berusia 62 tahun itu juga menyebut bahwa bentuk rumah harus persegi panjang dan tidak boleh menyiku.


Rumah dari kayu dan bahan alamiah lain diyakini masyarakat setempat sebagai upaya menjaga keseimbangan alam. Rumah dari kayu, ijuk dan lain-lain juga dinilai mudah untuk dirobohkan jika harus pindah atau rumah tersebut rusak. “Rumah dari kayu juga lebih tahan gempa,” kata Karman.


Keberadaan kampung adat seperti kampung Kuta Ciamis ini tentu merupakan keunikan peradaban zaman. DI saat perkembangan peradaban mendorong bergesernya fungsi kebutuhan primer, ada yang mencoba bertahan dengan sendi-sendi peradaban masa lampau.

Di tengah laju modernitas, keberadaan sejumlah perkampungan di Jawa Barat yang masih mempertahankan pola kehidupan tradisional tentu saja sebuah pengecualian. Masyarakat adat ini teguh memegang warisan leluhur untuk senantiasa hidup selaras dengan alam.

Maka, selalu menarik untuk sekali-kali melambat sejenak dan rasakan ketenteraman hidup di tengah alam yang masih murni. Masyarakat adat akan dengan senang hati menyambut wisatawan yang ingin bersilaturahmi dan mengenal budaya setempat.

Kampung Kuta Ciamis menyimpan ribuan kearifan yang sekali-kali perlu dinikmati mereka yang biasa hidup di alam modern.
Suasana dapur rumah warga kampung Kuta Ciamis, serba tradisional. Foto: Dok. Javalane

Tentu pengunjung harus siap dengan semua kearifan lokal seperti Kampung Kuta ini. Selain rumah di atas, masyarakat Kuta juga punya sikap soal kamar mandi.

Warga Kuta dilarang membuat kamar mandi atau jamban di masing-masing rumah. Sebagai gantinya, mereka menggunakan kamar mandi umum yang biasanya menyatu dengan kolam ikan.

Bentuknya berupa bilik bambu setengah terbuka. Sementara airnya berasal dari mata air yang mengalir melalui pancuran. Rupanya, ketiadaan tangki septik diyakini dapat mencegah pertumbuhan bakteri dan nyamuk penular demam berdarah di sekitar rumah.

Kearifan lokal lainnya dari masyarakat Kuta adalah warga tidak boleh menguburkan jenazah di kawasan kampung. Pertimbangannya, agar air tanah di dalam Kawasan kampung tidak tercemar.

Tak berhenti di situ, masyarakat kampung ini juga tidak boleh membuat sumur bor. Pertimbangannya, tanah di Desa Karangpaninggal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, ini tergolong labil. Membuat sumur dengan cara mengebor dianggap bisa merusak struktur tanah.

Pantangan lain di kampung ini juga hadir di beberapa situs bersejarah bekas peninggalan Kerajaan Galuh. Ada hutan keramat Leuweung Gede, atau Gunung Barang yang diyakini sebagai tempat penyimpanan barang kerajaan, dan tempat pemandian Ciasihan.

Banyaknya tempat keramat di sekitar Kampung Kuta ada kaitannya dengan sejarahnya. Konon dalam cerita Sunda Buhun diceritakan tentang sebuah lokasi yang batal dijadikan sebagai ibu kota Kerajaan Galuh. Nama lokasinya adalah Kuta Pandak, atau disebut juga Kuta Jero.

Masayarakat Ciamis percaya, lahan tempat ibu kota yang tidak jadi tersebut adalah Kampung Adat Kuta tersebut. Penamaan Kampung Kuta sendiri merujuk kepada lokasinya yang terletak di sebuah lembah, yang dikelilingi oleh tebing, dan perbukitan. Kondisi tersebut layaknya membentuk sebuah pagar alami. Dan dalam istilah Sunda, makna kata Kuta berarti sebuah pagar.

Masing-masing kampung adat memiliki nilai yang berbeda satu sama lain. Ada yang sama sekali menolak alat elektronik, tetapi ada pula yang terbuka terhadap kemajuan teknologi. Ada yang tinggal secara permanen dan ada yang berpindah-pindah tempat. Meski demikian, kampung adat di Jawa Barat lekat dengan pola masyarakat agraris.

Sebagian besar menggantungkan mata pencaharian sebagai petani. Mereka menjaga kelestarian lingkungannya dengan menghindari produk-produk sintetis, seperti pupuk, plastik, obat, dan sabun dari bahan kimia. Dengan keunikan karakteristik ini, kampung adat justru menjadi magnet bagi orang-orang yang jenuh dengan aktivitas serbainstan dan udara kota yang polutif.

Di kampung Kuta ini, masyarakat sering mementaskan kesenian calung, reog, sandiwara, tagoni, jaipongan, kasidah, ronggeng, dan dangdut. Berwisata ke Kampung Kuta akan menambah pengalaman sekaligus mengasah kearifan pemikiran sesuai tradisi nenek moyang.

Bagi yang ingin berkujung ke Kampung Adat Kuta, jika pemberangkatan awal dari Alun-alun Kabupaten Ciamis, maka jarak tempuhnya sekitar 42 kilometer, dengan kisaran waktu tempuh sekitar 1 jam 30 menit.

agendaIndonesia

*****

Kampung Adat Naga Dan 112 Rumah Mereka

Kampung Adat Naga di Tasikmalaya, sebuah perkampungan yang masih sangat memegang tradisi leluhur.

Kampung adat Naga di Jawa Barat selalu menarik perhatian mereka yang menyintai budaya dan adat istiadat. Dan itu semua dimiliki kampung yang konon sudah ada sejak abad 16.

Kampung Adat Naga

Kampung Adat Naga ini terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Yang unik letak kampung ini yang berada di lembah. Tidak hanya itu, Kampung Naga ini masih mempertahankan kearifan lokal dan budaya yang mereka jaga sejak dahulu.
Untuk mencapai Kampung Adat Naga ini dari Garut memakan waktu sekitar 1 jam. Letak kampungnya di sebelah kiri jalan. Uniknya adalah tata letak rumah dan arsitektur yang khas, sesaat sebelum masuk kampung kita harus melapor terlebih dahulu. Dan jangan mencari plang atau gapura tanda masuk desanya. Karena hal itu tidak ada.

Kampung adat Naga di Tasikmalaya menyimpan banyak menyimpan kearifan lokal. Misalnya soal jumlah rumah yang tak boleh berubah agar terga kelestarian alamnya.
Ratusan anak tangga menuju Kampung Naga. Foto: Dok. shutterstock

Nama Naga sendiri selalu menjadi pertanyaan mereka yang pertama kali mengunjungi kampung adat ini. Dan pada kenyataannya hamper tak ada dokumen otentik yang bisa menerangkan hal tersebut. Tentu ada kisah atau cerita legenda yang mencoba menjelaskannya.Dan semuanya menarik hingga kampung ini, sebelum pandemi, rata-rata dikunjungi 300 wisatawan setiap bulannya.

Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah “Pareum Obor”. Pareum jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Maka bila diterjemahkan secara singkat artinya matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah Kampung Naga itu sendiri. Mereka tidak mengetahui asal-usul kampungnya.

Naga sendiri kita tahu berasal dari hewan mitologi Tiongkok, namun nama kampung ini bukan melambangkan hewan mitos tersebut. Nama ini berasal dari bahasa Sunda nagawir, yang berarti dikelilingi tebing atau jurang (gawir).

Nama itu kemungkinan diambil dari kepercayaan bahwa leluhur masyarakat Kampung Naga berasal dari Kerajaan Galunggung, bernama Sembah Dalem Eyang atau Eyang Singaparna yang merupakan anak dari Prabu Rajadipuntang (Raja Galunggung ke-7).

 Ketika terjadi pergolakan penurunan tahta, Prabu Rajadipuntang berhasil meloloskan diri dengan membawa sejumlah pusaka kerajaan. Ia kemudian menemukan sebuah muara di antara Sungai Cikole dan Sungai Cihanjatan. Prabu Rajadipuntang kemudian membagikan pusaka kerajaan ke masing-masing putranya.

Eyang Singaparna mendapatkan warisan ilmu kabodoan (kebodohan). Dengan ilmunya itu, ia mendapat ilham agar mendapat ketenangan hidup bila bersembunyi di sebuah tempat yang terang.

Dalam perjalannya mencari kesahajaan hidup tersebut, Singaparna sampai di tempat yang dianggap aman dan tenang, sebuah lembah di pinggi Sungai Ciwulan. Sebuah lembah yang subur dan indah dengan dikelilingi perbukitan itulah yang kemudian menjadi Kampung Naga.

Kisah tersebut hampir mirip dengan versi sejarah yang ceritanya bermula pada masa kewalian Sunan Gunung Jati. Kisahnya, ada seorang abdi Sunan Gunung Jati bernama Singaparana yang ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari.


Di tempat tersebut sang abdi bersemedi dan dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga

Ada yang mencoba mengaitkan dengan sebuah prasasti yang disebut Piagam Naga. Namun jejak prasasti ini hilang saat terjadi pemberontakan DI/TII Karto Suwiryo pada 1957.
Apa pun versi ceritanya, yang pasti masyarakat Desa Neglasari, Kabupaten Tasikmalaya tersebut masih memegang erat adat istiadat dari leluhurnya. Mereka hidup dalam kesahajaan, tanpa alat elektronik dan kendaraan.

Perbedaan tersebut sangat terlihat jelas, jika dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung Adat Naga. Kehidupan masyarakat lokal kampung tersebut terlihat dalam suasana kesahajaan dan lingkungan kearifan lokal yang masih tradisional dalam kehidupan yang masih sangat melekat sehari-hari.

Hal lain yang terlihat soal kebersahajaan masyarakat kampung tersebut adalah dari rumah-rumah pemukiman penduduk. Bila diperhatikan, rumah penduduk di Kampung Naga ini seperti tanaman berjamur yang berjajar rapih. Inilah yang menjadi salah satu daya tarik dan keunikan dari letak tatanan rumah di kawasan kampung tersebut.

Seluruh bangunan di kampung ini pun sama persis, yakni rumah panggung yang terbuat dari kayu. Atapnya berupa daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu.

Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).

Rumah harus menghadap ke utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah barat-timur. Di sini rumah memiliki dua pintu yang sejajar. Bukan pintu depan dan belakang. Masyarakat di sini meyakini adanya pintu belakang akan membuat rezeki yang masuk dari pintu depan bisa keluar lewat belakang.

Jumlah rumah di Kampung Naga juga tidak pernah berubah, yakni 112 unit. Jika ada penduduk yang ingin membangun rumah baru, harus berada di luar kampung. Mereka kemudian akan menyandang predikat warga adat luar.

Kampung Naga memang merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari, di sini masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut.
Penduduk Kampung Naga semuanya beragama Islam. Begitupun, sebagaimana masyarakat adat lainnya, mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya.

Kampung Adat Naga semua warganya memluk agama Islam, namun seraya tetap memegang teguh tradisi leluhur.
Bedug dan kentongan di masjid di Kampung Naga. Foto: Dok. shutterstock


Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.


Misalnya saja, kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus yang masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai, terutama bagian sungai yang dalam. Kemudian “ririwa” yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari.
Jika pengunjung ada yang ingin menginap, dapat membuat janji terlebih dulu dengan pemandu setempat. Namun pelancong hanya boleh menginap maksimal satu hari.

Jangan lupa pelajari aturan tinggal di sini. Salah satunya, tidak boleh memasuki kawasan hutan larangan, apalagi memetik buahnya. Ini bukan karena alasan mistis, melainkan agar alamnya tetap lestari. Bahkan penduduk yang membutuhkan kayu bakar pun hanya boleh mengambil ranting yang sudah jatuh di sungai atau tanah sekitar hutan.

Berkunjung ke sini belum lengkap jika tidak mencoba sajian kulinernya. Ada pipis, kue singkong yang diisi gula. Menyantap makanan ini lebih nikmat jika ditemani bajigur yang hangat dan manis. Selain kuliner, sempatkan pula membeli kerajinan tangan dari penduduk Kampung Naga.

Sudah punya agenda mengunjungi Kampung Adat Naga?

agendaIndonesia

*****

De Javasche Bank 1829, Cabang Jadi Museum

De Javasche Bank di Surabaya yang kini menjadi Museum Bank Indonesia.

De Javasche Bank hampir pasti tidak dikenal anak-anak milenial. Bahkan mereka yang berasal dari generasi X dan Y pun rasanya tak banyak yang tahu. Betul, ini memang nama bank di zaman kolonial Belanda.

De Javasche Bank

Pada zaman Hindia Belanda, ini adalah bank central yang memakai nama De Javasche Bank itu. Bank-nya sendiri kini, tentu, sudah tidak ada, tinggal gedungnya saja. Fungsi perbankan dan keuangannya sudah diambil alih pemerintah Indonesia dan menjadi Bank Indonesia.

De Javsche Bank di Surabaya menjadi saksi perjalanan perbankan dan keuangan di Indonesia.
Gedung De Javasche Bank yang kini menjadi gedung Bank Indonesia di Surabaya. Foto: tourism.surabaya.go.id

Gedungnya menjadi kantor Bank Indonesia di Surabaya, dan sebagian dialihfungsikan menjadi museum. Kini ia memang menjadi Museum Bank Indonesia, meski sejumlah orang Surabaya mungkin masih suka menyebutnya dengan nama lamanya, De Javasche Bank. Perjalanannya sama dengan kantor utamanya di Jakarta dulu, sama-sama menjadi Museum Bank Indonesia.

Gedung De Javasche Bank, atau sekarang Gedung Bank Indonesia Surabaya, mengusung konsep neo-Renaissance yang memiliki ciri khas unsur simetris.  Bangunan seluas 1.000 meter persegi ini sebenarnya adalah hasil pemugaran yang dilakukan pada 1910. Pemerintah Hindia Belanda memutuskan membangun gedung baru di tempat yang sama dengan alasan modernisasi. Bangunannya didesain lebih ramah terhadap iklim tropis di Indonesia.

Gedung ini difungsikan pertama kali pada 14 September 1829, sekitar setahun setelah De Javasche Bank berdiri di Jakarta. Gedung ini sendiri sudah tidak digunakan untuk kegiatan perbankan pada 70-an. Hingga pada 2012, kabar gembira pun datang bagi para penikmat sejarah bangunan tua. Bangunan eks De Javasche Bank resmi dibuka sebagai museum dan ruang pamer.

Buat siapa saja, bangunan-bangunan dari zaman kolonial selalu punya kesan megah. Termasuk untuk gedung-gedung di sekitar Surabaya Utara ini. Termasuk gedung yang kini menjadi Museum Bank Indonesia Surabaya ini. Sebuah gedung megah yang ikonik.

Sayangnya ia sering terlewat. Bagaimana tidak? Pintu utama bank yang berhias pilar-pilar raksasa sering tertutup oleh terminal bayangan angkutan kota. Praktis, masuk ke museum pun harus melalui bagian belakang yang tak jauh dari area parkir.

Jika berkunjung ke Surabaya, sempatkanlah berkunjung ke museum ini dan mempelajari sejarah perbankan dam keuangan Indonesia. DI sini pengunjung akan dibawa berkeliling oleh seorang pemandu.

Pengunjung bisa melihat deretan foto-foto hitam putih De Javasche Bank di masa lalu. Seperti disebut di muka bank yang didirikan pada 1828 di Batavia. Lalu, dibangun cabang di Surabaya setahun kemudian.

Gaya arsitektur neo-renaissance selain di luar juga terlihat di dalam. Bersiap-siaplah ternganga dengan kemegahan gedung berusia lebih dari seabad ini. Ada beberapa ruang utama yang bisa dicermati pengunjung, seperti ruang transaksi perbankan, ruang brankas, dan ruang mesin-mesin lawas berikut dengan koleksi mata uang zaman dahulu.

Selama berkeliling di museum, pengunjung akan diajak untuk merasakan menjadi nasabah bank zaman lampau. Contohnya, saat berada di ruang transaksi utama tempat kesibukan kegiatan perbankan dulu berpusat.

Ada bilik-bilik kayu berjeruji besi yang hanya muat satu orang dan terhubung langsung dengan loket teller. Di sinilah transaksi keuangan terjadi. Bilik ini pun bisa dikunci dari dalam. Gunanya untuk menjamin keamanan transaksi mengingat kemungkinan kejahatan bisa terjadi.

Mengunjungi ruang brankas juga menjadi pengalaman menarik. Terlebih di masa itu, nasabah harus membuka pintu berjeruji besi seperti di penjara. Jadi, setelah nasabah masuk, pintu jeruji digembok dari dalam. Lanjut masuk ke lorong bertembok putih.

Tidak ada apa-apa di sepanjang lorong sempit itu. Hingga tiba di ujung sebelum berbelok, Anda akan menemukan satu cermin. Begitu pula di ujung lorong berikutnya.

Ternyata, cermin-cermin ini dapat memantulkan bayangan nasabah yang sedang bertransaksi di ruang brankas. Tentu saja, nasabah lain tidak boleh masuk ruang brankas jika masih ada yang sedang transaksi di sana. Pantulan dari cermin pun bisa diketahui nasabah lain.

Desain keamanan lorong di ruang brankas ini sukses membuat pengunjung terpana. Pemikiran yang canggih pada saat kamera keamanan yang lebih praktis belum tercipta.

Di bekas ruang direktur bank, pemandu bercerita bahwa dulu terdapat tangga spiral yang khusus digunakan oleh pemimpin bank saja. Tangga ini menghubungkan area utama perbankan dengan ruangan pemimpin. Semacam pintu rahasia. Namun tangga spiral tersebut sekarang sudah tertutup oleh tembok.

Di akhir sesi, pemandu biasanya menyelipkan cerita-cerita unik dari masa ke masa yang akan membuat bulu kuduk berdiri. Aha…tentu ini tentang makhluk-makhluk tak kasat mata berkebangsaan Belanda yang sering muncul.

Percaya atau tidak? Tentu itu pilihan pengunjung. Yang jelas, mengunjungi Museum De Javasche Bank di akhir pekan bisa menjadi pilihan menarik sekaligus menambah wawasan sejarah.

agendaIndonesia

*****

Kampung Wae Rebo Dihuni Generasi ke 18

Kampung Wae Rebo di Manggarai Nusa Tenggara Timur merupakan kampung adat yang masih mempertahankan adat istiadatnya.

Kampung Wae Rebo di Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur terus menjadi tujuan eksotik untuk dikunjungi wisatawan. Ia masih merupakan kampung adat dengan segala tata kramanya yang luhur.

Kampung Wae Rebo


Dari balik bukit adalah sebuah kampung dengan tujuh rumah kerucut, sebuah kampung kecil yang dikelilingi lembah hijau itu. Dari ke tujuh rumah yang ada, biasanya yang disinggahi adalah niang gendang maro. Ini salah satu rumah adat utama dari tujuh niang, sebutan untuk rumah adat berbentuk kerucut, yang digunakan khusus untuk menjamu tamu dari luar.

Bangunan setinggi 14 meter itu lebih tinggi daripada enam rumah lain dan diyakini sebagai tempat leluhur pertama yang datang dari Minangkabau. Bila ada pengunjung atau ada tamu dari luar kampung Wae Rebo, akan diadakan wae lu’u—upacara untuk untuk memohon izin kepada para leluhur karena menerima tamu dari luar.

Kampung Wae Rebu merupakan kampung adat yang kini dihuni oleh generasi ke 18 dan sudah berdisi selama 100 tahun lebih.
Niang gendang maro merupakan rumah terbesar dari ke tujuh rumah yang ada di kampung Wae Rebo. Foto: ash hayes-unsplash

Di ujung atap Niang Gendang Maro ditancapkan ngando, yang disimbolkan kepala kerbau—hewan yang dianggap terbesar. Penanda tersebut sekaligus merupakan pengesahan rumah adat dan kekuatan budaya rumah tersebut.

Enam niang lain adalah niang gena mandok, niang gena jekong, niang gena ndorom, niang gendang maro, niang gena pirong, dan niang gena jintam. Jumlah rumah adat tak boleh lebih dari tujuh. Setiap rumah dihuni 6-8 keluarga. Jika anggota keluarga bertambah dan dirasa perlu membangun rumah baru, maka rumah baru itu harus dibangun di luar kampung adat.

Bentuk rumah di kampung adat itu sangat khas. Pada bagian bawah atau ruangan dalam berbentuk bulat dan bagian atas mengerucut. Atap yang digunakan berasal dari daun lontar, mirip rumah adat honai di Papua. Keseluruhan dindingnya ditutup ijuk. Bahan bangunan mbaru niang terbuat dari kayu worok dan bambu serta dibangun tanpa paku. Tali rotan digunakan untuk mengikat konstruksi bangunan.

Bagian dalam rumah adat yang berbentuk bulat mengandung filosofi kesatuan pola hidup manusia yang mengisyaratkan kehidupan yang bulat, tidak diwarnai konflik, tetapi ketulusan, kebulatan hati, dan keadilan. Itu sebabnya, musyawarah di rumah adat mengambil posisi duduk melingkar.

Di bagian tengah, ada tiang utama yang disebut bongkok. Wujudnya dua batang kayu yang disambung. Inilah papa ngando dan ngando, yakni simbol perkawinan lelaki dan perempuan.

Rumah adat juga ditopang sembilan tiang utama. Ini menggambarkan kehidupan dari janin menjadi bayi selama sembilan bulan dalam rahim. Ada pula molang di bagian belakang rumah, yang terbagi dalam tiga bagian, yakni dapur, ruang aktivitas keluarga, dan bilik tidur keluarga.

Menurut kisah adat kampung tersebut, saat bayi lahir ia akan didekatkan ke periuk di dapur. Sebab nyala api di sana dapat menghangatkan tubuh bayi.

Kampung Wae Rebo terletak di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Penduduk setempat meyakini bahwa kampung mereka dijaga oleh tujuh kekuatan alam.

Nenek moyang mereka disebut maro, yang diyakini berasal dari Minangkabau. Dari riwayat sejarah turun-temurun, sebelum menetap di kampung ini, leluhur mereka berpindah-pindah. Perpindahan itu antara lain di Wriloka, ujung barat Pulau Flores, kemudian ke Pa’ang, lalu bergeser ke daerah pegunungan Todo, lantas ke Popo.

Ada peristiwa yang menyebabkan warga Wae Rebo tidak berani menyakiti, apalagi memakan daging musang. Masyarakat menyebutnya kula.

Bagi masyarakat setempat, daging musang pantang (ireng) dimakan karena dianggap berjasa menyelamatkan moyang Wae Rebo. Konon ada suami-istri. Sang istri hamil tua, tapi tak kunjung melahirkan juga. Tujuh hari pun lewat dari waktunya, lalu diputuskan membelah perut sang ibu agar bayi selamat.

Bayi laki-laki itu selamat, tetapi sang ibu meninggal. Keluarga sang ibu yang berasal dari kampung lain tidak bisa menerima. Mereka kemudian menyerang Kampung Maro. Namun pada tengah malam itu muncul musang di rumah Maro. ”Maro pun berucap: kalau musang membawa berita baik harus tenang. Namun bila musang membawa kabar buruk, diminta mengeluarkan suara. Musang itu pun mengeluarkan suara dan menjadi penunjuk jalan ke tempat yang aman bagi Maro.”

Musang menuntun warga Maro menjauh dari Popo. Di tempat yang tinggi, mereka melihat kampungnya dibumihanguskan. Mereka berpindah-pindah, ke Liho, Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu.

Di Golo Pandu, Maro bermimpi bertemu roh leluhur yang menyebutkan mereka harus menetap di satu tempat dan tidak boleh pindah lagi. Letaknya tidak jauh dari Golo Pandu. Di sana terdapat sungai dan mata air. Itulah Wae Rebo.

Itulah tempat mereka. Dari tempat tersebut tampak kota dengan gemerlap cahaya. Masyarakat setempat meyakini bahwa daerah yang mereka tinggali itu dikelilingi tujuh kekuatan alam yang berperan sebagai penjaga kampung.

Tujuh titik itu adalah di Ponto Nao, Regang, Ulu Wae Rebo, Golo Ponto, Golo Mehe, Hembel, dan Polo. Mereka tidak boleh melupakan ritual adat agar warga tidak terkena bencana. Empo Maro mendirikan kampung Wae Rebo lebih dari 100 tahun lalu, kini yang menghuninya generasi ke-18.

Kearifan penduduk Wae Rebo tecermin lewat cara mereka menjaga alam. Warga percaya bahwa tanah atau hutan memiliki perasaan. Karena itu, ada ritual yang harus dilakukan sebelum bercocok tanam: meminta izin kepada para penunggu lahan. Ritual adat itu antara lain kasawiang, yang biasanya digelar pada Mei, saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari timur ke barat.

Sebaliknya, saat angin bergerak dari barat ke timur, diadakan ritual adat pada Oktober. Menginjak November, yang merupakan tahun baru adat, ditandai awal musim menanam.  Mereka akan melakukan upacara yang disebut penti.

Kampung Wae Rebo masyarakatnya percaya daerah mereka dikelilingi tujuh kekuatan alam.
Perempuan Wae Rebo sedang menenun kain. Foto: dok. shutterstock

Alam di kampung ini terpelihara dengan baik. Para pengunjung bisa ikut menyelami kedekatan warga dengan alam. Mencermati beberapa warga bekerja di kebun dari pagi, atau yang sibuk memanen kopi dan mengolah kacang. Bisa juga melihat  beberapa perempuan yang menenun songket tradisional.

Masyarakat Wae Rebo percaya neka hemong kuni agu kalo, yang berarti di sini semua berawal dan akan terus berlanjut sebagai tanah tumpah darah warga Wae Rebo. Tak mengherankan, jika pada 2012, UNESCO Asia-Pasifik menobatkan Wae Rebo sebagai konservasi warisan budaya.

agendaIndonesia/TL/Fran

*****

Alat Musik Sasando, 1 Alat Berbagai Dawai

Alat musik sasando berasal dari Pulau Rote Nusa Tenggara Timur.

Alat musik sasando adalah instrumen asli Nusantara. Ia tepatnya adalah alat musik tradisional yang berasal dari Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sasando merupakan alat musik berdawai yang dimainkannya dengan cara dipetik menggunakan jari.
Dari segi bentuk, sasando sudah bisa menarik perhatian siapa saja yang melihatnya. Karena, alat musik petik ini terbuat dari daun lontar yang melengkung, berbentuk setengah lingkaran.

Alat Musik Sasando

Sasando memiliki bentuk yang unik dan berbeda dengan alat musik berdawai lainnya. Pada bagian utama Sasando berbentuk tabung panjang yang terbuat dari bambu khusus. Bagian bawah dan atas bambu terdapat tempat untuk memasang dan mengatur kencangnya dawai.


Pada bagian tengah bambu biasanya diberi senda atau penyangga, di mana dawai direntangkan. Senda sendiri berfungsi untuk mengatur tangga nada dan menghasilkan nada yang berbeda setiap petikan dawai. Sedangkan wadah berfungsi untuk resonansi yang berupa anyaman daun lontar yang sering disebut haik.


Dari segi suara, resonansi yang dihasilkan daun lontar menghasilkan suara yang khas, dan tidak bisa ditemukan pada alat musik lainnya. Petikan sasando menghasilkan suara yang sangat indah, romantis dan sangat khas. Tak heran kalau keunikan bentuk, bahan, dan melodi dari sasando berhasil menarik perhatian banyak wisatawan yang berkunjung ke NTT.

Bermain Sasando shutterstock
Seorang anak sedang belajar memetik sasando. Foto: dok. shutterstock

Dalam beberapa kesempatan kenegaraan, sasando ikut meramaikan kegiatan. Misalnya pada acara KTT ASEAN di Labuan Bajo. Sebelum gelaran acara tersebut, sasando pun telah mendunia karena pernah tampil dalam salah satu side event G20 di Labuan Bajo 2022 lalu.

Pada acara G20 itu, sasando ditampilkan pada ajang Spouse Program yang dihadiri 19 anggota G20, enam negara undangan, dan sembilan organisasi internasional. Alat musik sasando inipun menjadi cendera mata yang diberikan oleh Ibu Iriana Joko Widodo kepada Ibu Negara Tiongkok, Madam Peng Liyuan.

Jika ditarik lebih jauh ke belakang, popularitas sasando di dunia juga pernah dipresentasikan oleh sosok bernama Djitron Pah. Ia  mengenalkan alat musik sasando ke dunia lewat ajang Asia’s Got Talent pada 2015.

Melalui ajang pencarian bakat tersebut, Djitron Pah berhasil membawa sasando mendunia melalui rangkaian tur ke Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Belanda, Italia, Finlandia, Jerman, hingga Taiwan. Melihat dari berbagai aspek, memang sangatlah layak jika sasando mendunia.

Namun, dari mana sesungguhnya alat musik sasando lahir? Menurut cerita yang beredar di masyarakat, Sasando bermula dari kisah Sangguana yang terdampar di Pulau Ndana dan jatuh cinta dengan putri Raja. Mengetahui Sangguana jatuh cinta terhadap putrinya, sang raja memberikan syarat kepada Sangguana untuk membuat alat musik yang berbeda dari musik lainnya.

Sangguana pun bermimpi, dalam mimpi tersebut ia memainkan alat musik yang berbentuk indah dan memiliki suara yang merdu. Kemudian ia membuat Sasando dan diberikan kepada sang raja. Sang raja lalu mengizinkan Sangguana, menikahkaan putrinya dengan Sangguana.
Sasando sendiri berasal dari bahasa Rote, yaitu Sasandu yang berarti bergetar atau berbunyi. Sasando sering dimainkan untuk mengiringi nyanyian syair,tarian tradisional dan menghibur keluarga yang berduka.

Orang NTT Memainkan Sasando shutterstock
Pemetik tradisional alat musik sasando. Foto: shutterstock


Jika kita mengulik lebih dalam tentang alat musik sasando khas NTT ini, ternyata ada banyak jenisnya. Setidaknya ada tiga jenis sasando yang populer, yaitu sasando gong, sasando biola, dan sasando elektrik.

Pertama, sasando gong khas Pulau Rote, yang merupakan sasando autentik dengan 12 dawai dari tali senar nilon sehingga ketika dipetik akan menghasilkan suara mengalun, lembut, dan merdu. Alat musik sasando jenis ini kerap dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu tradisional masyarakat Rote.

Ke dua, jenis sasando biola. Kabarnya, sasando biola mulai berkembang di Kupang pada akhir abad ke-18. Alat musik petik ini merupakan hasil modifikasi dari Edu Pah, pakar pemain sasando. Bedanya dengan sasando gong, sasando biola bentuknya yang lebih besar dan memiliki 48 buah dawai. 

Karena dimodifikasi agar menyerupai biola, sasando jenis ini bisa menghasilkan suara halus dan merdu seperti biola. Biasanya sasando biola dimainkan untuk mengiringi lagu pada tarian tradisional masyarakat NTT.

Mengikuti perkembangan teknologi, kini ada pula jenis sasando elektrik. Alat musik ini pertama kali diciptakan oleh Arnoldus Edon pada 1960-an. Alasannya karena sasando tradisional hanya bisa didengarkan pada jarak dekat saja, sehingga perangkat elektronik ditambahkan agar suaranya bisa didengar lebih jauh.

Umumnya, sasando elektrik terdiri dari 30 dawai. Badan sasando tetap menggunakan daun lontar untuk mempertahankan bentuk aslinya. Perbedaan sasando elektrik terdapat pada spul atau transduser yang mengubah getaran dawai menjadi energi listrik, yang kemudian masuk ke dalam amplifier untuk menghasilkan suara yang lebih kencang.

agendaIndonesia/kemenparekraf

*****

Masyarakat Baduy Minta Pembatasan Kunjungan

Suasana Kampung Baduy

Masyarakat Baduy minta pembatasan kunjungan ke perkampungan mereka. Para tetua adat masyarakat suku ini meminta pemerintah membantu pembatasan sementara kunjungan masyarakat ke perkampungan Baduy di Desa Kenekes, Kabupaten Lebak, Banten. Selain karena situasi saat ini memang tidak kondusif, secara umum masyarakat Baduy juga ingin kondisi perkampungan mereka tetap lestari dan seimbang.

Masyarakat Baduy Minta Pembatasan, Pemerintah Setuju

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Keatif mendukung permintaan masyarakat Suku Baduy tersebut. Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf, Hari Santosa Sungkari, dalam kunjungannya ke Desa Kanekes, Sabtu 18 Juli 2020, mengatakan, pengunjung yang hendak berkunjung ke Desa Kanekes atau yang ingin berkunjung ke perkampungan Suku Baduy dalam harus menghormati dan mematuhi aturan adat yang sudah ada.

Indonesia, kata hari, menganut Sustainable Tourism. Pariwisata yang lestari dan berkelanjutan. Artinya semua pihak menjaga agar wisatawan tidak berjibun-jibun yang datang. “Dan tetap menjaga keseimbangan lingkungan fisik dan budaya sehingga budaya itu tetap eksis, fisiknya tetap lestari,” kata Hari.

Dalam kesempatan tersebut, Perwakilan Suku Baduy, Uday Suhada, mengungkapkan keinginan Suku Baduy untuk mengganti istilah “Wisata Budaya Baduy” menjadi “Saba Budaya Baduy”. Istilah ini sebenarnya telah dicetuskan dan ditulis dalam Peraturan Desa (Perdes) Saba Budaya pada 2007. Namun, hingga kini tampaknya belum sepenuhnya dipahami masyarakat umum.

Saba, kata Uday, ini bermakna silaturahmi, saling menghargai dan menghormati antar adat istiadat masing-masing. Di atas itu semua, bersilaturahmi ini mengandung makna saling menjaga dan melindungi nilai-nilai yang berkembang dan hidup di masyarakat setempat dan masyarakat yang datang berkunjung. “Saling menghormati,” ungkap Uday.

Hal senada juga ditambahkan oleh salah seorang tetua adat Suku Baduy Dalam, Ayah Mursid. Ia meminta agar aturan Saba Budaya Baduy lebih diperjelas dan disosialisasikan dengan optimal. Ia menilai banyak pihak, terutama dari kalangan masyarakat umum yang masih awam dengan adat dan tradisi Baduy. Mereka dinilainya masih menilai perkampungan Baduy seperti layaknya perkampungan lainnya.

“Kami berharap saba budaya diperjelas aturannya. Mana saja rute yang boleh dan tidak boleh dilewati menuju Kampung Baduy, dan apa saja yang boleh dan tidak boleh dikerjakan,” ujar Mursid.

Mursid juga memberikan masukan agar didirikan pusat informasi mengenai Suku Baduy di luar perkampungan adat. Sehingga, calon pengunjung yang ingin mendatangi Kawasan Adat Baduy bisa mempelajari terlebih dahulu apa saja adat istiadat yang ada serta menjelaskan tujuan kedatangannya.

Hal ini disambut baik oleh Hari. Ia mengatakan pihaknya akan menampung segala aspirasi yang telah disampaikan oleh para perwakilan tetua adat Suku Baduy.

Hari juga mempertimbangkan rencana pembuatan aplikasi sebagai pusat informasi dan sarana pendaftaran bagi wisatawan yang hendak berkunjung ke Kawasan Adat Suku Baduy.

Pusat inofrmasi itu nantinya bisa berbentuk aplikasi. Jadi siapa yang mau berkunjung, kapan waktu kedatangan, kalau sudah melebih batas pengunjung ini akan ada pemberitahuan atau notifikasi bahwa kapasitasnya sudah berlebih. “Sehingga tidak terulang lagi ada peristiwa ribuan orang berkunjung ke perkampungan Baduy, yang belum tentu mendatangkan manfaat,” tutur Hari.

Masyarakat Baduy
Masyarakat Baduy minta pembatasan kunjungan. Doc. Kemenparekraf

Dalam kesempatan yang sama, Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya, menyampaikan dukungan terhadap segala upaya pelestarian budaya Suku Baduy sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan. Pemerintah Daerah Lebak selama ini terus berkonsolidasi dengan masyarakat Suku Baduy dalam upaya Saba Budaya Baduy.

Saat ini, menurut Bupati Iti, pihaknya sedang dalam proses penyedian lahan di dekat perkampungan Baduy untuk dijadikan sebagai Information Center agar wisatawan lebih mengetahui bagaimana budaya Baduy pada umumnya dan informasi kegiatan Saba Baduy pada khususnya. “Sebelum mereka masuk ke Perkampungan Baduy,” katanya.

Acara ini juga dihadiri oleh Direktur Pengembangan Destinasi Regional I Kemenparekraf/Baparekraf Oni Yulfian; Kapolres Lebak Ajun Komisaris Besar Polisi Firman Andreanto; Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lebak Imam Rismahayadin; Kepala Desa Kanekes Jaro Saija, serta sejumlah tetua adat Suku Baduy Luar dan Baduy Dalam. Acara ini diakhiri dengan penyerahan bantuan secara simbolis berupa masker dan hand sanitizer bagi Suku Baduy sebagai simbol keikutsertaan masyarakat Baduy dalam program perlawanan pada pandemi Covid-19.

****

Rumah Jenderal Nasution, Museum 1 Oktober

Rumah Jenderal nasution menjadi saksi peristiwa 30 September 1965.

Rumah Jenderal Nasution masih jarang dikunjungi orang, baik warga Jakarta, maupun pengunjung dari daerah lain. Padaal museum kecil ini menjadi saksi peristiwa malam 30 September, di mana seorang anak kecil menjadi korban. Jadi saksi bisu perjalanan sejarah bangsa.

Rumah Jenderal Nasution

Matahari sudah meninggi. Rumah besar dan berhalaman luas di Jalan Teuku Umar No. 40, Menteng, Jakarta Pusat, itu terlihat sepi. Dari balik pagar, patung Jenderal Abdul Haris Nasution kokoh berdiri. Bagi yang sering atau setidaknya pernah melintasi jalan ini mungkin tak mengira bahwa di rumah ini sebuah peristiwa tragis pernah terjadi.

Ya, tepatnya pada 1 Oktober 1965. Saat hari masih terlalu pagi, sekitar pukul 04.00 WIB, sejumlah tentara Cakrabirawa merangsek ke kediaman Abdul Haris Nasution, yang akrab disapa Pak Nas.

“Mereka melepaskan enam kali tembakan tepat ke kamar Pak Nas,” kata Sersan Mayor Afrianto, yang menemani kami siang itu. Empat peluru mengenai tubuh Irma Suryani Nasution, anak bungsu Pak Nas. Sedangkan dua peluru lagi melukai tangan Mardiah, adik Pak Nas, yang saat itu tengah menggendong untuk menyelamatkan Ade—panggilan akrab Irma Suryani Nasution. Ade memang sempat dirawat di RSPA Gatot Subroto, Jakarta, selama 6 hari. Namun sayang, nyawanya tidak tertolong. Pada 6 Oktober 1965, Ade Irma Suryani Nasution, yang masih berusia sekitar 5 tahun, mengembuskan napas terakhir.

Peristiwa mengerikan yang terjadi pada 55 tahun silam itu sepertinya masih terlihat jelas di kamar Pak Nas. Kamar tempat Ade sering tidur bersama kedua orang tuanya. Lubang tembakan peluru di daun pintu dan dinding kamar pun masih membekas. Letak tempat tidur, meja, kursi, serta lemari masih dibiarkan pada posisi awal. Hanya ada tambahan diorama Pak Nas yang berkemeja putih dan kain sarung.

“Sejak 3 Desember 2008, kediaman Pak Nas ini resmi menjadi museum,” ucap Kepala Museum Jenderal Besar A.H. Nasution, Kapten ARH Dwi Prasetianto. Bentuk bangunan utama tidak mengalami perubahan. “Dibiarkan sama sejak peristiwa 1 Oktober 1965.”

Pintu utama merupakan pintu masuk menuju ruang tamu tempat Pak Nas biasa menerima tamu, baik dari kalangan militer, kerabat, maupun masyarakat. Di ruang tamu ini terpampang beberapa foto Pak Nas saat menjabat Panglima Divisi Siliwangi, KSAD, dan Menkonhankam.

Lebih dalam lagi, terdapat ruang kerja lengkap dengan rak buku di belakangnya. Terlihat diorama Pak Nas sedang menulis di ruangan ini. Di ruangan ini pula, konon, ide dan buah pikiran Pak Nas dituangkan ke dalam bentuk buku yang tersimpan di etalase ruangan.

Sementara itu, di seberang ruang kerja, terdapat satu ruangan berwarna serba kuning, yang disebut sebagai “ruang kuning”. Ruangan memang didominasi warna kuning. Entah itu meja, sofa, gorden, ataupun dindingnya, semua memakai warna kuning. Ruangan ini digunakan Pak Nas untuk menerima tamu-tamu VVIP (very very important person).

Di samping ruang kuning, terdapat kamar yang dijadikan ruang senjata yang menyimpan koleksi senjata sang pemilik. Sejatinya, kamar ini dulu merupakan kamar putri sulung Pak Nas yang bernama Hedrianti Sahara Nasution. Di seberang ruang itu terdapat kamar tidur Pak Nas yang menjadi saksi bisu tertembaknya Ade Irma.

Di kamar ini terhubung kamar yang biasa diisi tamu. Namun kamar itu kini berisikan diorama Pak Nas saat melompati tembok ke Kedutaan Besar Irak untuk menyelamatkan diri dari usaha pembunuhan. Pintu luar kamar ini memang menuju tembok samping yang berbatasan dengan Kedutaan Irak.

Menurut Afrianto, Pak Nas, yang sudah berada di atas tembok, berniat hendak turun lagi untuk memberi pertolongan dan perlawanan setelah melihat Ade Irma tertembak. Tapi Johana Sunarti Nasution, istri Pak Nas, melarangnya dan memohon kepada Pak Nas untuk segera menyelamatkan diri.

Di samping kamar Pak Nas inilah sebenarnya kamar tidur Ade. Dalam kamar itu terdapat sebuah lemari kaca yang memuat gaun dan seragam tentara milik Ade. Di sebelah lemari terpampang sebuah foto Ade Irma dengan tulisan yang digoreskan oleh ibunya. Di sana tertera kata-kata yang diucapkan Ade sebelum akhirnya meninggal. “Ade sayang Mama. Ade sayang Papa. Tapi kenapa Ade ditembak? Salah Ade apa, Ma?”

Di depan kamar Ade terdapat ruang makan. Di ruangan ini ada patung Johana atau Bu Nas sedang menggendong Ade yang terluka parah karena tembakan di hadapan lima tentara bersenjata lengkap. Tangan Ade terlihat melingkari leher ibunya. Adegan ini membuat bulu kuduk saya berdiri. Membayangkan betapa kuatnya Bu Nas menghadapi para tentara yang sudah siap membunuh suaminya.

Di samping kanan bangunan utama terdapat semacam paviliun. Dulunya merupakan kamar ajudan yang salah satunya ditempati Letnan Satu Czi Pierre Tendean. Sang ajudan inilah yang kemudian diangkut ke Lubang Buaya dan gugur sebagai perisai bangsa. Kini bangunan itu berisikan diorama Pierre Tendean ketika menghadapi todongan senjata para tentara Cakrabirawa.

Kisah tragis ini berhasil membawa saya tenggelam pada masa 50 tahun lalu. Di rumah 1 Oktober ini pula lagu Ade Irma karya A.T. Mahmud melayang-layang dalam ingatan.

Akan kuingat selalu Ade Irma Suryani

Waktu dipeluk dipangku ibu

Dengan segala kasih

Kini ia terbaring di pangkuan Tuhan

Senang dan bahagia hatinya

Kini ia terlena tertidur terbaring

Nyenyak di pelukan Tuhannya

Andry T./Subekti/TL/agendaIndonesia

*****