Tari Barong Bali 1 Simbol Kebaikan Lawan Kejahatan

Tari Barong Bali

Tari Barong Bali 1 simbol kebaikan lawan kejahatan. Ini dipercaya masyarakat pulau Dewata. Karena itu, awalnya tari-tari Barong dipergelarkan pada acara-acara khusus di banjar-banjar di Bali. Belakangan, tari-tari yang sakral ini makin disenangni para wisatawan dan peminat seni tari dan kebudayaan.

Tari Barong Bali

Sekitar pukul 09.00, saya ke luar tergesa dari hotel di pantai Kuta, Badung, Bali. Tak sempat sarapan, dan mandi pun secepat kilat. Ingin segera rasanya mengulang pengalaman di masa kecil ketika pertama kali menginjak Pulau Dewata. Saat masih duduk di sekolah dasar, dalam liburan ke Bali, orang tua saya mengajak menonton pertunjukan Tari Barong dan Keris. Saya masih ingat tempatnya, di Batu Bulan, Sukawati, Gianyar. Namun pagi ini saya putuskan untuk menonton di lokasi lebih dekat, tidak jauh dari Sanur.

Jalanan tidak terlalu padat di akhir pekan, padahal semalam melewati jalan-jalan seputar Kuta dan Seminyak membutuhkan kesabaran. Badan jalan dipadati kendaraan, sedangkan trotoar dipenuhi pejalan kaki. Hanya dalam 20 menit, saya sudah berada di Jalan Waribang No. 21, Kesiman, Denpasar. Beberapa bus sudah terparkir di bagian depan. Di bagian belakang pun area sudah dipenuhi kendaraan roda empat. Saya menuju loket tempat pertunjukan bernama Uma Dewi Kecak & Sanghyang ini. Tiket masuk Rp 100 ribu per orang.

Pertunjukan masih 30 menit lagi, tapi tempat duduk sudah hampir terisi penuh. Logat berbagai daerah dari penonton terdengar silih berganti mampir ke telinga saya. Belum lagi obrolan dalam bahasa asing. Turis lokal dan mancanegara, sama-sama berharap pada satu hal: menyimak tarian yang merupakan simbol kebaikan dalam budaya Bali.

Tak lama pemukul gendang menunjukkan aksi, diikuti para pemain gamelan semar pegulingan dengan memunculkan suara nang ning nong neng. Para penonton pun langsung terdiam. Dalam gending pembukaan, penari Barong muncul. Kaki bergerak disusul gerakan lain, termasuk bagian pinggul. Tak lama sang kera pun datang, melucu dan menggoda hingga para penonton pun terbahak hingga tiga penyerang datang.

Panggung pun berganti pemain, ada dua penari berlenggok. Inilah babak pertama. Keduanya adalah pengikut Rangda yang tengah mencari para pengikut Dewa Kunthi. Tari Barong memang menggambarkan pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Rangda-lah dalam panggung ini

yang menjadi bagian dari sisi buruk. Dicuplik dari kisah Mahabharata, rangkaian Tari Barong menunjukkan kondisi yang ada dalam kehidupan, selalu ada sisi baik dan buruk. Keduanya bertarung, dan tak ada yang menang. Memunculkan tokoh-tokoh tak hanya Barong dan Rangda, tapi juga Dewi Kunti dan anaknya Sahadewa, kemudian Dewa Siwa, serta Kalika, salah satu pengikut Rangda. Di akhir pertunjukan digelar Tari Keris yang dibawakan sejumlah pria.

Dibumbui banyolan, tarian ini memungkinkan sebagian penonton yang tak paham inti cerita tertawa. Namun, namanya juga kehidupan, yang buruk dan baik bisa jadi muncul bersamaan, juga yang serius dan penuh canda pun sama-sama berdampingan. Di akhir acara, sejumlah penonton berburu foto bersama para pemain di atas panggung.

Berfoto menjadi akhir yang menyenangkan bagi semua pihak. Para penonton benar-benar senang bisa berdampingan dengan penari, Rangda, Dewa Siwa, dan Sahadewa. Senyum melebar terlihat dalam setiap jepretan. Tentu saja, Barong paling banyak didekati, mulutnya beradu karena terus digerakkan. Lewat lubang itulah para penonton bisa memberi donasi khusus buat para pemain.

Saya pun mengintip di bagian dalam Barong. Ada dua orang yang terlihat bertubuh tergolong kurus. Keduanya disebut juru saluk atau juru bapang. Masing-masing memiliki tugas,

di depan untuk menggerakkan bagian kepala, sedangkan satu lagi menggoyangkan bagian belakang. Topeng yang biasa dipertontonkan untuk pertunjukan Tari Barong dan Keris merupakan perpaduan wujud dari singa, macan, sapi, dan naga yang dikenal sebagai jenis Barong Ket.

Badan Barong Ket terlihat mewah karena dihiasi dengan kulit dan ratusan kaca cermin berukuran kecil. Bulu-bulu yang menutup tubuhnya terbuat dari sejenis tanaman pandan dan injuk. Sesungguhnya, seperti dituturkan salah seorang petugas, Tari Barong merupakan salah satu tari sakral bila dipertunjukkan di pura. Dalam berbagai prosesnya, termasuk pembuatan topeng dan pemilihan pemain, harus dilakukan sejumlah upacara. “Pemainnya benar-benar terpilih, harus melakukan upacara terlebih dahulu dan menunggu yang ‘membisiki’,” papar Ketut.

Demikian juga dalam pembuatan topengnya, harus diambil dari pohon-pohon khusus, yang biasanya ditemukan di permakaman atau pura. “Pohon tersebut memiliki bagian yang cembung,” ia menambahkan. Kayu untuk membuat topeng pun terlebih dulu dibuat upacara, sehingga dari upacara sampai pembuatan selesaibisa memakan waktu hingga empat bulan. Setelah proses panjang tersebut, baru bisa dibawakan. Khusus di area pertunjukan untuk para turis, biasanya digelar setiap pagi dengan durasi sekitar 60 menit.

RITA N.-TL

Tari Barong Bali
Tari Barong Bali dalam sebuah pertunjukan di pulau Dewata. Dok. Rita N-TL

JENIS-JENIS TARI BARONG

Barong Ket atau Barong Keket

Sosoknya menjulang tinggi, dua kali lipat orang dewasa. Sosok laki-laki dinamakan Jero Gede, sedangkan pasangannya disebut Jero Luh. Jenis ini dibuat untuk mengelabui makhluk- makhluk halus yang menebar bencana. Gerakan tarinya merupakan yang terlengkap. Badannya berhias ukiran rumit dan kaca-kaca kecil. Diberi

pula rambut yang terbuat dari sejenis pandan dan injuk.

Barong Bangkal

Bangkal adalah babi dewasa jantan. Karena itu, barong ini menyerupai

babi. Babi betina dinamakan bangkung sehingga sering juga disebut Barong Bangkung. Biasanya Barong Bangkal dibawa mengelilingi desa pada hari raya Galungan-Kuningan.

Barong Landung

Hanya dibawakan oleh seorang penari, di bagian perut barong dibuat lubang sebagai celah pandang sang penari. Musik pengiring tarian Barong Landung adalah gamelan Batel.

Barong Macan

Jenis barong yang menyerupai macan ini dibawa mengelilingi desa. Barong yang diiringi gamelan batel ini cukup dikenal.

Barong Kedingling

Disebut juga Barong Blasblasan.
Ada juga yang menyebutnya Barong Nong Nong Kling. Banyak ditemukan di sekitar Gianyar, Bangli, dan Klungkung. Bentuknya berbeda sekali dengan jenis barong lain. Sebab, barong ini lebih menyerupai kostum topeng yang masing-masing karakter ditarikan oleh seorang penari. Tokoh- tokohnya seperti dalam Wayang Wong. Pertunjukannya diiringi gamelan batel atau babonangan.

Barong Gajah

Sesuai dengan namanya menyerupai gajah. Termasuk barong langka dan dikeramatkan. Biasanya dipentaskan di daerah Gianyar, Tabanan, Badung, dan Bangli.

Barong Asu

Jenis barong langka yang menyerupai anjing. Hanya terdapat di beberapa desa di Tabanan dan Badung. Biasanya dipentaskan dengan berkeliling desa (ngelelawang) pada hari-hari tertentu dengan iringan gamelan batel atau tetamburan atau Balaganjur.

Barong Brutuk

Yang satu ini tergolong langka dan hanya ditarikan pada saat khusus. Terbuat dari batok kelapa, dan badannya dari daun pisang kering, serta bentuknya lebih primitif. Barong ini melambangkan makhluk-makhluk suci di Pura Pancering Jagat, Trunyan, Kintamani. Penarinya adalah remaja yang telah disucikan.n

Menikmati 1 Tradisi Batik Pecinan Lasem

Berburu batik jangan sampai melewatkan mampir ke Lasem. Di sini ada batik dengan motif campuran oriental dan Jawa.

Menikmati 1 tradisi pecinan Lasem, Jawa Tengah, seperti menggambarkan perjalanan sejarah Nusantara yang tak lepas dari terpaan budaya Tionghoa. Lasem telah kesohor sebagai kota pecinan tua di Indonesia. Konon, kota ini merupakan peradaban masyarakat Tionghoa pertama di tanah Jawa.

Menikmati 1 Tradisi Batik Pecinan

Mengunjungi Lasem seperti menyusuri lorong waktu. Di sini, waktu seakan berhenti. Gedung-gedung bangunan milik masyarakat setempat di sana masih lawas. Pemiliknya hidup mempertahankan keaslian warisan pendahulu mereka. Little China atau Tiongkok Kecil, begitulah orang-orang menyematkan julukan pada Lasem, sebuah kecamatan kecil di Rembang, Jawa Tengah. Kota ini kemudian menjadi magnet bagi para penyuka sejarah. Juga para pegiat budaya Cina.

Lasem tak ayal kian hari menjadi derah tujuan wisata. Namanya lekat dengan embel-embel destinasi sejarah. Pariwisata Lasem berkembang seiring dengan meningkatnya hobi masyarakat Indonesia untuk berwisata. Dari sini pula dikenal sesuatu karya seni khas, batik Lasem yang telah dikenal seantero Nusantara.

Menjangkau Lasem dari Jakarta tidaklah sulit. Bahkan, jikapun memiliki bujet terbatas, Anda masih bisa nekat menyambangi kota itu dengan cara murah dan nyaman. Langkah pertama dari Jakarta ialah memilih transportasi kereta api menuju Semarang, ibu kota Jawa Tengah.

Ada kereta api ekonomi-AC KA Tawang Jaya yang berangkat dari Jakarta pukul 23.00 dari Stasiun Pasar Senen dan tiba di Stasiun Poncol Semarang pukul 06.30. Atau bisa memakai kereta Tawang Jaya Premium dengan jadwal keberangkatan pagi. Namun waktu tiba di Semarang pukul 13.35. Bila memilih kereta ini, Anda akan tiba di Lasem sore menuju malam.

Di Semarang, setelah tiba di stasiun, wisatawan harus menuju Terminal bus Turboyo di pinggiran kota Semarang arah Demak. Biaya bus patas menuju Lasem ialah Rp 45 ribu. Ada juga pilihan bus ekonomi dengan tarif Rp 25 ribu. Namun, karena akan menempuh perjalanan lebih-kurang 3 jam, sebaiknya memilih patas AC agar nyaman.

Bisa pula menggunakan angkutan udara. Dari Bandara Soekarno Hatta atau Halim Perdanakusuma menuju bandara Ahmad Yani di Semarang. Dari sana bisa menggunakan mobil sewaan atau seperti di atas, menggunakan bus antarkota dari Turboyo.

Sesampainya di Lasem, wisatawan akan merasakan atmosfer yang lain, yang mungkin belum pernah dirasakan di kota mana pun. Ada begitu banyak peninggalan yang memiliki warna Tionghoa di kota ini. Mulai dari arsitektur bangunannya, dari rumah tinggal hingga ke masjid. Dan tentu saja batik Lasem-nya yang khas.

Dahulu pada era 1950-an, batik masih begitu berjaya di kota itu. Kota Lasem begitu ramai pendatang saban hari. Orang dari mana pun, seperti Surabaya, Semarang, Kudus, Solo, berkunjung khusus untuk belanja batik.

Namun para pengusaha batik ini kemudian harus gigit jari pada era Orde Baru. Usaha batik meredup. Bahkan motif batik pun yang boleh diproduksi dibatasi. Pola khas Lasem yang memiliki corak pecinan seperti barong, naga, tulisan Mandarin dan sejenisnya tak boleh diproduksi. Ini tentu berkaitan dengan kondisi sosial politik saat itu. Ada sensitifitas jika berkaitan dengan Tionghoa atau Cina pasca tumbangnya rezim Orde Lama.

Padahal, menurut Opa Gandor, warga Lasem yang dituakan di kawasan pecinan kota ini, keturunan Cina di Lasem adalah warga asli Nusantara. Peradaban Cina masuk Lasem sudah ratusan tahun dideteksi keberadaannya. Keturunannya pun sudah sampai garis kedelapan atau sembilan saat ini sejak Cina masuk ke Lasem sekitar tahun 1300-an. Diperkirakan ada sekitar 7.000-an orang Cina masuk Lasem waktu itu dan semuanya pria yang lalu menikah dengan perempuan setempat.

Saat ini praktis industri batik di Lasem umumnya adalah produksi rumahan. Ada beberapa yang merupakan peninggalan pengusaha lama yang tersisa. Misalnya, Batik Pusaka Beruang milik pengusaha bernama Santoso Hartono atau biasa dipanggil pak San. Menurut Opa Gandor, pak San adalah satu dari segelintir pebisnis batik yang bertahan di Lasem.

Lalu apa istimewanya batik Lasem dibandingkan dengan motif batik lain di tanah air. Sebab kita tahu, batik merupakan kain tradisional khas Nusantara yang memiliki beragam jenis dari berbagai penjuru daerah di Indonesia, bahkan sudah diakui dunia sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non-bendawi oleh UNESCO.

Tradisi membatik di sejumlah kota di Jawa,] sampai sekarang masih dilestarikan dengan baik. Sebutlah Solo, Yogyakarta, Pekalongan, kemudian ada Cirebon, bahkan Madura. Dari banyaknya jenis batik dari berbagai daerah di Indonesia itu membuat setiap perajin batik di tiap daerah memiliki motif yang unik dan berbeda-beda.

Dan batik Lasem memiliki keunikan tersendiri. Dari sejarahnya di atas, lahir batik dengan motif yang merupakan perpaduan antara dua budaya, yakni Jawa dan Tionghoa. Dari paduan antar dua budaya tersebut terciptalah batik Lasem.

Menurut sejarah, munculnya batik Lasem terkait erat dengan kisah Laksamana Cheng Ho, panglima perang dari Tiongkok yang mendarat di tanah Jawa. Lasem adalah tempat mendarat pertama kali pasukan Cheng Ho dalam ekspedisinya ke selatan pada sekitar tahun 1403-1433. Kota ini juga diperkirakan sebagai daerah yang pertama kali kedatangan masyarakat Tionghoa di Jawa.

Dalam Babad Lasem yang ditulis ulang oleh Raden Panji Kamzah pada 1858, diceritakan bahwa Bi Nang Un selaku anak buah kapal Dhang Puhawang Tzeng Ho dari Tiongkok bersama istrinya bernama Na Li Ni memutuskan tinggal di Bonang, Jawa Tengah. Dari babad tersebut diyakini kalau Na Li Ni adalah orang pertama yang membuat batik lasem bermotif burung hong, seruni, liong, mata uang, dan banji dengan warna merah ciri khas masyarakat Tionghoa.

Seiring dengan berkembangnya zaman, batik Lasem yang berciri khas warna mencolok, seperti merah, hijau botol, dan biru tua ini mulai mempunyai berbagai motif. Corak yang ada pada batik lasem dominan dengan motif hewan yang dipadukan dengan motif tumbuh-tumbuhan khas Jawa.

Secara umum, batik Lasem memiliki dua motif utama, yakni motif Tionghoa dengan gambar burung hong, naga, ayam hutan, dan sebagainya, sedangkan motif non-Tionghoa bergambar sekar jagad, kendoro kendiri, kricak, grinsing, dan lainnya. Motif kricak, atau kricakan, juga diketahui sebagai bentuk “dokumentasi” pembatik Lasem atas kerja rodi membangun jalan raya pos di masa Gubernur Jendral Daendels.

Tertarik main ke Lasem? Berikut beberapa nama perajin dan sentra batik di kota pecinan ini.

Batik Pusaka Beruang

Berlokasi di Jalan Eyang Sambu-Jatirogo

 

Batik Bu Kiok

Berlokasi di Karangturi Gang 6

 

Batik Nyah Sutra

Terletak di Karangturi.

 

Batik Maranatha

Berlokasi di Karangturi

 

Kampung Batik Babagan

F. Rosana

Keroncong Tugu Warisan Portugis Sejak Abad 16

Keroncong Tugu Warisan Portugis

Keroncong Tugu warisan Portugis sejak abad 16 hingga kini masih terus bergema di kawasan Jakarta Utara. Tak banyak lagi yang memainkannya, memang, tapi Keroncong Tugu seolah menjadi prasasti keberadaan bangsa Eropa pertama yang menancapkan kakinya di Nusantara itu di negeri ini.

Keroncong Tugu Warisan Portugis

Kangen musik keroncong? Cobalah sesekali mampir ke markas Keroncong Tugu di Koja, Jakarta Utara. Di sini sesekali kelompok musik yang terdiri dari delapan orang kadang manggung di gazebo yang disulap menjadi panggung musik. Delapan pemusik berpakaian koko, bertopi baret, dan berkalung syal ala Portugis berjajar di gazebo.

Adalah Guido Quiko yang kini sering tampil sebagai frontman. Ia sejatinya pemain gitar kelompok ini, namun sesekali ia ikut melantunkan lagu.

Dengan jumlah penonton yang tak terlalu banyak, Keroncong Tugu terus bersemangat memainkan nomor-nomor lama yang masih memanjakan telinga penggemar mereka. Seperti malam itu. Setelah menyapa pendek penonton, Guido lantas saling memberi isyarat ke pemusik lainnya. Layaknya sebuah kode, tujuh musikus di belakangnya langsung siap dengan alat masing-masing.

Guido lebih dulu membunyikan sepotong melodi. Terdengar alunan gitar yang harmonis. Entakan rebana lantas spontan menyambutnya. Begitu pula dengan contrabass, violoncello, macina, frunga, dan biola. Masing-masing membentuk melodi yang padu. Lagu Oud Batavia berdengung merdu.

Suara Guido masuk, melantunkan lirik dengan bahasa yang cukup asing: campuran antara Portugis Kreol, Belanda, dan Melayu. Dalam beberapa bagian, terucap satu-dua kata berdialek Betawi yang humoris. Pemusik lain juga menyelingi dengan celotehan yang memantik gelak tawa. Hasilnya, ketukan 4/4 dengan chord yang diulang-ulang tak membikin penonton bosan.

Meresapi lagu membawa ingatan ke zaman 1950-an. Di masa itu, Portugis melakukan pelayaran pertamanya ke Malaka, di bawah “asuhan” Alfonso de Albuquerque. Dalam bayangan, budak-budak kapal berpesta hampir tiap waktu. Mereka asyik bergoyang tarian Moresca. Ditambah dengan iringan rentak musik serupa.

Alunan crong-crong dari macina dan frunga makin lirih. Tempo rebana melambat. Suara Guido tak terdengar. Dentuman contrabass dan instrumen violoncello melambat. Hanya bunyi bow menggesek senar biola masih santer. Violinis separuh baya, yang mengambil posisi di samping Guido, menutup lagu dengan gangsar.

Tuntas menamatkan Oud Batavia, Gatu Matu giliran menjadi lagu pelipur. Kali ini Guido mengajak rekan penyanyinya, Nining Yatman, tampil di panggung. Perempuan dengan cengkok yang kental itu sudah lama bergabung dengan orkes Keroncong Tugu. Memakai setelan kebaya Betawi, Nining menampilkan figur sebagai “keturunan gang kelinci” sesungguhnya. Rautnya riang, gerakannya lincah. Kala berdendang, ia melafalkan lagu dengan laur, meski lirik harus diujarkan penuh lantaran bahasanya gado-gado. Penonton ikut bergoyang, terbius tarian Nining.

Lagu yang didendangkan Nining, yang bercerita tentang kucing hutan tapi dikisahkan dalam bahasa Portugis Kreol, itu makin mempertegas karakter permainan kelompok Guido dan kawan-kawan. Selain kostumnya yang menyerupai pengembara suku Moor—bertopi baret—dari irama, syair, dan gaya memainkan alat musik, nyata betul bahwa seni yang dibawakan merupakan hasil akulturasi budaya. “Kami memang keturunan Portugis yang ‘tertinggal’ di Batavia,” tutur Guido tersenyum.

Guido merupakan generasi keempat keluarga Quicko. Kemunculan musik keroncong tak lepas dari sejarah kedatangan moyang Guido ke Batavia—kini jadi Jakarta. Mulanya, ketika Belanda datang ke Malaka pada 1641, orang-orang Portugis, yang sebelumnya berkuasa, “dibuang”. Sekitar 23 dari 800 keluarga yang didepak Belanda disingkirkan ke kawasan hutan belukar di tenggara Batavia, yang kini menjadi Kampung Tugu. Di sana, mereka terasing dari keramaian. Sebagai hiburan, 23 keluarga itu menciptakan alat musik dari kayu waru dan pohon-pohon yang ada di sekitarnya. Bentuknya menyerupai gitar. Namun senarnya hanya lima. Mereka menyebutnya jitara. Kala dibunyikan, suaranya nyaring. Crong-crong. Karena itu, mereka menamai keroncong untuk perpaduan musik jitara dan bunyi-bunyian lain.

Lantas, berkembanglah jitara dengan ukuran yang lebih kecil. Namanya macina dan frunga. Macina memiliki empat senar, sedangkan frunga tiga senar. Keduanya memiliki ukuran yang berbeda, dengan suara yang berlainan pula. Setelan chor­d-nya pun tak sama. “Frunga memiliki setelan internasional. Kalau macina naik empat nada,” tutur Guido.

Macina dan frunga dibentuk dari kayu kembang kenanga agar kuat dan suaranya nyaring. Senarnya terbuat dari kulit kayu waru yang dikeringkan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, lantaran keterbatasan bahan baku dan alasan keefektifan, peranti tersebut dapat digantikan dengan senar pancing. Suaranya sama: memantulkan karakter yang tegas. Bahkan, di panggung terbuka, seperti malam itu, tanpa pengeras suara pun, irama garukan senar macina dan frunga terdengar paling nyaring.

Jitara kini tak dibuat lagi karena ukurannya terlalu besar. Guido pun memboyong gitar, bukan jitara, saat tampil. “Karena jitara besar, kayunya pun otomatis harus yang ukurannya besar. Selain terhambat pembuatan, pohon bisa habis ditebang untuk membikin jitara,” ujarnya. Yang dipertahankan dari tradisi moyangnya adalah frunga dan macina. Kedua alat musik itulah kini yang menjadi nyawa Keroncong Tugu.

Komponen lain yang dihadirkan untuk menyelaraskan musik adalah rebana, biola, violoncello, contrabass, dan gitar. “Rebana muncul untuk menguatkan kesan Betawi. Hanya kami (Keroncong Tugu) yang memakainya,” ucapnya. Rebana bertindak sebagai perkusi, sedangkan yang lain membentuk melodi.

Nyanyian-nyanyian berikutnya berkumandang. Larut kian membakar panggung. Selendang Mayang, Gang Kelinci, Cafrinho, dan Moressco berturut-turut menghibur. Jiwa-jiwa militan mengawinkan nada demi nada. Sekali garuk senar, nyawa satu sama lain menyatu. Tak heran kalau Malaysia, Timor Leste, Belanda, dan beberapa kota di Indonesia doyan mengundang kelompok itu manggung.

Mempertahankan Tradisi

Di masa lalu, Keroncong Tugu berhasil membius masyarakat sekitar. Lambat laun, perkampungan keturunan Portugis itu menjadi tenar. Dua-tiga di antaranya lantas “memboyong” keroncong ke luar dan mengembangkan dengan pakem baru.

Setelah kondang, Keroncong Tugu dibuat menjadi kelompok resmi. Pemukanya adalah Joseph Quicko. Ia bergerilya mulai 1925. Sayangnya, perjalanan musik Keroncong Tugu tak terlampau mulus. Saat keadaan politik tak stabil pada 1950-1970-an, kelompok ini dibekukan. Kala Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, baru ia meminta Keroncong Tugu kembali dihidupkan.

Kala itu, kepemimpinan kelompok di tangan Jacobus Quicko, adik Joseph Quicko. Tak lama setelah bendera kelompok yang semula bernama Orkes Pusaka Keroncong Morresco Tugu Ano 1971 itu berkibar, Jacobus meninggal. Tampuk kepemimpinan diserahkan kepada Samuel Quicko, ayah Guido. Ia didapuk sebagai punggawa hingga 2006. Kini bendera kepemimpinan sudah beralih ke tangan Guido.

Meski sudah melewati fase empat kepemimpinan, formasi Keroncong Tugu tetap dipertahankan. Pakem, aransemen, dan gayanya tak membelot. “Sebab, kami mempertahankan tradisi,” ucap Guido.

F. Rosana/A. Prastyo

Alat-alat Musik

Biola atau fiddle dimainkan dengan cara digesek. Tugasnya, membangun melodi. Memiliki empat senar, di antaranya bernada G, D, A, dan E.

Violoncello atau disingkat cello masih satu keluarga dengan biola. Cara membunyikannya dengan digesek. Bisa pula dipetik. Tugasnya sebagai fondasi dalam suara orkestra.

Contrabass sering juga disebut doublebass karena suara yang dihasilkan lebih rendah dua oktaf dibandingkan dengan violoncello. Ukuran alat musiknya juga lebih besar. Bahkan paling besar di antara semuanya.

Gitar menjadi pembentuk melodi. Alat musik yang digunakan dalam keroncong ini fungsinya menggantikan jitera.

Macina adalah gitar kecil bersenar empat. Suaranya nyaring dan membentuk anomatope: crong-crong. Inilah yang disebut nyawanya keroncong.

Frunga lebih kecil daripada macina. Senarnya tiga, dengan setelan yang berbeda dengan macina. Frunga dibuat lebih kecil agar pukulan iramanya berbeda dan sebuah instrumen menjadi kaya nada.

Rebana menjadi alat musik khas dalam kelompok Keroncong Tugu. Tugasnya menjadi perkusi dan memperkuat tempo. Fungsinya mirip dengan gendang, hanya suaranya berlainan.

Batik Motif Pekalongan, Keren Sejak Abad 17

Batik motif Pekalongan muncul sejak abad 17, dengan motif yang berkembang sesuai zamannya.

Batik motif Pekalongan adalah salah satu  batik yang termasuk jenis klasik di Indonesia. Batik dari kota di Jawa Tengah ini sudah melampui perjalanan sejak abad 17.

Batik Motif Pekalongan

Pekalongan memang telah menjadi salah satu pusat produksi batik di Indonesia, ia juga dikenal sebagai Kota Batik. Sejarah batik Pekalongan bisa dirunut sejak abad 17, masa ini kerajinan batik mulai berkembang di sini.

Pada masa itu, batik motif Pekalongan popular sebagai kain yang dipakai sebagai pakaian formal dan upacara adat. Selama berabad-abad, motif-motif batik Pekalongan terus berkembang, mencerminkan pengaruh budaya lokal dan internasional.

Pekalongan merupakan kota di wilayah utara pulau Jawa dan berada di Provinsi Jawa Tengah. Dari Jakarta kota ini berjarak 384 kilometer, sedangkan dari Semarang jaraknya sekitar 100 kilometer.

Batik motif Pekalongan memiliki pengaruh dari Arab, Cina dan Jawa.
Museum Batik di Pekalongan, di mana orang bisa belajar tentang sejarah batik. Foto: wikimedia commons

Batik Pekalongan mencatat adanya  pengaruh kebudayaan dari masyarakat sekitar yang selalu berubah-ubah dan saling meniru pada awalnya. Ini menimbulkan kreativitas para perajin batik Pekalongan untuk selalu membuat motif batik baru.

Salah satu daya tarik utama batik pekalongan adalah keunikan motifnya. Corak dan motif yang dipergunakan mencakup berbagai elemen, seperti bunga, binatang, tokoh wayang, dan pola geometris. Desainnya yang indah dan rumit mencerminkan keahlian tangan para perajin batik motif Pekalongan.

Satu hal yang mencolok dari batik daerah ini adalah warna-warna yang dipakai dalam membatik yang membuatnya menarik perhatian. Penggunaan warna-warna yang cerah dan kontras memberi citra yang menawan.

Dari kisahnya, batik di sini menjadi lebih berkembang setelah ada pengusaha batik Belanda bernama Eliza Van Zuylen membangun workshop di wilayah tersebut. Berdasarkan arahan Eliza, ada motif-motif batik Pekalongan baru yang berhasil diciptakan oleh para perajin batik.

Interior Museum Batik Pekalongan wikimedia commons
Ruangan dalam Museum Batik Pekalongan. Foto: dok. wikimedia common

Eliza Van Zuylen dari catatan sejarahnya merupakan salah satu orang yang memiliki peran besar atas kemunculan motif-motif baru batik. Melalui tangannya, batik Pekalongan mampu menembus pangsa pasar Eropa. 

Para pembeli batik Van Zuylen rata-rata memang para bangsawan Eropa. Eliza popular di Eropa dalam rentang waktu antara  1923 hingga akhir 1946.

Pengusaha ini sangat terkenal dengan produk batiknya yang dikenal kehalusan kainnya dengan motif batik tumbuh-tumbuhan. Hingga sampai saat ini batik seperti itu dikenal sebagai ciri khas batik motif Pekalongan, di samping motif Jlamprang.

Apa saja sesungguhnya motif-motif batik Pekalongan ini? Berikut ini beberapa ciri motif batik daerah sini.

Motif asli Pekalongan adalah motif Jlamprang, yaitu suatu motif semacam nitik yang tergolong motif batik geometris. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa motif ini merupakan suatu motif yang dikembangkan oleh pembatik keturunan Arab.

Motif batik jlamprang diyakini dan diakui oleh beberapa pengamat motif batik, sebagai motif asli Pekalongan. S.K. Sewan Santoso dalam bukunya Seni Kerajinan Batik Indonesia yang diterbitkan Balai Penelitian Batik dan Kerajinan , Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian RI (1973), mengatakan bahwa motif Jlamprang di Pekalongan dipengaruhi oleh Islam.

Artinya, motif ini lahir dari perajin batik di daerah ini ada yang keturunan arab yang beragama Islam. Seperti diketahui, agama ini melarang menggambar binatang maupun manusia atau mahluk hidup lainnya dalam kain batik maupun lukisan. Ini membuat para perajin batik memiliki ide kreatif yaitu dengan membuat motif batik secara geometris dengan cara nitik pada motif batik jlamprang.

Namun ada pendapat berbeda. Pendapat berbeda ini menilai Jlamprang merupakan motif batik yang muncul karena pengaruh kebudayaan Hindu Syiwa.

Motif Batik Pekalongan shutterstock
Salah satu motif batik Pekalongan yang dekoraif. Foto: shutterstock

Dr. Kusnin Asa memiliki pendapat bahwa motif batik Jlamprang merupakan suatu bentuk motif yang kosmologis dengan mengedepankan satu pola ceplokan dalam bentuk lung-lungan juga bunga padma yang menunjukan sebuah makna mengenai peran dunia kosmis yang datang sejak agama Buddha dan Hindu berkembang di tanah Jawa.

Pola ceplokan pada motif yang distilisasi dalam bentuk yang lebih dekoratif menunjukan bahwa corak tersebut merupakan peninggalan dari masa prasejarah yang selanjutnya menjadi warisan agama Hindu juga Buddha.

Begitupun batik motif Pekalongan yang klasik sejatinya adalah motif semen. Motif ini hampir sama dengan motif klasik semen dari daerah Jawa Tengah lain, seperti Solo dan Yogyakarta.

Di dalam motif semen terdapat ornamen berbentuk tumbuhan dan garuda/sawat. Perbedaan antara batik di sini dan batik Solo atau  Yogyakarta adalah pada produk Pekalongan klasik hampir tidak ada cecek. Pada batik klasik, semua pengisian motif berupa garis-garis.

Selain itu, beberapa kain batik yang diproduksi di Pekalongan mempunyai corak Cina. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ornamen Liong berupa naga besar berkaki dan burung Phoenix pada motif batiknya. Burung Phoenix merupakan sejenis burung yang bulu kepala dan sayapnya berjumbai, serta bulu ekor berjumbai juga bergelombang.

Kain batik pekalongan yang dikembangkan oleh pengusaha batik halus keturunan China kebanyakan memiliki motif berupa bentuk-bentuk realistis dan banyak menggunakan cecek-cecek, serta cecek sawut (titik dan garis).

Sementara itu, soal pewarnaan yang cerah, disebutkan bahwa penduduk daerah pantai menyukai warna-warna yang cerah seperti warna merah, kuning, biru, hijau, violet, dan orange. Sedangkan warna soga kain batik berasal dari pewarnaan tumbuhan.

agendaIndonesia

*****

Alat Musik Sasando, 1 Alat Berbagai Dawai

Alat musik sasando berasal dari Pulau Rote Nusa Tenggara Timur.

Alat musik sasando adalah instrumen asli Nusantara. Ia tepatnya adalah alat musik tradisional yang berasal dari Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sasando merupakan alat musik berdawai yang dimainkannya dengan cara dipetik menggunakan jari.
Dari segi bentuk, sasando sudah bisa menarik perhatian siapa saja yang melihatnya. Karena, alat musik petik ini terbuat dari daun lontar yang melengkung, berbentuk setengah lingkaran.

Alat Musik Sasando

Sasando memiliki bentuk yang unik dan berbeda dengan alat musik berdawai lainnya. Pada bagian utama Sasando berbentuk tabung panjang yang terbuat dari bambu khusus. Bagian bawah dan atas bambu terdapat tempat untuk memasang dan mengatur kencangnya dawai.


Pada bagian tengah bambu biasanya diberi senda atau penyangga, di mana dawai direntangkan. Senda sendiri berfungsi untuk mengatur tangga nada dan menghasilkan nada yang berbeda setiap petikan dawai. Sedangkan wadah berfungsi untuk resonansi yang berupa anyaman daun lontar yang sering disebut haik.


Dari segi suara, resonansi yang dihasilkan daun lontar menghasilkan suara yang khas, dan tidak bisa ditemukan pada alat musik lainnya. Petikan sasando menghasilkan suara yang sangat indah, romantis dan sangat khas. Tak heran kalau keunikan bentuk, bahan, dan melodi dari sasando berhasil menarik perhatian banyak wisatawan yang berkunjung ke NTT.

Bermain Sasando shutterstock
Seorang anak sedang belajar memetik sasando. Foto: dok. shutterstock

Dalam beberapa kesempatan kenegaraan, sasando ikut meramaikan kegiatan. Misalnya pada acara KTT ASEAN di Labuan Bajo. Sebelum gelaran acara tersebut, sasando pun telah mendunia karena pernah tampil dalam salah satu side event G20 di Labuan Bajo 2022 lalu.

Pada acara G20 itu, sasando ditampilkan pada ajang Spouse Program yang dihadiri 19 anggota G20, enam negara undangan, dan sembilan organisasi internasional. Alat musik sasando inipun menjadi cendera mata yang diberikan oleh Ibu Iriana Joko Widodo kepada Ibu Negara Tiongkok, Madam Peng Liyuan.

Jika ditarik lebih jauh ke belakang, popularitas sasando di dunia juga pernah dipresentasikan oleh sosok bernama Djitron Pah. Ia  mengenalkan alat musik sasando ke dunia lewat ajang Asia’s Got Talent pada 2015.

Melalui ajang pencarian bakat tersebut, Djitron Pah berhasil membawa sasando mendunia melalui rangkaian tur ke Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Belanda, Italia, Finlandia, Jerman, hingga Taiwan. Melihat dari berbagai aspek, memang sangatlah layak jika sasando mendunia.

Namun, dari mana sesungguhnya alat musik sasando lahir? Menurut cerita yang beredar di masyarakat, Sasando bermula dari kisah Sangguana yang terdampar di Pulau Ndana dan jatuh cinta dengan putri Raja. Mengetahui Sangguana jatuh cinta terhadap putrinya, sang raja memberikan syarat kepada Sangguana untuk membuat alat musik yang berbeda dari musik lainnya.

Sangguana pun bermimpi, dalam mimpi tersebut ia memainkan alat musik yang berbentuk indah dan memiliki suara yang merdu. Kemudian ia membuat Sasando dan diberikan kepada sang raja. Sang raja lalu mengizinkan Sangguana, menikahkaan putrinya dengan Sangguana.
Sasando sendiri berasal dari bahasa Rote, yaitu Sasandu yang berarti bergetar atau berbunyi. Sasando sering dimainkan untuk mengiringi nyanyian syair,tarian tradisional dan menghibur keluarga yang berduka.

Orang NTT Memainkan Sasando shutterstock
Pemetik tradisional alat musik sasando. Foto: shutterstock


Jika kita mengulik lebih dalam tentang alat musik sasando khas NTT ini, ternyata ada banyak jenisnya. Setidaknya ada tiga jenis sasando yang populer, yaitu sasando gong, sasando biola, dan sasando elektrik.

Pertama, sasando gong khas Pulau Rote, yang merupakan sasando autentik dengan 12 dawai dari tali senar nilon sehingga ketika dipetik akan menghasilkan suara mengalun, lembut, dan merdu. Alat musik sasando jenis ini kerap dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu tradisional masyarakat Rote.

Ke dua, jenis sasando biola. Kabarnya, sasando biola mulai berkembang di Kupang pada akhir abad ke-18. Alat musik petik ini merupakan hasil modifikasi dari Edu Pah, pakar pemain sasando. Bedanya dengan sasando gong, sasando biola bentuknya yang lebih besar dan memiliki 48 buah dawai. 

Karena dimodifikasi agar menyerupai biola, sasando jenis ini bisa menghasilkan suara halus dan merdu seperti biola. Biasanya sasando biola dimainkan untuk mengiringi lagu pada tarian tradisional masyarakat NTT.

Mengikuti perkembangan teknologi, kini ada pula jenis sasando elektrik. Alat musik ini pertama kali diciptakan oleh Arnoldus Edon pada 1960-an. Alasannya karena sasando tradisional hanya bisa didengarkan pada jarak dekat saja, sehingga perangkat elektronik ditambahkan agar suaranya bisa didengar lebih jauh.

Umumnya, sasando elektrik terdiri dari 30 dawai. Badan sasando tetap menggunakan daun lontar untuk mempertahankan bentuk aslinya. Perbedaan sasando elektrik terdapat pada spul atau transduser yang mengubah getaran dawai menjadi energi listrik, yang kemudian masuk ke dalam amplifier untuk menghasilkan suara yang lebih kencang.

agendaIndonesia/kemenparekraf

*****

Jazz Di Alam Terbuka, 3 Yang Unik

Jazz di alam terbuka salah satunya Jazz Atas Awan di Dieng sebagai bagian dari .Dieng Culture Festival

Jazz di alam terbuka pasti menjadi tontonan yang asyik. Lepas dari ruang yang serba terbatas, music dinikmati seraya menikmati alam terbuka. Tentu ada tantangannya, mungkin tata suara perlu penanganan khusus agar keindahan musik tetap asyik menyusuk ke telinga.

Jazz Di Alam Terbuka

Di Indonesia menikmati musik jazz sambil merasakan sejuknya udara pegunungan dan indahnya lanskap alam punya beberapa pilihan. Penggemar musik jazz bisa menjadikannya salah satu itenarary dari rangkaian agenda liburannya.

Berikut ada beberapa pilihan menikmati jazz di alam terbuka.

Jazz Gunung Bromo

Ternyata pertunjukan musik jazz tidak hanya enak ditonton di dalam gedung bermesin penJazzdingin. Musik jazz juga asik dinikmati di tengah sejuknya udara pegunungan. Jazz Gunung salah satunya. Pergelaran rutin tersebut biasanya diadakan pada pertengahan tahun ke dua alias antara Juli hingga Desember.

Jazz di alam terbuka salah satunya jazz gunung Bromo di Jawa Timur yang sudah berjalan selama 13 tahun.
Jazz Gunung Bromo di Jawa Timur. Foto: Dok. TL/Rosana

Tahun 2022 ini perhelatan tersebut memasuki penyelenggaraan yang ke 13. Perjalanan yang pendek, ibarat manusia ia sudah masuk masa akil balik. Tahun ini rencananya akan digelar pada Jumat dan Sabtu, 22 dan 23 Juli 2022.

Pentasnya yang kesohor mampu memikat wisatawan internasional. Setiap tahun, ada sekitar 4.000 pengunjung hadir menikmati pergelaran tersebut. Tahun ini akan diselenggarakan di Amphitheater, Jiwa Jawa Resort Bromo, Probolinggo, Jawa Timur.

Pertunjukan jazz di alam ini pasti unik. Panggungnya hanya beratapkan awan. Penonton duduk di kursi bebatuan dan beralaskan rumput. Sambil menikmati artis-artis ternama, penonton bisa melihat panggung amphitheater terbuka di Jiwa Jawa Resort Bromo dengan latar belakang keindahan Pegunungan Tengger. Jadi penonton akan mendapatkan dua keindahan sekaligus.

Jazz di alam terbuka ini diinisiasi tiga serangkai: Sigit Pramono, Butet Kertarajasa, dan almarhum Djaduk Ferianto. Nikmati musiknya, dan jika beruntung bisa dapat bonus matahari terbit di Bromo.

Sesungguhnya, Jazz Gunung ini akan punya “saudara kembar”, yakni Jazz Gunung Ijen. Namun pelaksanaanya belum seperti yang diselenggarakan di Gunung Bromo.

Jazz Atas Awan Dieng

Pertunjukan musik jazz bertajuk “Jazz Atas Awan” kembali digelar di dataran tinggi Dieng pada 2022. Pertunjukan yang dimulai diselenggarakan pada 2010 ini digelar di seputaran Kompleks Candi Arjuna, Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, sebagai bagian dari Dieng Culture Festival.

Dieng Culture Festival atau DCF sudah menjadi agenda tahunan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banjarnegara. Gelaran jazz ini merupakan ruang apresiasi terhadap musikus-musikus muda lokal yang menggeliat di dunia pertunjukan jazz di Indonesia.

Ciri khas Jazz Atas Awan ialah panitia tidak memberi tahu siapa saja artis yang akan tampil. Mereka menyimpan rapat-rapat bintang tamu. Panitia ingin orang hadir ke Dieng Culture Festival bukan karena artisnya, tapi lantaran ingin menyaksikan harmonisasi kemegahan gunung dan lantunan musik yang syahdu. Suhu yang mencapai 4 derajat Celsius membuat penonton wajib menggunakan pakaian hangat selama menonton.

Tahun ini jazz di alam yang dikenal dengan sebutan Jazz Atas Awan ini akan  hingga 4 September 2022 di Desa Wisata Dieng Kulon, Kecamatan Batur. Selain ada pertunjukan music, pengunjung bisa menikmati rangkaian candi-candi Pandawa, atau Telaga Warna. Tertarik? Ayo agendakan liburan akhir pekanmu.

Maumere Jazz Fiesta Flores

Tak hanya berlangsung di gunung, jazz di alam terbuka juga bisa dilaksanakan di tepi laut atau pantai. Dan, siapa bilang Indonesia bagian timur sepi akan hiburan musik berkelas.

Di Nusa Tenggara Timur ada Maumere Jazz Fiesta Flores yang pernah digelar pertama kali pada Agustus 2017. Ajang jazz di alam terbuka ini pernah diselenggarakan lagi pada 2018. Sayangnya setelah itu belum terselenggara lagi.

Pilihan tempat untuk pelaksanaan perdana pentas ini jatuh di hutan mangrove atau bakau milik Babah Akong dengan luas lebih-kurang 70 hektare. Letaknya di Desa Magepanda, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka. Salah satu pelopor musik jazz era modern, Barry Likumahuwa, turut mengisi acara ini.

Festival jazz di hutan bakau merupakan acara pertama di Indonesia yang mempromosikan kawasan timur Indonesia lewat pertunjukan musik. “Konser ini terbuka luas untuk masyarakat dan digelar gratis. Kita ingin daerah ini semakin dikenal melalui potensi budaya dan wisatanya. Hal-hal unik akan terus dilakukan demi daerah dan masyarakat Kabupaten Sikka,” ujar Melchias Markus Mekeng, tokoh masyarakat Maumere.

agendaIndonesia

*****

1 Gendang Mengiring 3G Tari Jaipong

original PML2013100904

Sejak bonang dan gendang mulai ditabuh, hentakan irama rancak menjalar ke seluruh penjuru ruang pertunjukan. Di atas panggung, seorang penari bergerak mengikuti suara gendang menarikan gerakan tari jaipong berputar sembari memainkan selendangnya. Para penonton pun bersiap menyaksikan jaipong Jawa Barat, tari tradisional masyarakat Sunda yang bergulir sejak abad ke-20.

Sejarah Tari Jaipong

Asal-mula jaipong Jawa Barat memang belum terlalu lama, baru sekitar tahun 1976 ketika seniman bernama H. Suwanda (1950–2017) mulai mengulik seni musik dan tari di Karawang. Suwanda adalah seorang maestro seni tradisi Topeng Banjet, tari Ketuk Tilu, sekaligus juru kendang yang mahir. Berbagai kesenian khas Karawang ini ia padukan hingga membentuk irama baru, yang menjadi cikal bakal Tepak Jaipong.

Tepak atau tabuhan kendang Suwanda mengalun cepat dan patah-patah, memicu penari atau pemain teater di depannya untuk bergerak maju mundur dengan dinamis. Banyak orang meyakini bahwa nama jaipong sendiri merupakan onomatope atau kata yang berasal dari tiruan bunyi kendang.

Kreasi baru ini meraih banyak penggemar dengan cepat. Suwanda pun merespons peluang dengan merekam tabuhan kendangnya melalui media kaset. Ia membuat rekaman tanpa label dan mendistribusikannya secara swadaya ke wilayah Karawang dan sekitarnya. 

Gaung tepak kendang semakin meluas, hingga akhirnya sampai ke telinga seniman Bandung, Gugum Gumbira Tirasonjaya. Di tangan Gugum, jaipong menjadi sebuah paket seni pertunjukan yang matang dan lebih terstruktur. Sebagai seorang koreografer, ia mengenal betul perbendaharan pola gerak tari-tari Sunda. Hasilnya, Jaipong berkembang menjadi seni gerak dan irama yang khas dan bisa dinikmati semua kalangan, termasuk masyarakat modern.

Pada tahun-tahun berikutnya, popularitas Jaipong terus menanjak. Bahkan baik Suwanda maupun Gugum sempat mempertunjukkan kesenian ini di luar negeri. Salah satunya, pada 1984, Suwanda pernah melanglang buana ke kota-kota di Jerman Barat. Sementara Gugum, bersama istrinya, Euis Komariah, membentuk kelompok kesenian Dewi Pramanik dan mengadakan pertunjukan di luar negeri. 

Untuk memperkaya khasanah tariannya, Gugum juga menciptakan beberapa macam koreografi untuk Jaipongan, antara lain Keser Bojong, Rendeng Bojong, TokaToka, dan Sonteng. Tangan dingin Gugum telah melahirkan ribuan penari Jaipong yang gencar mengenalkan Jaipong ke penjuru dunia, seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. 

Kini, sudah tak terhitung sanggar tari yang mempelajari dan mempraktekkan tarian Jawa Barat ini. Bahkan ada yang mengkreasikannya dengan tarian daerah lain menjadi tarian nusantara. Jaipong adalah persembahan Jawa Barat bagi Indonesia dan dunia. Maka sudah sepantasnya Jaipong diusulkan ke Unesco untuk menjadi warisan budaya dunia.

Ketika merancang pola gerak tari Jaipong, Gugum Gumbira terinspirasi dari beragam nilai dan tradisi masyarakat Sunda. Terdapat unsur-unsur tarian tradisional Ketuk Tilu dan seni bela diri pencak silat di dalamnya. Sejumlah riset pun dilakukan, untuk menciptakan seni yang tidak hanya mengekspresikan dirinya, tetapi juga berkesan di hati penontonnya.

Ciri khas Jaipong, jika dibandingkan tari tradisional lain yang berkembang kala itu, adalah arah pandangan si penari. Sebagai tari pergaulan dan pertunjukan, mata penari harus selalu fokus memandangi penonton agar tercipta komunikasi yang intens. Penonton pun boleh terlibat secara aktif, salah satunya dengan naik ke panggung dan ikut menari bersama penari.

Selain pandangan mata penari, rangkain gerak Jaipong juga dibuat sedemikian rupa agar mampu menciptakan suasana keakraban dan kegembiraan. Terdapat empat bagian gerak tari Jaipong, yaitu:

  • Bukaan: Pada tahap pembukaan, biasanya sang penari berjalan berputar sambil memainkan atau memutar-mutar selendangnya yang dikenakan pada leher.
  • Pencugan: Ini adalah kumpulan berbagai gerakan lanjutan. Umumnya diiringi dengan tempo musik yang cepat.
  • Ngala: Ngala berarti titik atau perhentian. Gerakannya terlihat patah-patah atau menjadi titik perhentian sebuah gerakan.
  • Mincit: Ini adalah gerakan peralihan dari satu ragam gerak ke ragam gerak lain. Gerakan ini dilakukan setelah ada gerakan ngala.

Rangkaian gerakan yang dinamis tersebut otomatis menghasilkan lenggok pada seluruh bagian tubuh, terutama pinggul. Dari sinilah muncul persepsi masyarakat awam bahwa Jaipong identik dengan 3G, yaitu geol, gitek, goyang. Geol adalah gerakan pinggul yang memutar, gitek adalah gerakan pinggul yang menghentak dan mengayun, sedangkan goyang adalah gerakan pinggul mengayun tanpa hentakan.

Sebenarnya ketiganya bukanlah unsur yang melekat secara eksklusif pada Jaipong. Gerakan pinggul akan secara otomatis muncul pada segala jenis tarian, dari Pendet, Gambyong, sampai Serimpi. Hal yang membedakannya adalah tempo dan variasinya saja. Ritme tiba-tiba cepat dan tiba-tiba melambat ini justru perlu dilestarikan karena telah menjadi karakteristik khas Jaipong.

Dari segi penyajian, Jaipong mempunyai dua kategori, yakni ibing pola yang berarti diberi pola serta ibing saka yang berarti acak. Pada ibing pola, materi tari ditata secara khusus untuk kebutuhan sajian tontonan. Karenanya, kelompok penarinya harus berkemampuan tinggi dan menjalani latihan intensif. Sementara pada ibing saka, tidak ada aturan atau pola gerakan khusus. Penonton bahkan boleh ikut menari di atas panggung dan memberikan imbalan uang (sawer) kepada penari.

Meskipun kebanyakan tarian tersebut hanya dimainkan oleh seorang wanita, pada dasarnya Jaipongan dapat dimainkan berpasangan maupun kelompok. Keselarasan gerak justru akan semakin terlihat jika Jaipong dimainkan oleh tiga sampai lima orang. 

Adapun busana yang dikenakan dalam sebuah pementasan Jaipong sangat beragam. Meski demikian, pada dasarnya seorang penari Jaipong selalu mengenakan sinjang, apok, dan sampur. Sinjang merupakan kain panjang yang berfungsi sebagai celana panjang. Apok adalah baju atau kebaya yang memiliki ciri khas pada pernik dan ornamennya. Sementara sampur adalah selendang yang dikenakan pada leher penari.

Kekayaan unsur itulah yang kemudian menjadikan Jaipong sebagai seni pertunjukan rakyat yang selalu mendapat tempat di hati masyarakat Sunda, Indonesia, dan dunia. Seperti kendang yang tidak dapat dilepaskan dari bonang, saron, gong, rebab, dan juru aloknya, Jaipong pun tak akan lestari tanpa cinta dan semangat generasi muda Sunda untuk terus menarikannya.

Mekotekan Galah Pengusir Bencana

andi prasetyo mekotekan 31

Mekotekan galah mengusir bencana mungkin masih jarang diketahui masyarakat. Namun bagi masyarakat Bali, khususnya di Desa Adat Munggu, ini adalah hal yang biasa. Bahkan telah menjadi tradisi.

Mekotekan Galah Pengusir Bencana

Sepuluh kilometer dari barat Kota Denpasar, penjor-penjor di sepanjang Desa Adat Munggu, Mengwi, bergoyang disapu angin. Bau bambu kemarin sore yang baru ditebang menyapa penciuman. Janur yang menjadi ikon utama Pulau Seribu Pura pun masih kuning segar, belum mengering. Bunga tabur terlihat belum lama diganti. Canang masih utuh, belum juga disauk anjing. Begitu pun, bara belum habis membakar dupa. Atmosfer demikian lekat dengan ritual keagamaan yang hendak atau baru digelar. 

“Pagi tadi, masyarakat Hindu sembahyang di pura dalam. Selama 210 hari sekali, mereka merayakan Kuningan, seperti hari ini,” kata Made Arya, pegiat wisata asal Singaraja, pada pertengahan April lalu. Pantas, suasana perdesaan lebih meriah. Matahari tepat di atas kepala kala kami tiba di desa adat itu. Tok tok tok. Kulkul (kentongan) Pura Puseh dipukul bertala-tala, mengucapkan selamat datang. 

Para pemuda dari 13 banjar di Desa Adat Munggu berhamburan ke luar dari kediaman masing-masing. Mereka mengenakan kostum upacara lengkap, mulai sarung hingga udeng. Satu per satu memenuhi jalan utama menuju pura. 

Made menginjak pedal rem mobilnya pelan-pelan. “Jalan ini dekat dengan persimpangan. Hampir setiap percabangan jalan di Desa Munggu dilalui arak-arakan ngerebek. Jadi tidak bisa parkir di sini,” katanya. Ia lantas membelokkan setir ke depan rumah toko, 500 meter dari simpang empat Jalan Raya Tanah Lot dan Pantai Seseh. 

Setelah memarkir kendaraan, Made tak langsung membaur ke pura. Ia lebih dulu mengeluarkan kamen—kain sepanjang dua meter—model prada Bali dari bagasi. “Kalau mau bergabung ikut upacara mekotekan, pakai kain dulu,” ujarnya. Ia lantas berujar, “Caranya seperti pakai sarung. Kalau perempuan, panjangnya sampai tumit”. Sedangkan laki-laki hanya sampai betis. 

Selepas melilitkan kamen, Made menyodorkan senteng kepada saya. Secarik kain yang menyerupai syal itu dipakai di bagian perut. Dilingkarkan, lalu diikat kuat. Atribut lengkap harus dikenakan. Musababnya, mengikuti ritual mekotekan bukan sekadar menonton pertunjukan budaya. Mekotekan disakralkan sebagai upacara keagamaan lantaran menjadi wujud pertalian antara adat dan hari raya Kuningan oleh masyarakat Hindu di Munggu. Apalagi, rangkaiannya meliputi areal-areal sakral. 

Setelah berjibaku dengan kain, terdengar bebunyian nyaring yang menarik perhatian. Klotek… klotek…. suara kayu beradu aspal mengudara seketika. Tangan para pemuda banjar tampak menggenggam erat kayu pulut setinggi tiga meter. Di ujungnya, terdapat tamiang yang terbuat dari ron atau busung. Juga tersemat bendera kuning dan putih bersimbol dewa-dewa. Beberapa di antaranya menggambarkan ikon Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Tujuannya, sebagai bentuk penghormatan sekaligus simbolisasi keimanan. 

Kemunculan seribuan pemuda itu seperti kelompok barisan prajurit yang hendak maju perang, membentuk pleton-pleton. Ceng-ceng atau kecrak menjadi bebunyianritmis pengantarnya. Iramanya bak genderang penyemangat. Di muka barisan, sejumlah pedanda atau pendeta lebih dulu masuk ke pura. Tugasnya, mendoakan supaya ritual berjalan lancar. 

Di tangan para pemuka agama, digenggam genta atau lonceng dari kuningan. Selama sembahyang, benda itu akan digoyang-goyang hingga memunculkan onomatope nyaring. Kalau sudah berbunyi, berarti ritual pemujaan dan permohonan restu untuk ritual dimulai. 

Klian Desa Adat Munggu, I Made Rai Sujana, ikut dalam rombongan pedanda. Sebelum masuk gapura tempat sembahyang, ia mampir ke wantilan atau balai tempat masyarakat berkumpul guna menjemput para pengiring dan penabuh gamelan. “Saya mau memastikan kalau semua petugas sudah siap,” ujarnya. 

Para pengiring, yakni perempuan berusia 14 hingga 40 tahun, dari tiga banjar yang sudah ditunjuk sebelumnya. Mereka mengenakan pakaian adat lengkap. Tugas mereka, membawa canang persembahan. Di belakangnya, berbaris para penabuh gamelan Bali. Mayoritas anggotanya ialah remaja yang belum genap berusia 20 tahun. “Sudah lengkap, ayo masuk,” ujar si klian. 

“Ritual pertama adalah nedunanIda Bathara di pura dalam,” ucapnya. Hanya ritual pembuka dari depan gapura. Doa mohon keselamatan ini hanya berlangsung 15 menit. Mendekati pukul 14.00, rombongan pedanda ke luar dari area sembahyang. Suara kotekan kembali terdengar. Makin lama, makin santer. Diantar para pemuka agama dan pengiring, rombongan pembawa kayu itu berjalan pelan-pelan mengitari desa. 

Mereka berjalan dengan langkah biasa sambil sesekali bersenda gurau. Belum 300 meter melangkah, di tikungan dekat pohon beringin besar, yang menjadi pintu masuk desa adat, satu per satu anggota pasukan mendekati tetua, yang mereka sebut sebagai anak buah pendeta. Pria berusia 60-an tahun bersorban putih itu memercikkan air rendaman kantil, pandan arum, dan daun kelawo di ubun-ubun peserta atraksi. Daun lala amangan digunakan sebagai perantaranya. Setelah memperoleh “jimat”, si “anak-anak teologi” dianggap sah melakoni ritual. 

Lepas dari ritual percikan air, pasukan dari masing-masing banjar lantas berlarian membentuk kubu. Di setiap persimpangan atau tikungan, sekumpulan pemuda pembawa tongkat pulut membentuk lingkaran. Tongkatnya diangkat, dipusatkan ke titik tengah. Dari kejauhan tampak seperti kerucut raksasa. 

Pemuda banjar lain melakukan hal yang sama. Kubu demi kubu melakukan penyerangan. Tak tek tak tek…. Irama perang kayu membahana. 

Adegan makin barbar ketika seorang dari masing-masing kubu memanjat ke atas galah. Mereka seolah menjadi ujung tombak regu. “Lawan…Dorong…” begitulah teriakan itu memenuhi jalanan sepanjang desa adat. Sesekali, sarung si pemanjat tersangkut tongkat, membuat formasi goyang. Gelak tawa terdengar kompak tak tertahan. 

Kesempatan tersebut dipakai lawan buat menyerang. Mereka mendorong kubu rival dengan tongkat hingga lingkarannya roboh. Lagi-lagi, sorai tawa penonton pecah. Pemandangan akan terus seperti ini. Tak ada patokan kapan ritual berakhir. Selagi masih semangat, mereka akan bertempur. 

Sedangkan para perempuan setia duduk-duduk di emperan jalan atau beranda rumah menyaksikan perang kayu—yang selalu dijumpai setiap enam bulan sekali—sampai bubar. Niluh Sarmini, ibu berusia 45 tahun, yang sudah tiga dasawarsa menjadi pengiring, mengatakan umumnya mekotekan kelar seiring dengan ayun-temayun surya. “Kalau langit sudah kekuningan, semangat sudah kendor, satu per satu membubarkan diri,” ucapnya sambil melucuti kepangan rambut. 

*****

andi prasetyo mekotekan 21
Adat Mekotekan sebagai perayaan penolak bala di Bali. (A. Prasetyo)

PERAYAAN PENOLAK BALA

Bila ditarik ke belakang, secara historis, ritual yang digelar berbarengan dengan hari raya Kuningan ini diadakan sebagai pengingat perjuangan para prajurit Kerajaan Mengwi menaklukkan Kerajaan Blambangan. Dulu kala, Raja Mengwi berkuasa di desa adat tersebut. Namun sekonyong-konyong, wilayah hendak direbut Raja Blambangan. 

Pasukan Mengwi lantas melakukan penyerangan. Untuk menghadapi musuh, Raja Mengwi diberkahi sebuah tombak dan tameng dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Setelah menang, mereka merayakan dengan cara yang unik, yakni saling serang antarteman. 

Ngrebek mekotek sudah berjalan sejak 1934. Namun ritual adat yang ditetapkan sebagai warisan budaya nasional nonbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu pernah dibekukan pada 1940 oleh Belanda. Alasannya, berpotensi memunculkan perlawanan. Akibatnya, pada 1946, Desa Munggu dilanda bencana besar dengan angka kematian tinggi. Selain itu, gagal panen dan keributan. Mereka percaya, kemalangan ini lantaran tradisi mekotekan dihentikan. 

Tentang Kayu Pulut:

1. Kayu pulut harus dicari di hutan di kawasan Bangli hingga Singaraja. 

2. Kayu pulut diyakini sebagai replika bambu yang punya bentuk lurus hampir sempurna. 

3. Jenis kayu ini sangat kuat, biasa dipakai untuk bahan bangunan. Namun tak dapat digunakan buat kayu bakar karena bergetah. 

4. Makin lama, kayu pulut makin kuat. Jadi setelah digunakan untuk ritual, pulut akan disimpan untuk dipakai di upacara selanjutnya. 

Rosana & Andi Prasetyo

Wayang Golek Jawa Barat, Bukan Boneka Biasa

original SB2012120317

Wayang golek Jawa Barat, bukan boneka biasa. Rasanya bagi yang menggemari kebudayaan tanah Pasundan tahu betul keistimewaan atraksi ini.

Wayang Golek Jawa Barat

Kala menyaksikan wayang golek, penonton akan disuguhi beragam aksi seni pertunjukan yang komplet, dari teater, lagu, orkestra, hingga sastra.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam ketika para pesinden melantunkan tembang berbahasa Sunda. Itulah tanda dimulainya pertunjukan wayang golek. Para penonton pun bersiap menyaksikan pagelaran teater boneka khas Jawa Barat yang umumnya berlangsung hingga pukul tiga atau empat dini hari.

Wayang golek memang lekat dengan kehidupan masyarakat Sunda. Penyebarannya terjadi pada masa ekspansi Kerajaan Mataram ke Jawa Barat. Dari yang tadinya menggunakan bahasa Jawa berganti menjadi bahasa Sunda. Bentuk, variasi lakon, dan nama-nama tokohnya juga menyesuaikan dengan tradisi setempat.

Bermula dari sarana penyebaran agama Islam dalam rupa kesenian, fungsi wayang golek meluas ke dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Salah satu fungsinya pada tradisi kuno adalah ngaruatatau meruwat. Artinya, membersihkan orang tertentu dari kemungkinan malapetaka. Kegiatan lain yang membutuhkan kehadiran wayang golek ialah syukuran, dari sunatan sampai perkawinan.

Sebagai sarana hiburan rakyat yang bersifat kedaerahan, wayang golek tak boleh dipandang sebelah mata. Pasalnya untuk mewujudkan pertunjukan yang sukses, dalang harus menguasai garapatau keterampilan teknis pementasan yang tidak mudah. Unsur-unsur penentunya antara lain lakon, sabet, kakawen,dan antawacana.

Lakonadalah tema atau peristiwa yang menentukan jalannya cerita. Untuk itu seorang dalang harus menguasai pengetahuan sastra, dari klasik hingga modern. Seperti semua jenis wayang, kisah yang populer adalah Ramayana dan Mahabarata dengan berbagai pilihan lakon, seperti Kumbakarna Gugur atau Kresna Duta.

Selain itu, wayang golek juga kerap mengangkat lakon dari carangan, yaitu cerita yang dibuat sendiri oleh dalang berdasarkan kehidupan sehari-sehari atau cerita rakyat Jawa Barat. Apa pun sumber ceritanya, wayang golek konsisten menyampaikan pesan moral dan kritik sosial. Tentunya dibalut dengan selentingan humor agar penonton bisa terus terhibur.

Sabet adalah segala macam ekspresi dalang yang tertuang melalui gerakan wayang. Salah satu jenisnya adalah cepenganalias teknik memegang wayang. Genggaman tangan saat adegan menari, berjalan, dan perang tentu berbeda-beda.

Jenis sabet lainnya ialah tancepanalias teknik menancapkan wayang ke gedebok pisang. Seorang dalang tidak boleh asal menancapkan wayang. Posisinya disesuaikan dengan kedudukan tokoh. Seorang raja akan ditancapkan di sebelah kanan agak ke atas, sedangkan patih berada di kiri agak ke bawah.Selain menunjukkan kedudukan, tancepanberguna menggambarkan keadaan batin si tokoh.

Kakawenatau suluk merupakan teknik vokal ketika bernyanyi. Di dalamnya ada timbre atauwarna suara, senggol atauornamentasi melodis, rumpaka atau syair, dan gending atau pilihan lagu yang mengiringi. Oleh karena itu, seorang dalang harus memiliki kemampuan olah vokal yang baik agar bisa membangun atmosfer pertunjukan.

Antawacanajuga mengarah pada teknik vokal, tetapi saat terjadi dialog. Dalam satu lakon, biasanya muncul banyak tokoh. Sang dalang harus pintar-pintar mengubah-ubah intonasi dan warna suaranya agar satu tokoh dengan yang lainnya terdengar berbeda. Tentu tak cuma sekadar berbeda, tetapi juga harus konsisten.

Karena cukup rumitnya keterampilan yang perlu dikuasai, dalang tidak bisa bekerja sendiri. Di sampingnya, ada pengrawit (pemain musik), pesinden, dan wirasuara (penyanyi pria) yang turut memberi ‘nyawa’ pada boneka-boneka kayu tersebut. Bertolak dari aneka unsur tersebut, jelas bahwa wayang golek merupakan seni pertunjukan yang kompleks dan menjadi warisan budaya yang amat berharga.

Tokoh Populer

  • Anoman: Kera berbulu putih ini merupakan putra Batara Guru dari Dewi Anjani. Ajiannya antara lain Pancasona, yaitu tahan terhadap bacokan dan Sirna Bobot atau kemampuan meringankan tubuh.
  • Arjuna: Ia adalah putra Pandu ketiga dari ibu Dewi Kunti. Sosoknya halus, tampan, pandai, dan pemberani sehingga disukai wanita. Ia memiliki pusaka keris Pancaroba, Ali-ali Ampal, dan panah Pasopati.
  • Bambang Sumantri: Dia mempunyai adik yang buruk rupa bernama Sukrasana. Suatu hari ia tak sengaja membunuh adiknya sendiri dengan senjata pemusnahnya, Cakrabaskara.
  • Cepot: Astrajingga alias Cepot adalah anak pertama dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen. Wataknya humoris, emosional, tak membedakan siapa pun, baik ksatria, raja maupun dewa. Lewat banyolan, dia memberikan petuah dan kritik sosial.
  • Dawala:Ia adalah adik dari Cepot. Dawala senantiasa menemani kakaknya pergi, sembari menenangkan kakaknya yang terlalu cepat marah.

 

 

*****

Pesta Sakura, 1 Pesta Hari Raya di Liwa

Pesta Sakura sebagai tradisi Idul Fitri di Liwa, Lampung

Pesta Sakura, ini tak ada kaitannya dengan musim bunga di Jepang. Juga tidak terlait dengan bunga khas matahari terbit itu. Ini adalah tradisi perayaan di saat Idul Fitri yang dilakukan masyarakat di Kabupaten Lampung Barat, Lampung.

Pesta Sakura

Kabut masih menggulung di depan kamar hotel yang terletak di salah satu jalan utama di Kabupaten Lampung Barat, Lampung. Memang masih pukul 06.00 lewat beberapa menit, tapi suara anak-anak begitu nyaring terdengar. Saya membuka gorden sedikit dan terlihat sekelompok anak sekolah dasar dan menengah. Beberapa tampak tengah membalut dirinya dengan kain panjang bercorak batik. Baik bagian wajah maupun badan. Pesta sakura atau sering disebut sekura segera dimulai.

Pesta Sakura adalah tradisi merayakan Idul Fitri atau Syawalan di Lampung Barat.
Pesta topeng Sakura menjadi tradisi di Liwa, Lampung Barat. Foto: Dok. shutterstock

Memang bukan Hari Raya Idul Fitri seperti lazimnya acara sakura digelar yang umumnya pada 2-10 Syawal. Namun, seperti diungkapkan Bupati Liwa Drs Muchlis Basri dalam pembukaan perayaan ulang tahun kabupaten ini, sakura kini tak hanya setahun sekali, tapi juga diadakan saat perayaan ulang tahun Liwa. Meski hanya melalui parade di pusat kota dan lebih ingin menikmati kesukariaan itu, saya pun bergegas keluar. Sinar mentari perlahan muncul dan hawa mulai menghangat.

Dikelilingi pegunungan dan tak hanya dikenal sebagai penghasil kopi dan sayuran, Liwa juga lekat oleh tradisi seni topeng sakura. Seni ini melekat di beberapa kecamatan, seperti di Belalau, Batu Brak, Liwa, dan Sukau.

“Datang pas Lebaran, sekuraan (perayaan sakura atau pesta sakura) di kampung-kampungnya ramai sekali,” ucap Udin, warga yang saya temui di Batu Brak. Sembari menunjuk gang kecil di antara rumah panggung, ia menyebutkan, “Orang-orang keluar dari gang kemudian keliling pekon (desa).”

Biasanya dimulai pada pagi hari. Satu kelompok akan bergabung dengan kelompok lain hingga keriuhan pun tak terhindarkan. Banyak juga yang menonton. Udin menjelaskan, orang yang bersakura itu tak hanya berjalan, tapi juga berjingkrak-jingkrak dan menari-nari. “Lucu-lucu kadang-kadang,” ucapnya sembari tersenyum.

Sakura juga disebut topeng kayu, tapi kini penutup wajah dibuat lebih bermacam-macam. Selain kayu, ada kain, kertas, dan dedaunan. Tanpa harus ditata sehingga tercipta bentuk indah. Justru dibuat tak beraturan agar terkesan aneh atau lucu, sehingga bisa menghibur. Walhasil, selendang, sarung, daun pisang kering, daun pohon sagu, dan rok perempuan pun bisa dilekatkan pada tubuh orang yang bersakura itu.

Yang ambil bagian bisa anak-anak dan orang tua. Yang pasti ialah kaum Adam. Tak mengherankan di Museum Nasional Lampung bisa ditemukan sakura anak, topeng yang berbentuk kecil dengan wajah seperti menangis, dan sakura tuha yang menunjukkan ekspresi orang sepuh.

Keragaman itu membuat sakura terbagi atas dua jenis. Pagi itu saya menemukan anak-anak sekolah berbalut kain bersih. Inilah yang disebut dengan sakura helau atau betik yang berarti bersih—sakura dengan kain bersih dan rapi.

Selain itu, ada sakura kamak yang dikenal sebagai sakura kotor. Biasanya menggunakan pakaian dan topeng dari tanaman. Pakaian yang dikenakan bak orang bekerja di ladang atau sawah. Hiasannya yang ditempel pun memberi kesan kotor. Sering juga lebih menonjolkan kelucuan, seperti pria dengan gaya ibu hamil.

Salah satu ciri lain dari sakura adalah tingkah polahnya selama berjalan keliling kampung. Orang yang bersakura berniat menarik perhatian orang dan menghibur. Mereka menari-nari, bertingkah lucu, dan kerap juga bergaya seperti binatang. Tak mengherankan ditemukan topeng kayu dengan bentuk hewan beruk yang merupakan peninggalan masa lalu dan kini tersimpan di Museum Negeri Lampung.

Pesta sakura biasanya diakhiri oleh panjat pinang. Nah, sakura kamak-lah yang akan ambil bagian dalam atraksi ini. Sebaliknya, sakura betik hanya menjadi penonton atau penggembira. Yang bersekura betik pada masa lalu adalah pria yang belum menikah atau mekhanai. Sedangkan sekura kamak bisa pria lajang ataupun sudah beristri (khagah).

Pesta Sakura dilaksanakan setiap tanggal 2 hingga 10 Syawal.
Pesta Sakura biasa dilaksanakan antara tanggal 2 hingga 10 Syawal. Foto: Dok. shutterstock

Dalam sebuah pawai karnaval, saya juga menemukan sakura cakak buah. Ditampilkan oleh sebuah sekolah dasar, rupanya sakura yang satu ini merupakan bagian dari sakura kamak. Mereka membawa beberapa buah-buahan seperti yang biasa dibuat untuk panjat pinang. Ada pula kelompok orang bersakura dengan gaya yang superlucu seperti dandanan ala perempuan yang membuat saya tersenyum sendiri. Kreasi orang bersakura memang bermacam-macam. Dan, yang paling penting bisa memancing perhatian orang.

Kata sakura sendiri berasal dari kata sakukha yang berarti penutup muka atau penutup wajah. Tujuan pesta sekura selain menghibur ialah bersilaturahmi dan berakhir pada panjat pinang yang sifatnya bergotong royong atau beguai jejama. Akhir dari pesta siang itu, orang-orang yang bersakura langsung berkumpul di lapangan. Di sana sudah berdiri beberapa pohon pinang dengan hadiah bergelantungan di atas. Keriuhan kembali meruap.

Keahlian memanjat dan kerja sama yang baik membuat benda-benda di atas pohon pun beralih tangan dengan cepat. Wajah-wajah penuh senyum pun bubar. Pesta usai. l

Dua Versi

Masyarakat Liwa meyakini sakura merupakan seni paling tua peninggalan leluhurnya, yakni buay tumi. Pada saat itu, suku tersebut menganut animisme dan sakura pun merupakan salah satu bentuk pemujaan terhadap penguasa alam dan roh-roh nenek moyang yang cenderung berwajah jelek serta berbusana dari dedaunan atau seadanya.

Jejak dari suku pertama di wilayah Lampung Barat ini adalah Ratu Sekarmong yang memimpin masyarakat buay tumi pada akhir pengaruh Hindu. Pada masa itu, sakura digelar saat panen ataupun bulan purnama, meski tak seorang pun bisa memastikan awal kemunculan tradisi sakura ini.

Namun, selama ini, sakura terkait dengan perayaan Idul Fitri atau datangnya bulan Syawal, sehingga ada peneliti yang memperkirakan sakura di daerah ini muncul pada zaman Islam. Islam menyebar di pesisir Barat Lampung ini sekitar abad ke-13 hingga sakuraan pun diperkirakan dimulai pada masa itu. Sakuraan menjadi ungkapan untuk rasa syukur ketika bulan Syawal datang dan sukacita menyambut hari suci dan besar.

Sementara itu, peneliti yang berbeda memperkirakan sakura dimunculkan pada Hari Idul Fitri setelah masyarakat Liwa menganut Islam, yang sempat terhenti sebelumnya. Seperti diungkapkan salah tokoh masyarakat setempat Habbibur Rahman Lekat Haiman Sukri seperti dikutip dari Penelitian Sejarah Sekala Bekhak Lampung Barat yang dikeluarkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Liwa.

Ia menyatakan sakura pernah tidak memunculkan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun akhirnya dihadirkan kembali saat Idul Fitri karena dinilai tepat sebagai acara silaturahmi atau ngejalang sesama warga. l

agendaIndonesia/TL/Rita N.

*****